2. SIKAP ANEH AIRINE

1619 Words
Lisa merasa bingung dengan Airine. Gadis sholehah ini akhir-akhir selalu marah-marah. Lisa yang merasa tidak tahu apa-apa juga mendapatkan getahnya. Hari ini, Lisa membawa mobil yang memang dihadiahkan Papa untuk mereka berdua. Karena biasanya Airine diantar sopir Papa, mobil ini selalu dipakai oleh Lisa. Namun, hari ini, Lisa yang sedang asyik memanjakan mata di mall mendapatkan omelan. Alasannya omelan itu karena mobil belum sampai di rumah saat pukul dua belas siang. "Mengganggu saja. Dia juga biasanya tidak menggunakan mobil," sungut Lisa. Dia saat ini berada di perjalanan kembali ke rumah. Padahal Lisa baru saja berencana untuk menonton film dengan teman-temannya terutama Agatha. Namun, siapa sangka bahwa gadis kesayangan penghuni rumah itu mengamuk. "Kamu dari mana saja! Seorang gadis tidak langsung pulang ke rumah seusai kuliah, tapi malah langsung pergi ke mana-mana. Kamu mau berubah jadi gadis nakal?" hardik Airine ketika Lisa membuka pintu mobil. Saat ini mereka ada di garasi mobil. Ada beberapa tukang kebun yang memang sedang melakukan pekerjaannya. Lalu juga ada beberapa karyawan Papa yang datang ke rumah untuk meminta tanda tangan karena hari ini adalah hari Jumat. Suara Airine yang menggelegar itu bisa terdengar sampai ke ruang tunggu itu. Membuat Lisa menahan rasa malu. "Lu bisa diem gak? Nyrocos aja gak jelas. Iya, elu paling suci dan orang lain penuh dosa. Jadi dengan seenak mulut lu bilang begitu," ucap Lisa sinis. Dia melangkah pergi sebelum memilih untuk berbalik. "Lagi pula, buat apa sih nyuruh gua pulang cepat-cepat? Butuh mobil? Biasanya juga gak dipakai!" Lisa tersenyum sinis sambil melempar kunci mobil ke d**a Airine. Sama sekali tidak menunjukkan rasa hormatnya. "Lisa, kamu bisa lebih hormat sama kakak kamu?" Suara menggelegar Mama terdengar dari dalam. Hal ini membuat Lisa menghela napas pelan sebelum menatap mamanya. "Jika dia ingin dihormati, sebaiknya mulai untuk menjaga lisannya dulu. Dia kira, dengan segampang itu menyebut orang lain sebagai gadis nakal adalah ciri-ciri gadis muslimah?" ucap Lisa dengan sinis. Dia sama sekali tidak memperhatikan raut wajah mamanya yang sudah memerah. Menahan rasa amarah. "Kamu gadis jalang. Mama tidak pernah berpikir punya anak gadis seperti kamu!" hardik Mama seraya memegang dadanya. Mengatur napas sekaligus emosinya. "Lisa juga tidak berharap hadir di keluarga yang pilih kasih seperti ini," bisik Lisa sambil melangkah menjauh. Sama sekali tidak ingin berhenti. Bagaimana pun, saat ini mereka sedang menerima tamu. Tidak baik untuk tetap bertengkar. Dan lagi, Lisa sudah terbiasa mengalah. Yang dia perlukan saat ini hanyalah masuk ke dalam kamarnya. *** Malam hari datang dengan cepat. Lisa yang baru saja beres mandi mendengar pintu kamarnya diketuk. Sebelum dia mempersilakan tamu itu masuk, pintu kamarnya sudah terbuka dengan lebar. Kakak semata wayangnya yang sangat mengagumkan bagi Mamanya itu berdiri di sana. "Ada apa?" tanya Lisa sambil memoleskan krim ke mukanya. Dia memandang wajah kakaknya dari cermin riasnya. Sama sekali tidak berniat untuk menoleh. Ya, dia juga tidak berniat untuk mempersilakan gadis berkerudung itu masuk ke kamarnya. "Kamu gak mempersilakan aku masuk?" tanya Airine dengan santai. "Kalau lu sadar, kenapa harus diulang?" tanya Lisa balik. Tidak ada emosi di suaranya. Benar-benar tidak berniat untuk memulai pertengkaran. Lisa hanya akan menahan emosinya dalam waktu yang cukup singkat. Karena Airine sebentar lagi akan menikah. Tidak baik untuk menambahkan pertengkaran di rumah yang tidak pernah damai. "Yah, Papa menyuruhmu untuk turun makan malam." "Setiap hari kita juga makan malam bersama-sama. Tanpa harus lu kasih tahu juga gua bakalan turun. Santai, gua gak bakalan menghindar dari insiden tadi siang, Gadis suci." Lisa mengucapkan kata-kata itu dengan dingin. Setelahnya, dia sekali lagi mengabaikan kehadiran sang Kakak. Dia memilih sebuah piyama tidur yang sopan sebelum akhirnya memulai menata rambutnya. Meskipun hanya di rumah, Lisa selalu merasa bahwa menyisir rambutnya lalu memberikannya vitamin adalah hal wajib. "Baiklah. Cepatlah turun." Airine menatap sekilas adiknya sebelum akhirnya memilih untuk menutup pintu. Tanpa Lisa sadari, ada tatapan sendu di mata gadis itu. Namun, meskipun Lisa tahu, dia akan bersikap tidak peduli. *** Ruang makan menjadi sangat tidak menyenangkan saat wajah Papa terlihat menegang. Lisa sendiri sudah tidak memiliki napsu makan. Meskipun beberapa lauk di meja adalah kesukaannya. "Airine, apa yang terjadi tadi siang?" tanya Papa setelah mereka menyelesaikan makan malam. Ini bisa dibilang sidang malam. Kegiatan ini terjadi bila salah satu dari anaknya membuat masalah. Atau terjadi pertengkaran tidak elite seperti tadi siang. "Airine cuma ingin mengingatkan Lisa. Tapi Lisa marah," ucap Airine lembut. Gadis itu menundukkan kepalanya semakin dalam. "Lisa?" Papa mengarahkan pandangannya ke arah Lisa. Meminta jawaban dari pertanyaan yang sama. "Lisa hanya tidak terima dibilang gadis nakal," jawab Lisa dengan santai. Sama sekali tidak memiliki rasa takut dalam ucapannya. "Kamu memang gadis nakal. Jalang! Tidak menyadarinya? Lihat pakaianmu! Tidak mencerminkan seorang gadis muslimah!" hardik Mama setelah mendengar jawaban Lisa. Wanita tua itu memang selalu membela anak sulungnya. Baginya, anak sulungnya begitu menakjubkan, tidak seperti anak bungsunya yang selalu melawan. "Ah, gadis nakal ya. Oke," ucap Lisa sambil bangkit. Dia hendak pergi ke kamarnya ketika suara papanya menghentikan langkahnya. "Mau ke mana kamu, Lisa?" Suara papanya sudah terdengar dingin. Suhu ruangan juga berubah menjadi menyesakkan. Simbok yang berada di dapur juga sudah berlari mendekat. "Ke kamar. Menjadi gadis nakal seperti yang diucapkan oleh istri anda. Jika gadis nakal, dia tidak akan duduk di sini mendengarkan petuah!" Brak! Bersamaan dengan ucapan Lisa, Papa juga membanting piring berisi cemilan ke tanah. Lelaki tua itu berjalan ke arah Lisa dengan tampang yang menyeramkan. Emosi terlihat meluap-luap di matanya. "Kembali duduk!" bentaknya. "Untuk apa? Untuk dihina sebagai gadis nakal lagi atau untuk mendapat hukuman lagi, yang diri saya sendiri saja tidak tahu kesalahan apa yang dibuat?" tanya Lisa panjang lebar. Semua kata-kata itu diucapkannya dalam satu tarikan napas. Membuatnya sedikit terengah-engah. "Apakah Lisa dilahirkan hanya untuk dimarahi? Bahkan untuk kesalahan yang bukan Lisa lakukan?" tanya Lisa sambil menatap Papa dan Mama. Matanya sudah berlinang air mata. Dia menghela napas berkali-kali untuk meredam rasa sakit yang ada di hatinya. "Hari ini, anak kesayangan kalian yang bersikap tidak jelas. Bukan hari ini, tapi beberapa hari belakangan ini. Apa ini sindrom gadis yang mau menikah? Tolong, itu masih seminggu lagi. Dan jangan sangkut pautkan denganku," ucap Lisa kemudian. Setelah mengucapkan hal itu, Lisa berlari ke kamarnya. Enggan untuk mendengarkan ocehan khutbah papanya yang panjang lebar. "Kau lihat? Anak itu harusnya masuk pesantren!" teriak Mama dengan marah. Suaranya melengking menunjukkan bahwa dia menggunakan seluruh tenaganya. "Harusnya kamu berkaca pada dirimu sendiri. Apa yang kamu lakukan pada anak itu hingga dia seperti sekarang ini," ucap Papa sambil menghela napas. Dia sebenarnya tidak ingin memarahi Lisa hari ini. Namun, sikapnya selalu saja membuat dia merasa gagal mendidik anaknya itu. Rasa bersalah membuatnya marah. Dan tanpa sadar mengirimkan rasa marah itu ke Lisa sekali lagi. "Aku?" "Ya, kamu. Dan untuk Airine, ada apa dengan kamu beberapa hari ini? Rasa amarahmu itu meluap-luap beberapa hari ini. Bahkan masakan Simbok juga mendapatkan caci maki kamu. Kamu kenapa? Dan hari ini, apa kamu memang berniat untuk membuat adik kamu dihukum?" tanya Papa sambil menatap Airine yang masih menunduk. Saat ini, gadis itu sudah menangis tersedu-sedu. Membuat pundaknya bergetar dengan hebat. "Aku ... aku ... tidak ada niatan seperti itu. Hanya saja ...." Airine tidak melanjutkan kata-katanya. Tidak mungkin dia mengatakan bahwa setiap dia melihat Lisa, perasaan marah di hatinya semakin besar. Lisa memang tidak membuat kesalahan apapun dengannya. Namun, Airine selalu iri dengan sikap berani Lisa. Dan dia hanya bisa merasa tenang saat melihat Lisa menangis. Yang menunjukkan bahwa Lisa juga lemah sepertinya. "Jangan melakukan hal-hal seperti ini lagi. Airine, sampai waktu pernikahanmu, jangan keluar rumah. Itu hukuman dari Papa. Kecuali kamu ada fitting gaun dan sebagainya," ucap Papa sebagai final. Hal ini membuat Airine mendelik kaget. Dia menggeleng dengan keras sebelum berlari ke arah papanya. "Papa, aku harus ke perpustakaan. Selain itu, aku harus bertemu anak-anak di panti asuhan yatin piatu. Tidak boleh tidak datang!" rengek Airine seraya menahan tangan papanya. Mencoba sebisa mungkin untuk mengubah keputusan Papa. "Tidak ada yang berubah!" "Mas, itu kegiatan yang bagus. Kenapa kamu harus membut keputusan seperti ini? Airine tidak salah apapun. Mengapa dia harus dihukum juga?" Mama yang sedari tadi diam mencoba untuk ikut membujuk Papa. "Kalian betul-betul tidak mengetahui kesalahan kalian? Kalian harus merenungkan sikap kalian. Dan ini juga penting untuk kamu, Airine." Setelah mengucapkan kalimat itu, Papa langsung pergi menuju ke ruang kerja. Dia masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaannya. Dan karena kasus ini, moodnya berubah menjadi buruk. *** Hari mendekati ke tanggal pernikahan Airine mulai dekat. Banyak sanak saudara yang mulai berdatangan. Airine juga terlihat sangat sibuk akhir-akhir ini. Lisa juga sudah melihat undangan yang terlihat sangat elegan. Benar-benar tipe Airine banget. Sepertinya, keluarga mempelai laki-laki benar-benar mendengarkan apapun yang Airine inginkan. Meskipun di luar rumah sangat ramai, Lisa sama sekali tidak peduli. Dia masih asyik menonton drama saat pintu kamarnya tiba-tiba terbuka lebar. Saat Lisa melirik ke arah pintu, berdiri sosok kakaknya yang tidak mengenakan jilbab. Gadis itu melangkah dengan pelan ke arahnya. "Ada apa lagi?" tanya Lisa. Dia sangat enggan untuk mencari ribut dengan Kakaknya itu. Apalagi beberapa hari ke depan adalah hari pernikahannya. "Tidak ada. Untuk sehari sebelum pernikahan, bolehkan aku tidur di sini?" "Tidak!" "Tolong. Aku hanya butuh teman." "Baik. Dan jangan mengacau!" Airine mengangguk setuju sambil tersenyum manis. Hanya saja, senyuman itu sedikit membuat Lisa merasa takut. Dia merasa bahwa sebuah kesalahan untuk mengiyakan keinginan saudara perempuannya itu. "Baiklah, terima kasih untuk sebelumnya," ucap Airine sambil melangkah masuk ke dalam kamar. Ini sama sekali bukan seperti Airine yang dia kenal. Sikapnya beberapa hari ini sungguh berbeda. Dia bersikap sedikit centil dan seakan-akan meniru Lisa. Ataukah itu hanya perasaan Lisa saja? Ataukah gadis yang akan menikah selalu seperti itu? Lisa bingung dengan semua yang terjadi. Dan rasa tidak enak di hatinya juga tidak hilang. Memilih untuk tidak memikirkannya, Lisa akhirnya menutup laptopnya. Dia memilih untuk tidur dan mengabaikan perasaan yang dia terima saat ini. Menyerahkan semuanya kepada takdir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD