1. PERJODOHAN KAKAK

1446 Words
Lisa menatap kaget halaman rumahnya yang terlihat cukup ramai. Terlihat beberapa mobil milik yang terbilang cukup mewah terparkir di halaman rumah. Namun, yang membuat aneh adalah warna dan jenis dari mobil tersebut. Sejak kapan Lisa memiliki saudara yang sangat kaya raya? "Apa di sekitar sini baru ada acara dari orang-orang kaya?" gumam Lisa seraya masuk ke halaman. Dia yang sedang asyik berjalan sambil toleh-menoleh merasa kaget saat tangannya ditarik. Dan, fyuh ... terlihat wajah Simbok Ijah yang tersenyum lega. "Mbak, ke mana saja? Ibu loh nyariin sampai ke kampus." Simbok Ijah mulai memberikan Lisa beberapa pertanyaan. Hal itu dijawab Lisa dengan menunjukkan tas belanjaannya. "Belanja lagi? Nanti Ibu marah lagi loh, Mbak. Eh, cepat sana masuk. Ditungguin Ibu di dalem loh." Simbok Ijah mendorong Lisa masuk ke rumah lewat pintu samping. Andaikan tidak ada Simbok Ijah, mungkin sekarang Lisa sudah menyelonong lewat pintu utama ruang tamu. "Memangnya ada apa sih, Mbok?" Lisa masih saja menatap sekeliling heran. "Gak lagi ada arisan di rumah, kan?" "Aduh ...." Lisa memekik kesakitan setelah menyelesaikan kalimat pertanyaan itu. Dia menoleh, dan yang terlihat adalah mamanya yang sudah cantik dengan gamis berwarna biru. "Ma, kenapa cantik banget sore-sore?" "Ya Allah, Ayesha. Tolong jangan terlalu males melihat situasi di sekitar kamu. Kakak kamu udah mau lamaran, tapi kamu masih belum tahu? Padahal ...." Mama mulai mengeluarkan ceramah no jutsu yang membuat Lisa merengut. Memang, Lisa pernah mendengar kalau kakaknya, Airine, akan dijodohkan. Namun, dia tidak tahu secara pasti kapan hal itu terjadi. Salahkan Mama yang membuat hal ini seakan tabu untuk Lisa. "Kan Mama gak ada ngasih bocoran kapan lamarannya," elak Lisa tak mau disalahkan. "Trus pagi tadi kenapa gak baca note di atas kulkah?" "Lisa gak pernah buka kulkas pagi-pagi. Emangnya Kak Airine yang cari segala hal biar sarapannya empat sehat lima sempurna," jawab Lisa yang membuat Mama mendesah. "Ya udah, ayo ganti baju." Mama akhirnya berhenti untuk berdebat. Ya, karena Mama tahu bahwa berdebat dengan Lisa akan menjadi debat yang tak berujung. Selain itu, juga memiliki durasi yang sangat lama. "Ma, ngapain buka lemari sih?" Lisa yang baru saja sampai di depan kamarnya melongo. Lemari tempat bajunya sudah berantakan. Beberapa gaun yang terbilang sopan, sudah berserakan di atas kasur. "Gamis yang Mama belikan setiap Mama belanja mana?" Tanpa mempedulikan pertanyaan Lisa, Mama balik bertanya. "Gamis?" "Iya, gamis. Mama selalu beliin kamu satu gamis setiap belanja bulanan. Kamu satu, Airine satu. Ini kok gak ada sama sekali." Mama mulai menoleh. Pandangannya menyelidik. Seakan tahu bahwa ada yang salah dengan baju-baju islami anak gadisnya itu. "Oh gamis itu, sebagian udah Lisa sumbangin. Sebagian ada di situ," ucap Lisa lirih sambil menunjuk koper berwarna hijau di dalam lemari. "Disumbangin?" "Iya, Papa 'kan ngajarin kita buat berbagi. Dan kemarin kampus ngadain bakti sosial, ya udah, Lisa sumbangin aja yang gak pernah Lisa pakai." "Ya ampun, Ayesha!" teriak Mama nyaring. Muka Mama sudah merah padam, Lisa hanya bisa mundur beberapa langkah. Menghindari sesuatu yang mungkin akan melayang ke pipinya. "Sudah, Bu. Jangan marah. Bapak sudah ngasih tahu bahwa keluarga harus turun semua." Bi Ijah datang menyelamatkan semuanya. Lisa tidak harus mendapatkan tamparan atau semacamnya. Mama juga jadi sibuk membongkar koper. Memilih gamis yang menurutnya sesuai. Atau tepatnya, lebih sederhana daripada punya Airine. Ya, karena pilihan Mama jatuh pada gamis berwarna cokelat pastel dengan sedikit renda di tangan. Sangat sederhana. "Ma, kenapa gak yang biru aja?" "Kamu itu tahu apa soal kesopanan? Ke mana-mana aja pake celana ngetat begini, gak usah protes," ucap Mama seraya mencari tissue basah. Wanita tua itu menghapus make-up Lisa yang sebenarnya natural. Tidak menor berlebihan. Namun tetap saja, Mama akan mengomentarinya sebagai wanita jahiliyah. "Mama sudah pernah bilang berhenti menggunakan riasan seperti ini. Tidak bisakah kamu seperti Airine? Dan jangan buat Mama ke neraka cuma karena kelakuan kamu." Oke, Lisa hanya bisa menghela napas. Tidak lagi membuka suara sampai Mama selesai menghapus riasannya. Dia juga memakai gamisnya dalam diam. Pasrah ketika sebuah kain panjang dililitkan ke kepalanya. "Lihat, kamu pake jilbab begini tuh cantik. Gak usah pakai-pakai baju ketat kayak tadi. Kamu mau jadi p*****r?" Oke, stop. Lisa sudah tidak bisa mendengarnya lagi. Setiap dia diam, Mama akan semakin berbicara menyakitkan. Hal yang dia lakukan hanya berbalik untuk keluar. Bodoh amat dengan teriakan Mama yang menyuruhnya untuk menggunakan bedak tipis. Sama aja menggunakan riasan, bukan? *** "Kamu kenapa, Dek?" Airine yang melihat Lisa duduk dengan cemberut akhirnya memutuskan untuk bertanya. Namun, Lisa sepertinya enggan untuk menjawab. Karena Lisa tahu, ketika dia akan berkeluh-kesah, hanya akan ada ceramah no jutsu episode kedua. Cukup Lisa sakit hati dengan ucapan sang Mama. "Kenapa? Mama marah lagi?" "Enggak, diem aja deh. Noh acara lamarannya udah dimulai," ucap Lisa sambil menunjuk ke arah ruang tamu. Ya, saat ini, Lisa hanya duduk di ruang tengah, ruangan yang tidak jauh dari lokasi lamaran saat ini. Hal ini dilakukan karena Airine tidak mau duduk di antara lelaki yang bukan muhrim. Padahal di sana ada Papa dan Mama. Juga ada Eyang Kakung dan Eyang Putri yang datang dari Bandung. "Oke, jadi sepakat bahwa akadnya enam bulan lagi. Soal persiapam akad dan resepsinya bisa kita atur setelah ini. Airine tinggal bilang apa yang dia mau untuk tema pernikahannya," ucap seorang pria setengah baya yang menggunakan baju batik berwarna cokelat. "Baik kalau begitu, Gun. Akhirnya janji kita puluhan tahun yang lalu terwujud." Lisa termenung saat mendengar ucapan papanya. Apa-apaan dua orang setengah baya itu, buat janji kenapa gak bisa dinalar seperti ini. Janji perjodohan, ya kalau lelaki itu gak suka main tangan, kalau dia suka main kekerasan? "Kak, elu serius mau dijodohin gini?" Lisa akhirnya membuka suara. Penasaran dengan tanggapan kakaknya yang paling sholehah itu. "Pilihan orangtua adalah yang terbaik, Dek." Mendengar jawaban itu, Lisa hanya bisa menghela napas. Sudah tertebak apa yang akan keluar dari bibir tanpa lipstick itu. "Udah sholat juga? Udah minta petunjuk?" tanya Lisa lagi. "Udah, tapi belum ada jawabannya." "Kalau belum kenapa setuju?" "Ya, seperti yang Kakak bilang tadi, pilihan orangtua adalah yang terbaik." Lisa hanya menggeleng pelan. Semoga memang seperti apa yang Airine ucapkan. Lagipula, sepertinya gak mungkin orangtua mereka menjerumuskan Airine ke dalam masalah. Yah, Airine adalah anak favorit mereka. Jadi, sudah dipastikan bahwa calonnya ini pasti mempunyai nilai plus-plus. "Katanya kamu punya satu anak lagi, Tih? Ah, sayang banget anak lelaki kita cuma si Satrya ini. Coba kalau ada lagi." Suara seorang wanita membuat Lisa mengalihkan pandangannya. Matanya yang tadi fokus pada layar ponsel, sekarang menatap ke arah ruang tamu. Ruang di mana semua orang berkumpul. "Ya, ada satu lagi. Namanya Ayesha. Baru berumur sembilan belas. Masih manja," jawab Mama sambil tertawa. "Ah, anak perempuan memang seperti itu. Anak bungsu kami, Wendy, juga manja sekali. Mereka cuma beda satu tahun," ucap wanita berbaju gamis berwarna cokelat tua. "Gak mau dikenalin sama kami anak gadismu satu lagi, Han? Siapa tahu ada pengusaha muda yang cocok?" Papa tertawa. Lelaki berbaju batik biru itu langsung melambaikan tangan. Seakan memberikan kode pada Lisa untuk masuk ke ruang tamu. Jika Lisa bisa memilih, dia ingin tetap di sini. Buat apa maju ke depan jika harus jadi korban perjodohan juga. Namun, lambaian tangan Papa membuatnya berdiri. "Kakak gak ikut?" "Kakak udah tadi." Lisa hanya mengangguk singkat sebelum akhirnya melangkah ke ruang tamu. Matanya dapat menangkap empat orang yang tidak dikenal. Dua orang wanita, satu seumuran mamanya dan satu lagi mungkin berumur sekitar tigapuluh tahun. Selain dua wanita itu, ada juga dua orang lelaki. Mereka kompak menggunakan baju batik berwarna cokelat. "Ayesha, Om." "Ayesha, Tante." Lisa menyalami satu persatu dari tamu itu. Hingga dia sampai pada kursi paling pojok. Di mana duduk seorang lelaki muda dengan tampang yang dingin. Jika dilihat dengan seksama terlihat sangat tampan. Hanya saja, wajahnya yang selalu tanpa senyum benar-benae membuat Lisa merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Apakah ini lelaki yang benar-benar dicarikan Papanya untuk Airine yang notabene adalah anak kesayangannya? "Ayesha, kenapa kamu bengong di situ? Suara Mama yang lumayan keras membuat Lisa kaget. Dia menoleh ke arah Mama yang sepertinya sudah sangat marah. Hanya saja, beliau tidak bisa menunjukkan emosinya karena masih ada tamu di ruangan ini. Jadi, Lisa hanya bisa memberikan cengiran rasa tidak bersalah sambil terus melanjutkan memperkenalkan diri. "Kamu bener-bener yakin sama calon yang ini, Kak?" tanya Lisa. Dia menoleh ke arah Airine untuk mencari jawaban di wajah Kakak Perempuannya itu. Meskipun mereka tidak pernah akur, tapi Lisa tidak ingin Kakaknya menjadi korban politik. "Yakin. Pilihan orang tua enggak mungkin salah. Jadi kita hanya perlu nurut. Allah udah menjamin itu," jawab Airine dengan tenang. Lisa hanya menoleh dengan senyum mencibir. Dia ingin melihat bagaimana pilihan orang tua yang selalu baik ini. Lalu tanpa sadar, Lisa memandang sekali lagi ke arah calon kakak ipar laki-lakinya itu. Dan saat tatapan mata mereka saling bertemu, Lisa sekali lagi merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD