Tanah Sepinang
Tersebutlah sebuah pulau yang subur, makmur di tengah gelombang lautan. Ianya terpencil dari pulau besar, namun masyarakatnya berdaulat, tiada bergantung ke lain tuan. Pulau Sepinang namanya, bernamakan Baginda Raja Syamsir Alam Syah. Orang-orang Sepinang hidup bertani, meneruka lahan untuk ladang, dan berlayar ke tengah lautan. Mereka hidup sederhana, tapi bukannya mereka hidup menghamba selain kepada Tuhan yang satu dan Sri Baginda sang raja. Tiada mereka mengeluh, sebab raja amat bijaksana. Tiada pula mereka hidup meminta-minta, karena pantang bagi mereka. Rakyat Sepinang berwatak keras, namun hidup bersahaja.
Pagi petang mereka bekerja. Pagi kala ufuk timur masih menggeliat, orang-orang ini sudah terjaga sembahyang, berdoa pada Yang Maha Kuasa. Petani sudah memasukkan air ke sawah, nelayan menarik jaring yang telah ditebar, peladang telah memikul cangkul menyusuri pematang. Bahkan kokok jago pun masih lebih lambat dari rakyat sederhana kita ini. Seharian mereka mengucurkan peluh, menantang terik matahari nan menggosongkan punggung demi istri dan anak. Tapi bukan berarti perempuan duduk ongkang-ongkang kaki saja. Tak sedikit para istri yang membantu di sawah, bekerja sepandai kemampuan mereka. Ada juga yang menenun di rumah, di samping mengasuh anak. Semua berirama teratur hingga petang datang.
Begitu petang datang, mereka pulang, cepat-cepat hendak istirahat dan menanak nasi. Hingga azan berkumandang, pintu-pintu rumah dipalang seakan negeri ini tak berumah tak berorang. Semua khusyuk menyembah Tuhan memuji dan mensyukuri hari yang mereka lewati. Begitu setiap hari, namun mereka tetaplah rakyat yang sejahtera yang cintakan rajanya. Adalah ayahanda dari Syamsir Alam Syah, yang memberontak dari penguasa dari pulau besar yang lalim, turut serta membawa keluarga dan rakyatnya ke dalam hidup merdeka. Baginda menimbang-nimbang strategi. Dan kala penguasa pulau besar melemah, mereka memeranginya hingga mampu melepaskan diri, dan berdaulat lagi. Kembali seperti kejayaan nenek moyang mereka tiga ratus tahun lampau.
Adalah Sang Baginda sesungguhnya juga beranak beristri. Sayangnya istrinya wafat saat melahirkan putra bungsunya. Hendak menangisi kepergian kekasih, tapi Syamsir Alam Syah pemimpin yang kuat. Kepergian sang istri tak sekadar pergi, melainkan meninggalkan dua putra gagah elok rupa dan seorang putri yang tak kalah cantiknya. Putri cantik yang ditinggal oleh kepergian bundanya saat berusia dua tahun itu bernama Syahidah, yang begitu serupa rautnya dengan sang ibu.
Tiada cacat cela akan rupa Syahidah. Dia berkulit kuning yang akan memerah kala sinar matahari menciumnya. Senyumnya manis, giginya yang kecil tersusun rapat dan rapi pula. Dia gadis kecil periang sedahulunya, sopan dan santun. Namun sejalan tahun berganti tahun, ia mulai menjadi gadis anggun dan tak suka banyak bicara. Banyaklah orang- orang hendak teringin melihat senyumnya, tapi tidaklah mudah untuk merayu Syahidah. Dengan canda tawa, dengan kelembutan kata, tak mampu menggoyahkannya. Syahidah sangatlah jarang menunjukkan senyum teduhnya itu. Namun bagaimanapun buah durian, biar berduri orang tahu rasanya. Biar bagaimanapun Syahidah tak banyak tertawa, orang tahu kualitas dirinya. Perangainya yang baik budi, membuat banyak lelaki tak hanya berazamkan membuatnya tersenyum, tapi juga berlomba menjadi lelaki terbaik untuk meminangnya.
Selain itu Putri memiliki teman masa mengajinya dulu di masa kecil bernama Tuanku Alif Samudera. Ianya merupakan anak satu- satunya panglima besar Kerajaan Sepinang bernama Gafar Ali. Semenjak kecil, mereka berdua sering bermain bersama, tanpa sengaja sebab kedua orangtuanya mengurusi seluk pemerintahan Sepinang. Manakala Panglima Gafar Ali melapor ataukah mengurus perhubungan kerajaan, mestilah ia bawa anak lelakinya itu. Baginda Syamsir Alam Syah pun bersenang hati mengajak puterinya tercinta itu bermain dengan sang anak panglima. Maklumlah, ayah yang bergelar raja tiada tahu benar dengan permainan anak, karena biasanya ibu yang banyak mengasuh. Apalagi permainan untuk anak perempuan. Maka dari itu dibiarkanlah oleh baginda gadis kecil itu acap berjumpa bermain dengan kawan- kawannya, biar senang pula hati anak itu dan terlupa dengan ketiadaan sosok ibunya.
Tuanku Alif Samudera ialah satu dari beberapa lelaki yang berkeinginan sangat untuk melamar Syahidah. Apa lagi yang kurang? Gagah rupa, berharta, sudah akrab semenjak kecil, keluarga mereka sama tinggi setara pangkat, sanak famili pun tak sedikit yang mendukung. Sekali dua kali Tuanku Alif bertemu Syahidah dan bertemu baginda raja hendak membahas persoalan ini. Tapi Syahidah, semakin bertambah tahun tak hanya bertambah keluasan wawasan dan keanggunannya saja. Pada dirinya pun bertambah pula kehalusan perasaan, kepekaan hati. Tak terdetak sedikitpun hatinya ketika berjumpa dengan Tuanku Alif, dan tidak pula ia merasa mampu menjalin rumah tangga baik dengannya. Namun demikian ini hanya perasaan saja, yang timbul dari kehalusan dan terpujinya diri, serta pengamatan Syahidah. Ia menolak Tuanku Alif. Dan manakala ayahnya sang baginda bertanya, ia tak mampu memberi alasan, karena alasannya tak lebih dari naluri seorang wanita. Ada kiranya tabiat Tuanku Alif tak bersetuju di hatinya.
Dan begitulah, gadis pujaan kita ini kini tengah menghabiskan bacaannya di ruang duduk istana. Dahulu ruang ini ialah ruang duduk ibunya, tempat ibunya menjahit, merenda, melakukan semua hal yang beliau senangi. Tapi kini, kala ibunda terkasih sudah tiada, Syahidah seorang yang memakainya. Gadis berambut hitam pekat itu menunduk, menatapi sekumpulan lembaran- lembaran dari kulit kayu kering yang telah disatukan itu, yang ditulisi huruf kecil- kecil. Sesekali kepalanya diangkat, memahamkan yang ia baca. Kadang alis Syahidah mengerut menerawangkan hal- hal yang teraduk- aduk dalam pikirannya.
“Mengapakah,” gumam Syahidah seorang diri, “Mengapa perihal riwayat mesti dituliskan hingga berhelai- helai? Kenapa pula aku membaca silsilah yang rumit dan pelik ini? Aku sungguh menginginkan bacaan selain urusan keturunan dan kekeluargaan, dan Baginda Ayah pun tak tahu mesti adakan buku darimana.” Kepalanya menggeleng pelan sambil menyusun kembali lembaran kulit kayu itu dengan rapi- rapi.
Dari jauh terdengar langkah pelan kaki bergerak menuju ruang duduk Tuanku Putri. Langkah itu bergerak teratur, tak tergesa- gesa, dan merendah. Tak berapa lama, dari dekat pintu, muncul seorang gadis yang usianya hampir sebaya dengan Tuanku Putri Syahidah. Mungkin ia lebih tua setahun- dua. Dia mengenakan kebaya panjang sederhana, berjalan mendekati Syahidah dengan wajah menunduk dalam kepatuhan.
“Engku Putri,” katanya dengan lembut. “Sudah selesaikah Engku Putri membaca? Ampunkan saya yang mengawasi Engku acapkali, tapi tidakkah Engku ingin istirahat sejenak? Masa membaca Engku sudah lewat.”
“Ya, Nilam. Terima kasih sudah mengingatkanku,” kata Syahidah dengan wajah ramah. “Mestinya tak perlu engkau risaukan jadwal harianku saban hari, kerja engkau sudah terlalu banyak. Aku mampu menjaga diriku sendiri.”
Dayang Nilam menyahut, masih dengan kepala tertunduk. “Tak apa, Engku. Sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab saya untuk menjaga Engku. Ini sudah menjadi tugas yang Sri Baginda berikan kepada saya dan ibu saya sejak dahulunya. Biar saya bantu Engku merapikannya.”
Dayang Nilam perlahan menarik kumpulan lembaran kulit kayu itu lebih dekat ke arahnya, lalu menyusunnya lembaran yang tersisa dengan rapi.
“Kau memang gadis yang bijak, Nilam. Terima kasih,” kata Tuanku Putri Syahidah. Dengan anggun, ia berdiri dari duduknya, lalu berjalan pelan mendekati jendela. “Aku sungguh merasa bosan dengan bacaanku, Nilam. Hari habis tapi yang aku baca itu- itu juga. Sudah aku tamatkan semua yang diberikan Baginda Ayah, walau semua isinya mesti berpasal tentang riwayat kerajaan, keluarga, gelar- gelar yang memusingkan kepala. Apa ini sebab aku belajar menulis dan membaca masa kecil dulu? Untuk membaca perkara betapa hebatnya kerajaan kita kembali lepas dari cengkeraman penguasa Pulau Besar-kah?”
Dayang Nilam hanya tersenyum mendengar celoteh teman eratnya itu. Ia sungguh menyukai Tuanku Putri Syahidah, yang tak pernah anggap dia bagai dayang berkedudukan rendah. Tuanku Putri selalu mengajak Nilam bermain bersama semenjak kecil, dan tiada lelah dan kesalnya mengurusi Tuanku Putri ini. Tak diupah pun ia tak apa. Ia cepat menyelesaikan susunan lembaran itu dan serta merta mengikatnya.
“Janganlah Engku Putri begitu. Kelak ada gunanya juga bagi Engku Putri. Mungkin Engku perlu keluar sesekali, mencari hawa baik dan segar dari istana yang pengap ini. Engku hendak kemana? Izinkan saya antar Engku bepergian.”
Syahidah merenung sejenak, mengetukkan jemari halusnya ke dinding. “Aku ingin berjalan ke sembarang tempat yang aku lihat saja, Nilam. Kemana hatiku menarik, aku pergi ke situ. Mungkin engkau akan berjalan panjang bersamaku, Nilam. Tak apakah untukmu? Entah- entah aku berputar- putar saja tak ada tujuan, sedangkan engkau punya banyak lagi pekerjaan.”
Dayang Nilam menunduk sedikit. “Marilah Engku Putri, selagi hari belum masuk malam dan syafak belum turun.”
“Ya, baik kita bergegas, Nilam.”
Kedua gadis sebaya ini melangkah dari ruang duduk istana dan berjalan anggun keluar. Semua pelayan dan hamba istana menunduk dalam, sampai Tuanku Putri Syahidah dan dayangnya berlalu.
“Aku hendak ke pasar dulu, Nilam,” kata Syahidah.
“Baik, Engku.”
Keduanya berjalan bersama menuju pasar. Pasar memang ada sampai sore hari di Pulau Seperca, sebab ianya dekat sekali dengan dermaga kapal. Setiap hari bersilih- ganti pedagang masuk dan keluar membawa barang baru dan menjual benda lain. Sinar kuning yang menyemburat di awan tak menyusahkan mereka, sebab mereka benar- benar pulang ke rumah saat maghrib menjelang.
Pandangan Syahidah tak lepas dari banyaknya barang yang baru saja diangkut pedagang masuk ke pasar. Kain tenun, kain sutra, dan permadani- permadani indah tampak dalam gulungan- gulungan besar dalam kereta yang ditarik kuda dan kerbau. Kapas yang diangkut dalam buntalan besar tampak begitu besar dari kejauhan. Selintas wangi parfum tercium dari beberapa orang yang berselisih jalan dengan Tuanku Putri. Tak cuma barang- barang berharga tinggi, barang sehari- hari pun masih diperjualbelikan, masih banyak peminatnya menjelang petang ini.
“Ingatkan aku, Nilam, apa sekarang hari pasar?”
Nilam mengangguk. “Ya, Engku. Sekarang memang hari pasar.”
Wajah tertarik Syahidah tampak bertambah lagi rasa tertariknya. “Aku rasa lebih menyenangkan kalau kita main sejenak ke dermaga, Nilam? Mesti banyak kapal- kapal asing dan pedagang luar singgah ke sini.”
“Benar, Engku, pencalang- pencalang memang banyak waktu petang begini. Akankah Engku ingin melihatnya? Engku Putri bisa melihat langsung barang dibongkar dan dimuat.”
Syahidah tersenyum tenang. “Ayo, Nilam. Mari kita ke sana.”