Lepas rapat itu, tiadalah wajah Tuanku Aminuddin tampak senang ataupun bermuram durja. Tidak pula Aminuddin tampak marah tatkala anjurannya ditolak mentah- mentah di rapat tadi. Penjelasan panjang nan disampaikan oleh Baginda Raja Asyfan seakan tiada berpengaruh baginya, seolah ia sudah memiliki ketetapan hati jauh sebelum itu. Ia sebagai sudah bersiasat mengenai sesuatu, hingga begitu rapat usai, lekas- lekas Tuanku Aminuddin menemui pejabat bawahnya di dekat dermaga.
Ia cari kepala dermaga yang juga pengaturan barang keluar- masuk, kemudian ia ajak bercakap.
“Aku ingin engkau menaikkan kembali pembayaran biaya masuk untuk barang- barang dagang khas negeri Sepinang,” katanya. “Engkau kembalikan saja ke harga ia semula, tak perlu engkau naikkan lebih tinggi dari itu.”
Rasa terkejut membayangi wajah kepala dermaga itu. Ia mengangkat kepalanya dengan bingung. “Maafkan saya sebelumnya, Tuan. Akan tetapi, tidakkah dulu Baginda Raja sudah mengumumkan bahwa kita akan mengurangkan biaya masuknya? Sebab saya ingat kala itu Baginda Raja juga memberi pengumuman kepada kami semua agar—“
Serta- merta alis Tuanku Aminuddin naik sedikit. “Apakah engkau ingin mengajariku? Apakah engkau lebih bijak dan pandai dariku?”
Kepala dermaga itu menggeleng takut. “Tidak, Tuanku. Hanya saja saya bingung dengan keputusan mendadak ini, sebab Baginda Raja tidak memberitahu kami semua sama sekali tentang perubahan keputusan ini.”
“Engkau memang takkan tahu, sebab Baginda hanya menyampaikan di rapat balai utama istana tadi, he? Sebab itulah aku menjadi penyambung rantai kata Baginda, agar kau tak teledor berbuat.”
Kepala dermaga itu diam sejenak, lalu memberi hormat. “Bila memang demikian, saya akan melaksanakannya, Tuanku. Namun ini akan perlu waktu agak panjang kiranya, sebab aturan baru tentang pengurangan biaya masuk pun berlaku baru beberapa pekan, jadi dapatkah kita tunggu hingga sebulan penuh sampai ia dikembalikan pada aturan lama lagi?”
“Tidak,” tegas Tuanku Aminuddin. “Kau harus melakukannya sekarang. Lagipun, lebih cepat, lebih baik –agar para pedagang tidak terlena dengan biaya ringan itu lagi.”
“Baik, Tuanku,” sahut kepala dermaga itu seraya menunduk. Aminuddin pun menjauh pergi.
***
Kepala dermaga itu tampak mengepalkan tangannya hingga buku- buku jarinya memutih. Ia sandarkan kedua telapak tangannya pada watas dermaga, sedang matanya memandang laut lepas yang jauh. Ia benar- benar bingung dengan apa yang hendak ia perbuat, apalagi berkait dengan perintah Tuanku Aminuddin yang baru sahaja ia dapat.
Ia tak pernah selama ini melanggar perkataan beliau selaku menteri. Segala apa yang beliau perintahkan, selalu ia perbuat walau terkadang tak sejalan dengan hati nuraninya. Sudah berpuluh tahun ia menjabat sebagai kepala dermaga, selama itu pulalah hatinya terus saja berontak –ingin terlepas dari kekarut- marutan dan kezaliman yang diperbuat Tuanku Aminuddin. Tidak, bukannya menteri itu berbuat kasar atau semena- mena padanya, tapi laku buruknya yang serakah lagi tamak dengan harta dan kekayaanlah yang membuat kepala dermaga tak bersetuju dengan beliau. Sejak dahulu hingga titah Raja datang beberapa pekan lalu, Tuanku Aminuddin selalu meletakkan dasar harga yang besar untuk biaya barang masuk. Hampir semuanya beliau raup ke kantong baju sendiri –dan kepala dermaga hanya dapat memberikan kantong berisi logam- logam itu dan menyaksikan semua keserakahan berlaku di hadap matanya. Ada masanya Tuanku Aminuddin memberinya sekantong- dua, agar ia dapat menutup mulut. Anak istri, beserta keluarga besarnya pun acap benar dikirimi berbagai hadiah dan bahan makanan langsung dari rumah beliau. Tak terkira ada senang hati kepala dermaga tatkala itu, di waktu ia masih muda belia dan maruk harta –tiada menimbang benar dan salah asalkan ia dapat kaya.
Namun seiring tahun demi tahun berjalan, keinsyafan mulai menghinggapi hatinya –bahwasanya semua yang ia lakukan itu tiadalah benar. Mulailah kepala dermaga menyimpan sebagian biaya yang dibayarkan pedagang asing –agar logam- logam itu tak diambil Tuanku Aminuddin dan digunakan untuk perutnya sendiri. Ia terima kekesalan dan kemarahan Tuanku Aminnuddin yang mendapat bagian lebih sedikit dari dulu, namun tak sedikit pun niat kepala dermaga itu surut. Ia surukkan dalam kantungnya sendiri di dalam kotak peti yang ia sendiri mengetahuinya. Bertambah hari, semakin berlungguklah emas- emas di sana, bahkan hingga kini pun kotak itu sudah dapat dikatakan penuh. Ia sungguh risau mengenai kepada siapa ia harus mengadu, dan bagaimanakah nasib emas- emas di kotaknya. Tiada ia dapat menitipkan pada seseorang, sebab kekayaan selalu menggiurkan siapapun dan adalah godaan mata dan hati yang busuk. Bila ia buang ke laut, ia pun merasa bersalah sebab semua harta itu semestinya menjadi milik kerajaan –yang akan digunakan jua untuk kesejahteraan negeri Seperca.
Saat titah Raja datang untuk mengurangkan biaya masuk barang dari Sepinang, lega benar hati kepala dermaga itu, sebab ia tak perlu lagi menyurukkan sebagian emas sebagai dahulu. Raja juga menambah pekerja yang melayani di bawahnya, sehingga berkurangnya biaya masuk itu terawasi dengan baik. Tahu benar kepala dermaga itu, bahwa Tuanku Aminuddin sangat mendongkol akibat keputusan Baginda, namun bukanlah semua itu menjadi penghalang sebab menteri itu belum melakukan langkah apapun yang dapat membuatnya khawatir.
Namun begitu Tuanku Aminuddin menghampirinya hari ini, kepala dermaga sudah berfirasat bahwa masa ia mengadukan semua hal ini sudah tentu tiba. Ia tak ingin lagi menyerong mengikuti tipu daya iblis, dan patuh saja dengan semua perintah menteri itu.
Sudah datang masa baginya untuk menyatakan kebenaran di hadapan semua orang, termasuk di depan mata kepala Baginda Asyfan. Sudah datang pula masa baginya untuk mengakhirkan pekerjaan dan jabatannya kini, yang akan ia serahkan pada orang yang dapat ia percaya.
Namun perut kepala dermaga itu merasa tak enak tatkala ia memikirkan kemungkinan yang akan ia lalui ini. Seakan semua ini berarti pengorbanan yang besar dan berbahaya baginya.
Kepala dermaga kembali memandang laut, memperhatikan buih- buih yang ikut bergulung bersama ombak.
Bila perasaannya benar, waktunya di sini takkan lama lagi.
“Amir!” panggil kepala dermaga itu pada salah seorang pekerja dermaga. Amir –seorang tua yang berkulit liat dan kuat serta coklat sebab menantang terik matahari, datang menghampiri kepala dermaga itu.
“Ya, Tuanku?”
Kepala dermaga menghirup napasnya dalam- dalam. “Engkau telah bekerja bersamaku berpuluh tahun lamanya, semenjak aku dan engkau masih muda lagi. Aku tak pernah meragukan kesetiaan engkau, dan kejujuran hati yang selama ini engkau perlihatkan kepadaku.”
Amir merukuk dengan rendah hati. “Alhamdulillah tiada saya dapat tegak pada keyakinan saya, Tuanku, melainkan karena petunjuk Allah juga. Saya pun teramat senang bekerja dengan Tuanku, sebab Tuanku adalah orang yang pekerja keras dan baik kepada semua orang, tak peduli ia orang rendah atau tinggi.”
“Kalau begitu engkau masih memercayaiku hingga sekarang?”
“Apa maksud, Tuanku? Sungguh saya heran, sebab pertanyaan itu sudah ada jawabannya di wajah saya sejak lama. Kepercayaan saya tak pernah luntur pada Tuanku.”
“Dan dapatkah aku memercayai engkau, sekali saja untuk terakhir kali?” tanya kepala dermaga itu dengan tegas.
Sontak wajah Amir mengerut heran. “Bagaimana maksudnya, Tuanku?” tanyanya. “Terakhir kali itu –apakah Tuanku akan mundur dari jabatan kepala dermaga?”
Kepala dermaga menggeleng. “Aku hanya perlu jawabanmu, Amir. Dapatkah aku mempercayaimu, sekali untuk yang terakhir?”
Amir tampak ragu dengan pertanyaan yang aneh di telinganya ini, namun ia tetap juga mengiyakan.
“Kalau begitu, mendekatlah,” kata kepala dermaga tadi seraya memberi isyarat dengan mengangkat tangan. “Aku hanya akan menyampaikan ini padamu sekali saja. Tiada akan kuulang dan kuubah. Engkau mesti menjalankan semua yang kupinta padamu hingga hal terkecilnya, dan jangan bertanya- tanya mengenai apatah ini. Jangan pula memberitahu siapapun, walau itu keluargamu sendiri ataupun kawan karib. Semua ini hanya terkunci di bibir engkau dan tak boleh lepas sedikitpun. Tetaplah engkau jalankan semua yang kukatakan saat ini padamu, walau nanti tiada aku yang mendukungmu. Jangan pernah ragu, sebab engkau sedang menyelamatkan seluruh isi Seperca. Mengertikah engkau maksudku?”