006. Manik Mata Tegas

2321 Words
     Bergelut pada tabir melingkari sisi gairah juga kemauan akan kebaikan dunianya sangat mustahil untuk di tepis, makna baru meski tak asing baginya ini segenggam musibah indah. Zhachza berkutat pada benda tipis berlayar canggih menguak daftar tagihan obat, abjad yang tertera atas nama Edwin. Bukan tak mampu tapi bagian nominal yang terlihat pasti membuatnya mulai bersinggungan dengan malam dan tubuhnya untuk mencari materi.      Zhachza menampik ponselnya ke atas meja memilih tertarik pada cahaya emas lampu memantul dari pinggiran gelas anggur, juga ekor matanya tak dapat lepas dari pria yang sedari tadi mengemas percakapan melalui sambungan telepon. Rasa bosan mengundang Zhachza pada trik di atas panggung bar pribadi milik David, ia bangkit menyibakkan rok berwarna merah darah lalu berjalan pelan dengan gerak tangan juga kaki terlihat Zhachza begitu mendalami suasana ruangan.      Tubuh memiliki lingkar d**a 90 centimeter itu mulai mengamati bangunan tinggi menembus cahaya bintang, atap dari cermin itu menunjukkan angkasa tengah meneteskan air ke permukaan seakan mengenai wajah, senyum indah dari wajah oval bermata biru itu menengadah siap berpacu dalam hidup menjadi nyonya Divano.      Detik mengurung pada hangat sebuah jemari di pinggang berangsur ke bagian paha, menambah berat hawa panas ketika bibir juga rahang David menyambar suhu di punggung. “Kau cantik,”      Zhachza mengangkat sisi bibirnya, menoleh demi memperjelas bagian sempurna raut David. “Oh ya? Kau tertarik karena itu?”      “Bukan,” David mengurung bongkahan d**a dengan cangkupan telapak tangan. “Yang lain, tapi aku bisa memujimu sepanjang malam. Hase.”      Terpasang merah padam wajah Zhachza mengulum senyuman atas kata yang tak dapat dipahami. “Hanya memu” Bisik David menyisipkan lumatan lembut nan pelan di daun telinga Zhachza.      “Aku hanya diambil dari tempat pembuangan,” Zhachza mengungkap dalam dilema perkataan David tempo hari. “Jika tidak, aku hanya mainan kecil dari orang-orang kaya sepertimu.”      “Cukup Hase! Orang tidak bisa menjadikan manusia lain sebagai barang yang pantas dibuang. Meski dia berasal dari tempat yang tidak sepadan, apa yang dicari? Semua manusia sama, kita berdosa meski caranya berbeda dalam mencari dosa. Jadi tidak perlu sombong seolah menjadi orang paling benar dan suci.” David meneguhkan ucapan Zhachza salah.      Setiap suara itu mengubah cara berpikirnya yang liar, tanpa mengenal sapaan baik dalam setiap liku. “Maaf, aku hanya ingin tidak berada di antara keluargamu karena pertemuan singkat ini. Aku ingin… Kita setidaknya saling mengenal, itu saja.”      “Aku sudah mengenalmu sejak lama Hase, hanya saja kau tidak pernah sadar.” Balas David enggan beranjak dari aroma leher mirip dengan istrinya.      Tak ada yang dapat disangka dengan jawaban di telinga, Zhachza merapatkan sisi wajah pada bisikan David yang selalu mengumbar pada rasa tertentu semenjak pertemuan mereka. Entah pikiran Zhachza dangkal untuk menerima perilaku itu, ia tahu jika David telah mengakui perbuatannya. Tapi itu takkan bisa merenggut apa rasa kagum Zhachza pada pria itu.      Sanjungan tak hanya berada dalam pendengaran tapi belaian lembut itu menduduki kuasa, Zhachza mulai mendesis menangkap sebuah kecupan hanya mengenai bulu halus pada tengkuk. Napas itu teratur menerpa kulit wajah. “Emh…,”      “Untuk melanjutkan ada syarat yang harus dipenuhi sayang!” Ujar David menghujani jilatan di dagu Zhachza.      “Apa?” Tanya Zhachza dengan suara melemah.      Mudah rasanya jemari besar merengkuh bagian pundak terasa lebih kecil dari tingginya itu, David memperoleh kembali perhatian Zhachza saat mereka menuruni panggung, tatapan teduh dari bola mata indah itu sudah pasti David akan memberikan syarat paling mengesankan.      “Berdiri di sini!” David membujuk.      Zhachza yang masih kebingungan atas sikap itu pun hanya mengindahkan, jarinya sibuk berada di d**a David di antara kancing kemeja. “Lalu, apa lagi?”      “Tidak ada, hanya berdiri saja di situ!”      Kemudian David menjauh. Pelan dengan langkah tanpa beranjak dari tataran mata mereka, saling memaut akan pemahaman malam ini. Karena suasana telah sepi, juga ruangan berukuran besar itu milik David setidaknya tak ada yang perlu dirisaukan.      Wujud indah itu masih berdiri mematung managih perintah atau sekedar Zhachza mengamati pria mulai membakar ujung rokok, menyelipkan benda itu ke dalam cerutu. “Jadi maksudnya aku berdiam diri melihatmu santai dengan rokok itu?”      “Ya, kau pintar Haze.” Balas David dengan kepulan asap pertama dari mulutnya.      “Tapi… Bagaimana dengan ini?” Dengan jari tengah Zhachza mencekal pengait pada gaun, meluruhkan serat kain halus membekali tubuhnya dengan keindahan.      David mulai enggan menyesap rasa tembakau di sana, manik matanya liar menanggung beban pada tatapan di depannya. “Kau selalu tahu apa yang aku inginkan, jadi… Sesukamu bergerak Zhachza!”      Bibir penuh bergincu itu memagut pada bagian bawah, menariknya lemah dengan gigitan lembut. Atas jari telunjuk itu bergerak sedikit saja bentuk molek tubuh Zhachza sudah terbebas dari gaun, tangannya bergerak menyapu tiap keringat menetes dari leher bergulir ke bagian d**a, basah terlihat mengkilat di bawah tekanan cahaya lampu.      Kaki terlihat mulus itu berlenggok setiap jengkal langkahnya mendekat, David pun segera membuang rokok di tangan saat ujung kuku itu mendarat di ujung hidung mancungnya, meraba wajah berakhir di dagu.      “Aku bisa mewujudkan semua keinginanmu, Hase.”      “Apapun? Kau yakin?” Tanya Zhachza membungkuk, menukar aroma napas mereka.      “Ya, apapun.”      Masih dengan menggigit bibir bawahnya Zhacha menarik pelan dasi melewati bagian leher kain beludru jas, sedikit lebih dekat kemudian ia menjulurkan lidah mengenai belahan bibir David. Sedikit memberikan lumatan lembut di sana Zhacha menggerayangi bentuk tertutup rapat oleh celana, meraba sampai menyentuh bagian mengeras itu dengan senyum genit.      Apapun. Zhachza akan mengikat ucapan itu dalam setiap ia mengatur napas atas kecupan, sambil jemarinya sibuk melepas pengait celana. Bentuk keras itu mengenai pergelangan tangan, Zhachza pun menangkap hanya untuk mengurung di dalam genggaman, mengulur dengan gerakan memutar, lalu Zhachza berjongkok hanya karena tak sabar menangkap milik David dengan mulut. Melumat, mengulum unsur terlihat membesar. Tak hanya itu, ujung lidah Zhachza mulai melumuri bagian-bagiannya.      “Ugh, yes. Terus sayang!” Rancau David merentangkan kedua tangan pada punggung sofa.      Tak mudah bagi Zhachza harus berdiam tanpa memulai, kini bagian itu mengisi mulutnya hingga penuh, mencabut lagi hanya untuk mengulang aksi. “Seperti ini hm?”      Pancaran sinarnya menggelora hingga batas nikmat itu lagi, mengurung bentuk sudah tertantang akan gairah membekas dalam pikiran, menunjukkan bagaimana kelincahan itu berlaku David menerkam wajah itu dengan kedua tangan, melumat pelan bibir terlihat penuh dengan warnanya yang menawan. Dahaga yang ditawarkan mulai bersenandung dalam penglihatan, mengulas rasanya lagi saat mendapat sentuhan.      Zhachza bangkit sambil melepas bra merah tanpa membuangnya, ia mendekati wajah David hanya untuk mengajukan bentuk penuh bagian tubuhnya. “Eengh…,”      Lenguhan datang tanpa bisa dihindari saat hangat basah lidah itu menghujam, ke kanan juga ke bagian yang lain Zhachza malas melepas pandangan pada pria tengah asyik dengan dadanya. “Yeshhh, ugh… Ujungnya Papa!”      Perintah itu sebuah alasan saat David rakus hingga mulutnya penuh, ujung kemerahan itu menegang sehingga ia dengan mudah menggigit kecil hingga Zhachza menggeliat ditambah geliat tubuhnya yang seksi. Tanpa melupakan telapak tangannya meremas bagian sintal, memilin dengan ibu jari dan telunjuk areola milik istrinya.      Malam telah mengundang rasa paling hebat dalam tindakan, David menarik tubuh itu ke dalam pelukan, mencabut kain sisa di bongkahan b****g seksi itu ke atas paha. Dengan lincah David mengusung belaian di sana, meraba hingga menyusupkan jari tengahnya begitu dalam, mencabut dengan sengaja hingga Zhachza menjerit manja. Berulang kali David memuaskan jari tangannya di dalam milik wanitanya, kemudian bagian paling tidak dapat ditolak itu menerima bentuk yang sudah membara, pelan bahkan mengatur setiap sentuhan David berhasil menghunuskan miliknya.      Suaranya saling menyatu dalam kecupan, David mulai menggerakkan pinggul memompa kadar yang begitu nikmat. Ketajaman miliknya telah mendapat tempat, David pun mulai bangkit dari sofa membawa tubuh itu dengan kedua tangan.      “Sshh…. Engh, Papa…,”      “Hase,” David mulai mengangkat lalu merendahkan bentuk seksi itu menerima miliknya, juga ia berdiri membungkuk sesuai pelampiasan. “Berteriaklah! Jadikan suaramu itu musik percintaan kita!”      Apa perkataan itu tak sulit untuk dilakukan, Zhachza mengerahkan pelukan di tengkuk sambil menoleh, apa yang dilihatnya sungguh keadaan yang paling hebat, rasanya menyelubung ke dalam pikiran dalam desiran darah, nikmat. Tak hanya itu, sesekali Zhachza mengumbar kecupan di bibir David, lidahnya saling melilit dengan erangan yang sepadan.      Malam berterus terang akan surga di dalam bar pribadi, desahan saling menyahut akan gerakan naik kemudian menjerumuskan lagi bentuknya, molek tubuh itu takkan menampik justru merangkum semua gayanya. David mengubah apa yang tengah dinikmati, pelan tangannya membuat rendah Zhachza di atas sofa, kedua kaki mulus itu pun terbuka karena ulah David, lalu ia menyerang dengan lumatan lembut di atasnya. Satu kali, hingga berulang membuat teriakan Zhachza mendasari ruangan.      “Yes, Papa… Terushh, terush…,”      “Hm…,” David menatap mata itu sayu, bibirnya yang merah terbuka karena permainan. “Seperti ini? Nikmat hm?”      Lidah David menari dengan liar di sana, mengulum kemudian menggigit bagian tertata indah. “Ugh, Haze kau sangat cantik.”      “Kecantikanku milikmu, Papa…”      David melumuri bibirnya dengan cairan nikmat dari milik Zhachza, menjilat lalu menyesap semua bagiannya. Teriakan itu akan terus terdengar, David kembali meradang untuk mulai membuahi malam ini dengan kenikmatan. Menit yang terlontar sudah menemukan rasanya, hasil yang paling diinginkan. [...]      Dalam kungkungan malam dua wajah itu masih saja saling tersenyum, terutama Zhachza yang tak dapat mengira keadaan jika ia akan mendapatkan suami tampan juga baik seperti David. Tanpa ingin melepas pelukan, Zhachza menatap tetesan air dari atap gedung sambil menanti pagi juga malam-malam indah yang lain.      Lembut, rambut panjang itu tergerai hingga lengan dan David berkeinginan memutar-mutar ujungnya dengan telunjuk. “Hase, besok aku ingin kau berada di rumah!”      Zhachza mengangkat wajahnya. “Memangnya kenapa? Apa Papa ingin dipuaskan seharian?”      Mendengar ucapan itu David seketika tertawa, ia menyibukkan tangannya menyibak rambut Zhachza. “Kalau itu nanti saja saat kita bulan madu, ini aku hanya ingin mempertemukan kau dengan anakku. Richard.”      “Bukankah kita sudah membicarakan ini?”      “Ya, aku hanya ingin mengingatkan saja. Besok aku menyuruh anak buahku untuk menyeret Richard pulang.” Terang David mengusap rahang berbulunya.      Zhachza yang semula menikmati hangat d**a David kini menyangga dagu nya dengan tangan agar ia lebih mudah menatap David. “Kenapa harus seperti itu? Kenapa Richard mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan?”      “Ayolah Hase, aku sudah mengatakan beberapa kali jika Richard itu anak yang susah diatur. Dia anak nakal!” Nada suara David mulai berubah.      “Benarkah begitu? Aku pikir hanya karena Richard masih muda, jadi wajar jika dia suka nakal dan foya-foya.”      “Bagian itu tentu aku akan menuruti semua keinginannya, apalagi almarhum istriku berpesan agar Richard dijaga dengan baik. Tapi kenyataannya aku… Salah, aku gagal mendidiknya.” David menundukkan kepala, tangannya sibuk mengusap kuku Zhachza.      “Sayang…,” Zhachza mengamati wajah David. “Kau sama sekali tidak salah, pergaulan bisa menjadi racun dan manfaat. Mungkin ini saatnya Richard tahu proses bergaul memang tidak mudah.”      “Umurnya 23 Tahun, mustahil tidak tahu mana salah atau benar!” David bersikeras, sedikit mengulas rasa kecewanya.      “Apa tindak kejahatan seharusnya dilakukan anak kecil? Manusia tahu apa itu salah dan dosa, hanya saja kesenangan yang membuatnya tidak mengerti.” Zhachza berusaha menenangkan pikiran David.      David menarik napas panjang. Ia menarik selimut untuk menutupi bagian yang tidak ingin terlihat, matanya memburu pada tatapan entah ke mana tapi terlintas bagaimana saat dulu Richard adalah anak yang cerdas, selalu menjadi juara.      “Tapi ini memang salahku,” kesekian kalinya David merasa ini adalah kesalahan atasnya. “Dulu aku hanya mengandalkan pengasuh untuk merawat Richard, aku… Sibuk mencari kekayaan.”      Zhachza terdiam akan apa yang terdengar. Hidup dalam kemiskinan sudah menjadi tempat baginya untuk memilih jalan mana yang bisa memainkan keadaan, berada di bawah tekanan batin juga ekonomi telah memperkenalkan Zhachza dengan kesalahan.      “Tidak ada yang salah, saat kita lahir maka takdir juga ikut terlahir bersama kita. Ingatlah! Manusia hanya pandai mencari kesenangan.”      Kedua tangan David mencakup paha Zhachza lalu ia merebahkan sisi wajahnya di sana, pelan ia ingin sejenak tidur di pangkuan istrinya untuk mencoba mengingat masa indah dulu bersama keluarga kecilnya, David tahu ini tidaklah mudah dalam menjaga Richard juga seperti mencintai Zhachza yang dikagumi meski ia telah berperilaku baik. [...]      Hamparan cahaya matahari telah menimpa manik mata biru Zhachza saat melihat ke arah jendela, sambil menunggu David turun ia pun menikmati suasana juga aroma makanan memenuhi ruang makan. Harum, Zhachza merasa senang ketika melihat meja sudah rapi dipenuhi masakan juga buah.      Melihat warna merah pada buah apel, rasanya tangan Zhachza malas menahan juga lidahnya tidak sabar menikmati rasa asam manis di bagian rasa itu, ia pun merampas satu biji demi memuaskan rasanya. Berlanjut Zhachza yang tidak tahan lapar menarik piring berisi udang balado, sambil mencuri pandangan ke segala arah Zhachza mulai mencicip bagian saus di pinggiran, lalu satu kali menarik udang dan memasukkan ke dalam mulut, begitu berulang hingga beberapa kali.      Mendengar langkah sepatu mendekat tentunya Zhachza segera menoleh hanya untuk menyambut David atas sikapnya. Tapi semua itu hanya inisiatif semata karena senyumannya pudar bahkan piring di tangannya terjatuh, Zhachza menggeleng tidak percaya lalu berteriak.      Suaranya sudah pasti membuat beberapa orang termasuk David datang ke ruangan itu, serpihan yang berserakan di lantai jelas menimbulkan pengertian lain saat David melihat putranya berdiri tidak jauh dari Zhachza.      “Sayang, kau tidak apa-apa?” David mencoba memeluk Zhachza. “Hei, kau kenapa? Apa yang dilakukannya hm? Apa dia melukaimu?”      “Sayang?” Richard menegaskan kedua mata coklatnya melihat ke arah Zhachza. “Siapa dia?”      David yang masih tidak mengerti mengapa Zhachza berteriak pun harus mencoba tenang agar Richard tetap tinggal. “Dia… Dia, Ibumu.”      Kekuatan untuk berdiri sebenarnya sudah melampaui batas, Richard memejamkan mata saat mengatur pendengaran atas jawaban itu. Tangannya berusaha kuat untuk tidak menghancurkan benda di sekitar. “Ibuku… Sudah pergi.”      Gelagat itu lain dari pertama tatapan mereka bertemu, Zhachza menahan napas saat rasa percaya ini sulit ditemui karena tak ada arti yang bisa menjelaskan. Pelan Zhachza mengatur napas juga sikapnya, menopang keadaan tak terduga saat ia harus siap berada di bawah tekanan seorang Richard yang selalu mengintai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD