005. Tentang Cappucino

1642 Words
     Satu jam Zhachza menunggu di halte namun bus kota yang akan ia tumpangi rupanya sama sekali tidak terlihat. Hanya taksi yang berlalu lalang menawarkan jasa, namun ia bukan tidak ingin melainkan Zhachza hari ini pergi dari rumah Divano tanpa sepengetahuan David. Ia ingin menemui sahabatnya, Cath. Ucapan Julian kepada Cath sudah mengganggu pikiran Zhachza apalagi tentang kehamilan Cath. Benarkah? Tanya itu selalu berputar-putar di kepala sehingga siang ini paling tepat untuk menemui Cath di kafe yang biasa menjadi persinggahan mereka.      Angin saat itu sangat kencang membuat rambutnya tidak tertata rapi lagi. Sambil membalas chat dari David, Zhachza terus memburu tatapan ke arah selatan jalanan siapa tahu mobil yang ditunggu-tunggu datang tepat waktu. Satu alasan ia buat agar David urung menjemput dan jadwal spa masih sangat lama. Balasnya dalam pesan singkat.      Baru sekitar lima menit setelah Zhachza mulai akan menaiki taksi, bus datang dan tanpa rasa bersalah ia urung namun mengganti dengan uang tip kepada sopir.      Antara setengah berlari dan melompati batas trotoar jalan Zhachza membenarkan tas wanita dan juga cappucino di cup. Lalu ia terburu-buru walau sempat pesimis karena saat di ambang pintu bus mulai berjalan. Ah, benar-benar ini bukan tidak mengenakan karena Zhachza harus berjalan dalam keadaan mobil bus melaju. Pasalnya ia harus memiliki tenaga super untuk berjalan dan mencari tempat duduk yang kosong.      Deretan kursi yang telah terisi itu membuat Zhachza harus rela berhimpitan dengan para penumpang lain, aroma menyengat pada keringat menjadi kadar yang harus diterima. Bus yang memiliki 2 pintu juga pendingin itu rupanya tidak menjamin Zhachza merasa nyaman, kepalanya mulai pening karena udara di dalam tidak mendukung, namun penawaran tempat duduk datang dari seorang laki-laki.      Tanpa pikir panjang Zhachza menerima dan melewati posisi pria di sebelahnya, tapi keadaan memang tak bisa dipercaya karena baru saja ia akan duduk sebuah belaian hinggap di paha. Sialan. Mau atau tidak Zhachza sanggup terhadap perlakuan itu karena berada di tengah-tengah para penumpang yang berdiri itu terlalu mengerikan.      Bus mulai melaju ke arah di mana kafe sudah terlihat, Zhachza harus segera turun tapi lagi-lagi harus mengalami kendala karena kopi di tangan mengenai lengan salah satu penumpang.      “Maaf, aku tidak sengaja. Maaf ya.”      Zhachza segera menarik sapu tangan berada di kantung tas sebelah kiri. “Sekali lagi aku minta maaf, ini…,”      Bagai mendapat malapetaka karena telah membohongi David hari ini, penumpang itu menatap dengan mata itu lagi. Mata mengintai di malam itu, Zhachza pun gagal berhenti ketika bus sudah berada di kafe. Berlari saja tidak akan sanggup karena tangan Zhachza telah dikuasai.      “Hai Nona, bertemu lagi ya.”      Sapaan itu tepat di telinga, bahkan Zhachza dapat mendengar napas tenang Richard. “Mau apa kamu?”      “Kau sedang bertanya hm?” Richard hampir tidak mengerti dengan bahasa yang Zhachza berikan.      “Lalu aku harus apa jika kau tidak paham bahasa Indonesia huh?” Tanya Zhachza sedikit berteriak namun hanya penumpang di sebelahnya saja yang mendengar, tatapan pria itu sama saja membuatnya mual.      “Di pemberhentian kedua nanti, aku ingin kau turun bersamaku.” Richard masih saja menatap dengan maksud tertentu.      Persoalan itu bukan hal yang harus dituruti, Zhachza hampir berteriak tapi benda yang terasa sudah berada di pinggangnya membuat suara itu tebenam lagi. Ujung belati tepat di bagian pinggang itu mulai bergulir ke paha, menyantuni sebuah belaian yang dirasa mencekam bagi Zhachza.      “Kau mau apa?” Akhirnya Zhachza mulai bertanya maksud dan tujuan Richard.      “Aku ingin kau ikut denganku, itu saja. Mudah di jaman sekarang untuk bertahan hidup Nona.” Bisik Richard lagi tepat di leher beraroma teh milih Zhachza.      Kesempatan lain datang saat Richard hanya memperhatikan wajahnya, Zhachza menarik ponsel dari saku jaket namun memang tampaknya ia tidak dapat berkutik karena Richard berhasil merebut benda tipis itu. Pada menit ke 10 bus berhenti di persimpangan, terpaksa Zhachza mengikuti langkah cepat menuruni bus ke sebuah tempat yang tak dikenal.      Area perkampungan kecil di tengah kebun itu membuat Zhachza menolak ketika Richard terus memaksa, sebisa dan sekuat tenaga membebaskan diri dari lengan besar itu mustahil bahkan kini pinggang Zhachza terjerat lengan Richard.      “Kau akan membawaku ke mana?” Bentak Zhachza memukul pipi Richard.      Sentuhan itu lumayan terasa panas. Richard semakin geram hingga mempercepat langkah kemudian menggendong Zhachza hingga di depan sebuah rumah sederhana, gerbang berwarna putih itu terbuka dengan bantuan orang bertubuh besar berseragam.      “Selamat pagi Ruth,” sambut salah seorang di depan teras sambil membakar rokok di mulutnya menyapa dengan nama julukan untuk Richard.      “Apa bosmu ada di dalam?” Tanpa sedikit pun melepaskan Zhachza, ia berjalan santai ke arah pintu.      Ruangan yang tak dapat dipercaya oleh sepasang mata Zhachza, bagian di mana itu merupakan sebuah bartender mewah dipenuhi gemerlap lampu sebuah bar. Rasa takut timbul meski Zhachza sudah terbiasa ditempat seperti itu, ketika pandangan tertuju pada sosok wanita dengan gaun biru di pelukan laki-laki Zhachza tahu betul siapa wanita cantik itu.      “Cath!” Teriak Zhachza berupaya lepas dari cengkraman Richard.      Rupanya tidak ada makna apapun di saat Zhachza benar-benar tahu bahwa itu merupakan sahabatnya. “Cath!”      Gadis berambut menjuntai dengan rona bibir segar itu menoleh, Cath segera mencari tapi tangan keras di sampingnya segera mengemas tubuhnya ke pelukan. Memburu leher juga dadanya tanpa sapaan, gemuruhnya mudah memuncak sehingga Cath mengabaikan teriakan Zhachza.      Sementara itu tenaga Zhachza terkuras hanya untuk Cath. Ia pun terdiam ketika Richard mengurungnya di pelukan di sisi dinding berdekatan dengan pintu. Entah pintu apa yang jelas sangat berisik, Zhachza melihat Richard mulai memberikan kode kepada salah seorang yang duduk di arah seberang, tepat di dekatnya bersanding asbak juga rokok.      Pikiran Zhachza kembali mengatur perlawanan, ia meraih benda terbuat dari kaca itu lalu menyambar kepala Richard. Tapi untuk bebas tetap gagal karena Zhachza berhasil menjadi tawanan 2 orang laki-laki, perlakuannya itu kini membuatnya dibimbing ke suatu tempat.      “Jangan!” Suara Zhachza hampir habis, namun usahanya tak ada yang berhasil. “Lepaskan aku!”      Richard merasa geram karena hari ini ia telah mendapat ganjaran sebuah pukulan di wajah, bahkan kini keningnya meneteskan darah. "Sialan! Wanita itu kuat juga."      Riuh pada nada yang memekakkan telinga sudah Zhachza rasakan, tapi berada di tempat itu lebih menakutkan ketika 2 orang pria itu mendorongnya masuk, di sana Zhachza disambut seorang wanita dengan jas tosca.      “Ini yang kau maksud Ruth?”      Richard tersenyum miring. “Iya, bagaimana menurutmu?”      Wanita berwajah oval itu mengamati Zhachza yang terengah-engah, dengan rambut basah oleh keringat. “Luar biasa, kau sangat pintar. Aku yakin ini harga lelang paling tinggi Ruth, kau akan kaya raya.”      Lelang? Apa maksudnya? Zhachza menatap tak mengerti wajah Richard, seolah menjadi tanda dari keadaan ini ia pun menggeleng lemah. "Jangan, aku mohon!"      “Tidak masalah jika kau tidak ingin cantik,” wanita itu memutar-mutar ujung rambut Zhachza dengan jari telunjuk. “Kami juga tahu kau tidak sabar mendapat Tuan baru bukan?”      “Tuan baru? Apa maksudmu?”      “Ruth tidak memberitahumu bahwa kau akan menjadi ratu orang konglomerat?” Tandas wanita itu memasang mimik licik.      “Ratu?”      Sebentar. Zhachza tahu apa yang dimaksud wanita itu, tapi segera mungkin ia memutar otak. “Ruth tidak pernah bicara apa-apa padaku, dia hanya berkata akan mengajakku jalan-jalan. Dan… Dia sudah berjanji akan membantuku mencari pengasuh bayi.”      “Bayi?” Wanita bermata sayu itu terkejut, ia berpindah pada pandangan ke arah Richard.      “Iya, bayi. Karena aku bekerja dan tidak ada yang mengasuh bayiku baru berumur 2 minggu, aku meminta Ruth membantu mencarinya.” Balas Zhachza lagi mengatur kebohongan.      Sejenak tak ada ucapan apapun dari wanita itu, sampai akhirnya sebuah tanda keluar dan Zhachza terbebas dari tangan pria di sebelahnya. Tak lama wanita itu menatapnya, berpaling memandang wajah Richard dengan raut marah.      “Hei.”      Teriakan Richard tak membawa manfaat apapun. Tapi wanita itu menoleh sambil melemparkan kunci mobil miliknya. Secara tegas menyatakan bahwa apa yang telah direncanakan gagal, Richard pun membuang napas gusar juga merasa sangat kesal.      “Kau pikir, pria mana yang mau dengan wanita yang baru saja melahirkan? Seharusnya kau mencari gadis bodoh!” Ucap Zhachza tepat di belakang Richard.      Richard mengepalkan tangan, ia mendorong Zhachza kembali meratap ke dinding. “Apa yang baru saja kau katakan semua itu palsu ‘kan? Kau… Tidak baru saja melahirkan?”      Senyuman Zhachza menguak kepuasan. “Bukan urusanmu!”      Sungguh, kesabaran Richard telah diuji. Tapi kini ia tidak dapat berbuat penuh kelembutan lagi. “Oh ya, bebas dari sini bukan berarti dariku Nona. Kau…,”      Belum Richard menumbuhkan ancaman baru, tiba-tiba nada pada panggilan di ponselnya berdering. Percuma jika Richard harus berada di tempat itu, ia pun menerima panggilan di mana nama pacarnya tertera. “Aku datang sekarang, tunggu ya!”      Secara kasar Richard menghempaskan tangan Zhachza. “Aku pastikan kita akan bertemu lagi, dan kau… Tidak akan pernah lepas dariku.”      “Aku tunggu, Ruth.” Jawab Zhachza menentang tatapan Richard.      Tanpa basa-basi lagi meski Richard masih ingin memberikan pelajaran berharga kepada Zhachza, tapi keadaan harus berbeda karena kekasihnya baru saja memintanya datang. Segenap perasaan kecewa Richard meninggalkan markas milik orang kaya di Jakarta juga Zhachza yang memiliki sapaan mata indah. [...]      Sebagai pelajaran baru baginya karena telah membuat kesalahan, Zhachza duduk sambil menyeka keringat di kening sambil terus menatap ke rumah itu. Cath. Ia tidak salah karena memang wanita itu merupakan sahabatnya. Tapi untuk apa Cath berada di tempat itu? Bukankah gadis itu tengah hamil? Entah, pikiran Zhachza telah penuh dengan masalah hari ini.      Lamunan Zhachza berkurang saat ponselnya berdering, terlihat nama David terpampang di sana. Zhachza pun langsung menerima panggilan dari suaminya.      “Ke mana saja? Kenapa belum sampai di tempat spa? Aku sudah menunggumu, sayang.”      Suara itu. Kelembutan yang berasal dari David menjadi sandaran pikiran. “Iya maaf, aku baru saja ada urusan. Sekarang aku ke sana, tunggu Papa.”      Dua kali bebas dari cengkeraman Richard merupakan usaha menguras tenaga, kini Zhachza harus menemui David dan kembali pada tugas yang menurutnya terlalu cepat juga tiba-tiba menjadi seorang istri pemilik nama Divano.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD