002. Berlari Kecil Menuju Bahtera

2173 Words
    Redup lampu jalan dan cahaya malam purnama itu seakan merindukan kasih sayang. Gerimis setelah seminggu lamaran datang membawa kemewahan beserta kebimbangan berarti di wajah cantik Zhachza. Seakan hendak melebur ketika memandangi cincin permata biru mempengaruhi pikiran dan keyakinan.     Zhachza duduk di antara beberapa anak tangga bar setelah menyelesaikan pekerjaan malam ini. Segala penat menghampiri seolah ingin menerima kehadiran David di dalam hati, Zhachza merasa lelah dengan keterbatasan hidupnya. Namun Zhachza tidak pernah membayangkan secepat inikah ia akan melepaskan masa lajang? Merelakan kesendirian dan memulai kehidupan baru sepanjang usianya bersama pria semalam yang baru ia kenal?     Cincin batu mulia berkualitas itu Zhachza terima dari tangan Julian. Meski menolak namun perkataan itu masih terngiang ketika David berpuas diri akan keseksian tubuhnya.     --Ini hanya pernikahan sementara, sampai aku benar-benar merubah keadaan. Aku sangat membutuhkanmu Zhachza bersedia lah menikah denganku--     Oh Tuhan! Perkataan macam apa itu? Sementara? Mulut seksi David berujar demikian? Tidak! Zhachza akan gila dengan sentuhan itu, dan akan segera pupus ketika masanya telah hilang.     Sembari mengenakan jaket, Zhachza menatap ruang redup area bar. Mengambil kotak beludru berisi perhiasan mewah dari David.     "Calon istri orang nggak boleh pergi malem-malem." Zhachza menoleh suara lembut seorang wanita.     "Ah. Kenapa mesti takut? Ini nggak terlalu malem. Emangnya kenapa? Kamu mau nganterin aku?" sapaan akrab Cath itu menggeleng dan mengepulkan asap dari mulut bergincu merah.     "Gebetan aku sebentar lagi ke sini. Aku kuatir aja nanti kalau nganterin kamu dia tidur sama cewek lain." tawa itu menghangatkan suasana bersuhu rendah.     "Baiklah," Zhachza menuruni anak tangga menuju tempat duduk Cath. "Aku pergi sendiri deh."     "Emangnya kamu mau ke mana sih?" tanya Cath mendongak menatap Zhachza berjalan sambil melambai.     Tidak ada sahutan! Mulut yang tengah menghiraukan sebatang rokok itu meluapkan pinta kedua.     "Nggak perlu alat kontrasepsi kalau itu David." tawa Cath saat melihat Zhachza mengajukan jari tengahnya.     Mata biru dengan surai panjang berwarna hitam pekat menerangi seluruh bawah temaram itu melangkah sembari meraih ponsel. Zhachza mengirim pesan singkat tertuju untuk nomor kontak bernama 'Mr. David'. Sekedar menunggu waktu agar pesan yang disampaikan itu tertanda telah terkirim, Zhachza menggoyangkan alat bantu komunikasi dengan pergerakan tangan. Signal di musim ini sering terganggu dan semua aktivitas jaringan tidak memadai sementara di Jakarta.     "Aish... Sial! Gini nih kalau punya urusan sama orang sibuk dan penting." Zhachza mengutuk keras dirinya, ia lelah mencoba melakukan panggilan karena semua hasilnya tidak pernah dijawab oleh David.     "Gimana kalau dia juga nggak pernah baca chat aku?" Bodoh! Zhachza menghentakkan kaki untuk menginjak kaleng bekas minuman di bawahnya. Lalu Zhachza menendang dengan satu tendangan bebas.     Niat untuk melakukan hal benar pun harus mendapat imbalan. Zhachza menutup mulutnya ketika limbah anorganik itu mengenai punggung seseorang yang tengah menungging. Zhachza terdiam serta berjingkat agar kelakuannya tidak terdeteksi, dan berusaha mencari jalan kecil di belakangnya. Untuk meloloskan diri dari pria bertubuh besar.     "Hei aku mendapatkannya."     Zhachza terbelalak ketika teriakan keras dari bahasa asing mulut dan tangan besar mencegah langkah, lalu meraih kedua pundak Zhachza dari belakang.     "Lepasin aku!" Zhachza menegang ketika melihat arah pria berpostur tinggi di depan mendatanginya.     "Apa-apaan sih ini?" tanya Zhachza menarik tudung pria yang menjeratnya dari belakang.     "Kau harus bertanggung jawab nona, kau sudah mengganggu aktivitas kami." tutur pria bermata hijau.     Senyum itu terukir dalam penglihatan, Zhachza menginjak satu kaki pria berkepala plontos dengan cepat. Tapi kebebasan untuk sementara dan tidak berjalan mulus telah Zhachza dapatkan, tangan keras dengan lengan besar melingkar di perut telah membawa Zhachza dalam gendongan. Pundak dan punggung pria itu teramat kuat hingga tubuh Zhachza seolah hilang.     "Lepasin aku g****k! Nggak usah macem-macem kalian!" Zhachza memuncak, ia memukul-mukul tempurung kepala pria itu dengan kedua tangan. Namun sial! Ponsel di genggaman Zhachza terlepas.     "Lepasin aku! Kamu udah bikin aku kehilangan hape, k*****t!" rutuk Zhachza tidak mendapat jawaban, ia memandang arah sekitar yang nampak semakin gelap.     Oh God! Ke mana dua orang ini akan membawaku? Berengsek! Batin Zhachza semakin kacau, ia berusaha sekuat tenaga. Memukul serta menendang bagian d**a yang terasa kokoh di alas kakinya. Zhachza memandang geram pria berkepala plontos yang mengekor di belakang, namun tubuh beraroma cedar yang tengah membawanya tak dapat Zhachza perhatikan. Dengan cahaya kecil gang dan pergerakan langkah cepat membuat Zhachza sulit mengenali wajah.     "Hei, mau kamu bawa ke mana aku ini heh? Percuma. Aku pengidap HIV, kamu bakalan nyesel!" Bisik Zhachza yang kini melihat ke arah manik mata berwarna cokelat kehitaman.     "Tidak masalah! Karena aku salah satu penderitanya." ucap pria yang tengah menggendong Zhachza dengan logat bahasa Indonesia yang tidak terlalu kental.     Ah sialan! Zhachza memberontak, melengking dalam kesunyian jalan menuju gang sempit dan mendengar tawa pria di belakangnya sangat menjengkelkan. Zhachza pun menyerah.     "A--aku minta maaf. Aku nggak sengaja, aku mohon bebasin aku!" Zhachza terpaksa mengiba. Sama! Pinta itu hanya sia-sia dan kini Zhachza menatap pagar besi berwarna putih. Berlanjut dengan pintu masuk dengan lampu warna-warni utama sebuah motel. Rintihan dari tetesan air mata Bella tak direstui, ia tersedu saat pria berkepala plontos itu melambai serta mengucapkan beberapa ucapan 'selamat tinggal' dalam bahasa Inggris. Meski beberapa orang berlalu lalang, mereka tak mendengarkan dan hanya peduli dengan beberapa aktivitas malam mereka.     "Aku ini bukan p*****r! Bebasin aku!" Zhachza meraih panel pintu yang telah terbuka, mencoba menghalangi langkah namun pergerakan pria yang kini nampak mengenakan t-shirt berwarna hitam sangatlah gesit.     Raut Zhachza muram, ia berusaha mencari pegangan saat pria bertubuh besar tertawa lepas dan melampiaskan amarah. Melempar tubuh Zhachza di sudut ruangan terdapat sofa kecil kamar.     "Aku sama sekali tidak tertarik dengan tubuh mu itu. Aku hanya ingin membalas kebaikan yang sudah kau lakukan kepadaku barusan." pinta itu memandang dengan tatapan santai. Wajah square nya membuat Zhachza hanya bisa berkedip. Apalagi suara bass dari bahasa asing pria tampan di depannya terlalu memikat.     "Kita cuma akan bermain-main sebentar Nona!" imbuh pria yang sepertinya masih sangat muda di bandingkan Zhachza.     "Semua itu karena aku tidak sengaja." jawab Zhachza dengan bahasa asing, ia meringkus kedua kakinya dalam lingkaran kedua tangan. Zhachza takut karena wajah tampan itu memiliki maksud yang terselubung.     "Ada beberapa hal di dunia ini terjadi karena tidak sengaja, termasuk uji coba ku ini."     Pria berusia dua puluh tiga tahun memiliki nama besar Richard Marx Divano itu melangkah untuk meraih gelas berisi minuman keras. Menenggak segera dengan kecapan lidah.     "Uji coba? Perdagangan manusia? Kau ini pembunuh berantai?" Zhachza melempar pandangan ketika Richard membuka kaos tipisnya.     "Bisa di bilang seperti itu! Yang jelas aku suka daging manusia, rasanya sangat nikmat. Terutama bagian..."     "Hentikan! Apa mau mu?" Bentak Zhachza memotong ucapan Richard, karena Zhachza tidak sanggup mendengar lelucon murah itu.     "Woa.... Seperti itu lebih bagus Nona." Richard berjalan lebih dekat, ia menarik tangan Zhachza.     "Hei, apa yang kau lakukan?" Sungguh! Tenaga dan cengkeraman tangan itu mempunyai kualitas. Zhachza tak berkutik ketika merasakan sakit di pergelangan tangan.     Richard tersenyum kecil, memandang sekilas wajah cantik yang seketika membuatnya berdebat dengan naluri.     "Lihatlah betapa mengasyikkannya kegiatan itu!" Richard menunjukkan adanya dua aktivitas fisik sejenis di sisi kamar lain.     Ruang berukuran 4 meter persegi itu memiliki celah kecil hasil tangan Richard. Ia berusaha melupakan hasrat menyimpang yang di derita, namun gemuruh otaknya selalu menerjang hendak lebih leluasa.     "Buka matamu!" telah hadir menyambangi kelemahan batin, Richard tidak berkedip melihat ke arah paras rupawan bermata biru Zhachza.     Dingin yang semula menyelimuti, kini sumbernya begitu hangat dan menggetarkan seluruh desiran darah menuju sel-sel otaknya. Zhachza merasa sentuhan Richard berubah, lemah dan tak lagi menjerat. Zhachza menatap jemari yang merayap di pinggangnya, namun rasa untuk tetap tinggal tidak mungkin Zhachza pertahankan. Sejenak Zhachza berdiam diri ketika Richard meraba untuk menaikkan baju hangat Zhachza, ia pun berbalik arah hanya untuk menghantam sisi wajah Richard. Mendorong kemudian Bella berlari menuju pintu keluar.     "Berengsek!" Richard mengusap sisi bibirnya, cairan merah di punggung tangannya membuat ia murka.     "Sialan kau jalang!" sadar bahwa tawanannya telah hilang, Richard menyambar kaos serta kunci mobil.     Zhachza tidak dapat menahan ketakutannya kali ini, ia berlari di antara jalanan sepi yang sepertinya pangkalan pelacuran dan jenis manusia binal lainnya. Zhachza berlari sampai menyusuri gang kecil dengan lorong terpenuhi genangan air, bercak pun terlihat ketika jejak sepatu Zhachza melangkah.     Sedikit berusaha mencari pegangan ketika kaki hampir tergelincir, Zhachza melenguh keras saat jemarinya terserang tali berbahan dari logam. Namun goresan dengan darah baru itu tidak pernah Zhachza pedulikan, ia terus berlari dan membalut lukanya dengan mafela.     "Tolong!"     Zhachza mulai berteriak ketika klakson mobil sport mewah Richard mengundang bahaya, ia hampir terjatuh namun segera melepas alas kaki yang terasa mengganggu.     "Siapapun tolong aku!" teriak Zhachza kedua kalinya.     Sinar lampu sen mengenai tubuh Zhachza di bawah guyuran air hujan serta alam yang menggelap. Sedetik hingga rasa cemas terpenuhi kebekuan Zhachza mendapat kesempatan, ia melambaikan tangan ke arah cahaya lampu mobil yang tengah berhenti dari kejauhan.     Tidak menyia-nyiakan peluang kali ini, Zhachza berlari dengan wajah terpenuhi keringat dingin, jaket yang hampir lepas dari kehalusan kulitnya memburu perlindungan.     "TOLONG AKU!" Zhachza hampir tidak dapat bernapas ketika mobil berwarna perak hendak pergi darinya.     Segera setelah langkahnya semakin cepat dan mendekati badan mobil, Zhachza mengetuk dengan terus menatap arah mobil Richard.     "Help me, they are people who want to kill me." Zhachza asal bicara dengan bahasa asing karena terengah, ia tak dapat berdiri ketika pintu mobil terbuka.     Malam yang penuh penderitaan hari ini belum usai ketika Zhachza masih memandang bahwa Richard tersenyum manis. Zhachza pun ingin berlari dari tempatnya berdiri di samping mobil mewah.     "Zhachza?"     Panggilan itu tidak asing, pelan dan parau. Zhachza mendongakkan kepala, ia hampir musnah jika raut itu tak ada saat ini.     "David."     Zhachza meraih tubuh besar dalam balutan mantel hitam pekat, tangan dan punggung kokoh itu mendekap Zhachza erat.     "Ada apa sayang? Kenapa kau harus berlari seperti itu? Siapa yang..."     Zhachza menggeleng lemah, ia membenamkan wajahnya pada lekukan leher David dan membuat gaya maskulin itu terpaku enggan berkata kemudian. [...]     Zhachza menoleh ke sepenjuru arah, ia masih terisak meski David telah berada di sampingnya.     "Sekarang katakan apa yang terjadi?" David mengusap lembut wajah cantik Zhachza, air mata dan keringat itu membuatnya iba.     "Aku... Tidak tahu," Zhachza menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Aku tidak tahu David."     "Ya sudah, kau aman sekarang," David melepaskan baju hangat Bella yang telah basah dan kehilangan warna cerahnya oleh air hujan. "Lihat! Tidak ada siapapun, dan sekarang kita berada di depan rumahku."     Zhachza hanya melirik sekilas, ia menolak untuk singgah ke rumah David.     "Kenapa?" tanya David melepas mantelnya untuk menutupi tubuh Zhachza.     "Aku..."     s**t! Tetiba raut Zhachza merubah dan gagal menyelesaikan ucapannya, ia merampas kain tebal yang baru terlepas dari tangan David. Mencari sesuatu di dalam saku jaket.     "Aduh di mana sih?" Zhachza nampak gugup dan terus meneliti tiap kantung baju hangatnya.     "Kau mencari ini?" David membuka tudung berwarna merah, memperlihatkan blue diamond menyerupai mata Zhachza.     "I--itu... Em..." suara Zhachza terdengar bimbang, ia hanya mengerjap dan mengangguk.     David melihat sorot mata penuh keraguan, ia menarik napas dalam-dalam dan menutup tudung kotak cincin.     "Aku memang terlihat aneh dan mengganggu. Tapi," David menyandarkan punggungnya di jok mobil. "Sudah lama aku memperhatikan mu, semenjak kau terpaksa berurusan dengan Julian. Saat itu aku ingin membawamu keluar dari tempat maksiat itu."     Zhachza menundukkan kepala, ia tidak pernah berhenti memikirkan ucapan dan tindakan malam ini. Dibubuhi pengakuan David yang terbilang manis.     "Selama ini aku hidup dengan cara yang sulit, mengenai kondisi anakku..." David tidak mampu meneruskan kata-katanya, ia memejamkan mata.     "Sudahlah, lupakan! Aku tidak bisa memaksamu untuk menikah denganku, lagipula ini terlihat mencurigakan bukan?" sesal David tak sanggup menatap wajah cantik Zhachza.     Kondisi ini teramat sulit, lebih memberatkan ketika Zhachza memulai dengan pekerjaan terbarunya saat ini. Ia sama sekali menginginkan ketenangan dalam hidup, membangun semua memori yang selalu mengingatkan akan hidup yang teramat pedih. Ya, hidup dalam dunia yang hancur dengan perlakuan tudak adil di dalam hak-hak asasi.     "Maafkan aku Zhachza, tapi aku ingin kau mengenakan cincin ini sebagai hadiah dariku." David memohon, ia meminta agar jemari Zhachza terangkat.     Entah hari-hari yang selalu menyudutkan dirinya kini telah berujung pada kebebasan, Zhachza menggeleng cepat dan tersenyum.     "Hadiah untuk pernikahan kita?" Zhachza menunjukkan gigi kecilnya, ia merasa tidak sanggup menopang beban pikiran sendiri. Pria berusia lima puluh lima tahun itu teramat berat untuk Zhachza sakiti.     Pernyataan itu seolah harapan bagi David, wajah yang baru satu bulan ia temui mampu membuat kenangan bersama almarhum istrinya terulang kembali.     "Thank you my Zhachza." David meraih tubuh ramping itu keatas pangkuannya, membelai tiap helai rambut panjang yang memabukkan.     Zhachza menggigit kecil bibirnya, ia tersenyum manis sembari menerpa wajah tampan calon suaminya dalam dekapan hangat dadanya. Meski hampa dan tak mengerti artinya, Zhachza menginginkan suatu tempat yang paling baik dan sempurna untuk tetap berada di dalam dekapan pria pelindungnya.     Semua ekstasi itu telah terbangun sejak pertama kali menyentuhnya, hampir gila ketika David menikmati tiap lekukan tubuh Zhachza. Mencecap hingga melumuri semua keseksian itu dengan jilatan, kini David memutar tubuh Zhachza, merebahkan kecantikan itu saat tersenyum mesra.     "My Bride." David menyanjung dengan sentuhan hangatnya, merayap tanpa merusak pikiran Zhachza dengan kecupan manis.     Zhachza tidak sanggup melihat wajah tampan di atasnya menari dengan gemuruh malam ini, ia mulai meremas rambut David saat termanjakan oleh keras dan kuatnya tenaga yang hampir membuat Zhachza tergila-gila. Ia melenguh panjang dengan geliat tubuh yang mempesona, mampu menarik senyuman David dalam hasrat seksinya.     Sentuhan itu, hangat dan terasa basah sangat berani untuk mempercayakan cumbu. Zhachza bermanja-manja dengan senyum dan desahan, meregangkan tubuhnya agar David semakin berwujud.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD