Tiara (2)

1015 Words
"Kau ingin bermain denganku rupanya, rasakan ini, aku tidak akan melepaskanmu." Tiara terus menjambak kuat rambut Sherin sekuat tenanganya. Sherin menangis kesakitan, tubuhnya yang masih terasa lesu karena baru bangun tidur itu tidak bisa melawan perbuatan Tiara yang telah menguncinya. Adrian memeluk tubuh Tiara dari samping sembari menarik tangan kekasihnya yang telah merontokkan beberapa helai rambut gadis malang itu hingga akhirnya benar benar terlepas. "Kau dengarkan dulu penjelasanku, Tiara." Adrian menaikkan volume suaranya. Nafas Tiara terlihat sangat tak beraturan, sorot tajam matanya tak melepaskan pandangan pada Sherin dengan penuh amarah di dalamnya. Gadis malang itu terduduk di tepi kasur sambil menangis dengan kedua tangan yang memegang kepalanya. "Apa salah ku? Kenapa kau kejam sekali? Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa berada di sini. Hiks hiks hiks..." tanya Sherin tertunduk menangis. "Kau, beraninya kau bicara seperti itu. Jangan berpura pura seperti orang bodoh, perempuan murahan." Menunjuk Sherin berniat untuk kembali menghajar Sherin. Adrian yang berdiri di hadapan Tiara dengan cepat menghadang perempuan bar bar itu dengan mata yang penuh amarah. "Cukup Tiara, kau tidak boleh berbuat seperti ini. Semua bukan salah Sherin, aku yang membawanya kemari," bentak Adrian. Mata Tiara beralih pada Adrian, perempuan itu seakan salah mendengar perkataan Adrian yang baru saja di lontarkannya. "Kau gila, Ad. Bisa bisanya kau tidur satu ranjang dengan perempuan jalang ini, apa aku kurang menarik bagimu? Sampai kau memilih perempuan murahan ini," teriak Tiara dengan amarah yang meluap luap. "Tiara, stop. Hentikan ucapanmu itu, jangan mempermalukan dirimu sendiri dengan tingkahmu seperti ini. Aku bahkan tak mengenali kau saat ini," ucap Adrian dengan kepala yang menggeleng tak percaya. Kata kata Tiara sungguh membuat harga diri Sherin hancur. Gadis yang tidak mengerti mengapa dirinya berada di ruangan itu pun beranjak dari kasur dan pergi dari hadapan keduanya dengan langkah yang cepat. "Sher, kau mau kemana. Tunggu Sher." Adrian bersiap untuk mengejar Sherin, tapi Tiara telah terlebih dahulu memeluknya dengan erat hingga membuat Adrian tak bisa berbuat banyak. 'Dimana ini? Kenapa setelah keluar dari kamar itu justru ada ruangan lain. Apa ini kantor? Atau ini ruang kerja?' Batin Sherin bingung. Mata Sherin mengedar keseluruh ruangan, terlihat sebuah pintu lain yang berada di ujung matanya. Tak pikir panjang, Sherin segera membuka tuas pintu dan berjalan keluar. Sherin berjalan sembari mengedarkan matanya, penampilannya yang hanya menggunakan baju tidur menjadi daya tarik bagi beberapa orang yang melihat. Salah seorang perempuan muda lengkap dengan seragam perawat berhenti di depan Sherin. 'Ah sial, ternyata ini rumah sakit tempat Adrian bekerja. Aduh, bodoh sekali kau Sherin.' Batinnya ketika melihat seorang perawat perempuan menghentikan langkahnya. "Nona, bukankah kau gadis yang datang bersama dokter Adrian subuh tadi?" tanya perawat muda itu ramah. Sherin terdiam dengan dahi yang berkerut, bagaimana cara ia bisa sampai di rumah sakit ini pun dia tak tahu. "Oh i-iya benar." Sherin berpura pura mengerti. Perawat itu melihat wajah Sherin yang terlihat memerah serta air mata yang masih membekas di pipinya. Ia berfikir jika calon istri dokter idolanya itu sedang sakit. "Nona, apa kau sakit? Aku akan membawamu ke ruang igd." Lalu menuntun Sherin untuk duduk di kursi roda kosong yang di bawanya. "Aaa ... T-tapi aku ...." "Sabar Nona, kita akan sampai di igd dan aku akan memberimu obat." Perawat itu sedikit tergesa gesa membawa Sherin ke ruang igd. Haaah... Sherin hanya mampu menghela nafas lesu. Percuma saja di jelaskan saat itu, melihat keramahan perawat itu padanya membuat Sherin tak tega untuk menolaknya. 'Ah sudahlah, biarkan saja dia membawaku sesuka hatinya. Nanti setibanya di sana aku akan menjelaskan padanya.' Batin Sherin sembari bertopang dagu. Setibanya di ruang igd, beberapa perawat yang sejak pertama telah mengetahui kehadiran Sherin di rumah sakit tempat mereka bekerja segera berhambur mendekati Sherin yang masih duduk di kursi roda. "Nona, kau bukannya gadis yang di bawa dokter Adrian?" "Benar, benar, itu artinya kau calon istri dokter tampan idola kami." "Kau beruntung sekali, nona. Bisa mendapatkan hati dokter tampan kami yang luar biasa itu." Perawat perawat perempuan itu tak kauh berbeda dari pada pemburu berita yang pernah Sherin temui. Pernyataan baik mengenai Adrian dari para perawat itu membuat Sherin ingin muntah. Bahkan ia dengan sengaja mempraktekkan gerakan ingin muntah dengan tangan yang menutupi mulutnya sembari tertunduk. "Sudah sudah, kalian ini sebenarnya tenanga medis atau wartawan sih?" Tanya Sherin memutar bola matanya malas. Mendengar pertanyaan Sherin beberapa perawat perempuan itu tertunduk malu bahkan ada juga yang terkekeh. "Maaf Nona, kami terlalu antusias saat bisa bertemu secara langsung dengan calon istri dokter tertampan di rumah sakit ini," sahut salah satu perawat. "Nona, apa kau sakit? Kenapa wajahmu merah sekali? Apa kau merasakan panas di bagian wajahmu?" tanya perawat lainnya. 'Bukan wajahku yang panas, tapi hatiku.' Batinnya kesal mengingat perlakuan Tiara padanya. Gadis itu menggeleng pelan dan mengurai senyum di wajahnya hingga membuatnya terlihat sangat cantik walau tanpa riasan make up sedikitpun. "Tidak, tidak... Aku tidak sakit, hanya saja ...." Sherin tak melanjutkan ucapannya. "Apa Nona? Kau kenapa?" tanya perawat perempuan. "Ah tidak, bukan apa apa." Menggelengkan kepalan seraya tersenyum. "Oh iya, apa aku bisa meminjam salah satu ponsel kalian?" tanya Sherin. Keempat perawat perempuan itu secara bersamaan mengeluarkan ponsel masing masing dan segera menyodorkannya pada Sherin hingga membuat Sherin kebingungan melihat ponsel ponsel canggih di hadapannya. "Astaga, kalian ini." Sherin menggelengkan kepalanya. "Satu saja, yang ini." Sherin mengambil ponsel berwarna hitam yang berada tepat di depan wajahnya. Sebenarnya Sherin tidak yakin untuk memasukkan nomor yang akan di hubunginya, tapi mau bagaimana lagi. Hanya itu nomor yang bisa ia hapal karena angkanya yang sangat mudah untuk di ingat. Setelah selesai menghubungi sesorang untuk meminta bantuan, Sherin beristirahat sejenak di kursi tunggu igd sambil menunggu kehadiran seseorang menjemputnya. Seorang pria dengan setelan rapi berjalan mendekati Sherin, langkahnya yang tak teratur menandakan bahwa pria itu tengah tergesa gesa. "Sherin, kau disini." Adrian berdiri di depan Sheri dengan wajah khawatir. Sherin menengadahkan kepalanya untuk melihat sang pemilik suara yang telah menyapanya. Ada rasa khawatir, bersalah dan iba di wajah Adrian. Pria itu berniat untuk mengelus pucuk kepala Sherin sembari mengatakan maaf padanya tapi terhalang oleh tangan pria yang datang dari arah belakangnya. "Sher, kau tidak apa apa?" Pria itu segera duduk di samping Sherin dan merangkulnya erat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD