Part 2. My New Life

3194 Words
Kehidupan yang baru, mungkin terasa begitu mendebarkan, harapan yang baru dengan banyak rencana baru yang harus dia rangkum dengan baik dan akan dia laksanakan satu persatu. "28 dolar, nona" Catherine tersenyum seraya memberikan tiga lembar uang 10 dolar kepada pengemudi taksi itu.  "Terimakasih Mr. Paul." ucapnya melihat wajah pria paruh baya tersebut tersenyum padanya. "Terima kasih kembali…" balas pria paruh baya itu sambil mengembalikan uang sebesar 5 dolar. "Ambil saja kembaliannya." ucap Catherine menolaknya. Namun pria itu mengenggamkan uang itu kedalam telapak tangannya. "Hidup lah dengan baik dan hemat uang mu." "Tapi kembaliannya hanya 2 dolar." "Tidak apa-apa, kau bisa membeli satu cheseeburger dan s**u untuk sarapan besok. Motel ini sangat tidak nyaman untuk kau tinggali dalam jangka waktu panjang. Banyak pandangan yang tidak baik nantinya." "Baiklah, terima kasih Mr. Paul. Aku akan keluar sekarang." "Semoga kau melewati malam ini dalam lindungan Tuhan." "Amin, Tuhan berkati." ucap Catherine seraya menutup pintu mobil tersebut. BLAM! Tak salah ia menilai orang lain, pria paruh baya itu dengan rosario yang melingkar di pegelangan tangannya. Catherine yakin bahwa dia adalah seorang religius yang baik. Mungkin Catherine terlalu polos dan untungnya Sang pencipta mempertemukannya dengan orang baik di langkah pertamanya keluar dari rumah. "Aku harap selalu bertemu dengan orang-orang baik…" Ya, tidak ada salahnya untuk berharap, bukan? - Catherine memasuki motel itu dengan sedikit keraguan, ingin memasang kepercayaan diri setinggi langit tapi saat melihat pasangan yang berciuman disudut lobi penginapan tersebut, nyalinya pun menciut. Juga beberapa pasangan yang saling memberikan sentuhan seduktif membuat Catherine mencelos kesal. Pemandangan yang tak jauh berbeda dengan yang ibunya pertontonkan selama ini.  Mengapa seks menjadi begitu penting dalam kehidupan ini bagi sebagian orang? Hampir semua orang terlihat semakin tak terkendali dengan nafsunya yang seperti binatang, hanya beberapa saja manusia yang hidup dalam kewarasannya dan tidak terkendali oleh nafsu birahi semata. Catherine terkadang merasa takut jikalau harus terlibat dengan pria yang salah terlebih jika harus jatuh cinta lalu ditinggalkan begitu saja seperti ibunya. Dunia ini benar-benar membuatnya merasa sangat takut dan khawatir. "Maaf, ada yang bisa saya bantu?" Catherine tertarik dari lamunannya dan menyadari kini dia berada tepat di depan meja resepsionis motel tersebut. "Eum, bisakah berikan aku sebuah kamar?" "Baik, untuk berapa orang dan berapa hari?" tanya wanita itu membuat Catherine terdiam untuk beberapa saat. "Kamar untukku sendiri dan berapa harga untuk menginap selama seminggu?" tanya Catherine ingin memperhitungkan uangnya. "Untuk satu kamar dengan fasilitas kamar mandi di dalam tanpa sarapan dan makanan ringan, terdapat 2 tipe. Tipe balkon dengan harga 94 dolar per malam." "Berikan aku tipe yang sangat biasa saja." ucap Catherine tersenyum malu. "Apakah kau seorang pendatang, Nona?"  "Tidak, aku hanya dari Downtown." ucap Catherine membuat wanita itu mengangguk mengerti. "Untuk kamar penginapan biasa selama 7 malam anda hanya perlu membayar 470 dolar dengan deposit 500 dolar. Jadi total yang harus anda bayar sebesar 970 dolar. "Apakah harus membayar deposit?" tanya Catherine bimbang mengingat itu sangat mahal. Sedangkan uang tabungannya tak sampai 5.000 dolar. "Deposit akan dikembalikan saat anda chekout tepat waktu, nona." Catherine memberikan tanda pengenalnya dan uang sebesar 970 dolar yang wanita itu pinta, "Terimakasih atas bantuanmu." "Terima kasih juga sudah memilih menginap di penginapan kami, Ms. Swan. Ini kuncinya, pelayan hotel kami akan mengantarkan anda ke kamar 315 di lantai tiga. "Oke, terima kasih kasih." "Maaf nona, biar saya yang membawakan tas anda." Catherine menggeleng sembari tersenyum manis, "Tidak perlu, saya sendiri yang akan membawanya. Terima kasih." "Baiklah mari ikut dengan saya." ucap pelayan itu sopan. Catherine mengikutinya. - Catherine membuang napasnya kasar, malam ini untuk pertama kalinya dia tinggal diluar rumah. Berbekal uang 4.800 dolar dan dia tak tahu akan bertahan berapa lama uang tersebut, bahkan sekarang uangnya hanya tersisa 3.830 dolar. Dia masih bingung apa yang akan dia lakukan keesokan harinya. Mencari sewa flat rumahan yang murah untuk sebulan dan tak tahu akan bertahan berapa lama hidupnya dengan uang yang sangat terbatas ini. Catherine memijat kepalanya, emosi membawanya pergi dari rumah dengan uang yang terbilang sangat minim. Tapi tidak apa-apa, anggap saja dia sekalian belajar tentang bagaimana hidup mandiri. Semuanya akan baik-baik saja asal dia mau berusaha. "Semoga saja aku bisa menemui Max besok." ucap Catherine menatap telepon di meja dekat tempat tidurnya. Dia pun memutuskan untuk menelpon Max malam ini. Tut...tut...tut... "Halo, siapa ini?" "Apakah kau ingin berkencan dengan ku, Mr. Thompson?" Catherine menggigit bibirnya agar tidak tertawa. "Hem?" "Ya?" "Siapa ini, hah?" tanya Max dengan nada sedikit meninggi. "Ini aku, apa kau sudah lupa?" "Cathy? Catherine?!" "Ya, bodoh." "Kenapa ponsel mu tidak aktif? Ibumu baru saja menelepon ku tadi. Dia terdengar sangat mengkhawatirkan mu. Apa yang terjadi? Kenapa kau pergi meninggalkan rumah?" Catherine membuang napasnya kasar, "Bertanya lah satu persatu, Max." "Maaf, aku hanya merasa khawatir." "Maaf juga karena telah membuatmu khawatir." "Jadi kau dimana sekarang?" Max terdengar tidak sabar untuk mengetahui posisinya. "Aku berada di Rosie Motel, ditengah kota." ucap Catherine membuat Max mendesah lega. "Aku tahu Motel itu, bagaimana jika besok aku kesana dan menemanimu mencari apartemen murah tak jauh dari sana?" Catherine mendesah lega, "Aku menyewa kamar untuk seminggu kedepan Max, tapi jika kau menawarkan bantuan aku akan sangat senang. Oh ya, bolehkah aku sekalian menanyakan lowongan di tempat kerja mu?" "Tentu saja boleh, besok aku akan menjemputmu sekalian pergi ke toko tempat ku bekerja. Kita akan pergi mencari apartemen untukmu saat jam istirahat siang. Bagaimana?" "Apa tidak masalah aku berada ditempat kerja mu." "Tidak, kau kan bisa duduk manis dan tidak mengganggu ku bekerja." ucap Max santai membuat Catherine mengangguk setuju. “Baiklah jika begitu Max, aku hanya takut membuat pemilik toko merasa terganggu nantinya.” “Hanya ada pekerja di toko, Cath. Bos kami diruangan nya. Oh ya, kamar mu nomor berapa. Nanti aku akan langsung mengunjungi kamar sekalian membangunkan mu.” Catherine tersenyum malu, “Aku akan belajar bangun tepat waktu darimu, aku berada di kamar 315.” “Okey, note!” "Oh ya Max, tolong jangan bilang dimana aku sekarang berada pada ibuku. Jika bisa anggap saja aku tak pernah menghubungimu." "Sebenarnya apa yang membuatmu pergi dari rumah seperti ini? Bukankah kau mengatakan akan mencari pekerjaan tetap yang jauh dari rumah dan memilih untuk keluar dari rumah mu secara baik-baik?"  tanya Max menuntut penjelasan darinya. Membuang napasnya kasar, "Aku sudah lelah, Max. Kau tahu tadi dia mendapatkan kekerasan dari pelanggannya. Jika aku tak menolongnya, mungkin saja dia sudah mati. Aku ingin dia berhenti bekerja, tapi selalu banyak alasan yang dia buat untuk mengatakan tidak. Aku sungguh sangat lelah dengan keadaan ini.” "Maaf Cath, aku baru saja sampai dirumah dan ayahku sepertinya masih di pelabuhan. Maaf kami tidak berada dirumah saat kejadian. Paling tidak aku bisa membantumu." "Jangan meminta maaf Max. Bukan kesalahan mu ataupun kewajiban mu untuk selalu menjaga kami. Aku hanya ingin kau memastikan bahwa ibuku baik-baik saja mulai sekarang. Aku sudah lelah berada disana bersamanya." ucap Catherine menahan kesedihannya. "Pasti aku akan selalu memperhatikan keadaan ibumu dan selalu mengabarimu." "Terima kasih Max, aku tak tahu sudah berapa banyak aku mengucapkan ini saat bertemu dengan orang-orang. Aku sangat bersyukur masih ada orang-orang baik yang aku temui termasuk dirimu yang selalu baik dan tak pernah berubah padaku." "Cathy, kau pasti lelah, tidurlah…" Catherine tersenyum menganggukkan kepalanya seperti orang bodoh. Max tidak mungkin melihatnya. "Kau juga tidurlah, terima kasih sudah membuat perasaan ku menjadi jauh lebih baik." "Sampai jumpa, besok." "Ya Max. Good night...” PIP! Catherine mendesah lega, meletakkan gagang telepon dan berbaring menatap jauh langit-langit putih kamar motel tersebut. Besok adalah hari pertamanya untuk memulai kehidupan baru, tidak sepenuhnya baru karena dia masih di kota yang sama dengan ibunya, hanya tinggal jauh dari rumahnya. Dan masih bisa bertemu dengan teman-teman yang selalu melihatnya jijik karena pekerjaan ibunya. Suatu saat nanti, dia akan pergi jauh dari kota ini. Ke Los Angeles kota impian nya. Mengadu nasib di tempat dimana orang-orang tidak tahu siapa dirinya dan apa pekerjaan ibunya. Catherine ingin terbang bebas, terbang jauh dan menggapai semua mimpinya. Dia masih muda dan penuh gairah dalam mencoba hal-hal baru tanpa rasa takut gagal, tanpa kenal waktu untuk meragukan dirinya sendiri. Dia percaya, bahwa tak ada hasil yang mampu mengkhianati usahanya. Lantunan lagu Little Bird dari Annie Lenox dengan genre electro pop yang membuatnya merasa lebih rilex, dan dentuman musiknya terkadang selaras dengan debaran dadanya yang tak menentu saat ini. Catherine berteriak dan bernyanyi mengikuti lirik lagu yang sangat cocok dengannya saat ini. Terbang bebas dengan kedua sayap rapuhnya, menguji sejauh mana dia bisa pergi, melihat dunia hingga tahu kapan dia akan terjatuh. Catherine mengingat bagaimana dulu dia berangan akan hari ini saat melihat burung-burung kecil yang beterbangan dilangit biru. Sudah lama sekali dia ingin pergi jauh dari ibunya, tapi tidak dengan air mata dan harus menyusuri jalanan yang gelap. Emosinya tadi, mungkin suatu saat akan dia sesali. Karena ini adalah keputusan yang dia buat disaat usianya yang masih terbilang sangat muda. Tapi saat ini tekadnya sudah sangat bulat, tak ada yang dapat mengubahnya... "Tuhan, aku harap kau selalu menyertai langkah ku dengan kebaikan. Meskipun aku adalah pendosa, meskipun aku adalah anak yang durhaka. Aku harap kau memberikan jalan dan segalanya yang terbaik untukku." Catherine berdoa dengan tangan yang saling mengenggam, mata terpenjam dan detakan jam dinding yang terdengar nyata. Berharap mimpi indah dapat membuatnya bangun dalam keadaan bersemangat di esok hari… === Tak jauh berbeda dengan Catherine yang bimbang memikirkan tentang hari esok, Kateline kini larut dalam penyesalan. Menatap jauh langit-langit kamarnya dengan isi kepala yang dipenuhi oleh Catherine. Putri kecilnya yang cantik dan baik, bahkan tak pernah meminta apapun darinya. Tapi entah sudah berapa banyak luka yang tercipta oleh ulahnya. Catherine tak pernah melakukan kesalahan apapun, putrinya yang berharga hanya meminta satu hal darinya.  Memintanya untuk berhenti, lepas dari pekerjaan hina ini, tapi… Terlalu banyak kata tapi untuk itu. "I'm so sorry, Cathy…" tangis Kateline memeluk bantal gulingnya erat. Kateline merasa gagal menjadi seorang ibu untuk Catherine… === Catherine tersadar tanpa ada suara apapun yang membangunkannya, hatinya yang terlalu bersemangat menunggu hari ini membuatnya bangun lebih cepat. Dia akan mandi dan bersiap sambil menunggu kedatangan Max. Menggelung rambut pirangnya,lalu mengikatnya dengan karet rambut. Catherine melirik cermin yang menangkap bayangan dirinya. “Good morning, Cath! Are you ready for a wonderful day?” tanyanya terkekeh geli sambil berlalu. “Of course, I’m so ready…” BLAM! Bantingan pintu kamar mandi disertai senandung dari suara Catherine yang khas. Gadis itu bernyanyi dengan suara indahnya mengikuti suasana hatinya yang sangat baik pagi ini. Membuka handuk yang membungkus rambut panjangnya, Catherine menunduk dan menggosok nya dengan handuk untuk mengeringkan rambutnya. Hidup tanpa pengering rambut bagai petaka, tapi tak masalah namanya juga memulai segalanya dari nol. Tok.. tok.. tok! "Cath, ini aku!" Catherine pun tersenyum suara Max membuat paginya semakin membaik.  "Wait a minute! I'm coming!" pekik Catherine membukakan pintu untuk Max. Cklek! Krieeet... "Cepat sekali kau datang?" tanya Catherine membuat Max memamerkan barisan giginya tanpa dosa. "Aku hanya ingin cepat bertemu denganmu, Cath. Apakah kau baik-baik saja?" "I'm pretty fine, Max. Apakah kau melihat ibuku pagi ini?" "Yap, dia membawakan kopi dan sarapan untuk ku dan menanyakan kabar mu. Dia terlihat sangat mencemaskan mu Cathy." Catherine mendesah lelah, "Aku hanya ingin memulai hidupku yang baru Max. Aku tahu ini sulit, tapi aku sudah berusia 18 tahun. Jika tidak sekarang, kapan lagi aku memulainya." "Aku akan mendukung mu, Cathy." "Thanks Max." "Aku membawakan s**u coklat dan sandwich untukmu." ucap Max memberikan bungkusan kepada Cathy. "Woaaah, terima kasih! Kau membuatku menghemat uang untuk sarapan." ucap Catherine tersenyum senang.  "Apakah kau melewatkan makan malam mu demi berhemat?" Catherine pun tertawa, "Aku pergi dari rumah lewat tengah malam dalam keadaan perut kenyang Max." "Aku khawatir kau kehabisan uang. Jika kau membutuhkan uang jangan sungkan untuk mengatakannya padaku." "Tabungan ku masih lebih dari cukup. Tenang saja." ucap Catherine sambil menyisir rambut dan membenahi penampilannya. "Aku sudah siap Max, ayo kita pergi!" ucap Catherine bersemangat setelah memakai jaket denim sebagai luaran kaos yang dia kenakan. Saat mereka keluar dari motel, tatapan semua orang membuat keduanya merasa sangat tidak nyaman. Lobi itu memang banyak pasangan satu malam yang berada disana untuk checkout. Tapi mereka bukan bagian dari itu. "Tatapan orang-orang begitu aneh…" ucap Max. "Membuatku benar-benar risih, mereka memandang kita seperti pasangan remaja yang baru saja pulang setelah bermain gila." Max tersenyum sembari mengenggam tangan Catherine, "Aku akan senang jika orang-orang berpikir bahwa aku adalah pria pertama mu." Catherine tersenyum menatap Max, "Kau berkata seolah-olah kau sudah mengerti apa itu cinta." ucapnya menunduk malu. "Jika aku mengatakan aku mencintaimu seperti dulu, apakah kau akan pulang dan menangis?" "Gezz… jangan mengungkit hal itu lagi. Aku sudah melupakannya." Max tersenyum manis melihat wajah Catherine yang memerah malu. Sejak dulu, dia selalu menyukai dan selalu ingin melindungi Catherine. Tapi Catherine seolah memasang tembok pertahanan diri yang kuat darinya. Catherine selalu bilang tak bisa menerima pernyataan cintanya karena persahabatan mereka jauh lebih penting. “Aku akan menunggu sampai kau siap dan melihatku sebagai seorang pria yang menyukaimu.” Catherine tersenyum sembari meninju lengan Max, “Masih begitu pagi untuk mengigau, Max!” “Aku menyukaimu, Max. Karena kau selalu menjadi teman yang baik untukku dan aku tak ingin mengubahnya...” Senyuman Max berubah, tapi tidak apa-apa. Seiring dengan berjalannya waktu pandangan Catherine padanya pasti akan berubah. Seperti dirinya yang selalu menyukai Catherine sejak dulu, suatu saat persaannya pasti akan berbalas. Mungkin saat ini mereka memang masih sama-sama muda, mana tahu lima tahun kedepan. Max sangat optimis dengan perasaan nya untuk Catherine. === “Cath, toko kami sedang tidak membutuhkan lowongan pekerjaan.” ucap Max penuh sesal. Pundak Catherine melesu, “Tidak apa-apa Max, aku akan mencari pekerjaan lain...” “I’m so sorry, Cath.” “Ah mengapa kau harus meminta maaf? Ini bukan salahmu...” ucap Catherine membuat Max tersenyum sedih. “Kau tunggu disini ya, aku akan bekerja. Jam istirahat nanti aku akan membawa mu berkeliling mencari apartemen dengan harga yang cukup terjangkau.” ucap Max membuat Catherine menganggukkan kepalanya. “Apakah temanmu itu seorang pendatang, Max?” tanya wanita berwajah oriental yang berada dibalik meja kasir. Cecilia Hwang. “Tidak, dia tetannga ku. Hanya saja dia ingin mencoba hidup mandiri ditengah kota. Oh ya Cecilia, dia teman ku Catherine Swan, Cathy perkenalkan ini Cecilia Hwang rekan kerja ku.” “Hai Cathy, senang berkenalan denganmu.” “Senang berkenalan juga denganmu, Cecilia.” “Oh ya Max, kebetulan aku tinggal sendirian di apartemen ku. Bagaimana jika Cathy tinggal bersama ku? Kau hanya perlu membayar ku 600 dolar per bulan, apartemen ku cukup luas dan tak jauh dari Time Square. Aku juga bisa memberikan mu pekerjaan jika kau mau.” ucap Cecilia kini menatap Catherine dengan bersahabat. “Pekerjaan apa itu Cecilia?” tanya Max penasaran. “Kau lupa, aku juga menjadi pelayan bar di malam hari.” “Apakah tidak apa-apa Catherine bekerja seperti itu?” “Pekerjaan di tempat hiburan malam tidak selalu buruk Max, kau lihat aku baik-baik saja sejauh ini.” “Tapi” “Aku rasa menjadi pelayan bar juga tidak buruk Max. Aku akan baik-baik saja, bekerja dengan baik dan menghasilkan uang.” “Cath...” “Tenang saja Max. Aku bisa bekerja di bar untuk sementara waktu.” ucap Catherine optimis. “Oh ya, aku mau tinggal bersama mu, Cecilia. Aku akan membayar mu sekarang.” ucap Catherine bersemangat. “Tidak Cath, kau bisa membayar ku setelah merasa nyaman tinggal di apartemen ku.” “Tidak bisa begitu Cecilia.” “Tentu saja bisa. Oh ya, kau bisa pindah ke apartemen ku besok malam. Aku akan menyiapkan kamar untukmu.” “Baiklah besok sore aku akan datang kemari.” ucap Catherine mengakhiri kesepakatan nya dengan Cecilia. Sementara Max merasa bimbang dan khawatir jika Catherine harus bekerja di kelab malam.  “Max karena aku sudah mendapatkan tempat tinggal, aku rasa lebih baik aku kembali ke Motel. Selamat bekerja!” “Catherine!” ucap Max menarik tangan gadis itu. “Ada apa Max?” “Bolehkah aku datang ke tempat mu sore nanti?” “Tentu saja, boleh kita bisa makan malam bersama!” teriak Catherine memeluk tubuh Max dan melambaikan tangannya, berlalu pergi. Max menatap Cecilia dengan helaan napas kasar setelah bosan melihat kepergian Catherine yang kini hilang tertelan taksi. “Bagaimana bisa kau menawarkan temanku bekerja sebagai pelayan bar?” tanya Max sinis. “Max, semua orang melakukan pekerjaan apapun demi mendapatkan uang. Selama aku tidak membuatnya menjual diri atau mengerjakan pekerjaan ilegal lainnya, kau tidak perlu khawatir.” Cecilia menekankan kata-katanya. Max hanya dapat pasrah dan terdiam. Dia akan terus menjaga Catherine semampunya. === Malam harinya di kamar Motel dimana Catherine menginap, Catherine dan Max kembali berdebat tentang pekerjaan yang akan digeluti Catherine. “Max, kau harus mempercayai ku. Aku bisa menjaga diriku sendiri.” Catherine merengek membuat Max tersenyum geli dan menangkup wajahnya. “Tapi kau harus berjanji padaku untuk selalu menjaga diri, okay?” “Tentu saja, kau tahu kan aku selama ini bukan gadis yang lemah. Lagipula pekerjaan ini tidak akan lama, sampai aku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik aku pasti akan meninggalkannya.” Max menatap Catherine cukup lama, “Hmm... Rasanya sesekali ingin mengecup bibir cerewet mu ini...” ucap Max membuat Catherine tertawa dan memukul lengannya. “Dasar bcah nakal!”  Max pun tertawa, “Please berikan first kiss mu untuk ku...” Catherine pun berpikir sejenak dan mendekati Max yang langsung menutup matanya. CUP! “Cium pipimu saja ya, my best friend...” bisik Catherine membuat Max pasrah. “Beberapa tahun kedepan kau pasti akan memanggil ku, my boyfriend.” “Lihat saja nanti...” ucap Catherine membuat Max balas mengecup pipinya. “Catherine, aku sangat menyukai mu sejak lama. Jika nanti, kau membuka hatimu pertama kalinya dan pria itu bukan aku, aku pasti akan sangat kecewa.” “Dan kau akan membenci ku dan menjauh pergi dariku?” tanya Catherine sedih. Max tergagap menggelengkan kepalanya, “Tidak seperti itu Cath...” “Itulah aku tidak pernah ingin ada rasa cinta diantara kita Max, rasa itu dapat merusak persahabatan kita. Kau adalah sahabat ku satu-satunya dan aku tak ingin kehilangan mu...” ucap Catherine memeluk tubuh Max. Mereka saling berpelukan di tengah-tengah ranjang motel tersebut. Hal ini sangat biasa diantara Max dan Catherine. Mereka sudah seperti saudara kandung sejak mereka kecil. “Jangan jadikan perasaan ku padamu sebagai sebuah beban, Cath. Tapi kau bisa perlahan membuka hatimu untukku.” ucap Max berkeras. Catherine memeluk Max semakin erat, “Aku sangat menyayangimu dan aku menyukai hubungan kita yang seperti ini. Bersahabat baik satu sama lain...” “Tidurlah, aku akan pulang sekarang...” ucap Max membuat Catherine menggeleng samar.  “Tidur disini malam ini Max, aku kesepian sendirian disini.” ucap Catherine membuat Max mengangguk setuju. “Besok aku akan menemani mu pindah ke apartemen Cecilia.” “Ya Max...” “Tidurlah...” bisik Max pelan. Membuai Catherine agar segera tertidur dan Max pun turut tertidur bersamanya.  Catherine tersenyum sedih, tidak tahu bagaimana caranya mengubah hati Max. Catherine hanya ingin Max selamanya menjadi sahabat baik untuknya. Karena dia benar-benar tidak bisa mencintai Max lebih dari seorang sahabat. Max adalah sahabat terbaiknya dan itu tak akan pernah sekalipun berubah. Saat ini Catherine hanya ingin fokus pada kehidupan barunya yang baru saja dimulai. Semoga semuanya berjalan dengan baik...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD