Tersangka?

1014 Words
Setelah ketukan palu memvonis Sara dengan hukuman mati. Tangis Sara pecah. Ia sama sekali tidak menyangka statusnya yang semula hanya saksi naik menjadi tersangka. Semua alat bukti di tempat kejadian perkara mengarah kepadanya. Ditambah dengan tidak ada orang lain di pulau tersebut yang menjadi saksi untuk membenarkan kesaksiannya. Belum lagi tidak ada sidik jari di TKP selain sidik jarinya. Sara sudah menyangkal, menentang, marah, bahkan histeris menangis. Namun tidak ada yang percaya. Bahkan pengacara dari lembaga bantuan hukum pun tidak banyak membantu. Seakan pasrah akan apa yang nanti menjadi keputusan Yang Mulia Hakim untuknya. Alasan yang diperkirakan adalah jika Sara menghabisi suaminya karena ingin menguasai seluruh harta milik suaminya senilai milyaran rupiah. Perencanaan pembunuhan dengan skenario perampokan sangat dramatis dan tragis. Namun semua upaya skenario tersebut mampu dibongkar oleh penegak hukum. Sara benar-benar terbukti membunuh suaminya sendiri secara sadis karna sakit hati dan ingin menguasai harta sang suami untuk dirinya sendiri. Air mata Sara pun sudah kering dan tak bersisa. Kini ia duduk di dalam sel penjara yang berisi empat orang narapidana lainnya. Selembar foto pernikahannya dengan Aldo di masa lalu dipandanginya. Tatapan kosong, lelah dan sedih berkumpul menjadi satu. Ia mengenang senyuman, kecupan dan sentuhan hangat Aldo. “Kenapa jadi begini ...,” desis Sara pilu. “Rencana pembunuhan yang ditutupi dengan adanya perampokan pura-pura? Cara seperti itu sudah basi, bodohnya kau! Detektif mampu membongkarnya hanya sekali olah TKP!" sahut Hasna, salah satu teman Sara di dalam sel. Dia sebetulnya peduli pada Sara, tapi lidahnya sangat tajam dan terkesan membenci Sara. Sara masih tidak menanggapi ocehan Hasna. Ia memilih mengabaikan dan segera ke atas ranjang berkasur keras seperti batu yang selalu membuat tubuhnya terbangun dengan rasa linu di sekujur tubuh di pagi hari. “Hei! Kamu mengabaikan aku ketika bicara!” teriak Hasna kesal. Sara memilih memiringkan posisi tidurnya. Ia memunggungi Wati dan tidak ingin membuat masalah dengan meladeninya. Karena kini hidupnya sudah penuh masalah dan kerumitan. Hukuman mati atas kejahatan yang sama sekali tidak dilakukannya hampir saja membuatnya bunuh diri. Namun untung saja imannya masih kuat dan tebal. Sehingga keinginan untuk menyakiti diri sendiri itu segera dibuang jauh-jauh. Kini kehidupan Sara yang seperti neraka telah dimulai. Mendapatkan perlakuan kasar oleh narapidana lainnya yang lebih berkuasa. Sampai terkadang harus makan sehari sekali karena jatah makannya direbut paksa. Sara menjalani hari-harinya dengan lesu. Tidak bersemangat. Tidak ada harapan untuknya sama sekali. Hingga saat ia sudah terlelap. Sekitar pukul dua waktu dini hari, indera pendengaran Sara mendengar suara riuh beberapa orang narapidana berkelahi. Ia pun langsung membuka mata. "Ada apa ini?" tanya Hasna yang sudah lebih dulu bangun. "Sel di sebelah berkelahi," jawab teman narapidana lainnya yang tidur di bawah ranjang Sara. Tiba-tiba salah satu petugas lembaga pemasyarakatan menggedor pintu sel. “Hei kalian semua! Cepat bangun! Ada kebakaran! Narapidana di yang ada di sebelah utara menyulut api! Lalu apinya merambat!” Seketika Sara turun dari ranjangnya yang kebetulan di bagian bawah. Ia langsung membuka pintu sel yang sudah tidak terkunci. “Kebakaran! Kita harus keluar dan berkumpul di lapangan!” seru Hasna dan satu teman dekatnya mendorong Sara yang masih melamun dan berdiri di ambang pintu sel. Sara nyaris tersungkur karena didorong dari belakang. Hasna memegangi lengan Sara ketika ia hampir terjerembab. “Sara, hukumanmu adalah hukuman mati, kamu tidak ada masa depan. Lebih baik kamu kabur saja!" Sara mengerutkan dahinya. “Maksudnya?” “Kita harus menggunakan kesempatan ini untuk melarikan diri,” jawab Hasna menjelaskan. Sara tidak segera menjawab. Ia hanya terdiam membalas pandangan Hasna yang mengkilat bayangan kobaran api. Ia yang seraya tenggelam ke dasar bola matanya. “Bodoh!" bentak Hasna. "Bukankah kamu selalu bilang jika kamu difitnah? Bukan kamu yang membunuh suamimu itu? Maka kamu harus membuktikannya! Kamu harus pergi dari sini dan mencari tahu siapa yang sebetulnya membunuh suamimu itu.” Hasna menjelaskan. “Aku mengatakan ini berdasarkan kita sama-sama menjadi pesakitan di sini. Terserah kamu mau mendengarkan aku atau tidak. Yang pasti jika jadi aku ... aku akan kabur dari sini! Sampai jumpa!” lanjutnya dan kemudian bergegas pergi lebih dahulu. “Tunggu!” teriak Sara. Namun suaranya tenggelam dalam riuh kepanikan narapidana lainnya yang berlarian. “Tunggu, Hasna!” teriaknya sekali lagi. Namun Hasna sudah tidak lagi terlihat. Di depan matanya kabut tebal mulai membuat jarak pandang terbatas. Kabut tebal dari kebakaran ini pun membuatnya mulai tersedak. Saran dari Hasna mulai didengarkan. Tidak terlalu berpikir panjang lagi mengenai ide kabur dari penjara untuk membersihkan nama baiknya, Sara berlari ke arah utara. Justru dia berlari ke tempat di mana api berasal. Ia ingat jika di bagian utara yang kebetulan dekat dengan halaman belakang dapur umum penjara, ada sebuah pintu yang terhubung ke arah luar. Sepertinya pintu itu ada untuk digunakan lebih mudah keluar masuk petugas pengirim bahan makanan. “Iya, aku harus kabur dari penjara ini! Aku tidak ingin menanggung kesalahan yang sama sekali tidak aku lakukan.” Sara berlari secepat kilat. Menerpa kepulan kabut asap yang mulai tebal. Matanya pun sudah terasa perih. Ia memicingkan matanya dan terus berlari. Untung saja Sara hafal arah jalan menuju dapur. Sehingga kabut tebal pun tidak membuatnya tersesat. Nafasnya terengah-engah diselingi batuk. Api berkobar sangat dahsyat di depan matanya. Tepatnya di ruangan dapur. Sara langsung menggerakkan kakinya ke arah kanan. Ia bergegas menuju pintu dapur bagian belakang. Tapi ternyata pintu belakang yang terbuat dari besi dan papan baja dikunci dengan gembok hitam yang besar. “Siaaal!” maki Sara emosi. Ia menendang pintu. Suara para sipir lapas yang saling berteriak untuk menjaga narapida agar tidak mempergunakan kebakaran ini untuk kabur mulai terdengar. Sara menoleh ke belakang. Ia langsung menepi dan bersembunyi di balik dinding tembok pembatas. Jantungnya berdegup kencang. Berdebar tidak karuan. “Tuhan ... aku mohon jangan sampai aku tertangkap. Lindungi aku untuk bisa kabur dari penjara ini dan membuktikan jika aku tidak bersalah ...,” gumannya berdoa. Lima orang sipir lapas tersebut kembali berputar. Mereka juga takut mati terbakar terlalu lama di gedung yang sudah merembet berkobar besar apinya. Sara mengintip dari balik dinding. Mulai lega para sipir sudah pergi. Ia kembali fokus pada pintu yang ada di depannya. Bagaimana caranya membuka gembok ini? Tuhan tolong bantu aku ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD