“Eungh ... Saga, please,” erang Refa, yang sama sekali tidak sadar di mana mereka tengah b******a.
Sudah tidak Refa hiraukan lagi. Ia hanya mengimbangi gerakan Saga yang semakin liar. Keduanya sama-sama tidak sadar, jika tanpa pengaman suatu hal mampu membawa tragedi. Namun, keduanya sama-sama tidak ingin ambil pusing.
Saga menggigit kulit leher Refa, menyebabkan lenguhan keras menggema di udara. Ada banyak tanda yang ditinggalkan di seluruh bagian tubuh Refa. Bikini mahal yang sebelumnya menjadi masalah besar. Akhirnya, tidak jelas ke mana arahnya. Hal yang ditakuti Refa, dan hal yang ingin Saga coba ... akhirnya berhasil. Semua harus dicoba, dan memang itu yang terjadi. Percobaan mereka pasti membuahkan hasil, entah kapan atau situasi seperti apa yang mendukungnya. Tangan lelaki itu terus bergerilya, sedangkan jemari sang wanita mencengkeram kuat pundak kekasihnya hingga kulit lelaki itu terasa perih akibat cengkeraman kuat.
Ada kepuasan saat Saga melakukannya dengan milik perempuan. Ada perbedaan, tapi dia tidak ingin memikirkannya. Dia tengah frustrasi dan melampiaskannya pada Refa. Ada rasa bersalah karena melibatkan perempuan itu dalam hal ini. Dia begitu kalut dan tidak ingin sibuk memikirkan Bian. Sengaja membuat Refa percaya bahwa niatannya berubah adalah tulus, dan aktingnya memang berhasil sejauh ini. Bukan maksudnya untuk jahat melakukan semua ini, tapi hanya wanita itu yang bisa diandalkan untuk melupakan Bian sementara waktu. Belakangan, dia tahu dirinya sering emosional. Namun, lain dengan Refa, dia merasakan sisi yang hampir sama dengan Bian.
“Ouh ... Saga! Aku ... ingin ....”
Mereka sama-sama mengeluarkannya. Saga kembali melumat bibir wanita itu dengan ganas. Refa sendiri mampu merasakan aura lain saat lelaki itu melakukannya, lebih tidak terkontrol, menggebu-gebu, seolah tiada hari esok.
“Tetaplah di sisiku,” bisik Saga, saat berhenti sejenak menetralkan napas.
Refa mengelus rambut lelaki itu dan mengelus seluruh bagian tubuhnya. Anehnya, ia menitikkan air mata tanpa sebab yang ia ketahui pasti.
*
Hari sudah menjelang pagi, keduanya bergegas menaiki mobil. Refa yang sengaja hanya mengenakan kemeja milik Saga, mengecek ponselnya. “Tumben Bang Ali nggak ngabarin. Harusnya kita udah ditegur, diceramahin sama dia.”
Ia masih tidak sadar, jika Saga berhenti di salah satu cottage tidak jauh jaraknya dari pantai.
“Ayo, turun!” Saga mengembalikan kesadaran Refa.
Dahi Refa mengkerut. Ia sama sekali tidak mengerti kenapa Saga malah berhenti di tempat ini, bukannya kembali untuk jadwal kerja. Berbicara masalah jadwal kerja, liburan ini saja ia juga belum tahu pantai yang mereka kunjungi itu milik siapa. Belum lagi cottage yang mereka kini datangi. Ia tetap menurut untuk turun, karena Saga telah membukakan pintu mobil. Wajahnya terlihat begitu bingung, sama sekali tidak mengerti keberadaan dirinya.
“Dari kemarin, kita ada di pulau pribadiku.” Saga memulai pembicaraan, memberitahu mengenai tempat yang sama sekali tidak Refa ketahui. Semuanya indah, nyaman, dan tentu saja membuat Refa tidak bisa berkata-kata.
“Kita istirahat di sini. Ali nggak akan nyariin kita. Karena aku udah bilang selama lima hari ini, kita liburan. Kamu bisa tenang, dan nggak pusing dengan rutinitas menjenuhkan ngurusin aku.”
“Nggak harus kayak gini juga, Ga. Ini ... ini kelewat berlebihan. Aku nggak bisa dapet fasilitas kayak gini, aku cuma”
“Kamu wanitaku, kamu punya hak yang sama dengan semua yang aku miliki. Bersihin badan kamu, nanti kita sarapan.”
Saga meninggalkan Refa sendiri, yang tentu saja masih tercenung bingung. Ia masih tidak percaya, jika lelaki itu menyebut dirinya sebagai perempuan milik Saga.
*
Refa masih sangat menyukai sisi romantis Saga, bahkan di saat kepulangan mereka kembali ke rumah miliknya. Ia memang kaget, karena tidak hanya rumah berlantai tiga ini saja yang Saga miliki. Bahkan pulau pribadi!
Sebesar apa penghasilan Saga sebelum aku menjadi asistennya?
“Mau makan apa?” tanya Refa yang merasa sangat lapar. Kepulangan mereka yang bertepatan malam hari membuatnya sangat lelah, tapi tidak akan menjadi masalah jika ia harus melayani Saga.
“Nggak usah, Fa. Aku udah capek banget, aku tidur duluan, ya.”
Saga berlalu begitu saja, sepertinya memang sangat kelelahan. Jadi mau tidak mau, Refa mengisi perut sendiri karena ia sungguh merasa sangat lapar. Dengan bahan masakan seadanya, ia membuat spaghetti dan meracik bumbu tambahan sendiri. Ada sedikit persedian daging di kulkas, yang diggunakan secukupnya saja. Salah satu kegiatan yang ia sukai adalah memasak, tidak merasa keberatan jika harus beberapa kali memasak. Tidak banyak menu yang bisa ia buat, tapi tentunya tidak mengurung niatan untuk belajar menggali kemampuan memasaknya. Karena nantinya ia berpikir, pasti memiliki keluarga yang akan mencicipi rasa masakannya setiap saat.
Refa membayangkan, bagaimana jika nantinya Saga melamar, membuat mahligai rumah tangga yang luar biasa harmonis, ya ... diselingi argumen-argumen kecil di dalamnya. Kebahagiaan yang pasti sangat mampu mengisi hari-hari jenuhnya.
“Ya, ampun! Kenapa aku malah membayangkan hal itu? Yang utama sekarang, adalah bantu Saga supaya berubah!”
Refa berbicara sendiri, mengetuk kepalanya dengan keras agar tersadar. Sepertinya, efek dari berlibur kemarin berhasil membuat otaknya terisi oleh bayangan Saga saja.
Aku memang bodoh! Harusnya bisa menjauhi perasaan ini agar tidak semakin dalam, tapi yang terjadi, aku malah tidak bisa menjauh dari Saga.
“Dia pasti bisa berubah! Ya, buktinya dia menerimaku dengan sangat terbuka. Dia mengatakan agar aku selalu di sisinya,” gumamnya sendiri, sambil memindahkan pasta yang sudah direbus dan ditiriskan ke piring khusus. Menuangkan bumbu tumisan bersama saus instant dari merek pasta yang sama.
“Heum, sepertinya sangat lezat!” katanya, puas dengan hasil masakan. Refa tersenyum melihat porsi yang tidak sedikit, ia memang sengaja merebus seluruh pasta dalam satu kemasan. Jika sudah direbus begini, terlihat mengembang semakin banyak.
Refa mengenyampingkan pikiran itu, lalu memilih menyantap dengan tenang. Rasanya membuat ia lega. Perlahan tapi pasti ia berhasil menghabiskan seluruh pastanya sendirian. Sempat berpikir, ada apa dengan dirinya bisa menghabiskan porsi besar itu. Bahkan sebelum-sebelumnya, ia tidak akan sanggup menghabiskan satu piring yang dihidangkan di restoran. Bukannya sok diet atau menguruskan badan, tapi memang porsi makan sebelumnya sangat sedikit. Lagi-lagi ia tidak memedulikan hal tersebut. Dengan perut kenyang sudah terisi, perempuan itu membereskan peralatan bekas makan dan memasaknya. Menoleh ketika mendapati suara kulkas terbuka, ada Saga di sana, dengan bertelanjang d**a. Refa sempat menelan saliva dengan kasar, tapi segera berbalik memfokuskan diri mencuci piring.
“Kenapa belum tidur, heum?”
Kenapa Saga selalu berbicara dengan berbisik di telingaku?
Itu membuat laju detak jantungnya tak tentu arah. Dengan tetap bersikap biasa, Refa membalas, “Kan kamu udah tau aku kelaperan. Jadi, aku masak terus makan sendiri.” Ia berusaha keras mengenyahkan bayangan gila akan Saga.
“Kenapa nggak bilang? Aku juga laper ... sekarang.”
“Tadi aku nawarin kamu, tapi kamu malah bilang mau langsung tidur. Gimana, sih?” sungut Refa pada Saga yang semakin menjelajahi lehernya. Dia sudah mengambil alih dengan menciumnya.
“Aku laper, aku butuh asupan dari kamu.”
Ah, kini perempuan itu mengerti alur pembicaraan kata lapar Saga. Pas sekali dengan kegiatan mencuci piringnya yang sudah selesai, ia membalikkan tubuh menghadap pria itu.
“Katanya kamu capek, mending istirahat, ya?” tawar Refa, yang langsung dihadiahi gelengan serta Saga yang langsung membekap bibirnya. Pada akhirnya, mereka melakukannya kembali. Mulai dari dapur, sofa ruang tamu, dan kamar Saga tentunya.
*
Refa tahu ini sangat berlebihan. Memandangi wajah Saga sepuas hati, saat dia belum terbangun membuatnya merasa bahagia. Katakan jika ini memang mimpi, walau begitu ia akan tetap memilih terbenam dalam mimpi indah ini. Tak apa, lagi pula ia memang sudah terjatuh untuknya. Perempuan itu bertekad akan Saga. Dia pasti bisa berubah. Karena ia mencintainya, dan akan terus berusaha untuknya. Gemeliat lelaki itu membuatnya buru-buru membenarkan posisi. Di sana, lelaki itu belum ingin membuka mata, perempuan itupun juga masih mengamatinya.
“Nggak capek, ngeliatin aku kayak gitu?”
Refa tersenyum. Dia memang telah membuatnya menjadi gila. Senyum tanpa alasan yang jelas, Saga-lah yang mampu akan semua itu.
Ya ampun, aku seperti anak ABG labil yang baru merasakan jatuh cinta.
Mata Saga menyipit, karena belum membuka dengan sempurna. “Ada apa dengan senyuman kamu itu?” Dia bertanya, sedangkan perempuan itu masih mengembangkan senyuman.
“Nggak apa-apa, aku cuma mau tau ... seberapa besar kamu sadar kalo udah tidur sama perempuan.”
Saga langsung membuka mata. Dia seperti terkejut saat dirinya mengatakan hal itu. Apa ia telah salah mengatakan itu? Saga memilih duduk di pinggiran ranjang dan memunggungi Refa.
“Saga? Aku salah, ya?” tanya Refa dengan suara yang sangat pelan. Perlahan mencoba menyentuh bahu lelaki itu. Dia tetap diam, memilih menyingkirkan secara pelan tangan mungil itu dari bahunya.
“Aku nggak mau bahas ini, Fa. Maaf, aku lagi nggak mood sekarang.” Lalu, Saga pergi membuka kamar mandi, sedangkan Refa tidak tahu harus bagaimana. Ia merasa bersalah, berpikir bisa menggali kesungguhan Saga. Namun, itu adalah langkah yang salah. Saga tidak bisa melakukan itu. Ia yakin lelaki itu pasti tersinggung karena ucapannya sama saja meremehkan dia sebagai laki-laki gay dengan usaha menuju normal.
*
Bukan Refa yang menginginkan hal ini, ia tidak bisa berdiam diri dengan Saga saat ini. Terlalu lama, dan ia sama sekali tidak bisa serta tidak terbiasa jika Saga mendiamkan dirinya.
“Ini, es krim buah kamu.” Refa mengulurkan kemasan es krim buah, ingin memulai pembicaraan. “Menurut kamu, hari ini kamu lebih cocok pake jas atau kemejanya aja, buat acara fan meet besok?”
Saga masih enggan menatap wajahnya, ia harus bersabar lebih lama.
“Seperti yang kamu lakuin biasanya aja, kamu yang menentukan.”
Astaga. Dia sama sekali tidak berniat memperhatikanku, aku juga sama saja ... bodoh! Untuk apa menanyakan hal tidak penting yang biasanya mudah untuk kuurus. Mana mau tahu Saga akan hal itu?
Refa terkesiap, melihat ponsel Saga yang berdering. Ia tidak tahu nomor siapa, karena tidak tertera nama pengguna di sana. Sepertinya nomor tidak dikenal.
“Mau aku, atau kamu yang angkat?” tanya Refa mengarah pada Saga.
Dia memilih langsung mengambil ponselnya, dan hanya membalas tanya perempuan itu sekilas. “Kamu bisa urus yang lain,” ucapnya, yang sama sekali berbeda dari jawaban yang Refa inginkan.
Saat Refa keluar, ada Bang Ali yang menatapnya. Dia bersikap profesional, tanpa membahas masalahnya dengan Saga lagi.
“Ngapain kamu berdiri di situ?” tanya Bang Ali, membuatnya menggeserkan tubuh agar tidak menghalanginya yang seperti ingin lewat. “Kamu kenapa sama Saga?”
“Nggak kenapa-kenapa, dia lagi bete aja. Nggak pengen diganggu.”
Sebisa mungkin Refa membuat Bang Ali tenang, dan sepertinya Bang Ali memang tidak ingin ambil pusing jauh lagi. Dia menarik pergelangan tangan perempuan itu.
“Mau ke mana, Bang?”
“Temenin gue makan. Laper!”
Sejak kapan Bang Ali jadi berbicara ‘elo-gue’ denganku?
*
Menghabiskan waktu dengan Bang Ali tidaklah buruk. Karena memang Bang Ali lebih nyaman dan penyabar dibanding Saga.
“Nggak mau makan, lo?” tanyanya membuyarkan lamunan Refa akan Saga.
“Nggak, Abang aja yang makan. Aku udah kenyang,” sanggahnya penuh keyakinan. Perempuan itu berusaha sebisa mungkin, agar senyumnya tidak luntur. Di hadapannya saat ini adalah Bang Ali, yang lebih peka daripada Saga, maka dari itu ia merasa harus berhati-hati.
“Mikirin Saga lagi?”
Tuh, kan! Dia menebaknya, dan memang tebakannya sangat benar.
“Hehe, nggak juga kok. Aku juga mikir, kenapa Bang Ali jadi ngomong pake elo-gue?”
“Oh, emangnya nggak boleh?”
“Nggak. Boleh-boleh aja, cuma aku aja yang aneh dengernya.”
Entah untuk membuat agar kami lebih dekat, atau memang Bang Ali yang gaya serta terbiasa menggunakan ‘elo-gue’, Refa tidak mengerti.
“Santai ajalah, kalo sama gue. Lagian, pacar lo itu juga biasanya lo-lo, gue-gue. Coba aja beradaptasi dikit.”
Kali ini, Refa memang bisa melihat sisi berbeda dari Bang Ali. Tidak masalah besar juga, jadi untuk apa terlalu membesar-besarkan masalah penggunaan panggilan.
“Tapi, lo belum jelasin ke gue, kenapa lo jadi demen manggil gue, Bang? Emang gue kang baso’?”
Refa tertawa, mana ada tukang baso setampan Bang Ali? Jauh!
“Ada-ada aja, nih! Bang Ali mah cocok nya jadi ....”
“Jadi kekasih hatimu, boleh?”
Refa mengernyit, agak parno melihat Bang Ali yang menjadi genit ala-ala pelawak Indo. “Apaan, sih, Bang? Mau dijawab nggak, nih?”
Bang Ali memanggut-manggut dengan semangat, tetap melanjutkan aktivitas menghabiskan makanannya.
“Eum, aku kan pengen beda manggil Bang Ali. Lagian yang lain, sering banget manggil Kak. Nah, aku pengennya manggil Bang Ali biar keren. Suka liat kru program acara manggilnya Bang, keren aja kalo itu aku buat manggil.”
“Oh, jadi ceritanya ... panggilan kesayangan gitu?” goda Bang Ali lagi.
“Haha, Bang Ali ... ya udah, anggep aja kayak gitu.”
“Ayo, pulang!”
Kenapa tiba-tiba ada Saga? Aku pikir dia sudah ambil take ....
Refa tidak tahu ekspresi apa yang sedang Saga keluarkan sekarang. Dia terkesan dingin, dan ia takut dengannya yang seperti itu.
Bang Ali masih santai menyantap makanannya, lalu mulai mengelap bagian sudut bibirnya yang kotor. Bang Ali berdiri mengimbangi tinggi Saga. “Pulang, Fa. Jadwal Saga udah selesai, kok. Jangan lupa, besok ada fan meet di Singapura. Kamu jaga kesehatan, muka kamu pucet.”
Sepertinya Bang Ali menyindir Saga. Namun, yang dituju malah memasang wajah datar. Refa benci melihatnya banyak menutup mulut begini.
“Ya udah, aku pulang duluan, Bang. Jaga kesehatan juga, ya.” Refa tersenyum membalas ucapan Bang Ali. Dengan kesadaran penuh, ia mampu melihat rahang Saga yang mengetat saat melihat tangan Bang Ali mengusap kepalanya dengan lembut.
Apa Saga cemburu?
“Ayo!” sergah Saga dengan menarik tangannya.
*
Saga membanting tubuh Refa ke ranjang, membuat perempuan itu memekik sakit. Tangannya bahkan sudah memerah akibat cengkeraman lelaki itu.
“Kamu ngapain sama Ali, hah?!” bentaknya yang sungguh membuat perempuan itu bergidik ngeri.
“Saga, aku cuma--”
“Kamu mau di-cap sebagai perempuan murahan? Kamu mau nunjukkin kalo banyak laki-laki yang suka sama kamu, gitu?!”
Refa bersumpah, tidak mengerti apa yang Saga maksud? Dia sangat marah pada hal kecil seperti itu.
“Kemarin Rega, Angga, dan sekarang Ali! Kamu p*****r atau gimana, Fa?!”
Tuhan, mengapa begitu sakit mendengar Saga yang mengatakan aku sebagai p*****r. Berhenti menangis, Refa bodoh! Kamu cuma akan terlihat lemah!
“Apa sebenernya maksud kamu, Ga?” lirih Refa, yang justru seperti menambah amarah Saga naik.
“p*****r, Fa! Kamu itu seperti p*****r!”
Refa menangis sejadi-jadinya. Saga merobek kemeja putih yang ia kenakan. Dia menekan bibirnya, membuat lumatan yang sangat kasar sampai ia bisa merasakan aroma darah di sudut bibir miliknya.
Sakit. Ini sangat sakit.
Saga melakukannya dengan sangat kasar. Ia tidak mampu merasakan kenikmatan seperti sebelum-sebelumnya. Saga menghancurkannya dalam sekali hentakan. Tidak ada desah kenikmatan, hanya kilat amarah memburu.
“Aku nggak akan membiarkan kamu lari, Fa. Kamu wanitaku, hanya aku yang bisa memiliki kamu!”
*
Kejadian kemarin membuat Saga merasa sangat bersalah, hanya karena Bian yang menghubunginya lagi. Dia menjadi linglung, menyiksa Refa dan menjadikannya sebagai pelampiasan. Tidak bisa dia terima, meliaht Refa yang selalu bersikap biasa saja saat digoda oleh para lelaki. Dia sedang kalut, ada Bian dan Refa yang mengisi otaknya.
Ada apa dengan diriku? Kenapa harus memedulikan Refa?
Bahkan setelah bangun tidur, Saga bersikap biasa saja. Dia membiarkan Refa berjalan tertatih sendiri dengan kesulitan mengambil pakaian yang sudah berhasil dia robek. Refa tetap bersikap seperti biasanya, membuatkan sarapan, dan menyiapkan segala kebutuhan untuk keberangkatannya ke Singapura.
“Pagi ini, kita harus berangkat lebih awal. Bang Ali udah ada di Singapura. Dia bilang lagi ngurus persiapan di sana udah sejauh mana.”
Saga ingin mengeluarkan kata maaf, tapi sayangnya gengsi tinggi. Ia menunjukkan rasa tidak peduli. Bahkan Ali yang menghubungi Refa sudah bingung menyuruhnya agar cepat ke sana. Ali mampu menebak, jika suara lirih Refa pasti karena sudah terjadi apa-apa dengan perempuan itu.
“Buatin aku kopi,” suruh Saga. Wajah perempuan itu sangat pucat. Dengan tega, dia membuat Refa menuruti permintaannya. Refa lebih memilih diam dan menurut. Ia tahu tubuhnya membutuhkan istirahat, tapi melihat emosi Saga yang tidak dalam keadaan baik, dirinya mengalah.
“Makan dulu sarapan kamu.” Saga melihat Refa yang sibuk membenahi kebutuhannya, membuat langkah perempuan itu sempat terhenti.
“Aku bawa bekal, biar nanti aku makan di mobil aja.”
Bahkan setelah berendam di air hangat, pangkal paha Refa masih terasa begitu nyeri. Wanita itu hanya menahan sakit dengan menggigit bibir dalamnya. Ia sama sekali tidak ingin Saga mengetahui hal tersebut. Kembali Refa sibuk memikirkan apa-apa saja yang Saga butuhkan. Saat sedang sibuk mengemas, notifikasi pesan masuk ke ponselnya.
Regananda:
Aku tau kamu sakit, jangan paksa diri kamu. Atau aku sendiri yang memaksa Saga menghentikan kamu?!
Refa baru kembali tersadar, bahwa ada CCTV yang mengawasi gerak-geriknya dengan Saga. Ia benar-benar lupa akan hal itu, tapi tetap memgacuhkan pesan Rega. Dengan cepat, ia menghapus pesan dan nomor Rega tanpa berpikir panjang. Pesan terakhir yang masuk, adalah pesan yang berasal dari Ali. Ia bersiap menuju mobil, dengan membiarkan keadaan tubuhnya, memaksakan diri menemani Saga. Tidak ada yang berubah, mau di mobil atau di pesawat, keduanya memilih bungkam. Jika Saga sengaja melakukannya, tidak dengan Refa. Tubuh perempuan itu terasa remuk. Ia memilih menghadap jendela, memejamkan mata, dan menahan tangisnya agar lelaki itu tidak mengetahui apa pun, kesakitan apa pun. Ia tidak ingin Saga mengetahuinya.
*
“Fa, lo pucet banget. Jangan bilang Saga marah sama lo, dan ini akibatnya?!” Ali yang baru bisa fokus setelah memastikan Saga dan acara fanmeet-nya berjalan, mendapati Refa tengah meringkuk di sofa sambil memegangi perut.
“Nggak. Aku nggak apa-apa, Bang. Aku rasa aku kecapean aja, baru tadi, kok. Oiya, fanmeet-nya seru kan, Bang?”
Ali mendecak kesal, perempuan itu jelas-jelas berbohong. Namun, Refa masih memikirkan acara Saga. “Gue bakal nyuruh Winda nemenin lo pulang, seenggaknya lo harus istirahat beberapa hari ini.”
Ali tidak memedulikan tolakan Refa. Dia bersikeras membuat Refa pulang dan istirahat. Ali menghubungi Winda, salah satu teman kepercayaannya. Mau tidak mau, Refa kembali ke Indonesia dengan Winda. Ia sedikit kecewa, karena meninggalkan Saga tanpa memberitahu terlebih dulu.
Sesampainya di Indonesia, Refa sudah berada di ruang inap rumah sakit. Matanya menyesuaikan pencahayaan di sana, dan mendapati seorang dokter tengah melihatnya.
“Hai, Nyonya Refa. Sudah merasa baikan?” sapa dokter itu dengan ramah.
“Iya, Dokter- ....”
“Dokter Sila,” ujarnya dengan senyuman merekah. Refa mengangguk, pertanda mengerti. “Nyonya Refa ... karena wali atau suami anda tidak ada. Jadi, saya menghimbau untuk menjaga kesehatan demi janin, Nyonya.”
Refa terkejut, tidak tahu harus berbicara apa. “Ja-janin, Dokter?”
“Iya, Nyonya sepertinya memang belum tau, makanya kurang berhati-hati menjaga kesehatan tubuh. Mulai sekarang dijaga, ya. Nanti akan saya beri resep mengkonsumsi vitamin.”
Dunia Refa seakan berbalik. Ia menangis saat itu juga. Ia tidak tahu harus bahagia atau sedih mendapat kabar ini.
Aku hamil, aku hamil ... anak Saga.
*
Di dalam hati, Refa sangat ingin memberitahu Saga jika dirinya tengah di rumah sakit, dan mendapat kabar yang mungkin membahagiakan. Namun, lagi-lagi ia tidak yakin jika Saga mau menerima hal itu. Refa yang tengah beristirahat langsung terbangun, melihat sosok yang membuat suara pintu terbuka. Laki-laki yang baru saja ia bingungkan dalam pikirannya, hadir di sini.
“Hai!” sapa Refa yang sudah memasang senyum. Ia sudah siap apa pun respon lelaki itu nantinya, jika ternyata Saga masih marah.
Tidak mendapat jawaban dari mulut, Refa justru mendapat kehangatan saat Saga mencium keningnya. Perasaan lega menjemput asanya kembali.
“Kenapa nggak bilang kalo kamu masuk rumah sakit, hum?” Refa mendapati sorot penuh khawatir di sana. Ia ingin sekali memeluk Saga.
“Aku minta maaf, jadwal kamu kan padat. Aku juga minta maaf, karena aku, kamu pasti keteteran sendiri, ya?”
“Jelas-jelas kamu yang sakit, kenapa malah sibuk cemasin aku?”
Refa memang tidak bisa melepas tanggung jawabnya atas Saga. Semua itu sudah menjadi kewajiban, karena lelaki itu sudah membantu seperti keluarga.
Saga menggeleng kuat, memastikan pada Refa agar perempuan itu berhenti memikirkannya, dan mulai memikirkan dirinya sendiri. “Kamu sakit apa? Apa ada yang berbahaya?”
Kecemasan Saga membuat Refa takut. Ia takut lelaki itu akan berhenti memperhatikannya jika mengetahui kenyataan sebenarnya. Kenyataan jika benih Saga tengah tumbuh dan berkembang di rahimnya.
“Nggak ada yang bahaya, aku cuma kecapekan, dan ....”
“Bentar, aku angkat telepon dulu.”
Seolah takdir tidak memperbolehkan Refa untuk mengatakan yang sebenarnya, ada saja hal menghalangi.
“Iya, angkat aja dulu ... siapa tau penting.” Refa tidak berambisi agar Saga tahu mengenai kehamilannya. Wanita itu akan lebih bersabar. Mengetahui dia yang sudah tidak marah lagi saja, ia sudah bahagia. Agak lama ia menunggu Saga kembali, tapi malah Ali yang muncul dari pintu tersebut. Membawa sebuket mawar merah dan putih, dia terlihat lebih rapi dari biasanya.
“Gimana kabar lo, Fa?”
Refa tersenyum, tidak ingin terbaca lagi oleh Ali. “Kayak apa aja, sih. Baru kemaren nggak ketemu, udah kayak berapa hari aja lo, Bang. Uppsss!”
Ali yang sempat terbengong, kembali sadar, dan ikut tertawa. Dia tidak percaya jika Refa akan menggunakan panggilan seperti itu.
“Nggak cocok, ya, aku ngomong gitu?” tanya Refa, sedikit meringis karena merasa malu.
Ali mengangguk, menaruh buket mawarnya di nakas. “Agak kurang gimanaaaaa gitu, lo aneh pake bahasa begituan.”
“Haha, aneh-aneh aja. Lagian aku juga nggak sreg ngomong kayak gitu, aneh kaku gimanaaaa gitu,” balas Refa dengan logat yang dibuat mirip seperti Ali.
Ali melihat sekilas ponselnya, dan mengarah tatapan pada Refa. “Kenapa, Bang?”
Agak ragu, Ali berdeham sejenak sebelum melanjutkan ucapan yang akan disampaikan pada Refa.
“Ini, si Saga minta gue ngasih tau ke lo ... katanya dia ada urusan, buru-buru. Jadi, dia nggak bisa balik lagi ke sini. Emang Saga abis ke sini?”
Refa mengangguk. Lebih memilih menjawab Ali, dan mengembangkan topik pembahasan ketimbang memikirkan Saga yang sudah pasti sibuk dengan urusannya. “Iya, tadi dia sempet ke sini. Mukanya cemas banget, aku jadi nggak tega ninggalin dia waktu acara itu.”
“Lo nggak perlu ngerasa kayak gitu. Lagian ada gue yang ngurus dia, sedangkan lo malah nggak ada yang ngurus. Winda bilang, dia langsung balik ke Singapura gara-gara urusannya belum selesai, dan lo dia bawa ke rumah sakit.”
“Aduhhhh, kan. Aku jadi nggak tega sama kalian, pasti ribet karena aku.”
Ali menepuk dahi Refa, membuat perempuan itu sempat meringis kesakitan, persis anak kecil. “Jangan kebiasaan mikirin orang lain! Prioritasin diri lo sendiri juga,” omel Ali pada Refa.
Diam-diam, Refa miris dalam hati. Biasanya Saga akan mengoceh dan memarahinya, sedangkan saat ini ... justru orang lain yang mengoceh padanya.
*
Sudah dua hari Refa keluar dari rumah sakit dan ia tidak tahu urusan apa yang tengah menyibukkan Saga. Karena sedang memiliki waktu luang, maka ia putuskan untuk memeriksakan kandungannya. Dokter Sila belum menjelaskan secara rinci mengenai janinnya, maka hari itu ia membutuhkan kepastian. Dengan mengenakan pakaian yang tidak terlalu ketat, ia sudah memesan taksi online untuk mengantarnya ke rumah sakit. Di sana, ia mengambil nomor antrean. Melihat sekeliling, semua pasien berpasangan dan membuatnya agak jengah melihat pemandangan itu, tapi ia tetap menguatkan hati untuk bayinya dan Saga.
“Nyonya Refa Andiniar!” Suara panggilan atas nama Refa. Perempuan itu sudah menyiapkan mental agar tidak terlalu gugup dengan kehadiran bayi ini.
Di dalam sana, ia bertemu dengan dokter yang berbeda, bukan dr. Sila. Dari name tag-nya, bisa dipanggil, Anna. Refa menanyakan apa-apa yang ada di komponen monitor. Sedikit agak bingung, karena itu adalah pengalaman pertamanya
“Sehat, dalam keadaan bagus. Mereka kuat-kuat, padahal kata dr. Sila dua hari kemarin, ibunya sempat lemah.”
Refa tersenyum canggung, paham mengapa dr. Anna mengatakan keadaannya yang sempat lemah dari dr. Sila. Namun, yang tidak ia mengerti, apa maksudnya menyebut mereka?
“Mereka, Dokter?”
“Oh, iya ... saya lupa. Anda sedang mengandung anak kembar, Nyonya Refa.”
Betapa kagumnya perempuan itu, karena akan mendapatkan kebahagiaan tiada tara dengan kehadiran bayi kembar.
“Tapi belum bisa keliatan, jenis kelaminnya. Masih sepuluh minggu juga. Dijaga ya, ini pertama, ‘kan?” tanya dr. Anna yang langsung ia angguki cepat.
“Coba bawa ayahnya nanti biar liat, pasti si Dedek juga seneng.”
Sepertinya dr. Anna mencoba menghibur. Namun, tidak apa, sesama perempuan dia juga pasti mengerti. “Mau foto hasil pemeriksaannya?”
“Ya,” jawabku tanpa melepas senyuman. “Kira-kira saya harus periksa kapan lagi, dokter?”
“Dua minggu lagi, kita liat kemajuan apalagi yang si Kembar sudah dapatkan.”
Inikah? Seperti ini rasanya jika menjadi seorang Ibu? Aku bahagia, tentu saja! Aku bisa memiliki keluarga yang utuh. Tanpa ada siksaan atau tanggungan derita seperti keluargaku.
Refa keluar dari rumah sakit dengan wajah semringah. Mencoba memasukkan hasil pemeriksaan bayinya, dan lengah hingga menubruk tubuh seseorang. “Eh, maaf ...,” katanya sebelum melihat wajah orang tersebut.
“Refa? Ngapain lo di sini?”
Bang Ali, itu suaranya. Ia tahu itu khas logat lelaki yang sudah dianggap sebagai kakaknya sendiri.
“Eh, Bang—”
“Hasil tes apaan, tuh?” selidiknya, membuat perempuan itu ketar-ketir harus berkata apa.
Refa tidak sanggup menutupi kabar ini. Bang Ali dengan sendirinya mengambil surat dan gambar janin yang diberikan oleh dr. Anna, membuka kertas yang menyatakan hasil positif kehamilan dirinya.
“Lo ... lo hamil, Fa?!”
Detik itu juga, perempuan itu hanya bisa meremas ujung kemeja putihnya. Wajah Bang Ali tidak mampu ia tebak lagi. Tanpa menjelaskan apa-apa, Bang Ali membawa dan menarik Refa dari rumah sakit. Dia sepertinya sangat kecewa.
“Masuk!” suruhnya pada Refa untuk duduk di kursi depan. Ia menurut, tidak mengomentari apa pun dan tidak tahu apa yang sedang ada di pikiran lelaki di sebelah ya yang sempat terdiam sejenak.
“Saga tau ini?” tanyanya sambil mencegah suaranya meninggi.
“Nggak ... maksud aku ... belum.” Ia pasti mengatakannya pada Saga, entah kapan itu.
“Kapan lo mau ngasih tau?”
“Aku nggak tau, Bang. Aku butuh waktu, lagi pula ... Saga juga masih sibuk belakangan ini.”
Bang Ali menarik napas panjang. Jemarinya mengepal kuat, dan Refa bisa melihatnya. “Bang, aku mohon jangan kasih tau Saga sampai aku yang ngasih tau ke dia.”
“Gue nggak bisa. Dia harus tanggung jawab sama bayi itu. Anak lo kembar, Fa! Mana mungkin lo nunggu dia pulang, gue bakalan hubungin dia.”
“Nggak, Bang!” cegahnya, membuat Bang Ali mengernyit tajam.
“Lo ... argh! Terserah lo, Fa. Tapi, kalo sampai tuh playboy ngelakuin yang macem-macem, gue nggak akan tinggal diem!”
Refa bahagia, ada seseorang yang peduli dengannya. Bang Ali membuat dirinya merasa aman. “Makasih, Bang. Apa pun yang terjadi, jangan ngambil keputusan sendiri, oke?”
Bang Ali menatap perempuan itu nanar. Tidak dipahami mengapa tatapan itu penuh kenelangsaan.
Aku bahagia, pasti bisa bahagia.
*
Tidak akan terjadi apa-apa, Saga pasti bisa menerima dirinya dan bayi mereka. Ia akan menunggunya pulang, lalu mengatakan hal ini. Setidaknya itu semua yang ada di benak Refa. Ia akan baik-baik saja. Ia akan mengatakan semuanya pada Saga, karena yakin lelaki itu sudah mengubah diri.
Saga pasti sudah mengubah dirinya.
Refa memasuki kediaman yang biasanya ia tempati bersama Saga. Kini, suasana menjadi senyap, sepi. Ia merindukan celotehan Saga, merindukan sibuk dengan laki-laki itu. Namun, tidak sehari pun lelaki itu mengabarinya. Apa pun itu, Refa akan tetap berpikiran positif. Ia akan tetap percaya pada apa yang lelaki itu katakan sedari awal, bahwa ia adalah wanitanya. Bahwa hanya Saga yang bisa memilikinya.
“Kita makan sendiri, ya, Sayang,” gumam Refa pada anak-anaknya yang bahkan belum bisa mendengar. Namun, ia percaya, bahwa anak-anaknya akan mengerti ketika mereka lahir nanti. Ia ingin menguatkan ikatan batin antara dirinya dan sang calon bayi.
Refa memasak dan menikmati makanannya sendiri. Ia tetap tersenyum walau agak sesak, karena Saga belum juga ada kabar. Ia melakukan rutinitas hingga malam menjelang. Baru saja melihat salah satu akun i********: memposting gambar makanan—sate lebih tepatnya—seketika ia bersemangat untuk membeli makanan itu. Refa benar-benar keluar dan membeli sate, dengan baunya saja, ia bisa sangat bersemangat.
“Heummm, anak-anak Mama pengen sate, ya.” Lagi-lagi Refa berbicara sendiri, memegang perutnya yang sudah agak berisi jika diselisik sedikit. Akibatnya, ia memakai pakaian yang longgar. Ia memilih makan di tempat tukang sate berada, kemudian menghabiskan lima puluh tusuk sate, tanpa kira-kira. Jika saja kakinya tidak menapak, mungkin dirinya sudah dikira sundel bolong oleh si Pedagang.
“Makasih, ya, Bang! Nih, duitnya.”
“Iya, Neng, sama-sama. Lagi ngisi, ya? Makannya kok kayak orang kesetanan begitu?”
Refa tertawa mendengar ucapan tukang sate tersebut. “Abang tau aja, emang keliatan banget, ya?”
“Hehe, udah biasa orang lagi hamil bikin tingkah yang aneh-aneh. Kenapa nggak minta dibeliin suaminya, Neng?”
Seketika tawa Refa meredup. Wajahnya menggambarkan keterkejutan, saat tukang sate itu mengatakan suami.
“Oh, saya tau ... pasti si Jabang Bayi mintanya gitu, ya!” ucap tukang sate dengan bersemangat.
Refa hanya menanggapi dengan tawa kikuk, lalu pamit untuk pulang. “Ya udah, Bang. Makasih ya sekali lagi.”
Refa berjalan seraya mengeratkan jaketnya menutupi tubuh. Ia menutup mulutnya saat mulai menguap, dengan langkah santai mendorong gerbang dan mulai memasuki pelataran. Ada pemandangan baru yang membuatnya tersenyum merekah. Ada mobil Saga yang bertengger di garasi. Ia kembali bersemangat untuk masuk ke rumah. Langkah kakinya menggebu, tak sabar memeluk lelaki yang sudah sangat ia rindukan.
Baru beberapa langkah, raut wajah Refa seketika menjadi pias. Pemandangan yang sangat sudah ia lupakan, kini benar-benar hadir. Saga dan Bian yang tengah berpagut di ruang tamu. Akalnya masih macet, tidak bisa berjalan dengan baik. Tubuhnya menegang melihat Saga. Lelaki itu membalas pagutan yang Bian hantarkan, dan mengiris hatinya.
“Oh, Refa?” Bian yang terlebih dulu menyadari kedatangan Refa. Menyapa dengan wajah tampannya.
“Hai,” balas Refa, dengan menahan suara yang akan bergetar akibat tangisnya.
Saga tidak mengatakan apa pun. Dia kembali dibuat merasa sangat bersalah, mendapati wajah Refa di hadapannya.
“Eum, aku akan masuk. Lanjutkan acara kalian. Anggap saja aku tidak ada, oke.”
Refa tidak ingin menjadi pengganggu. Ia memilih diam dan enggan menatap manik Saga. Ia takut akan menangis jika menatap mata itu. Di dalam kamarnya, ia menangis dengan menutup mulut dengan tangannya sendiri. Semua ia lakukan agar orang-orang di sana, tidak mendengar isakannya.
*
Refa sudah memutuskan, bahwa tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari Saga. Ia hanya akan menyakiti diri sendiri, dan tidak akan baik bagi keadaan kandungannya.
“Hai, aku siapin sarapan buat kalian.”
Refa akan tetap memasang wajah penuh kebahagiaan. Ia tidak akan terpengaruh pada apa pun kali ini, termasuk ... Saga.
“Eum, Saga bisa nanti ngomong sebentar?”
Lelaki itu langsung menoleh. Akhirnya, dia merasa lega karena suara merdu Refa menyapa gendang telinganya.
“Iya, bisa kok.” Saga sangat tidak mengerti apa yang sedang terjadi dengannya. Refa hanya pelampiasan saja, tapi dia begitu merasa sakit melihat Refa saat ini.
Selesai menikmati sarapan dengan hikmat, Bian ternyata pamit mengurus salah satu urusannya. Refa dengan Saga dapat bicara berdua. Di ruang tamu, mereka duduk di kursi yang berseberangan.
“Aku mau izin, Ga. Eum, lebih tepatnya ... resign.”
Sedari awal, ekspresi Saga sudah tidak bagus. “Ada hubungannya dengan masalah kita, Fa?”
“Nggak. Nggak sama sekali!” jawab Refa penuh keyakinan. “Gerald sakit, sedangkan Ibu juga adik tiriku meninggalkan dia. Aku akan mengurus Ayah mantan penjudiku itu, maka dari itu, aku mengundurkan diri menjadi asistenmu.”
“Terserah!”
Saga meninggalkan Refa, bahkan tidak akan ada salam perpisahan. Refa tersenyum miris.
Selamat tinggal ... Saga.
*
Hanya isak tangis yang menghantar Refa dalam perjalannnya. Ia sama sekali tidak memedulikan pandangan mata orang-orang di sekelilingnya. Tangisnya pecah, memikirkan bahwa semua kata yang lelaki itu ucapkan hanya sekadar kata. Tidak ada kesungguhan di sana, dan ia merasa sangat bodoh memercayai ucapan lelaki yang baginya sungguh s****n itu.
Usahanya sia-sia. Bahkan tangisnya sendiri tidaklah menguntungkan. Refa harus berhenti menangis seperti ini, sama sekali bukan hal yang patut untuk ia sesali. Cinta bukan untuk menyakiti, Refa sadar itu. Dengan segera, ia menghapus air matanya. Menjernihkan pikiran, ke mana ia akan pergi. Ucapannya mengenai ayahnya—Gerald—sudah ditinggal pergi oleh ibu dan saudara tirinya, itu memang betul. Refa tidak berbohong akan hal itu, tapi yang menjadi masalahnya, ia belum ingin menemui Gerald. Memutar otaknya, untuk menemukan tempat paling tepat. Dengan cepat, ia segera menuju tempat tersebut.
*
Saga mengitari ruangan itu, ruangan yang sama sekali tak ia kunjungi lagi setelah lama sibuk menyibukkan diri dengan kedatangan Bian. Ia sudah banyak mengurus hal-hal penting, salah satunya CCTV yang Rega lepas dari rumahnya tepat saat Refa ada di rumah sakit. Pembicaraan antara dirinya dan Rega, juga telak membuat Saga menjelma menjadi pria jahat.
“Kau tau, aku tidak pernah jatuh cinta pada perempuan seperti ini sebelumnya.” Rega membuat gerakan tangan yang sukses membuat Saga menoleh. Di layar besar, Rega menunjukkan betapa luar biasanya saudaranya itu mengoleksi foto Refa.
“Dia perempuan yang tangguh, aku mengakuinya. Refa, aku mencintainya setelah menyadari kesalahanku. Dan kau tau ... aku tidak mendapatkan kesempatan kedua setelah Refa meninggalkanku. Benar-benar musnah!” Rega menekan kalimat musnah itu, hingga membuat Saga berjengit ngeri dalam ketakutan yang tidak Saga mengerti.
“Untuk apa kau memperlihatkan ini?” tanya Saga dengan nada dingin.
“Aku hanya mengingatkanmu, jangan melakukan hal yang sama sepertiku.” Rega menghela napas panjang. “Aku akan mengalah dan berhenti. Karena aku tau, Refa mencintaimu melebihi apa pun.”
Saga mendengkus, tidak suka. “Omong kosong apa yang kau bawa ini, Rega? Kau ... mengalah?”
“Ya. Mungkin bagimu hanya omong kosong, tapi sama sekali tidak bagiku. Aku ingin melihat Refa bahagia. Dan, kau yang membahagiakannya.”
Pembahasan keduanya berlangsung tenang, Rega benar-benar membuktikan ucapannya. Salah satunya melepas CCTV.
“Aku menunggumu, membahagiakan Refa ....”
Saga terbangun dari lamunannya. Ia sama sekali tidak paham, mengapa harus semenyedihkan ini. Ia kembali berkeliling dan tidak sengaja membuka laci meja rias Refa. Dahinya agak mengerut, bingung dengan satu foto yang tidak dimengerti apa gambarnya, lalu membuka kertas yang pastinya membuat dia Saga lemas. Surat yang menuliskan nama Refa Andiniar, dan segala informasinya.
“Refa ... hamil?”