Refa merasakan sesuatu, ya ... tepatnya mengetahui rasa yang tak pasti dari Saga. Tak terhitung, berapa kali berhubungan intim dengan lelaki itu. Rasanya nikmat, seperti malam-malam yang sudah dua bulan ini berjalan.
Malam itu, di mana Saga menjelaskan, menerangkan permintaan agar Refa membantunya. Dia terlihat sangat frustrasi, dan tidak memiliki siapa-siapa lagi dalam hidupnya. Bian adalah sosok yang membuatnya memiliki kehidupan.
“Siapa bilang aku main-main, hum?”
Refa terbelalak. Sesaat napas lelaki itu begitu terasa untuk menggugah tubuh dan dirinya. Saga terlihat frustrasi.
“Bantu aku, Fa. Bantu aku melupakan Bian,” pintanya dengan menelusupkan wajah di bahu Refa.
Aku membutuhkanmu, Saga. Aku tidak ingin menjadi seperti itu, selalu membutuhkan kamu nantinya.
“Sa-Saga, apa yang sedang kamu—”
“Aku mohon, Fa. Anggap aku sedang memperbaiki orientasiku. Aku membutuhkanmu untuk membantuku.”
Refa mengelus rambutnya. Saga menahan tubuh dengan kedua tangan, agar tidak langsung terjatuh di atasnya. Kesakitan itu, ia bisa ikut merasakan. “Baiklah, Saga. Aku akan membantumu.”
Saga mengangkat kepalanya, menatap perempuan itu sesaat, lalu kembali melumat habis bibir Refa. Kegiatan itu berlanjut sangat panas. Tanpa memikirkan bahwa ada CCTV yang menjadi bahan agar mereka melakukan itu. Refa tidak peduli, karena ia telah mencintai Saga, hanya itu.
Kesadaran Refa kembali dari malam itu. Bang Ali mengajaknya bertemu hari ini. Entah bagaimana, tapi jelas ia merasa canggung dengan mimik Bang Ali.
“Udah kamu putusin mateng, Fa?” Bang Ali sudah menanyakan hal itu tidak terhitung keberapa kalinya. Ini sudah lewat dua bulan, dan Bang Ali tetap keukeuh menanyakan serta memberi saran agar dirinya berhenti berhubungan dengan Saga di depan publik.
“Bang, ada apa dengan semua ini? Aku udah pernah bilang, kalo Saga serius atas hubungan ini.”
Refa berusaha meyakinkan Bang Ali agar percaya Saga tidak main-main, karena memang sang manajer hanya tahu jika Saga bad boy, bukan gay. “Aku nggak paham. Kenapa Bang Ali selalu membahas masalah nggak penting ini?”
Bang Ali mendongak. Refa tahu, lelaki itu tengah menghirup oksigen untuk memenuhi rongga pernapasannya. “Kamu inget, saat sekolah dulu, Fa? Kamu selalu kena masalah gara-gara bergaul sama temen yang salah, dan kamu yang menderita.”
Refa tidak paham mengapa Bang Ali membahas masalah itu. Itu masa lalu, dia memang kakak kelasnya tapi kenapa membahas masa lalu yang membuat rasa perih itu kembali?
“Aku nggak mau kamu kayak dulu lagi, Fa. Cukup dulu, kamu sakit seperti orang bodoh!”
“Aku bahagia dengan hidupku yang sekarang,” balas Refa datar. “Aku nggak merasa seperti dulu, Saga beda. Dia bisa ngelindungin aku.” Refa semakin menekan Bang Ali, agar dia tidak perlu mencampuri urusannya.
“Refa! Kamu belum tau masalah apa yang akan kamu dapet nantinya.”
“Dan aku belum tau masalah apa yang membuat Bang Ali setakut ini.”
Dia menatap Refa dengan ekspresi tak terbaca. Bang Ali tidak pernah seperti itu sebelumnya, ia merasa sakit melihat ketidakpercayaan lelaki itu kepadanya.
“Siapin Saga, dia ada jadwal reading setelah jam makan siang.” Bang Ali bersikap biasa kepada Refa, terkesan dingin dan aneh. Refa semakin tidak mengerti.
*
“Maaf, makanan kamu telat.”
Refa yakin Saga hanya akan diam. Dia sudah sibuk dengan ponselnya sedari tadi. Ia tidak ingin ambil pusing kenapa dia seperti itu. Ponselnya yang berada di meja mulai bergetar, Saga melihat nama yang tertera. Itu adalah Rega. Tanpa meminta izin, Saga mengambil alih panggilan tersebut.
“Ngapain lo nelepon cewek gue?!”
Huh! Jujur, aku lelah dengan perseteruan keduanya.
Refa Lelah, karena sama sekali tidak mengetahui masalah apa yang memicu dendam antara Saga dan Rega.
“....”
“Nggak usah basa-basi, ngomong sekarang. Nggak ada ketemu-ketemu segala!”
“....”
“Gue matiin kalo lo nggak ngomong lagi!”
Saga mematikan terlebih dulu. Refa tidak percaya, jika akan serumit ini Rega mengejarnya.
“Masalah yang sebenernya antara kamu sama Rega, apa yang pernah terjadi sebelumnya?”
Refa melihat keengganan Saga membahas masalah ini. Benci rasanya menghadapi sifat Saga yang selalu menganggapnya orang asing, sedangkan dia mendorong Refa masuk dalam bagian hidupnya.
“Nggak ada.”
“Apa cuma aku yang harus selalu b**o kayak gini?!”
Lagi-lagi mereka harus berdebat masalah itu. Refa sebenarnya tidak ingin, tapi ia sungguh ingin mengetahuinya.
“Jangan memaksa, Fa!”
“Terus aja, kamu kayak gini, Ga! Kamu harusnya tau, aku berusaha buat ngertiin kamu. Kalo kamu bersikap kayak gini terus, aku nggak jamin bisa bantu kamu!”
Keduanya dalam keadaan berapi-api. Untuk itu, Refa memilih meninggalkan Saga terlebih dulu. Hari itu sangat melelahkan baginya, dan akan sangat mengganjal hingga hari esok.
*
“Artis Indo itu rewel, manja!” keluh Angga.
Dia artis dan memaki sesama artis? Ada apa dengannya?
Refa sedikit akrab dengannya, walau tidak terlalu dekat. Namun, dia memiliki kepribadian sangat terbuka. Meski artis, tapi sama sekali tidak menjaga jarak dengan penggemarnya.
“Kamu itu aneh!”
Angga membalas tatap tidak percaya kepada Refa. “Kok gitu?!” Sepertinya dia agak tidak terima karena dibilang aneh, mungkin.
“Ya, iya ... kamu itu juga kan artis, malah ngomong kayak gitu. Aneh, ‘kan?”
Angga menggelengkan kepala dan terlihat sangat percaya diri. Refa rasa, efek karena dia sering berhadapan dengan khalayak ramai. “Mereka yang aneh! Kalo aku, sih, nggak ... nggak sedikit.”
Refa tertawa. Inilah salah satu hal yang ia sukai dari Angga. Dia bisa membuat suasana sepi menjadi ramai. Lelaki itu memiliki jadwal take yang berbeda dengan Saga. Jadi, ia memiliki waktu berbincang dengannya.
“Eih, malah ketawa.”
“Sori, sori. Aku bener-bener heran, muka kamu yang datar pas ngomong kayak gitu, bikin mules tau, nggak?! Haha.”
Lumayan, untuk menghilangkan stres. Menghadapi Saga beberapa hari ini, memang cukup membuatnya pening. Harus bersikap biasa, sedangkan ia tidak biasa dengan amarah yang masih di puncak. Membuat pekerjaan ini terasa berat.
“Kamu nggak bosen kerja sama Saga?”
“Nggak. Kenapa emangnya?”
Angga berdecak. Refa bisa melihatnya memamerkan tampang sok detektifnya itu. “Ya, kayak yang tadi aku bilang. Dia salah satu yang super manja dan rewel. Buktinya, udah punya manajer, masih aja pake asisten.”
Refa sedikit agak bingung, sih. Karena Angga sepertinya memang tidak suka dengan pencapaian Saga. “Nggak juga. Saga nggak manja dan nggak rewel, kok.” Refa sengaja membuat Angga panas kali ini. “Yang penting, dia bisa bayar aku sebagai asistennya dengan nominal yang nggak cetek!” celetuknya, membuat Angga langsung menoleh.
“Kamu mau nggak jadi asistenku?”
Lho? Kenapa dia jadi bersemangat menjadikanku asisten, sih?
“Hah? Ngapain? Lagian aku udah telanjur sreg sama Saga,” tolak Refa secara aman.
“Heleh, cuma gara-gara pacaran sama Saga. Kamu bilang kayak gitu, belom aja kalo ditinggalin sama dia. Baru nyari-nyari yang baru.” Angga mendekati Refa yang tengah duduk di sofa, sedangkan sebelumnya duduk di kursi rias. “Bagi nomor hape, dong!”
“Buat apa?” selidik Refa pada Angga.
“Siapa tau berubah pikiran, kalo asisten artis semuanya kayak kamu ... siapa yang mau nolak?”
Sepertinya memang Angga ini agak sinting, karena dia mulai duduk menghimpit Refa.
“Pantes aja, Saga suka deket-deket kamu. Wangi tubuh kamu khas bunga ternyata,” katanya, dengan mencondongkan tubuh menghirup jengkal tubuh Refa.
Sebenarnya Refa biasa saja, karena pada dasarnya ia bisa beladiri. Sudah sejak SMP, ia mengikuti kelas tambahan beladiri. Berkumpul dengan para laki-laki sejujurnya biasa untuknya. Refa masa bodo dengan Angga, dan memilih sibuk memainkan ponsel. Namun, tak berapa lama Angga yang semakin mendekat, langsung terhuyung akibat tarikan seseorang. Siapa lagi, kalau bukan Saga.
“Jauh-jauh, lo!” Saga terlihat sudah lelah, tapi masih sempat mengancam orang.
Refa akui, Saga memang memiliki tubuh atletis. Dia selalu rutin berlari dan berolahraga ringan setelah bangun tidur. Ukuran tinggi saja, Angga kalah. Jelas Saga sangat unggul dibanding lelaki di sebelahnya.
“Yaelah, gitu aja sewot!” sergah Angga.
Jujur, Refa ingin tertawa terbahak melihat tingkah keduanya. Namun, niat itu ia urungkan mendapati Saga yang menitik tajamkan pandangan atas dirinya.
“Ayo pulang!” ajaknya yang mendahului Refa.
Maunya apa sih, dia itu?!
*
“Maaf,” ujarnya membuat Refa bingung.
Mereka baru saja sampai, dan Saga langsung meminta maaf. Entah setan apa yang sedang merasukinya. Refa memilih menulikan telinga, membiarkan Saga yang sudah berdiri di belakangnya saat sedang mengambil air mineral.
“Refa, aku minta maaf.”
Kembali, Refa mendengar kata maaf dari bibir Saga. Ia masih enggan berbalik, membiarkannya terlebih dulu.
“Aku nggak ngomong sama patung, Fa.”
“Setelah maaf, lalu apa?” kata Refa, membalas desisannya yang kukuh tidak ingin menganggapnya sebagai patung.
“Oke. Aku tau aku salah, aku nganggep kamu nggak ada. Sorry.”
Refa tahu ucapannya tulus.
“Aku cuma belum siap membagi kisah ini sama kamu,” tambahnya.
Untuk yang ini, Refa menjadi malas kembali meladeninya. Ia berniat melangkah pergi, tapi Saga memeluknya dari belakang. “Itu sebelumnya, sebelum aku sadar harus mulai mengubahnya. Supaya kamu bisa membantuku.”
Refa takut. Ia takut tidak akan bisa melepaskan Saga jika bertekad membantunya, yang belum tentu mampu berubah orientasinya.
*
Sekarang atau tidak selamanya, itu yang Refa cantumkan di hatinya. Saga sudah sedikit menjelaskan, jika Rega adalah saudara tirinya. Meski Saga benar-benar tidak ingin membahas masalah itu, dan tidak rela menyebut nama Rega sebagai saudara tiri. Namun, yang jelas Refa ketahui, itulah penyebab Saga menjadi seperti ini.
Rega menguasai saham keluarga Hilmiya. Sama sekali tidak Refa sangka, jika Saga menjadi memiliki kelainan s*x akibat salah satu pegawai ayahnya. Ia juga tidak ingin membahas bagian gila itu. Paling ia jaga saat ini, adalah menjauhkan diri dari Rega sebisa dan sejauh mungkin. Ia benci kehadiran Rega, karena mengambil banyak hal dalam hidup tenangnya.
“Kita mau ke mana, Saga?” Refa tidak mengetahui akan ke mana dirinya dibawa oleh Saga. Karena menurut penuturan Ali, Saga bebas dari rutinitas apa pun.
“Kita liburan,” jawab Saga dengan fokus menyetir.
Refa mulai tersipu. Ia mulai yakin jika Saga memang memiliki niat untuk berubah. “Kita nggak bawa apa-apa, lho? Kenapa nggak bilang, sih?” Refa sudah panik. Akhirnya memilih berceloteh atas Saga. Ia sama sekali tidak memiliki persiapan apa pun.
“Nggak usah berlebihan gitu, Fa. Kita tinggal beli, jangan ribet!”
Alur pemikiran Saga dan Refa selalu berseberangan. Tidak ada yang selalu mulus tanpa perdebatan. “Udah tau kamu suka ribet kalo urusan higienis atau nggaknya. Kamu pasti beli yang mahal-mahal, dan ujung-ujungnya malah nambah ngabisin uang kamu.”
“Ya udah, lagi pula pasokan duitku nggak akan habis. Kenapa mesti repot, sih, Fa?”
Refa mendengkus, lelah untuk menanggapi sikap Saga yang selalu menggampangkan segala hal. Ke depannya, ia tidak akan mengerti bagaimana meladeni Saga yang begitu bertentangan dengan dirinya.
“Terserah kamu!” Ucapan yang selalu sama ketika Saga atau Refa mulai marah, dan pasti enggan berbicara. Cara terampuh agar kebungkaman keduanya dimulai.
“Fa, jangan ngambek dong. Kita mau liburan, bukan ajang marah-marah kayak gini.” Saga mencoba menenangkan Refa dan emosinya.
“Huh! Oke, aku nggak akan ganggu acara liburan kamu—”
“Kita, Fa!” tekan Saga, agar Refa paham ini adalah acara mereka berdua.
“Ya, apa pun itu ... aku nurut kali ini.”
Dengan senyuman merekah, Saga melajukan mobil dengan tenang. Jika Refa mulai kembali mengoceh, maka baginya itu sangat berguna.
*
“Mau aku bantuin?” Refa berdecak kesal, karena Saga kembali menggodanya.
“Gara-gara kamu, aku harus beli pakaian kayak gini!” sungut Refa, yang sejujurnya malu untuk memilih bikini di toko khusus tersebut.
“Tinggal pilih aja, nggak usah ribet. Ya, walaupun aku lebih suka kamu pakai yang warna merah ... seksi diliat.” Saga membisikkan penuh rayu di telinga Refa.
Tentu saja perempuan itu merasakan bulu kuduknya berdiri. Saga bagai setan yang begitu menggoda dirinya. Mata Refa yang sebelumnya terpejam, kembali sadar saat mendengar kikikan Saga.
Sial! Refa merutuki diri dalam hati.
“Udah, cepet. Kamu nggak mau kehilangan momen terindah liat sunset, ‘ kan?”
Akhirnya, Refa memilih mengambil salah satu yang Saga katakan. Berwarna merah dan terlihat kontras dengan kulitnya, menambah kesan sexy. Meski sebenarnya, tanpa bikini itu ia memang sudah memiliki sisi menggairahkan tersendiri. Keduanya ke luar dari took, dan kembali menaiki mobil menuju tempat yang sama sekali Refa tidak ketahui letaknya.
“Ga, kasih tau dong! Sebenarnya kita mau ke pantai mana? Kalo terlalu banyak pengunjung, aku nggak mau pake bikininya.”
Saga kembali terkikik pelan. Di balik kaca mata yang Saga kenakan, ada sorot mata tak percaya atas perempuan yang duduk di sampingnya itu. “Nggak akan banyak pengunjung, sepi. Cuma kita berdua. Jadi, nggak ada alasan kamu untuk nggak pake bikini mahal itu!”
Saga semakin membuat Refa penasaran. Pantai seperti apa yang tidak berpenghuni? Hanya ada dirinya dan Saga? Refa menggantung pemikirannya tinggi-tinggi.
Nggak mungkin pantai eksklusif milik Saga, ‘kan?
Batin Refa masih saja berkecamuk, hingga membuatnya tidak sadar jika sudah berada di tempat yang Saga tuju.
“Ayo turun, Honey ....” Saga menyentuh pipi Refa agar perempuan itu tersadar.
Refa menurut, dan saat itu juga angin pantai menyambutnya begitu damai. Ada rasa tidak percaya, yang dilihatnya adalah pemandangan luar biasa cantik.
“Suka?” bisik Saga, seraya memeluk pinggang Refa.
Tanpa bisa berkata-kata, Refa membalas dengan anggukan.
“Jadi, bisa kita mulai, Honey ... to making love in this place?”
*
Refa suka, sangat suka. Pemandangan itu lebih dari kata indah. Ia bahkan tidak tahu bagaimana cara mengungkapannya. Saga membuatnya bahagia dan semakin mencintainya. Namun, kata-kata yang baru saja terdengar membuatnya menegang takut.
“Kamu gila?!” Refa memekik keras dan langsung membalikkan tubuh.
Saga bersikap biasa, malah dengan santai mendekat dan menarik pinggang Refa, menempelkan bagian tubuh mereka. Refa tahu sangat sulit bagi Saga untuk berdiri, walaupun ia sedikit sengaja menggesekkan milliknya dengan milik lelaki itu. Bahkan malam-malam sebelumnya saat mereka ingin melakukan penetrasi, harus selalu pemanasan yang benar-benar pemanasan. Lebih tepatnya, ia yang sangat panas akibat lelah duluan menunggu Saga melucuti pakaian dan membenamkan diri di dalam tubuhnya.
“Santai aja, aku cuma mau kita nikmatin waktu berdua ini. Nggak ada salahnya, ‘kan?”
“Ya, tapi nggak mungkin di pantai ... di atas pasir?”
Saga menggerakkan telunjuknya di permukaan bibir Refa. “Sssttt, nggak akan aneh. Kamu tau, aku penasaran sama adegan drama Korea yang kamu tonton kemarin. Mereka main di pantai, di atas pasir. Nggak jadi masalah.”
Astaga! Aku bisa gila. Aku memang menonton drama itu, dan Saga ingin mempraktikkannya denganku.
“Itu cuma drama, Ga! Kamu beneran mau bikin aku malu, ya?!”
Saga hanya mengeluarkan senyuman mautnya. Bodohnya, lagi-lagi ia tidak bisa mengendalikan diri akan senyumannya. Dia membuatnya hilang kesadaran, bahkan hanya dengan sebuah senyuman.
“We should to try, nggak ada yang nggak mungkin. Lagian, aku udah bilang, nggak ada orang di sini. Cuma aku dan kamu.”
Refa ingin membalas argumennya lagi, tapi bungkam dalam sekejap. Saga membuat perempuan itu melunak akan lumatannya. Dia … perayu ulung dan good kisser. Ia kembali siap dengan sentuhannya, sangat siap. Selama kurang lebih sepuluh menit ciuman mereka berlangsung, Refa terengah ketika Saga melepaskan tautan bibir mereka. “Berubah pikiran, heum?”
Aku mengubah keputusan sepertinya ....
“Nggak ada salahnya kita mencoba,” kata Refa yang mengalungkan tangan di leher Saga, mengerling genit untuk menarik perhatiannya.
Saga membalas kerlingannya dan beralih mengambil sesuatu di bagasi mobil. Perempuan itu hanya melihatnya, dengan gerakan tubuh yang sebenarnya biasa saja. Namun, ia sudah memikirkan hal gila, berangan untuk mencecap rasa tubuh atletisnya itu.
“Buat apa?” Refa bertanya, saat melihat Saga membawa kain seperti untuk piknik. Dia memberikan bikini yang sudah ia sepakati untuk memakainya.
“Kamu tau persis bagaimana adegan di drama itu, jangan konyol nanya kayak gitu!” desis Saga.
Refa bahkan hampir melupakan seluruh ingatannya, yang ada hanya Saga dengan sejuta atau milyaran bayangan yang memabukkan.
“Ganti di dalem mobil, aku tunggu di sana,” titah Saga yang kemudian ia sanggupi. Heran juga, bagaimana mungkin dia masih bisa menyuruh mengganti pakaian, sedangkan nantinya dia akan melihat seluruh bagian tubuhnya.
Masa bodo!
Refa menjadi lebih bersemangat akibat Saga sekarang. Katakan jika ia mulai maniak s**s, dan memang itu karena Saga ... hanya Saga.
*
Refa mulai jengah sekarang. Saga malah asyik menyelam dan membiarkannya terpajang di pinggir pantai, bosan menunggu.
Ada apa di otaknya itu?
Jujur ia sangat sebal, bahkan tidak lagi memikirkan semangat untuk b******a dengannya.
Aku bosan!
Bahkan ia merasa terlihat seperti manekin konyol yang bertengger di pinggir pantai, menampilkan bikini mahal terbaru yang harus para sosialita beli.
Sudah cukup! Aku akan kembali ke mobil, bosan menunggunya.
Refa sudah menyiapkan diri dengan seluruh kegugupan untuk menampilkan tubuhnya yang terbalut bikini sesuai keinginan Saga, tapi justru tidak berguna sama sekali. Langkahnya terasa berat berjalan di atas pasir putih pantai, dan semakin berat ketika tangan kekar melingkari pinggang serta kepala basah yang menyandar dagu di bahu perempuan itu.
“Lepas!”
“Sorry,” ucapnya yang menurut Refa tidak menggambarkan penyesalan sama sekali. “Aku tau aku salah, aku bikin kamu nunggu.”
Ia tidak ingin membalas ucapannya, sungguh. Refa sudah malas, lelah menunggunya, dan dengan mudahnya dia mengatakan hal itu. Saga mulai membalikkan tubuhnya, dan menarik dagu Refa agar melihat wajah lelaki itu.
“Aku nggak bermaksud bikin kamu marah. Aku cuma mau ngasih kamu waktu buat menikmati suasana menjelang senja di pantai ini, ternyata aku salah. Kamu udah nggak sabar ternyata.”
Oh, Tuhan. Aku malu sekali.
Pipi Refa sudah merona merah. Perlahan, tapi pasti. Saga membuat jarak mereka habis. Dia mulai melumat bibirnya, mencecap rasa pelan-pelan, mengultimatum gerakan s*****l. Di bawah gerakan mentari yang mulai tenggelam, Saga menenggelamkan Refa dalam pesonanya. Perempuan itu menarik pagutan bibir sejenak dan mengatakan apa yang ia rasakan sekarang.
“Saga ... I'm drunk of you.”
*