[Rega]
Aku nggak akan pernah percaya sama kamu dan lelaki itu. Aku akan terus mencari dan mendapatkan kamu. Sayang, aku tau kamu juga menginginkan aku.
Refa mendesah frustrasi melihat isi pesan yang Rega kirimkan. Sudah lima hari sejak berita itu menyebar, dan Saga menerapkan skenario buatannya yang masih tergolong biasa; bergandengan, menyeka keringat satu sama lain, terkadang Saga merangkul Refa intens. Namun, terus saja Rega meneror dirinya yang benar-benar lelah.
“Jangan tunjukin muka lelah kamu kayak gitu, Honey,” ucap Saga, yang langsung menangkup wajah Refa di hadapan para kru shooting. Awalnya ia ingin menyentak tangan Saga, tapi gerakannya terhenti merasakan tangan itu mengerat tidak wajar dan tatapan mata yang menusuk Refa, memberi tanda akan keadaan sekeliling.
Meski berusaha tidak menolak, tapi Refa tetap memasang raut yang tidak biasa, Saga memang jelas aktor kelas kakap. Buktinya dia bisa berperan aktif sebagai karakter penyayang, perhatian, dan luar biasa wibawa kelakiannya.
“Aku tau ,Rega nggak akan pernah bisa ngelepas mainannya gitu aja. Jadi, mau nggak mau kita harus lakuin rencana yang lebih ekstrim,” ucap Saga membuat Refa merinding seketika.
“Maksudnya?”
Saga menghantar senyum jail. “Kayaknya aku memang cocok jadi sutradara.”
“Saga ... aku benci liat kamu yang kayak gini,” desis Refa. “Kamu dan otak kamu itu ... benar-benar menakutkan!”
*
Refa tidak pernah tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Lelaki itu—Rega—yang terobsesi padanya. Saga yang membuat skenario agar Refa menjadi tamengnya dan sekarang, keluarga perempuan itu yang meneror meminta uang. Ia cukup terkenal sekarang, dan itu menjadi salah satu kesempatan bagi keluarganya untuk memeras.
“Kamu mau ngapain lagi?!” Saga masuk ke mobil. Refa memang sengaja menghindarinya yang sedang menjalani pemotretan.
Untuk apa aku membuat drama lebih banyak saat berdekatan dengannya?
“Banyak wartawan yang ada di sini, kamu masuk ke dalam temenin aku. Nanti mereka nyebarin berita yang lebih gila lagi.”
Refa menggeleng, baginya tidak akan ada yang berbeda mengikuti instruksi masuk bersama Saga atau tetap di dalam mobil. “Aku capek, males kalo diliatin sama kru. Kamu tau sendiri, kamu yang lagi photoshoot, aku yang kena perhatian dari mereka ... tatapan aneh pula!”
Refa suka dengan cara Saga yang selalu menghargai pendapat. Dia memang arogan mengambil tindakan dalam drama yang keduanya buat, tapi Saga cukup bisa membuatnya yakin.
“Nggak. Aku takut kamu kenapa-kenapa, tolong ... kamu turutin permintaan aku sekarang.”
“Kamu tau sesuatu, ‘kan?” Refa mulai menyelidik.
Saga menghela napas berat. “Rega lagi mengarah ke sini, aku takut kamu nggak bisa ngelak lagi dari dia.”
Refa selalu bingung sekaligus penasaran bagaimana cara Saga mengetahui adanya Rega atau Alexa, dan selalu siap membuat adegan panas di hadapan mereka.
“Cuma aku, ya? Yang b**o di sini.” Refa tahu, Saga tidak menyukai perkataan itu yang terlalu merendahkan diri. Saga bahkan tidak pernah merendahkannya sama sekali.
“Kamu masih cinta sama Rega?” Pertanyaan yang menyulut emosi sebenarnya. Refa sendiri masih bingung.
“Saga ... aku males bahas ini.”
“Terserah! Kalo kamu mau berurusan panjang sama dia, dan wartawan semakin ngeributin kamu. Aku nggak tanggung!”
Sudah tentu ucapan tersebut bagian dari ancaman. “Oke. Aku ikut!”
Langkah gontai Refa lakukan saat menuruni mobil, memang area ini tidak begitu dipadati wartawan. Namun, cukup penuh di bagian yang agak menjauh dari studio. Banyak yang mengambil gambar kebersamaan Refa dengan Saga. “Apa sih, maunya mereka itu?!” desisnya, saat menyamai langkah dengan Saga.
“Kamu tau, kalo aku publik figur yang terkenal. Standar kayak aku, paling dicari banget celahnya.” Saga memang menatap ke arah Refa. Setelah ucapannya yang pertama selesai, ia mengamit tangan perempuan yang ada di sampingnya, mendekatkan padanya.
“Harus selalu gini, ya?”
Saga membalas dengan anggukan antusias. “Kalo aja aku nggak inget Bian ... nggak akan aku bantu kamu!” Tatapan Saga itu ... sudah sangat was-was kalau Refa ingin menarik Bian dari hidupnya.
Dengan dengkusan keras, Refa berkata, “Ck, jangan kekanakan! Kamu tau Bian suka banget sama kamu. Mana bisa dia berpaling darimu!”
Lalu, Saga melemparkan senyuman.
“Saga? Kamu ... sakit?”
Saga memberi gelengan kepala yang berarti tidak sama sekali. Kali ini, tangannya terulur mengusap rambut Refa lembut. “Kamu itu, perempuan paling aneh yang pertama kali menolak pesona aktor pro bernama Saga.”
“Percaya diri banget! Lagian, kita harus profesional, antara majikan dan babu.”
“Babu?” Saga mengernyit heran, tapi Refa belum bisa mengerti dengan sikap tidak terima Saga atas perkataannya.
“Kenapa? Kok kamu kayak nggak terima,” balas Refa mengikuti langkah Saga yang tiba-tiba berhenti.
“Kamu menganggap aku jadiin babu selama ini, Fa?”
Tentu saja Refa mengangguk. “Emang bener, ‘kan?”
“Nggak. Sama sekali nggak benar.”
Refa menatap bingung ketika Saga membuat posisi berhadapan dengan tatapan serius. “Kamu itu ... keluarga, Fa. Kamu keluargaku ....”
*
Benar. Refa baru merasakan selayaknya keluarga. Saga memang memiliki sisi yang luar biasa mengejutkan. Tidak bisa langsung dimengerti, tapi yang jelas ia menyukai sikap Saga yang sering berubah-ubah layaknya sedang bermain peran. Di mana Refa ada, Saga bisa memarahinya, membentak, memberikan perhatian, lalu menggertak secara sengaja.
“Makan, Honey.” Saga menyuruh Refa untuk segera menghabiskan makanan itu. Bagaimana ia bisa menghabiskan makanannya, jika Rega bergabung dengan meja yang sama bersamanya dan Saga. Lelaki yang ada di sampingnya itu langsung mengusap kepala Refa, dengan memperlihatkan kasih sayang tentunya.
“Kamu sakit, ya. Kalo kamu kayak gini mending kita pulang, aku bisa rawat kamu.” Saga menggerakan jemarinya mengusap pipi. “Aku nggak bisa liat kamu diem terus, Honey.”
Dari ekor mata, tatapan Rega memang menjurus kepada tingkah yang Saga lakukan. Tanpa Refa pahami, Saga membiarkan Rega duduk satu meja dengan mereka. Lagi-lagi tanpa persetujuan, Saga mengecup kelopak mata Refa. “Kita pulang, kamu benar-benar nggak sehat.”
*
Suasana pagi menyapa indra yang Refa miliki. Ia terbiasa bangun pagi, tapi semalam baginya benar-benar melelahkan. Paling parah, ada yang melekat kuat di pinggangnya terasa erat. Tangan Saga, ya ... itu adalah tangan Saga. Refa gusar, tentu saja. Sebagai lawan main seorang artis, ia sungguh buta akan gimick dalam skenario yang Saga buat. Semalam, setelah memberikan kata manis serta sikap luar biasa romantic, Saga menciumnya dari ruang tamu hingga kamar.
Tidak Refa ketahui mengapa Saga melakukan hal itu. Bukan sekali lelaki itu menciumnya, tapi kali ini ia merasa ada yang aneh pada tingkah Saga di dalam rumahnya sendiri.
“Jangan bangunin aku,” kata Saga yang merasakan gerakan Refa.
“Itu kamu udah bangun.” Dengan nada lelah dan khas orang bangun tidur, Refa membalasnya.
Dalam hati, ia sangat lega karena pakaiannya masih utuh. Mereka hanya sebatas saling menautkan bibir. Bagaimanapun, Saga adalah laki-laki. Meski tidak memiliki nafsu padanya, tetap saja berisiko bahaya jika diteruskan.
“Jangan berisik, please ....”
“Terserah.”
Refa menghempaskan tangan Saga, tapi tangannya langsung ditarik kembali oleh lelaki itu. Dengan dengkusan keras, Refa menatap ke arah Saga yang masih memejamkan mata. “Apa lagi?” geramnya.
“Ganti baju kamu sama kemejaku.” Sontak Refa langsung mengernyit.
“Buat apa?”
Saga memaksa membuka mata, lalu berdecih menatap Refa yang menatap tajam juga ke arahnya. “Bisa nggak, sekaliiiiiii aja ... kamu nurut tanpa bantahan?”
“Kapan aku nggak pernah nurut?” Sepertinya pagi ini akan menjadi pertengkaran mereka entah untuk keberapa kalinya.
“Oke. Kayaknya kamu nggak akan pernah nurut kalo nggak dikasih tau.” Saga mengambil ancang-ancang untuk melanjutkan ucapannya.
“Rega. Laki-laki kamu itu, dia masang CCTV di ruang tamu dan ruangan lain kecuali kamar ini: yang udah jadi kamar kamu dan kamar mandi,” ujar Saga membuat Refa terperangah.
Saga mampu melihat keterkejutan di wajah Refa. Pasti. Memang itu tujuan Rega melakukan semua itu. Jika saja kemarin Refa mendengar pembicaraan antara dirinya dan Rega, ia akan lebih terkejut mendengarnya langsung dari bibir kurang ajar Rega.
“Jangan bohong, Saga!”
“Harusnya kamu tau, tapi sayangnya Rega datang di saat kamu ke toilet. Pas kamu balik, kamu masang wajah nggak suka.” Saga menggaruk rambutnya seperti orang malas melanjutkan, tapi harus terus menjelaskan pada Refa yang ... cukup keras kepala.
“Aku tau, Fa. Kamu pasti mikir, aku sengaja nyuruh dia gabung di meja kita semalam, tapi nyatanya aku nggak sedangkal itu kali. Dia nggak menggertak aku duluan dengan sesi pembicaraan nggak mutu dia. Awalnya aku pikir Rega bohong, cuma sekadar ‘nakutin’ ... pas aku lirik, ada kamera kecil yang nggak langsung bisa kita liat. Makanya, semalam aku sengaja nyium kamu dan tidur di sini,” ucap Saga panjang lebar.
“Hah, nggak masuk akal!”
“Memang pacar kamu itu nggak masuk akal—”
“Dia bukan pacar aku!”
*
Setelah mendengar semua hal yang sempat disangkal oleh Refa, akhirnya skenario mereka semakin bertambah luar biasa menegangkan. Lebih tepatnya, Refa yang merasakan ketegangan itu.
“Jangan masang muka kayak gitu, Fa. Seenggaknya CCTV itu nggak bisa membuat suara kita terdengar, tapi cukup ampuh bikin Rega bisa baca ekspresi kamu itu.”
Refa memutar bola mata kesal, sungguh lelah berlama-lama dengan semua akting ini. “Kenapa nggak kamu lepas CCTV itu? Kamu orang kaya yang lebih dari cukup buat bayar orang ahli. Kalo kayak gini, kamu tuh sengaja banget bikin aku stres!” desis Refa dengan mimik yang berbeda, hanya demi bersikap tenang menonton TV di depannya. Fokusnya terpecah, akibat gerakan tangan Saga yang mengelus lembut rambutnya.
“Stop, Saga! Jangan bersikap berlebihan, deh.” Refa tidak suka.
“Kamu harusnya sadar, dengan tingkah kamu yang kayak gini ... kamu keliatan grogi deket sama aku,” bisik Saga, sengaja agar terlihat meyakinkan di rekaman CCTV.
“Aku bisa gila karena semua ini,” cecar Refa, yang sedikit banyak menyindir Saga juga.
“Let see, sampai kapan laki-laki itu akan bertahan kalo wanitanya terus-terusan aku sentuh.” Saga melanjutkan skenario gilanya. Bagi Saga, ada kepuasan tersendiri jika berakting tanpa kontrak yang disepakati.
Saga melumat lembut bibir Refa. Selayaknya kekasih yang sangat mengidamkan wanitanya. Dia begitu lihai memainkan lidah di dalamnya, hingga posisi Refa tanpa sadar sudah berada di bawahnya. Yang paling perempuan itu takutkan, adalah di saat seperti ini. Ketika Saga melepaskan tautan yang sudah merekat kuat, menaikkan hasratnya atas Saga, dan laki-laki itu melepas segalanya begitu saja. Refa sangat takut untuk menunggu hal yang tidak pernah ia mengerti keadaan serta keberadaannya.
“Haruskah ... kita melanjutkan yang lebih menantang lagi, Honey?”
*
“Aku mau minta izin ke kamu.” Bian mengawali pertemuan dengan Saga tanpa berbasa-basi.
“Kenapa?” Ada nada khawatir, sangat jelas dan kentara atas ucapan Saga.
“Aku harus pulang, Ga. Ibuku sakit dan dia tinggal sendirian. Di Jerman, dia sendirian. Aku harus pulang.”
Saga memang tidak bisa menerima, tapi ia juga tidak bisa mencegah Bian agar tidak pergi ke sana. Dia tidak bisa egois dengan membiarkan ibu Bian yang sakit, sedangkan dia bersenang-senang bersama putranya. Lagi pula, lelaki itu tidak akan bisa fokus menjalani kinerjanya jika keadaan sang ibu belum stabil.
“Berapa lama?”
Bian juga belum mampu menjawab. Masalahnya adalah, ini semua bukan hanya tentang ibu Bian yang sakit, tapi juga ada alasan lain yang harus diselesaikan sendiri tanpa diketahui Saga.
“Aku belum tau pasti.” Tepat saat Bian mengatakan hal tersebut, Saga menarik napas dalam. “Dengar, Ga. Aku memang nggak bisa menjanjikan kembali dalam tempo waktu cepat, tapi aku memastikan akan menyelesaikannya secepat mungkin.”
Saga mendongak, malam yang ingin ia habiskan penuh kebahagiaan atas rindu, malah menjadi insiden perpisahan. Bian menyentuh tangan Saga, menggenggam erat guna menyalurkan kepercayaan akan kepastian hatinya pada lelaki yang ia cintai.
“Aku masih belum paham,” tambah Saga yang sejujurnya meleleh oleh genggaman Bian, tapi kepalanya masih setia mendongak.
“Saga, aku ngerti kamu nggak bisa merasakan jauh lagi dengan aku. Tapi, aku harus melakukan ini. Aku nggak akan sengaja ninggalin kamu kayak waktu itu. Aku nggak pergi dengan amarah. Aku pergi karena memang butuh.”
Sekelebat bayangan di mana Bian yang marah akibat melihat kedekatannya dengan Alexa pertama kali, membuat pria itu sukses patah hati. Bian yang kecewa, tanpa mendengar penjelasannya terlebih dulu, memutuskan pergi. Saga hampir tersedak abu kematiannya sendiri, jika saja Bian tidak kembali. Segera Saga menghempaskan bayangan menyakitkan itu, dan menurunkan pandangan pada Bian.
“Kamu percaya, ‘kan?”
Tanpa membalas dengan ucapan, Saga melumat bibir Bian. Kerinduan, sekaligus ketidakberdayaan yang mengejar dirinya, memutuskan menyentuh lelaki itu sepuasnya.
Malam ini, Saga ingin ada tanda kenikmatan sebelum dia tidak dapat menyentuh sumber kebahagiaannya lagi. Dengan kuatnya menyesap kualitas manis bibir Bian, menekan tengkuk. Saling memagut dan mengerang dalam gerakan memabukkan mereka. Bian membiarkan pasangannya mendominasi, ada gerakan frustrasi akibat kata izin perpisahan. Memaklumi bagaimana Saga menuangkannya. Permainan keduanya terbilang keras. Saga tidak mampu lagi menahannya.
“Berbalik, Bi!” seru Saga yang sudah siap memusatkan miliknya dalam diri Bian. Sepuasnya dia meremas b****g Bian, yang baginya begitu sintal berisi. Lelaki itu sudah telanjur menyukai bentuk keras yang didominasi otot. Sama-sama memiliki bentuk tubuh atletis, dan bisa menambah keterikatan atas masing-masing candu.
*
Refa mencemaskan Saga yang masih belum kembali. Lelaki itu hanya mengatakan untuk pergi sebentar, setelah kejadian tadi pagi—Saga menggodanya melakukan kegiatan lebih ekstrim. Wajah Refa tiba-tiba saja bersemu merah, kembali membayangkan bagaimana suara Saga menggelitik gendang telinganya. Lalu dengan cepat juga, ia menggelengkan kepala sangat keras, bahkan merasa lehernya hampir lepas akibat gerakannya itu. Berkali-kali Refa mengecek ponselnya, menunggu pesan atau panggilan Saga yang mungkin saja tertera di sana.
“Kamu di mana sebenarnya, Saga?” tanya Refa pada dirinya sendiri dengan frustrasi.
Refa juga berpikir tentang keberadaan CCTV, yang mengintai sudut ruangan apartemen. Kemungkinan terbesar, Rega akan menggunakan dan menyebarkan rekaman-rekaman kemesraan yang Saga dan dirinya buat, secara sengaja. Bodohnya Saga yang tidak menghiraukan karir puncaknya. Namun, Refa tidak bisa berbuat apa-apa, karena Saga yang berwenang di sini.
Bunyi pintu berderit, membuat Refa terlonjak senang. Namun, seketika itu juga wajahnya layu, melihat raut masam Saga. Tengah malam, Saga baru kembali ... dengan keadaan miris.
“Saga?”
“Tidur di kamarku, ya? Aku capek,” kata Saga, yang menoleh malas dan segera membuka pintu kamarnya.
“Aku buatin teh,” sambung Refa tanpa menunggu persetujuan.
Saga hanya melihat Refa. Dia sudah terlalu lemah menimpali hal lain. Hatinya masih sakit. Awalnya, dia ingin menginap di kediaman Bian, tapi dia memikirkan keadaan Refa. Di benaknya, bisa saja Rega melakukan suatu hal yang membahayakan Refa. Dia membuka helai pakaiannya satu per satu, sedangkan Refa datang menaruh teh di nakas samping ranjang. Perempuan itu tidak mengerti, kenapa jantungnya serasa ingin mencuat melihat lelaki bernama Saga membuka pakaian. Bukan kali pertama ia melihat tubuh laki-laki, tapi belakangan ini ada desir berbeda ketika menghadapi akting Saga.
“Ayo tidur!” Saga terlebih dulu merangkak naik ke kasur, diikuti Refa yang sebenarnya gugup.
“Habisin dulu tehnya,” sergah Refa.
Ia menyodorkan gelas berisi teh hangat, lelaki itu menurut tanpa banyak argumen. Setelahnya, ia menatap Saga yang berbaring lebih dulu.
“Untuk malam ini, biarin lelaki yang terobsesi sama kamu itu melihat kamu terlelap dalam dekapanku.”
*
Refa tidak tahu harus bertahan seperti ini sampai kapan. Bukankah ia sama gilanya jika mengikuti trik Saga? Namun, ia tidak merasa harus keluar dari lingkaran setan ini. Begitu pelik, tapi tidak ada yang menyadari risiko ke depannya sama sekali. Bahkan sudah ia wanti-wanti pada dirinya sendiri agar berhenti, dan tidak menambah harapan pada lelaki dengan orientasi s**s yang berbeda itu.
“Kamu tau, kenapa aku ngajak kamu ketemu?” Rega berhasil membuatnya untuk mau bertemu dengan lelaki itu. Refa heran, kenapa dia masih mendekat jika sudah sangat jelas hubungan gamblang yang Saga dan Refa buat. Tidak berniat menjawab, membiarkan saja lelaki itu berbicara dan mengoceh sendiri. Rega memajukan tubuhnya, lalu menyematkan anak rambut yang tersisa di sekitaran pelipis Refa. “Aku tau, kalian cuma pura-pura. Tapi aku nggak yakin, apa kemesraan kamu bisa melebihi malam dan hari-hari sebelumnya?”
Tunggu. Ini sama saja Rega menantang, ‘kan?
“Kamu—”
“Honey, kenapa nggak bales pesanku?”
Oh, astaga! Si hantu ini lagi. Saga itu, membuat orang bingung sangat handal sekali!
“Sorry, aku lupa deringin hape.”
Saga terlihat biasa saja dengan jawaban tersebut. Usapan tangannya begitu lembut pada punggung Refa. Lalu, dia melirik Rega dengan senyuman yang berkembang tanpa canggung sedikit pun.
“Ada urusan dengan kekasihku, Rega? Sepertinya kau memiliki waktu yang sangat luang hingga bisa membuntuti Refa, lalu mengajaknya bertemu di sini dan melupakanku.” Saga menekan kata melupakan. Refa benci saat Saga beralih melihatnya, saat mengatakan itu.
“Apa yang membuatmu merasa aku telah membuatnya melupakanmu? Kau kekasihnya, tentu memiliki kesempatan lebih. Dan aku, yang hanya berstatus sebagai mantannya ....” Rega ikut melirik ke arah Refa. “Hanya mantan kekasihnya, dan pernah mengikuti caramu saat menyentuhnya. Tapi, apa kekasihmu ini pernah memberi kenikmatan padamu, Nona?”
Ada apa dengan dua laki-laki ini? Apa membahas masalah ranjang akan sangat berpengaruh?
“Saga, lebih baik kita pulang.” Refa menarik tangan Saga, tapi sama sekali tidak berpengaruh. Lelaki itu masih berdiri kokoh membalas tatapan Rega.
“Gaaa,” desis Refa memanggil nama lelaki itu.
“Apa ada yang perlu kita klarifikasi di sini?” Lagi-lagi Rega memancing Saga. Refa yakin ini tidak akan cepat berakhir.
“Tidak. Tidak sama sekali!” Saga berbalik melihat Refa dengan tatapan yang tidak dimengerti, lalu berganti menuntun tangan perempuan itu agar mengikuti langkahnya yang sangat cepat.
“Saga,” sergah Refa, berusaha meronta akibat tangannya yang sakit. “Saga!”
Keduanya bertatapan untuk beberapa saat. Ada kabut amarah sangat kentara di manik Saga. “Sebenarnya ada apa kamu sama Rega? Aku yakin ini bukan hanya tentang motivasi perjanjian kita, ‘kan?”
Tidak ada jawaban, Saga benar-benar menyembunyikan sesuatu. “Ayolah, kamu memang manusia luar biasa penuh rahasia, Ga!” Refa kesal, sangat kesal.
Saga mendadak menjadi sosok bisu yang membuat kepercayaannya sedikit luruh. “Kenapa kamu sangat ingin tau?”
Refa mendengkus keras, mengalihkan pandangan dari lelaki di hadapannya yang begitu memuakkan. Ke mana kata-kata yang menyatakan jika aku bukan babu, tapi keluarganya? Lalu, kenapa sekarang dia berlaku seperti dirinya adalah orang asing?
“Aku siapa kamu, Ga? Apa aku harus selalu nanya kayak gini? Bahkan aku nggak berhak tau apa-apa tentang kamu? Oke, memang kayaknya aku cuma BABU kamu.” Refa putuskan meninggalkan Saga sendirian. Tidak peduli apa yang dia rencanakan.
*
Mendiamkan lelaki itu memang bukan keinginannya, bahkan Refa pulang ke rumah tidak bersama Saga dan mobil beserta sopirnya. Ia memilih terlambat malam ini, dan yakin Saga sudah meringkuk di ranjangnya. Ia membuka kenop pintu dengan segera, tapi pelan. Sangat perlahan, ia melangkah. Di sana, Saga duduk di sofa dengan santainya.
“Sebegitunya kamu menghindariku? Malas bicara?”
Refa tidak memedulikan ucapan Saga, tahu lelaki itu menunggu dan ia tidak ingin menanggapi. Ia terus berjalan, hingga tangannya sudah dicegat.
“Kayaknya kita harus selesaikan masalah ini,” ujar Saga, dengan mata yang tidak Refa mengerti arahnya. Ia memekik keras, saat Saga membopong tubuhnya menuju kamar.
“Saga!”
*
Refa tidak mengerti apa yang sedang terjadi di antara mereka. Antara dirinya dan Saga.
Shock! Tentu, itu penggambaran jelas. Ia ingin tahu, apakah yang Saga lakukan adalah murni akting atau ....
“Kenapa bengong? Mandi sana!”
Dengan santainya, Saga bilang seperti itu. Bahkan dia sama sekali tidak memperlihatkan raut yang menandakan keanehan. “Kamu kenapa?” tanyanya polos.
Hah! Dia tanya aku kenapa? Apa dia tidak sadar, semalam aku dan dia ... maksudku kami ... melakukannya. Ya, have s*x.
Refa sama sekali tidak mengerti otaknya. Ada apa dengan keadaan hati serta kepalanya?
“Nggak.” Refa menjawab dengan ketus.
“Kamu marah, Fa?”
“Nggak.” Berusaha menyingkirkan Saga dari hadapannya. “Minggir. Aku mau mandi,” katanya malas.
“Nggak, sebelum kamu jelasin apa yang terjadi sama kamu.” Dia ngotot, Refa akan lebih ngotot. Saga memang tidak tahu diri, sebagai perempuan Refa merasa ....
Argh! Lupakan, Refa! Dia gay, dia sama sekali tidak normal. Refa memilih melenggang pergi.
“Fa!” geramnya.
“Jadwal kamu hari ini mulai jam dua belas, Ali bilang kita harus cepet. Aku capek, istirahat sebentar ... terserah kamu mau ke mana.” Refa hanya menatap sekilas.
Melangkah dengan pelan, tapi pasti memasuki kamarnya sendiri. Saat pintu tertutup, ia berusaha menenangkan detak jantung yang tidak teratur. Refa tidak mengerti mengapa, tapi yang jelas ... ia sadar ini akan menjadi titik awalnya menaruh rasa pada Saga.
“Benarkah aku bisa merasakan ini pada Saga?” gumamnya, memastikan diri sendiri apa yang dirasakan. Refa mengacak rambut, lalu menariknya kencang. “Argh! Kenapa semalem aku ikut keblablasan, sih?!” Penyesalan memang selalu berada di akhir. Ia selalu merasa bodoh jika berurusan dengan laki-laki. Pertama Rega. Sekarang, Saga.
Ada apa dengan diriku yang selalu dipermainkan laki-laki seperti ini?!
Belum selesai jantungnya melonjak-lonjak, ketukan pintu memanggil kesadaran kembali.
“Fa! Aku butuh sarapan, kamu mau artis kamu ini kelaparan?” gema Saga, membuat degup Refa tidak beraturan lagi.
“Iyaaa, bentar. Aku bersih-bersih dulu!” teriak Refa.
“Ayo, Refa ... kamu pasti bisa menghadapi ini. Oke, rileks. Saga bukan apa-apa, oke ... Saga bukan apa-apa.”
Refa terus berupaya tenang. Menghadapi Saga tidak akan menyebabkan masalah apa pun. Masalahnya, saat ia membuka pintu dan mendapati lelaki itu yang tengah duduk santai di sofa, menonton televisi dengan seriusnya. Ia tidak mampu berkata-kata. Perlahan, ia melangkah tanpa menghiraukan Saga seperti biasanya. Refa tahu jika lelaki itu mengikuti di belakang.
“Masakin apa buatku pagi ini?”
Suara Saga yang menggema di telinga, sungguh membuat sensasi luar biasa menggelenyar dengan indahnya. Refa merindukan suara seperti semalam.
Tolol! Apa yang sedang aku pikirkan?! Saga tidak boleh mengisi hatiku, tidak boleh!
“Yang simpel aja, nasi goreng, ya?” tawarnya pada Saga seperti sikap biasa. Refa rasa bisa menyaingi aktor seperti Saga dengan berakting begini. Lelaki itu tersenyum, dan ia … meleleh.
“Masak yang enak, kalo gitu,” ucap Saga, yang langsung mencium kening Refa, bersemangat menunggu memasak.
*
Seperti yang diduga, malam ini akan ada kejutan kembali dari Rega. Baru saja Refa ke luar kamar mandi, ada Rega yang menyahut tangannya, menghimpit pada dinding dengan gerakan kuat, hingga membuatnya meringis sakit.
“Kamu gila?!” teriak Refa, yang dibalas tatapan tajam.
“Kamu bener-bener perempuan murahan, hum? Kamu pikir, dengan tidur sama laki-laki kayak dia, aku bakalan lepasin kamu?!” cecarnya penuh amarah.
“Kamu nggak berhak ngomong kayak gitu! Dia laki-laki yang ....” Refa tercekat, apa ia harus melanjutkannya atau tidak.
“Tapi apa, Refa?! Kamu cuma cinta sama aku, kamu hanya milikku!”
“AKU CINTA SAMA SAGA! BUKAN KAMU!”
Tanpa bisa diantisipasi, Rega membenturkan bibirnya pada bibir Refa. Melumat dengan keras, hingga ia merasakan sakit luar biasa. Bukan kenikmatan, sungguh! Refa menangis dalam gerakan kasar bibir lelaki itu.
Bugh!
Refa sedikit merasa ketakutan merajai dirinya.
“Lo b*****t! Lo nggak bisa denger kalo dia nggak cinta sama lo, hah?!”
Setelah didengarnya tak ada bunyi debuman keras lagi. Refa perlahan membuka mata.
“Ssttt, jangan nangis lagi. Aku di sini, oke ....”
Saga. Dia ... ya, aku tau aku memang mulai mencintainya.
*
Namanya kebiasaan, siapa yang akan menyangka jika keseharian seperti ini membuat Refa menjadi sangat berpaku pada Saga. Rega yang masih saja terus menerornya, membuat Saga semakin menguatkan skenario yang ia buat. Tidak peduli jika malam ini, Saga mabuk dan melakukannya tanpa kesadaran dan tanpa pengaman. Sejak kejadian di mana Rega mencium Refa dengan kasar, memberi efek yang menakutkan pada mental perempuan itu. Saga semakin mempererat jarak. Tidak ada yang bisa mengerti bagaimana semua hal tersebut dimulai, siapa yang memulai. Keduanya tidak mementingkan hal tersebut.
“Saga ....” Refa melenguh, saat gerakan lelaki itu semakin liar.
Refa belum pernah seperti ini sebelumnya. Jika berhubungan dengan Rega, maka ia lebih banyak menerima dengan pasrah. Sementara bersama Saga, Refa selalu menginginkan lebih. Tubuhnya menghangat, banyak peluh yang membanjiri tubuh keduanya. Saga memang tidak banyak mengerang, tapi sekali saja lelaki itu mengeluarkan suara, ia akan merasa sangat mabuk. Ini benar-benar menjadi pengalaman b******a yang sangat menyenangkan. Bagi Refa saat tidak ada pengaman itu, cairan milik Saga sangat hangat memasukinya.
Sementara bagi Saga—yang memang tidak sadar betul— menikmati pijitan luar biasa saat milik Refa berkedut dan menghimpit miliknya kuat.
“Ouh, Bian ...,” desah Saga, yang langsung membuat Refa menitikkan air mata.
Aku mencintaimu, Saga. Aku mencintaimu ....
Andaikan saja Refa bisa mengatakannya saat selesai percintaan mereka. Andai saja, namanya yang didesahkan oleh Saga. Wanita itu akan sangat merasa bahagia. Namun, ia sudah bertekad. Apa pun yang terjadi, ia ingin membuat Saga bahagia. Tanpa harus menuntut agar lelaki itu membalasnya, dan tanpa menuntut Saga agar kembali berorientasi s**s normal.
*
Pagi ini, Refa terlihat begitu segar. Begitu dalam menyelami senyum penuh bahagia. Meski ia akui sempat kecewa saat Saga menyebutkan nama Bian, padahal dirinya yang memberi kenikmatan pada lelaki itu. Ada pertanyaan yang berkecamuk juga di benak Refa, alasan yang membuat Saga mabuk seperti semalam. Ia ingin mengetahui hal tersebut.
Suara kursi yang diseret membuat Refa menengok sekilas. Sangat jelas, jika Saga yang mengambil tempat tersebut. Seperti kebiasaan yang sudah menjadi rutinitas, Saga terbiasa t*******g d**a dengan celana boxer. Mempelihatkan tubuh yang jelas sangat dijaga, meski bentuk badannya tidak sempurna seperti model-model luar negeri yang berotot besar. Namun, lelaki itu sangat mampu membuat tubuhnya sekal, hingga membuat jantung para perempuan berhenti berdetak. Termasuk, Refa.
“Semalem, kita ngelakuin lagi?” Saga mengambil roti yang sudah dioleskan selai cokelat oleh Refa. Jawaban yang Refa berikan hanya sebatas anggukan. “Berapa lama?”
“Tiga jam,” jawab Refa santai, padahal kenyataannya degup jantungnya meletup-letup tak keruan. “Kayaknya segitu frustrasinya kamu, sampe nyebut nama Bian.”
Saga terdiam, memilih menatap permukaan meja dari pada melihat wajah Refa.
“Kamu ... sama Bian, lagi marahan?” tambah Refa membuat Saga mau tidak mau mengalah.
“Gimana caranya supaya hubungan ini bisa bertahan?”
Seperti sangat membutuhkan dukungan, Saga memulai dengan suara yang lemah. Refa membiarkan lelaki itu meneruskan ceritanya, mengelus tangannya beberapa kali saat cerita itu mengalir dari bibir s*****l Saga.
Intinya, Bian tidak akan kembali untuk beberapa waktu ke depan. Ibunya Bian yang sakit, menginginkan Bian agar segera menikah, dengan perempuan sungguhan tentunya. Namun, Saga tidak bisa menerima hal tersebut, pastinya.
“Aku tau, aku nggak akan pernah ngerti bagaimana caranya. Tapi, aku juga nggak bisa ngeliat kamu kayak gini, Saga.” Refa memeluk Saga. Kulit Saga masih terasa baginya. Hangat dan memabukkan.
Maaf, Saga ... maaf karena aku mencintaimu.
*
Semua sudah Refa biasakan setiap hari bahkan setiap saatnya. Apalagi jika bukan tentang Saga. Ia hanya melihat serta mengamati dari kejauhan. Sama sekali bukan masalah, jika dia tidak melirik sama sekali. Refa suka Saga yang perhatiannya tulus, yang harus dilakukan adalah tetap menjaga perasaannya agar dia tidak mengetahui kebenarannya.
“Ngapain masih bengong? Bukannya cepetan pulang?” cecar Saga yang teramat cemas dengan keadaan Refa. “Cuaca lagi nggak bagus, Ref. Hujannya niat-niat, nggak-nggak. Kalo kamu basah kuyup dan tetep di ruangan ber-AC kayak gini ... aku nggak jamin, kamu bisa bantuin Ali besok.”
Seperti hari biasanya, Saga itu suka sekali berceloteh tanpa membiarkan Refa tenang. Ia lupa bagaimana ia benci ocehan lelaki itu, yang jelas semakin ke sini, ia semakin menyukai Saga dan ocehannya. Refa harap, Saga bisa melupakan kegalaua akan Bian dengan membuka mulut dan berbicara banyak seperti ini.
“Aku nggak akan sakit, kamu nggak perlu cemas kayak gitu.” Refa memang selalu berlagak kuat di hadapan Saga, meski pada akhirnya ... akan terlihat konyol dengan terbaring di kasur.
“Terserah kamu!” Seperti ini, tanda-tanda bahwa Saga akan marah dan berhenti bicara. Di dalam hati Refa sudah mulai terisi dengan sosok Saga. Bertepuk sebelah tangan, anggap saja seperti itu. Ia tidak peduli, yang begitu membuatnya yakin adalah dengan perasaan tersembunyi, maka dirinya akan tetap bahagia berada di sisi Saga.
“Mau ke mana?” tanya Saga, yang melihat Refa berjalan ke luar.
“Sebentar, angkat telepon dulu.” Refa sengaja berpindah tempat untuk mengangkat panggilan Bang Ali. Sama sekali, ia tidak ingin menutupi pembicaraan dengan Bang Ali dari Saga, tapi ini sungguh di luar kendali. Ali marah padanya, mengatakan skandalnya dengan Saga membuat karir artis itu tidak bagus. Dengan segera, Refa melesat meninggalkan Saga yang memilih duduk menghabiskan es krim buah yang dimintanya.
“Halo, Bang.”
“Lo bisa kan, berhenti dengan semua ini, Fa? Gue capek, ya, ngurusin pemberitaan kalian yang semakin buruk aja.” Keluhan Ali, benar-benar membuat Refa merasa tidak enak hati.
“Iya, Bang. Saya minta maaf juga.”
“Gue nggak butuh maaf lo, Fa. Tanyain ke Saga, jangan main-main lagi. Gue mau urusan gila kalian selesai!”
Rasanya, Refa sangat malu. Seperti satu-satunya orang bodoh. Bahwa hanya ia yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, bahkan Ali sudah mengatakan jika Saga harus berhenti main-main. Itu berarti, Ali juga tahu jika mereka tidak serius.
*
Sepulang shoot Saga untuk videoclip, Refa memilih banyak diam. Ia sendiri bingung harus bagaimana.
“Kenapa?” tanya Saga yang sengaja menyetir sendiri. Refa tidak mengerti alasan lelaki itu menyuruh sopir pulang— dan Saga yang ia yakin sudah lelah malah menyetir sendiri.
“Heuh? Nggak, nggak kenapa-kenapa, kok.” Refa berbohong dan tentu saja itu tidak mempan. Saga tahu pasti, ia bukan perempuan yang pandai berbohong.
“Aku turunin kalo kamu nggak mau cerita,” sergah Saga membuat Refa takut. Jalanan tersebut sangat sepi.
Dia bilang akan menurunkanku? Oh, tidak! Aku tidak ingin melihat makhluk aneh-aneh.
“Eum ... Saga, Bang Ali bilang—” Refa takut jika akan marah.
“Bang Ali bilang, kamu dan aku harus berhenti main-main.”
Wajah Saga sama sekali tidak menunjukkan ekspresi, masih datar, dan Refa tidak mengerti dengan itu. Sampai di kediaman Saga, Refa sama sekali tidak berjaga-jaga. Lelaki itu menciumnya kasar dan menggebu-gebu. Meski begitu, perempuan itu tetap membalas ciumannya.
Oh, astaga!
Refa mengeratkan pegangan di bahu Saga agar tidak terjatuh, walau memang tangan lelaki itu melingkari pinggangnya. Tanpa disadari, Saga membawanya masuk dan berbaring di ranjang. Lelaki itu menetapkan manik hitam dengan manik miliknya sedemikian rupa, membuat ia tidak paham. Namun yang jelas, tubuhnya berdesir saat Saga membisikkan dengan s*****l kata yang membuat merinding.
“Siapa bilang aku main-main, heum?”