Bab 2

4933 Words
Refa kembali ke rumah untuk mengemasi barang-barangnya. Bukan karena diusir, tetapi Saga yang berhasil membuat kontrak tersebut untuk ia tanda tangani. Tengah malam, saat ia berangkat menuju toserba. Ada lelaki itu seakan berniat menghalanginya kembali ke rumah. “Kenapa kamu di sini? Resto udah tutup.” “Tanda tangan, dan kamu akan terbebas dari keluarga gila kamu, Princess!” ujar Saga dengan menekan kata princess. Refa menengadahkan kepala, memandang langit malam yang sepi akan keberadaan bintang, dan menghirup kalap udara agar merasuk dalam paru-parunya. “Kamu penguntit?” Ia memicingkan matanya tak percaya. “Ayah kamu cukup bodoh, untuk mengumpulkan utang pada kasino milik sahabat saya.” Telak sudah, Refa merasa sangat gila karena sikap Saga yang mengetahui segalanya. “Tanda tangan, maka utang ayahmu akan lunas, dan ibu serta adik kamu bisa terlepas dari kamu.” Dalam hati, Refa merapalkan kalimat antara bersyukur dan memaki Saga yang mengatakan kebebasan seolah dirinya adalah tahanan rumah. “Oke. Saya turuti keinginan kamu. Sekarang, kamu bisa pergi, bukan?” Dengan senyuman khasnya, Saga menuntut Refa agar mengerti alasan lain kenapa ia masih enggan untuk beranjak. “Baca ketentuannya,” sahutnya Saga, membuat kening Refa semakin berkerut.  * Di sini Refa berada, rumah menawan yang terasa nyaman, sangat luas hingga menimbulkan kesepian jika hanya terhuni oleh satu orang, Saga. Katakan jika Refa ‘kampungan’ karena baru kali ini, ia bisa merasakan sendiri tanpa harus mengkhayal tinggi untuk tinggal di rumah megah seperti itu. “Bawa koper kamu ke lantai tiga,” kata Saga, membuat Refa menghadapnya terkejut. Saga menaruh gelas mineralnya, mencoba membaca arti ekspresi Refa. “Kenapa?” tanya lelaki itu kemudian. Tidak mudah ternyata menyesuaikan diri dengan asisten yang lebih terlihat sebagai tamu noraknya. “La-lantai tiga?” tanya Refa gugup. Saga meringis merasa tingkah Refa konyol, hampir saja ia terpingkal akibat mimik serta pertanyaan Refa yang terlihat polos itu. “Jangan ketawa!” Refa tidak menyukai sikap balasan Saga. Mana ia tahu, jika di dunia nyata ada tempat tinggal segila yang dimiliki Saga itu. Lagi pula, ia tidak pernah melihat rumah Rega, dulu meski mereka menyandang status pasangan kekasih. “Haha ... oke, oke. Hm … kamu bisa naik lift yang ada di dekat tangga. Kamu nggak perlu naik tangga susah payah sambil bawa koper gitu.” Saga berjuang keras agar tidak tertawa lagi. Refa bersungut tanpa memedulikan Saga yang kembali terpingkal. Ia pun malangkah menuju lantai tiga. Menatap heran ketika pintu tersebut tak kunjung cepat menutup. Benar saja, Saga menahan agar lift-nya tidak tertutup. Akhirnya, mereka berdua berada dalam satu lift. Wanita itu masih setia cemberut membuat Saga gemas untuk mendengar teriakannya. Refa menyadari gerakan tubuh Saga yang mendekatinya dalam diam. Jujur, ia merasa sangat gugup. Berakhir pada dinding lift, ia tidak bisa berkutik lagi. Embusan napas Saga menuai gelenyar aneh dalam dirinya, yang bergejolak: antara menolak atau menerima. Sebelumnya, ia hanya dekat dengan Rega. Hanya dengan dia saja, ia bisa berani melakukan hubungan yang sebenarnya melanggar norma masyarakat. Kini, berhadapan dengan artis yang memang Refa akui kadar tampannya lebih dari seorang Rega, ia tidak tahu harus berbuat apa. “Kenapa? Kamu gugup, Refa?” tanya Saga dengan jenis suara buatannya. Refa bergeming, memilih menatap wajah lelaki yang memiliki rahang tegas dan visual sempurna dari jarak yang begitu dekat. “Memangnya aku bisa gugup dengan lelaki yang baru saja kukenal?” timpal Refa menguatkan diri, satu-satunya cara agar tidak terlihat lemah pada siapa pun. Seringai Saga membuat bulu kuduk Refa berdiri, bodoh saja jika perempuan tidak tertarik dengan godaan maut Saga, Refa mengakui itu. “Sepertinya, waktu terasa lama akibat posisi kita yang intim seperti ini.” Saga memang berengsek, bisa dilihat bagaimana cara lelaki itu menggoda Refa. “Mungkin, aku harus berusaha menikmati waktu yang terasa lama itu,” balas Refa tidak kalah menggodanya. Ia juga ingin mengimbangi permainan yang sengaja Saga buat. Sampai suara pintu lift terbuka, tubuh Refa berada di himpitan tubuh Saga. Bibir Saga yang semakin mendekat, menepis jarak, dan menghantar kehangatan napas. Refa merasakannya dengan khidmat. Saat menunggu lumatan itu terjadi, ia menghantuk kepalanya pada wajah Saga. Lelaki itu merasakan sakit, dan di waktu yang sama ia menambahnya dengan menendang tulang kering Saga. Semakin lelaki itu kesakitan, semakin Refa tertawa puas dengan balasan pertama yang ia buat. * “Apa jadwalku hari ini?” Dua minggu berlalu, Refa mulai terbiasa dengan tugasnya sebagai asisten Saga. Jika biasanya Saga akan sibuk membuat Ali mengingatkannya berbagai jadwal, kini ada Refa yang membuat aktivitasnya terbantu. Belakangan, Saga menjaga ucapan untuk membuat asistennya kali ini tidak akan kabur. Setidaknya, dia tidak merasa cemas untuk menyembunyikan ketertarikannya pada asisten yang rata-rata lelaki, dulu. “Wawancara untuk perilisan film terbaru, sama makan malam sebagai bentuk penyambutan Bang Gio sebagai produser ke kamu.” Refa menatap Saga, yang dengan santainya membolak-balikan halaman novel red line untuk projek film selanjutnya. “Kadang, kamu aneh nggak, sih. Bang Gio itu keliatan tertarik sama kamu,” ujar Refa membuat kesimpulannya sendiri. “Kemampuanku, Fa.” Elakan Saga mendapat tanggapan biasa dari Refa, karena ia tahu seorang laki-laki tidak bisa peka dengan cepat oleh situasi disekelilingnya. “Heum, terserah kamu juga ....” Refa menggantung kalimatnya. “Itu cuma tanggapan aku, sih.” Ia kembali merapikan beberapa makanan ringan yang tersedia di mobil, karena kebiasaan Saga mencari camilan ketika bepergian, sehingga ia menjadi lebih rajin membereskan isi mobil. “Berhenti di depan ya, Gan!” “Mau ngapain?” tanya Refa cepat. Gerakan tangannya terhenti, lalu memandang wajah Saga tanpa dosanya. “Beli minuman dingin,” balas Saga. Refa berdecak kesal. Bagaimana tidak, minuman lain yang sudah Saga beli juga masih banyak. Baginya semua itu hanya menghabiskan uang, waktu, serta tenaga. “Berapa kali lagi kamu akan berhenti, hanya untuk menunda bertemu Alexa?” Refa tidak buta, tidak tuli, dan berbeda kepekaan terhadap lelaki di sampingnya ini. Saga tidak pernah membuat Refa merasa sebagai bawahan, justru dia merasa, perempuan itu adalah sosok kakak yang baik. Dari situ dia tidak pernah membiarkan Refa duduk di depan bersama Gani, sopir pribadinya. “Kamu bisa profesional, ‘kan?” tanya Refa lagi, karena tak mendapat balasan dari Saga. “Saga, aku ngomong sama orang, lho!” “Nggak ada hubungannya sama Alexa!” tegas Saga. “Terus?” Refa menuntut Saga. Memang selalu seperti ini jika mereka berdebat. Ia ingin memastikan tidak ada kegundahan yang bisa mengganggu mood Saga nantinya. “Aku nggak bisa cerita sekarang dan nggak di sini!” Refa menyandarkan punggung, membiarkan fokus Saga pada novelnya, meski ia tahu betul pikiran Saga yang tidak berada di sana sama sekali. Mereka tidak akan berhenti lagi menuju lokasi—di mana Alexa juga berada di sana—walaupun Saga beralasan ingin kencing sekali pun. * Refa menahan rasa sakit pada perutnya. Sejak beberapa waktu lalu, ia belum mengisinya dengan makanan karena menunggu Saga di dalam mobil. Saga? Ya, lelaki itu berada di apartemen Alexa. Tidak tahu apa yang mereka lakukan, hingga membuat dua jam waktu berharganya terbuang sia-sia. Refa tidak diantar Gani, karena lelaki itu membangunkannya saat tertidur setelah acara makan malam Saga dengan Bang Gio selesai. Semakin lama, ia terbiasa menjadi kacung. Saga sudah memberikan tumpangan tempat tinggal, memberi makan, menyediakan segala kebutuhannya, dan perempuan itu merasa perlu membalas budi semua yang diberi Saga dengan semangat menjadi kacung. Sementara Refa menahan rasa sakit di perutnya. Di tempat lain, Saga baru terdiam setelah Alexa menciumnya. Bukan berarti dia suka, semua itu hanya untuk membuat pandangan orang tentang dirinya tetap sama. Hanya dengan bertahan memanfaatkan tubuh-tubuh perempuan, dia akan dianggap normal. Dan Bian akan aman. Saga tersentak, mengingat jika Refa menunggunya. Di luar apartemen, di dalam mobil! Sontak lelaki itu langsung melepaskan pagutan Alexa yang menggebu. “Kenapa, Ga?” tanya Alexa, yang sebenarnya ingin melayangkan protes. Pandangan matanya sangat kentara ketidaksukaan. Alexa merasa sangat terganggu, baru saja hasratnya mulai naik Saga menghempas begitu saja. “Ada yang harus aku urus, aku pulang!” pamit Saga setengah berteriak di ambang pintu. Bukan membalas dengan baik, Alexa justru menggerutu. * Saga melangkah terburu-buru, sesekali menatap jam tangannya. Hal paling gila, karena dia sudah membuat Refa menunggunya selama dua jam. Membuka pintu mobil dengan cepat. Di sana, Refa tengah meringis menahan sakit. Pandangan mata Saga teralih, dengan gerakan jemari Refa yang menekan bagian perut. “Kenapa, Fa? Kamu sakit?” Sejujurnya, tanpa bertanya Saga sudah merasa bersalah, tapi Refa selalu lebih menyukai menyiksa diri sendiri. Begitulah menurutnya. “Dari tadi kamu belum makan?” Saga yang menghadap Refa, bertanya kembali dengan kecemasan yang menggantung. Dengan meringis, Refa mencoba menjawab. “Iya, aku ... ketiduran lagi.” Saat itu juga Saga mendesah frustrasi. “Kamu banyak kerjaan dari tadi pagi, bolak-balik ngurusin aku makan. Tapi nggak peka sama perut kamu sendiri? Betapa luar biasanya kamu!” Sebenarnya Saga tidak bermaksud memarahi Refa, tetapi perempuan itu yang membuatnya emosi. Refa tidak pernah mengeluh jika Saga memarahinya, karena baginya bekerja dengan lelaki itu sudah sangat membantu kehidupannya. Saga menatap ke depan, sebelum akhirnya menyuruh Refa pindah. “Biar aku yang nyetir, kamu duduk di belakang aja,” ucapnya, membuka pintu mobil kembali, dan membantu Refa berpindah tempat. “Nggak usah, Ga. Aku masih bisa nyetir kok,” elak Refa, yang sudah dibopong oleh lelaki tampan itu. Saga memilih diam dan tidak menghiraukan protes itu. Dia mulai memahami jika Refa adalah perempuan yang keras kepala. Namun, dia juga tahu, Refa merasa tidak nyaman karena membiarkan dirinya sebagai pemberi gaji malah menjadi sopir. Saga juga baru pertama kali melakukan hal seperti ini. Biasanya jika asistennya sakit, maka dia memilih menyuruh orang lain menggantikannya. Ali contohnya. “Habis ini, kalo sampe kamu kayak gini lagi ... gaji kamu akan aku potong habis!”  * Hari ini, Saga tidak ada jadwal apa pun. Dia bisa melakukan apa saja yang diinginkan, seharusnya. Sayangnya, dia hanya seorang publik figur, tentu saja hal tersebut membatasi ruang geraknya untuk melakukan seluruh kemauannya. Karena Saga belum bangun, Refa sebagai asisten berinisiatif membuat sarapan. Tidak ada yang spesial, hanya membuat nasi goreng dan menyiapkan s**u hangat untuk Saga dan dirinya sendiri. “Halo, Kak Al! Kenapa?” tanya Refa, saat deringan ponsel menyapa, dan tertera nama Ali di sana. “....” “Hah? Belum, tuh. Saga masih molor,” balas Refa, seraya menopang ponsel dengan pundak kanan dan membawa hidangan ke meja makan. “....” “Oh, ya udah. Nanti aku bilangin ke Saga. Kayaknya, sih, dia bakalan males kalo jadwal dadakan gini.” Belum selesai Ali berbicara, ponsel Refa sudah berpindah tangan. Wajahnya masih khas orang bangun tidur. “Saga ... kenapa kamu ambil?!” protes Refa. Tidak menanggapi, Saga yang justru menimpali Kak Ali. “Lo nggak bisa profesional, ya, Li? Lo tau kan, ini hari jatah libur gue?!” damprat Saga pada Ali di seberang. “....” “Ya, pokoknya gue nggak mau tau. Batalin! Gue juga manusia, Li. Butuh istirahat, enak banget lo yang netapin jadwal libur atau kerjanya dan lo juga seenaknya bikin jadwal dadakan!” Refa tahu Saga marah karena apa. Walau sebelumnya keadaan mereka sempat canggung, tapi tidak berlangsung lama keduanya bersikap santai lagi. Meski sebenarnya, ia sendiri yang canggung. Sadar dari lamunan, karena Saga menaruh ponsel ke meja makan dengan membantingnya. Astaga, aku membelinya dengan kerja keras! Seperti tidak tertarik dengan apa yang dihidangkan, Saga menghambur kembali ke dalam kamarnya. Menarik rambut kasar, rasanya ... ingin Refa ulang waktu dan memilih tidak mengetahui apa pun. Memandang langit-langit dan berulang kali mengembuskan napas kuat. Terkadang berpikir, mengapa harus dirinya yang mendapatkan cobaan seperti ini. “Kenapa nggak langsung makan?” Suara berat yang sukses membuat mata Refa membulat, dengan posisi yang masih mendongak. Dia itu manusia atau bukan? Dia sudah mengambil posisi di salah satu kursi, fokusnya hanya pada makanan yang ada. “Masih mikirin yang kemarin?” Ya, kemarin. Tepat saat Refa menemani Saga menemui seseorang. Awalnya ia tak tahu siapa, tapi yang dapat jelas ditangkap orang yang akan Saga temui adalah orang istimewa, karena lengkung bibirnya tidak berhenti mengembang. Betapa kagetnya, orang yang Saga sapa, peluk, dan dipagut dengan mesra di dalam ruang TV adalah ... lelaki. Refa melihatnya, karena Saga mengatakan tidak ingin membuat menunggu lama. Sialnya, itu memang terjadi sangat lama. Tidak heran atau membenci hal-hal dengan orientasi s**s menyimpang, Refa tidak peduli akan hal seperti itu. Namun, yang menjadi permasalahan, ia belum pernah melihat pasangan sesama jenis melakukannya secara langsung. Ia harus terus menahan napas, saat suara lenguhan terdengar dari kamar Bian, kekasih Saga. Siapa lagi pelakunya yang membuat suara gaduh, jelas Saga dan lelaki yang sempat ia kagumi tampangnya itu. “Jangan terlalu mikirin hal itu, nggak baik buat kesehatan batin kamu,” ucapnya, dengan gerakan tangan siap mendorong nasi goreng yang sudah Saga tangkup dari piring. Refa mencebik kesal. “Ga! Aku mikir bukan karena kamu punya pasangan gay, tapi—” “Kamu suka sama, Bian? Apa malah suka sama aku?” Gila! “Awalnya, ya ... aku sempet tertarik sama, Bian. Tapi bukan itu faktor utamanya!” “Terus?” Harusnya dia histeris mencekik leher Refa karena mengaku tertarik pada pasangan gay-nya. Ini malah .... “Aku perempuan normal! Pernah melakukan hal yang kalian lakukan kemarin, kamu gila bikin aku mati dengerin suara berisik kalian gitu? Mending aku ke tempat lain buat cari pasangan.” Saga menaruh sendoknya, terlihat tidak nyaman. “Emang aku ngasih izin kamu untuk kayak gitu?” Refa menggeleng, “Justru itu aku bilang ke kamu!” “Dan aku nggak akan izinin!” Sial! s**l! s**l! “Kenapa?!” “Karena aku nggak mau, asistenku mabuk dalam keadaan yang aku butuhkan. Apa lagi kalo sampe kamu ditahan sama pasangan ONS kamu! Serasa kamu bosnya!” Oke. Refa rasa membahas topik seperti ini tidak seru. Saga sudah pasti memiliki sifat diktaktor. Meski benar, dirinya tetap akan salah di mata Saga. Menyelesaikan jatah makan lebih cepat, Saga hanya memberi tatapan aneh. Memang aneh, karena dia memiliki banyak sisi yang tidak Refa mengerti, mungkin ... belum. * Mereka tertawa berkali-kali, Bian bukan orang yang pencemburu. Meski Refa memang dekat dengan Saga, tapi Bian lebih mengerti. Dia bahkan sudah tahu jika Refa pernah—hampir—jatuh hati padanya. Bian justru menebarkan pesonanya, dan membuat Saga mengerucutkan bibir kesal. Pasangan yang lucu, bagi Refa. Mereka tidak terkendala oleh apa pun, dan entah itu Bian atau Saga ... keduanya selalu bisa mencairkan suasana satu sama lain. “Kenapa di luar?” Bian mengambil tempat di sisi kiri. Memang Refa sengaja menghampar pandang di halaman belakang rumah Bian. “Di sini ... terlalu nyaman.” Bian memilih diam, mungkin karena memang tahu apa yang menjadi jawabannya, juga apa yang dia setujui. “Kenapa nggak nemenin Saga?” tanya Refa, tak ingin membiarkan Bian seolah sendirian. Bian terkikik pelan, sebelum menjawab. “Saga udah dewasa, aku bukan ibunya yang harus nemenin dia terus.” Refa ikut terkikik, keduanya seolah sahabat lama yang baru bertemu lagi. Bagi Refa, Bian sangat nyaman untuk diajak bertukar pikiran. Tidak seperti Saga yang dingin, hanya Bian yang mengerti bagaimana cara mencairkan sifat keras Saga itu. “Lebih suka yang mana?” Refa menoleh. Ia tidak mengerti apa yang sedang Bian maksud dalam pertanyaannya. “Suka apa?” Bian ikut mengarah tatap. Dia terlihat semakin tampan di bawah sinar bulan. Sudut bibir Refa melengkung tinggi, bukan karena Bian yang menatapnya, tapi karena ia merasa melihat sosok dia dalam diri Bian. “Aku ... atau Saga?” Tentu Refa tergelak aneh, maksud Bian sebenarnya apa? “Aku nggak ngerti, Yan.” “Nggak perlu dimengerti, Fa. Kamu cuma perlu jawab, aku atau Saga.” Lalu perempuan itu mengembus napas, berpikir baik buruknya Refa memilih nama diantaranya. “Aku serasa ditembak cowok normal, Yan. Abis pertanyaan kamu itu bikin aku ge’er, hahaha.” Refa membuat lelucon, yang bahkan dirinya sendiri canggung untuk menertawakannya. “Anggap aja seperti itu,” timpal Bian lagi. “Oke. Saat ini, aku jawab ... kamu. Albian Couvanca.” “Kenapa?” “Perlu alasan, ya?” tanyanya dengan kerutan dahi. Bian hanya mengangguk. “Karena kamu ... bukan Saga. Kamu lebih dewasa, dan mudah untuk dipahami. Albian Couvanca terlalu baik hati terlebih untuk seorang Saga.” “Karena kamu sempat menyukaiku?” Kembali tertawa renyah, wajah Bian yang seperti itu, sangat menggemaskan bagi Refa. Antara takut, geli, dan was-was. “Ya, ampun ... Bian. Keep calm! Aku nggak akan semudah itu terjerumus dalam parasmu ini,” ucap Refa, saat menyentuh rahang wajah Bian. “Ekhem!” Dehaman keras menyapa gendang telinga keduanya. Sontak mereka menoleh ke sumber suara. “Padahal aku mau flirting ke kamu lebih lama, Bi. Sayangnya ... Arjuna kamu udah standby.” Refa berakting menarik napas lelah nan kecewa. Bian tahu, tetapi malah seolah sengaja mengeratkan telapak tangan Refa untuk dikecup. Sungguh, aku akan tidur tidak nyenyak membuat pasangan kekasih beradu argumen malam ini. “Aku selalu menunggu saat itu, Refa.” Hanya anggukan seraya memejamkan mata yang dilakukan Refa, ya... layaknya tuan putri yang tengah menikmati sentuhan sang pangeran berkuda. “Kalian berlebihan! Aktingmu sangat jelek, Fa!” “Jadi, cuma akting Bian yang bagus?” Refa tidak terima, padahal Bian juga ikut andil. “Jangan membantah, Refa! Ini salah satu peringatan, kalo kamu melakukan ini lagi ... gajimu akan benar-benar aku potong sepenuhnya.” “OKE,” sungut Refa meninggalkan pasangan gay itu. “Nikmatin waktu kalian, aku mau cari kesenangan sendiri.” Refa tidak peduli dengan teriakan Saga yang menggema. Sepenuhnya malam ini, ia akan mencari hiburan sendiri. Sudah terlalu lama ia membiarkan diri, stres dengan kegiatan-kegiatan panas yang Saga lakukan dengan Bian. “Aku bisa gila, jika melihat mereka yang b******u dan mengerang dengan kencang,” gumamnya pada diri sendiri. Mengendarai mobil menuju salah satu kelab terkenal di bilangan Jakarta. Refa mengetahuinya saat masih bersama Rega. Katakan ia binal, karena semua itu sudah lama terlepas semenjak ia mengenal Rega. Refa benci harus mengingat dan menyebut namanya meski dalam hati. Dia b******n yang berhasil merusak perasaannya. Dentuman musik menggelegar, mengisi ruangan. Refa berjalan menuju kursi tinggi dan mulai memesan pada salah seorang bartender. Sang bartender sempat tersenyum genit pada Refa, sebelum menuruti apa yang ia inginkan. Sambil menunggu pesanan, ada seseorang yang menerawang ke arahnya. Di ujung mata Refa sendiri terasa jelas, walau ia tidak tahu seperti apa perawakan jelasnya. “This, Ma'am ...,” ucap bartender membawa minuman yang Refa pesan. “Thanks,” balas Refa ramah. Diteguknya perlahan, merasakan gelincir menghangatkan kerongkongan. Tepat saat itu juga, ada tangan kokoh yang mengeraskan pegangan di pinggang Refa. “Aku menemukanmu, Sayang ....” Refa tidak akan pernah menyangka, jika dunia akan sesempit ini. Bahkan membayangkan lelaki itu ia tak sanggup. Bagaimana bisa aku menghadapinya? “Hey! Kamu nggak kangen sama aku?” Refa muak dengan suara yang dibuat-buat. Tidak seharusnya Rega menemukannya di sini, ini bisa berbahaya. Ia berinisiatif bergerak meninggalkan kursi bar, tetapi langkahnya tetap dicegah oleh lelaki itu. “Lepasin, Ga!” Sekuat tenaga Refa mengempaskan tangan, tapi Rega mengikat pergelangannya lebih kencang. Kini, Refa benar-benar merasa kesakitan. “Kamu tau ... aku hampir gila karena kamu yang tiba-tiba menghilang. Kamu udah terlalu lama nyiksa aku, Ref!” Rega menekan tangannya, sangat kuat. Refa hampir tidak memiliki daya lagi untuk melawan. “Itu bukan urusanku!” tandasnya kasar. Rega semakin mendekatkan tubuhnya dengan Refa. Dia sangat tahu, bahwa salah satu kelemahan perempuan itu adalah aroma tubuh. “Aku sangat merindukan ini,” ucapnya, seraya menyentuh permukaan bibir Refa dengan gerakan s*****l. Hampir saja ia memejamkan mata menikmati sentuhan Rega. “Kau menikmatinya, hum?” tanyanya menggoda. “Rega, please ... kita udah lama mengakhiri ini semua—” “Nggak bagiku, Fa!” teriaknya ,yang membuat sebagian orang di sana memandang ke arah mereka. Refa menatap nyalang dan terdiam cukup lama. Saling menatap, tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. “Apa mau kamu?” Sengaja mengeluarkan suara pertama, hanya untuk menanyakan kesepakatan apa yang bisa Refa lakukan jika memungkinkan. “Kamu masih nanya?” Alis Rega menyudut ke atas bagian kiri. Menghadapi Rega yang seperti ini sama saja mencari jalur kematian. Rega akan memaksanya kembali menjadi b***k pemuas nafsu. “Aku capek, Ga. Aku nggak bisa kembali ke kamu. Aku mau kita selesai—” “Nggak akan pernah! Kamu dengar? Aku nggak akan pernah mengabulkan permintaan kamu yang satu itu. Aku muak dengar kata itu dari mulut manis kamu ini.” “Kamu bisa cari pemuas yang lain, Ga. Mereka bisa lebih hebat mengimbangi kamu di ranjang.” Rega mendengkus, lalu tersenyum meremehkan. Refa tidak tahu pasti apa arti senyuman itu, meremehkan atau Rega terlalu putus asa. “Kamu pikir, selama ini aku sengaja mendiamkan kepergian kamu ... karena aku nggak bisa muasin hasrat aku dengan cara lain?” Rega menekan tangan pada dagu Refa. Membuat Refa merintih kesakitan. “Kenapa? Sakit, Fa? Kamu tau rasa sakit aku lebih dari ini!” Rega gila! Dia malah semakin menekan bagian rahang Refa. Tangannya yang besar mampu menangkup, dan menggeretakkan bagian-bagian keras di sana. Rega mendekatkan kepalanya, lalu membisikan sesuatu. “Aku akan membuat kamu merintih nikmat di bawahku ... malam ini, Sayang.” Siapa pun itu, kumohon datang dan tolonglah diriku! Rega sudah melumat kasar bibir Refa, menekan tengkuk, agar tidak ada yang bisa keluar dari alur permainan bibir ini. Ia sudah tidak bisa merasakan kenikmatan, ini terlalu kasar. Rega membuat darah segar mengalir di sudut bibir perempuan itu, akibat gerakannya yang terlalu dominan dan kasar. Ia sudah menangis karena hal itu, merasa tak dihargai. Satu tarikan kuat terjadi. “Jangan pernah berani menyentuh wanitaku!” Teriakannya menggema. Bukan itu yang membuat terkejut, melainkan kata wanitaku yang Saga ucapkan dengan lantang. Ini tempat umum, bagaimana bisa kata seceroboh itu keluar dari mulut Saga. Refa melihat Rega, mengelap darah yang keluar dari ujung bibirnya akibat pukulan Saga. Seringai Rega semakin menjadi-jadi, melihat amarah Saga yang sedang meletup. Jika ini benar-benar akting, aku sangat kagum dengan Saga. “Kita pulang!” Ditariknya tangan Refa. Tidak terpikirkan bagaimana tatapan yang mengarah pada keduanya. Namun, belum selesai Refa dan Saga melewati pintu ke luar, tangan kanan Refa ditarik oleh gerakan yang lain. Pernah kalian melihat adegan dramatis dalam drama Korea? Saat satu perempuan, memiliki dua lelaki yang siap mati untuk dirinya. Dan sekarang, Refa merasa seperti itu. Pegangan keduanya mengerat, ia sempat dilema oleh keduanya. Jika saja ia tidak mengingat orientasi s**s Saga yang menyimpang, mungkin Refa sudah menerkamnya. “Berhenti memanggil wanitaku sebagai wanitamu ... Saga Hilmiya Putra!” This dramatic s**t scene, ever! * Salahkah Refa jika meminta penjelasan atas sikap Saga saat ini? Siapa yang patut untuk disalahkan? Bahkan Refa juga tidak rela menyalahkan diri sendiri. “Oke. Kamu berniat baik menyelamatkan aku dari Rega. Tapi, kamu nggak sadar efeknya ke ranah publik kalo kamu ternyata bukan pacar aku, Saga!” Frustrasi. Setelah kejadian di kelab, Refa mendadak menjadi putri dongeng semalam. Saga menciumnya di depan Rega—depan banyak manusia. Jika saja Saga normal, Refa tidak akan mengeluh. Namun, kenyataanya? “Sebenarnya apa yang kamu takutin?” Aku bisa gila dengan sikapnya yang sulit untuk ditebak seperti ini. “Saga!” “Oke, stop! Jangan memperbesar masalah, Fa. Kamu cuma tinggal pura-pura melakukan apa pun, biar aku yang handle.” Untuk kesekian kalinya, Refa memundurkan langkah, mencari pegangan yang cukup kuat untuk menumpu. Ia sangat takut untuk risiko di balik semua ini. Takut terjerumus lebih dalam pada permasalahan Saga. “Dengar. Kita cuma harus menjalankan peran, anggap aja kamu adalah aktris pemeran utama dan aku aktor pemeran utama. Nggak sulit, asal kamu dan aku punya chemistry pasti semua berjalan dengan baik.” Tentu saja Refa melongo. “Kamu punya motivasi apa, sih, sebenarnya?” tanyanya dengan tajam. Diyakini ada makna tersirat lain, kenapa Saga mau melakukan skenario murahan seperti ini. “Bantu kamu ke luar dari jeratan masa lalu, dan ....” Saga menjeda dengan nada santai. Ada motif terselubung Saga yang tidak Refa ketahui. Dasar raja akting! “Apa?” “Dan aku bisa terbebas dari Alexa, serta pemberitaan mengenai orientasi s**s-ku yang menyimpang bisa tertutupi,” katanya lugas. Refa hendak melayangkan protes, tapi Saga mengulurkan telunjuknya agar diam. “Alexa, dia nggak tau apa pun mengenai aku yang sebenarnya suka sesama laki-laki. Mengenai kamu ... kamu tau segalanya, Fa. Bahkan Ali nggak pernah tau kenyataan itu. Aku juga nggak mau publik mencerca Bian, kalo sampai mereka memergoki aku terlalu sering bareng dia. Dengan adanya kamu, semua itu bisa berjalan dengan lancar—” “Kamu memanfaatkan aku, Saga?” desis perempuan itu, membuat Saga memalingkan wajah dari majalah yang menampilkan wajahnya. “Kenapa kamu berpikir seperti itu? Kita sama-sama saling memanfaatkan, bukan?” Kamu lebih banyak mendapat keuntungan! “Terserah!” Refa menyerah. Setidaknya Rega tidak akan menerornya lagi. Semoga saja. * The night before .... “Jangan pernah menyebut wanitaku sebagai wanitamu ... Saga Hilmiya Putra!” Saga tahu siapa dia, lelaki yang pernah datang ke rumahnya sebagai kakak tirinya. Ya, ayah kandungnya menikah lagi dengan seorang perempuan yang ... parasnya anggun nan cantik. Sejak saat itu, dunianya berubah. Sejak saat itu juga, dia tidak dekat dengan sang ayah, tetapi malah dekat dengan salah satu pegawai kantor ayahnya. Dia berubah oleh perlakuan pegawai tersebut, Saga kecil mulai bingung akan jati dirinya sendiri. Ayahnya tahu setelah tiga tahun lamanya, lalu tanpa ada yang menyadari. Setelah pegawai ayahnya dimasukkan penjara, semua berbeda. Dia semakin salah. Perubahan dirinya yang menyukai laki-laki. Saga pernah menyalahkan semuanya akibat kedatangan Rega. Ketika seluruh komponen hidupnya berkaitan dengan Rega, dia menjadi lebih protektif. Saga mundur dari saham perusahaan ayahnya, memilih menjadi sorotan dunia. Kini, Refa berkaitan dengan Rega, maka dirinya tidak akan membiarkan hal tersebut. Saga mengarah tatap pada Refa, perempuan itu linglung. Dengan kesadaran penuh, dia menjalankan apa yang seharusnya dilakukan untuk melindungi temannya. Ya, Saga sudah menganggapnya sebagai teman. Refa bahkan mengetahui bagian dalam dirinya serta dunianya bersama Bian. Saga menyeringai, lalu mendekati Refa. Tangan halusnya mengusap penuh kelembutan pada pipi perempuan itu. “Menurut kamu, hubungan yang sudah kita jalani selama setengah tahun ini, apa, Honey?” ucap Saga dengan suara yang sungguh ... sexy. Saga sengaja membuat Rega melepaskan tangannya dari Refa. “Ayolah, Honey ... aku nggak bisa menahan ini lebih lama. Kamu tau, kalo aku cinta kamu. Aku mau kamu,” kata Saga lebih memabukkan lagi. Refa sempat terhuyung pelan ke belakang, akibat terlalu pusing mendengar kata rayuan Saga yang sungguh membuatnya mual. “Sa-Saga—” Belum selesai Refa melontarkan kalimatnya, Saga sudah menarik penuh bibirnya. Awalan yang mengagetkan, Refa membulatkan matanya. Namun, tidak lama ia menutup matanya, menikmati sendu irama pagutan Saga. “Seperti inikah rasa bibir yang selalu Bian inginkan saat bersentuhan dengan Saga?”  * Apa yang dikatakan Refa memang benar. Ranah publik akan menanyakan kebenarannya. Hubungan antara dirinya dan Saga, berita ini sudah menjadi trending topic and hot issue sepanjang perjalanan karir Saga. Bukan berarti tidak pernah, tetapi kali ini netizen lebih menggembor Saga terutamanya ... Refa. Wanita itu meringkuk tajam di ranjang. Ia terlalu shock dengan keadaan seperti ini. Ia hanya asisten, bukan artis seperti Saga. Memang bukan hal biasa jika Saga dikerubungi wartawan gosip. Namun, Refa .... “Ayolah, Fa. Aku nggak akan bisa kerja kalo kamu tidur terus,” ujar Saga, yang berdiri di dekat ranjang Refa dengan tangan yang dimasukkan ke saku celana. Kakinya senantiasa menyenggol b****g Refa agar perempuan itu mau menuruti kata-katanya, akibat risih. Belakangan ini, dia mulai mengerti beberapa cara agar Refa mau dikendalikan lebih selain ancaman memotong gaji. Perempuan itu masih tidak mau menuruti apa yang Saga katakan. “Fa, aku akan potong ga—” “Potong aja, aku nggak peduli!” sahut Refa sekenanya. Dalam hal apa pun—sebelumnya—ancaman Saga mungkin bisa membuat Refa tidak berkutik. Namun, kali ini dia meraung depresi dengan sikap asistennya yang benar-benar keras kepala. “Kamu tau ... skenario ini bahkan belum apa-apa, Fa. Baru berita kayak gini kamu udah nyerah, gimana Rega nggak ngejar-ngejar kamu terus? Kamu gampang nyerah!” Saga mulai sengaja membuat panas Refa, salah satu kelemahan perempuan itu juga adalah memiliki sikap yang mudah tersulut. “Kalo aja malam itu aku nggak dateng, kamu pasti udah berakhir di ranjang, karena Rega udah pasti memaksa kamu ngelayanin dia. Nggak menutup kemungkinan, kalo Rega akan bikin kamu hamil supaya kamu nggak bisa lari dari dia karena kamu pasti butuh lelaki yang mempertangungjawabkan bayi kamu—” “Cukup, Saga!” teriak Refa, karena memang telinganya sudah memanas akibat ucapan Saga. Ia mengambil posisi bersandar pada kepala ranjang. “Kamu itu, laki-laki tapi mulutnya nggak bisa dijaga, tau nggak?!” geram Refa, seraya melempar delikan tajam pada Saga. Saga senang, lagi-lagi perempuan itu berhasil masuk dalam perangkapnya. “Yeah, for sure ... kamu tau kalo aku bukan lelaki normal, itu juga kalo kamu masih ingat.” Saga sangat pandai memanfaatkan permainan kata dalam keadaan seperti ini. Bahkan posisi Saga kini mulai berubah, mencondongkan tubuh pada Refa yang menahan amarah. Senyumnya menghentak sesuatu yang menghantar gelenyar menggelitik dalam diri Refa. Matanya membelalak, begitu melebar hingga Saga menarik diri lagi. Karena tanpa keduanya sadari, selama kurang lebih lima belas menit keduanya saling berpandangan ... tanpa mengeluarkan sepatah kata apa pun. “Eh, ekhem ... cepet keluar! Aku mau siap-siap untuk keberangkatan kamu ke Bali.” Saga begitu antusias saat Refa memulai kata, yang artinya perempuan itu menyetujuinya. Tanpa membalas dan memperpanjang perdebatan, Saga menuruti ucapan Refa. Namun, sebelum benar-benar ke luar, Saga berbalik untuk terakhir kalinya dan segera mengutarakan keinginan yang ia tahan sedari tadi. “Euh, Fa ... sebelum pergi, bisa bikin sarapan dulu, nggak? Soalnya kamu keburu ngambek liat wartawan ngerubung di luar,” ujar Saga hati-hati. “Huh! Fine, kamu tuannya di sini!” sungut Refa, dan segera beranjak dari ranjang menuju kamar mandi. Dengan perasaan aneh, pikiran melayang tidak bisa ia kendalikan, mengutuk diri sendiri karena mengagumi paras Saga. ‘Jangan b**o, Ref! Jangan sampai kamu tergoda sama pasangan gay itu!’ maki Refa dalam hati. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD