Bab 1

3526 Words
“Menurut kamu, gimana? Aku pantes pakai gaun ini?” Lelaki yang tengah melihat wanitanya mematut diri di cermin itu kini mulai mendekat, lalu menarik Refa dalam dekapannya. Bibir Rega, tak berhenti menyusuri halusnya bahu serta leher milik kekasihnya tersebut. Apalagi jika bukan hanya sebuah desahan yang Refa keluarkan, melalui bibir manis yang sering Rega kecup bahkan lebih. Menikmati waktu-waktu bersama, menghabiskan malam penuh desiran kenikmatan yang mampu melampaui dari perkiraan. Jika orang lain mengira Refa begitu polos, maka mereka semua salah. Nyatanya, perempuan itu mampu menaklukan CEO-nya sendiri. “Kamu selalu cantik, aku selalu suka kalau kamu nggak pakai gaun apa pun. Karena itu sia-sia, Sayang. Akan dirobek juga akhirnya.” Refa mengulum senyum. Kembali membayangkan betapa sering uangnya habis hanya untuk membeli gaun-gaun mahal, dan akan ia tunjukkan pada Rega—yang pada akhirnya akan tergeletak di lantai dalam keadaan sudah tidak layak pakai. “Kamu selalu ingin tubuhku,” sahutnya, yang kehilangan rasa membuncahnya. Bisa dirasakan keengganan dari perempuan itu untuk melanjutkan aktivitas sebelumnya. Rega menarik diri dan membalikkan tubuh Refa. “Hei! Kenapa membahas hal ini?” Rega selalu menghindar mengenai pembahasan, apakah lelaki itu mencintainya atau tidak. Sebagai perempuan, Refa ingin sekali mendapat pengakuan. “Aku capek,” ucap Refa membuat lelaki itu semakin menegang. “Lebih baik, kita selesaikan, Ga. Aku nggak bisa mengikuti hasrat kamu terus, aku mau kita putus.” “Aku nggak akan pernah menuruti kemauan kamu!” jawab Rega cepat. “Kenapa harus putus? Kamu tau aku membutuhkan kamu—” “Hanya tubuhku!” sergah Refa, sebelum Rega menyelesaikan kalimatnya. “Aku lelah. Kalo kamu bertujuan membuat aku seperti p*****r ... kamu berhasil. Tapi, aku nggak pernah nyangka, kamu memang nggak pernah berusaha memberikan hati kamu buat aku, Ga.” Pembahasan yang biasanya hanya sebatas pembicaraan ringan, di mana Refa akan tetap menuruti Rega hingga berujung kembali pada kegiatan di ranjang, nyatanya kini tak berhasil. Keinginan perempuan itu sudah kuat. Merasa jengah, ia melepaskan tangan lelaki itu dari bahunya. Berjalan cepat mengambil sling bag hitamnya, dan segera keluar dari apartemen kekasihnya—kini sudah menjadi mantan. “Fa, kamu nggak bisa kayak gini.” Rega masih mencoba bicara dengan Refa, yang tidak mau mendengarkannya. Wanitaa itu terus berjalan, hingga Rega tidak sabar lagi. Pria itu menarik tangan Refa membuat tubuh mereka bertubrukan. Dengan cepat, diciumnya kasar dan tergesa bibir Refa Ia selalu kalah, karena sempat membalas lumatan keras Rega, tak lama ia pun tersadar. Dengan cepat, ia melayangkan telapak tangannya pada wajah Rega setelah berhasil melepas tautan bibir mereka. “Jangan pernah menyentuhku lagi. Cari sana perempuan lain yang diam-diam kamu sembunyikan dariku!” Baru beberapa langkah, ia kembali berbalik pada Rega. “Oh, ya. Katakan pada Ratu, aku bahkan melakukannya karena mencintaimu, bukan karena uangmu!” Rega tertegun, wanitanya terlihat begitu kecewa. Dia tidak pernah menyadari, jika dirinya selalu mengatakan hal bodoh pada teman-temannya mengenai Refa. Dia bahkan telah tega, tidak pernah membalas kata aku mencintaimu dari perempuan itu setelah pergulatan panas mereka. Yang dia tahu, Refa hanya perempuan dari keluarga sederhana yang giat bekerja untuk membiayai keluarga serta diri perempuan itu sendiri. Lebih gila lagi, dia tidak memikirkan usaha Refa membeli gaun-gaun mahal hanya untuk diperlihatkan padanya, meski berujung pada uang Refa yang terbuang sia-sia. Rega menunduk, tanpa sadar sudut matanya mengair, dan meneriaki dirinya sendiri. Setelah perempuan itu pergi, baru Rega ketahui jika ia membutuhkan perempuan dewasanya, perempuan gilanya, perempuan yang berhasil membuat hidupnya bahagia. Kini, Refa-nya ... menyerah. Aku akan mendapatkanmu kembali, Refa. * Beberapa hari ini, Rega selalu mencoba menghubungi Refa. Berkali-kali mencoba berbicara, tapi ia selalu berhasil memutus pembahasan tentang dirinya atau pun CEO tampan yang sudah tak dianggap sebagai kekasih lagi. Bohong, jika dirinya sudah bisa menghilangkan rasa cinta bagi Rega. Sedari awal, ia sudah mengetahui jika lelaki hanya menjadikannya sebagai bahan taruhan. Perempuan itu hanya diam, meski tetap menjalani hubungan aneh itu. Namun, lelaki itu memang tidak memiliki niatan berubah. Ia bahkan sudah lelah, melihat banyak perempuan yang sibuk mendapatkan cumbuan dari Rega yang berstatus kekasihnya saat itu. Berdiri di depan ruangan sang CEO, kini Refa bertekad menyerahkan surat pengunduran diri. Kali ini, ia benar-benar akan memberikannya pada Rega tanpa peduli seperti apa ekspresi lelaki itu. Refa mengetuk pintu ruangan atasannya. “Masuk!” sahut suara dari dalam. Rega yang sebelumnya menatap berkas-berkas, sontak membulatkan mata ketika menyadari kehadiran perempuan yang berhasil membuat dirinya terlihat tidak terurus sama sekali itu. Dia langsung bergerak dari kursinya, menawarkan Refa untuk duduk di salah satu sofa. Refa tidak terbiasa diperlakukan seperti itu. Dulu, jika ia masuk maka lelaki itu akan menarik kasar tangannya menuju salah satu pintu yang terdapat kamar khusus di dalamnya. Tanpa memikirkan cara berkencan atau membuat Refa merasa tenang lebih dulu, Rega dengan segala keinginannya untuk mengeksplor tubuh perempuan akan dengan cepat menghabiskan waktu berdua di ranjang. Namun, lihatlah kali ini .… “Akhirnya kamu mau dateng, aku mau minta maaf. Kita perbaiki semuanya, aku butuh kamu, Fa. Kita mulai semuanya—” “Saya ke sini hanya ingin memberikan surat pengunduran diri, Pak Rega. Saya tidak bisa lagi bekerja di sini, dan terima kasih juga untuk bantuan yang Bapak berikan selama ini.” Rega memejamkan mata, begitu frustrasi dengan sikap perempuan tersebut. “Kenapa harus begini, Fa? Aku bisa mengubah semuanya, aku sadar—” “Maaf, Pak. Saya hanya berniat memberi surat ini, saya harus segera pergi, dan saya juga tidak mengerti apa yang Bapak bicarakan,” jawab Refa, tanpa memedulikan wajah Rega yang menahan amarahnya. “Berapa kali aku harus bilang? Bahwa aku nggak akan mengabulkan permintaan konyol kamu?!” Ditatapnya Rega tak kalah nyalang. “Dan sudah berapa kali saya bilang, jangan menghubungi saya lagi?! Karena hubungan kita sudah berakhir.” “Itu menurut kamu, tapi menurutku ... kamu selamanya milikku, Fa!” Pertemuan yang sengaja Refa lakukan untuk mengundurkan diri, nyatanya harus mengalami perpanjangan argumen. Tidak ingin berlama-lama lagi, ia memilih untuk mengakhiri ini. “Bapak mengabulkan atau tidak, saya akan tetap resign. Permisi.” “Refa! Aku mencintaimu,” ucap Rega cepat. Tubuh Refa terhenti sejenak, ada kebahagiaan sekaligus kepedihan yang ia rasakan. “Sayangnya, itu semua terlambat meluluhkan hati saya, Pak Rega ....” * “Kita perlu mencari asisten baru, Ga. Lo udah terlalu banyak nyiksa orang, mana ada yang tahan sama sikap lo yang kayak gini!” Dengan santainya, Saga memantik api pada ujung rokok. Menghisap santai, dan membentuk gumpalan asap mengepul dalam ruangan ber-AC itu. “Anjing! Gue ngomong, malah asyik ngerokok, lo! Serius dikit napa sih, Ga?!” protes Ali, yang sibuk memarahi artis songongnya itu. “Kalo gue terlalu serius, yang ada nanti lo makin stress. Mau lo gue bikin stres?” Begitulah gaya Saga yang suka bermain-main dengan manajernya. Ali hanya bisa menggeleng lemah, menepuk jidatnya, lalu mengambil air mineral. Merasakan tenggorokannya yang kering, karena terlalu banyak berbicara pada Saga. “Mending gue ngurus si j****y, daripada ngurusin sampah kek lo!” sungut Ali kesal. “Yah, seengaknya gue kaga bisa jadi j****y. Kelamin gue masih batangan soalnya. Nanti, kalo tuh j****y udah kaga guna ... lo bisa balik ke gue. Gue free!” sahut Saga, membuat Ali menatapnya heran. “Lo makin nakutin! Kalo mau jadi homo, jangan libatin gue. Lo aja sono!” Saga tidak membalas Ali, justru kembali mengambil rokok dan memantiknya. Lelaki itu luar biasa kuat menghabiskan rokok jika sedang depresi begini. Ali melihat panggilan di ponsel Saga, dan lawan bicaranya tidak memedulikan deringan memekakkan tersebut. “Alexa calling!” Ali berkata. Seperti sebelumnya, Saga hanya bungkam dengan asyik menghisap rokok miliknya. “Woy! Cewe lo nelepon!” “Nggak penting, biarin aja. Entar juga capek sendiri,” balas Saga. “Gue mau ke luar, lo cari aja asisten itu. Gue pastiin, kali ini siapa pun dia nggak akan ngundurin diri.” Ali memandang punggung itu yang semakin mengecil. Lelaki itu bingung dengan sikap Saga yang semakin hari semakin aneh. * Seminggu ini, Refa mencoba mencari lowongan pekerjaan. Surat lamaran kerja tidak henti-hentinya ia tawarkan pada satu perusahaan ke perusahaan lainnya. “Nggak akan ada perusahaan yang mau nerima kamu,” ujar suara berat yang sangat Refa kenali. “Mereka semua tau, bahwa kamu hanya akan bekerja di perusahaanku.” Makan siang Refa tidak tenang, bahkan Rega sepertinya sengaja mengikutinya hingga ke warteg dekat kontrakannya. Ia sudah tenang ketika seminggu belakangan Rega tak merecokinya, tetapi sepertinya itu hanya berlaku selama seminggu saja. Refa masih bungkam, malas meladeni lelaki yang tidak ia mengerti jalan pikirannya. “Kembali, Fa, aku butuh kamu. Akan aku lakuin apa aja, biar kamu mau balik sama aku, Fa. Lagi pula, kamu udah tau perasaan aku yang sebenarnya.” Refa tidak menanggapi, yang perempuan tersebut lakukan, justru mengabaikan Rega seolah tidak ada yang berbicara padanya. “Bu, jadi berapa?” tanyanya pada si penjual. “Enam belas ribu, Neng!” sahut penjual tersebut. Baru saja berusaha mengambil uang dalam tasnya, tetapi Rega terlebih dulu membayarnya. Namun si Penjual menolak, “Nggak ada kembaliannya, Mas.” “Ini aja, Bu.” Refa mengangsurkan uang pas. Rega menatap putus asa pada perempuan di sampingnya. Segera Refa berlalu terlebih dulu. “Fa, Fa! Kamu jangan egois gini kenapa, sih?!” ucap Rega mulai tidak sabar. Refa membalas tatapan. “Kamu bilang aku egois? Tolong, ya, berkaca pada diri kamu sendiri dulu. Lagian aku nggak butuh uang penghinaan kamu itu. Aku bukan p*****r kamu!” * Jika sebagian orang berpikir bahwa dengan bersyukur semua akan berjalan dengan baik, maka tidak sama halnya dengan Refa. Haruskah aku bersyukur jika pada kenyataannya, keluarga yang kumiliki saat ini hampir membunuhku? Bagaimana jika, mereka memang menginginkan kematianku berjalan lebih cepat? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini yang ada di pikiran Refa. Untuk makan sehari-hari saja mereka mengandalkan uang harian darinya, tidak ada yang bisa diandalkan lagi. Jika hal itu terjadi padanya, entah bagaimana akan terlewati mengingat apa pun yang ada di dunia ini harus menggunakan uang. Refa tidak akan membuat dirinya sendiri mendekam dalam selimut penuh duri, apalagi saat berada di rumah. Ia akan mencari kesenangannya sendiri. Dengan cara yang tentunya hanya diketahui olehnya. Salah satunya adalah Rega—dulu. Kini, ia tak tahu harus bahagia dengan pelampiasan media seperti apa. “Mau ke mana?” tanya Meilan—ibu Refa. Dengan malas, dijawab sesuai kemauan Refa saja. “Cari kerja.” Sekenanya, ya ... benar-benar malas mendengar omelan Meilan yang bisa membuat telinganya hampir lepas. Semua itu biasa menyapa telinga Refa. “Bagus! Cari kerja yang benar, harusnya kamu tuh bisa dapet duit yang banyak dari kemarin. Kamu nggak tau apa, kalo Geana itu butuh uang jajan! Kamu pikir kita nggak butuh makan?!” ujarnya kencang, seolah Refa tidak bisa mendengar ucapannya. Lebih baik memilih diam karena melelahkan jika harus meladeni. “Mama! Gea butuh duit, nih. Geng Gea nanti mau ngajak hangout, butuh banget nih!” Sontak keduanya langsung melirik ke arah Refa, bukan melihat penuh pengharapan dengan mata kucing yang lucu, tapi sorot mata yang kentara akan membunuh. Meneguk air mineral untuk mengisi perut, lalu merogoh isi tas satu-satunya sisa uang yang dirinya miliki. Ia memberikan uang persiapannya itu. “Dua ratus ribu, doang?! Bisa beli apa gue?! Kebangetan lo, ya!” teriak Gea dengan gaya dramatisnya. “Jangan gunain cuma buat belanja, itu buat makan siang sama malem. Aku nggak pulang malem ini,” ujar Refa, seraya melangkah pelan mendekati pintu. “Heh! Perempuan s****n! Kamu ngasih uang aku dan anakku cuma segini, awas kalo besok nggak ada uang!” omel Meilan dari dalam rumah. Terkadang Refa tidak yakin untuk terus hidup, jujur hal itu sangat melelahkan. Entah bagaimana ia harus menjalani hidup, karena tidak ada perubahan sedikit saja baginya. Langkah Refa terhenti. Tangisnya pecah, karena tidak bisa menahan lebih lama. Terlalu ringkih sebenarnya, ia masih saja suka memendam emosi seorang diri. Kala malam menyapa, saat membuka pintu kamar, ia tidak akan pernah menyalakan lampu. Membiarkannya gelap sepanjang hari, agar tidak ada yang bisa melihat tangisannya. Terkadang, rasa lapar tidak ada bandingnya dengan ocehan dalam rumah yang membuat Refa merasa kenyang mendadak.  * “Oke. Kamu bisa mulai kerja hari ini. Kamu bantu-bantu nyuci piring dan bantu layanin pesanan,” kata Resta, pemilik resto ini. Kesan pertama yang Refa lihat, perempuan itu sangat baik. Beruntungnya, ia bisa mendapatkan pekerjaan meski hanya sebatas pelayan—tukang bantu-bantu. “Terima kasih, Mbak.” Resta menganggukkan kepala, bersamaan dengan senyuman yang hangat. “Untung ada kamu, soalnya saya kemarin kehilangan dua pegawai.” Belum apa-apa Resta sudah mau curhat. “Huh, seenggaknya kamu bisa kerja cepat, ‘kan? Kalo diliat dari wajah dan badan, kayaknya kamu tipe yang gesit.” Refa tersenyum. “Iya, semoga saya bisa banyak membantu, Mbak.” “Ya udah, saya tinggal. Kamu kerja langsung, gih! Di belakang ada Bella, dan kalo Via butuh bantuan buat anter pesanan, langsung kamu bantu.” Resta segera berdiri dan meninggalkan Refa terlebih dulu. Setidaknya, aku punya pekerjaan tetap untuk beberapa bulan ke depan.  * Karena Refa sudah yakin, jika hanya bekerja pada satu tempat gajinya tidak sebanding dengan bekerja di perusahaan, maka ia pun sudah melamar juga menjaga mini market pada malam hari. Bukan masalah besar jika harus seharian bekerja, ia masih memiliki waktu tiga jam untuk tidur. Tuhan sepertinya lebih sayang padanya, dengan mempermudah pekerjaan seperti ini. Setidaknya Refa bisa terhindar dari ibu dan ayahnya, karena Gea sudah pasti sibuk menghabiskan waktu dengan teman-teman banyak gayanya. Gerald—-ayahnya—dia pemabuk ulung sekaligus penjudi akut. Karena selalu saja dia meminta uang padanya. Itu menambah daftar alasan mengapa ia malas pulang. “Fa, anter pesanan ini ke lantai tiga, ya. Ini khusus buat Mas Bian.” Via meminta Refa mengirimkan pesanan tersebut. Seingatnya, lantai tiga adalah area istimewa dengan harga yang lebih karena privasinya sangat terjaga. “Iya, Vi.” Bergerak secepat mungkin, agar Resta bisa terus mempercayai kinerjanya. Refa bekerja dengan segala tenaga dan gerakan cepat, berharap konsumen tidak banyak memprotes karena menunggu terlalu lama. “Permisi, ini pesanannya.” Refa menaruh makanan serta minuman tersebut dengan pelayanan yang ramah. Saat mendongak pada laki-laki yang duduk di tempat tersebut, Refa sungguh mengagumi wajah tampan di hadapannya. Untuk beberapa saat, ia terpaku. “Maaf, Mbak. Ada yang ketinggalan?” tanya lelaki itu pelan. Tangannya masih memegang ponsel dengan wajah yang benar-benar mengingatkan Refa pada seseorang. Kayak pernah lihat...? “Eh, oh. Nggak, saya permisi,” ucap Refa. Mungkin ia memang terlalu menunduk, tanpa sadar menabrak tubuh seseorang. “Ma-maaf,” katanya sambil menunduk lemah. Wajah dia tertutup dengan kaca mata hitam, masker hitam, dan hoodie yang hampir menutupi keseluruhannya. Tanpa membalas ucapan Refa, dia melenggang seperti tidak terjadi apa-apa. Seperti maling!  * Seminggu berlalu, dan ini tepat hari kedelapan di mana Bian mengatakan pada Saga untuk rehat sejenak. Rehat, dalam artian mereka tidak bertemu dan melakukan banyak hal dalam jangka waktu yang belum bisa ditentukan. Agak aneh memang, karena biasanya Bian adalah pihak yang paling tidak bisa melepaskan Saga. Kali ini, entah untuk alasan apa ... ia juga tidak boleh mengetahuinya. Saga mengangkat panggilan Ali. “Kenapa, Li?” sahutnya dengan menatap diri di depan cermin. Malam ini, ia ada jadwal menghadiri acara talkshow menjadi salah satu narasumber mengenai wajah tampan tanpa operasi plastik. Agak aneh, karena trend tersebut membuatnya hampir mati karena pertanyaan yang sama selalu muncul ke permukaan sebagai bahan pembicaraan. “Gue mau mulai rekrut asisten buat lo, Ga. Bisa lo dateng? Soalnya, jadwal lo besok kosong!” ujar Ali yang kentara sedang berada di jalan. Saga mengenakan jas hijau dengan celana bahan berwarna abu-abu, dipadu dengan dasi kupu-kupu berwarna hitam. Kulitnya yang bersih memperlihatkan Saga yang bak aktor Korea. “Kenapa nggak lo urus aja sendiri? Gue pengen menghabiskan hari libur buat mesra-mesraan sama cewek gue,” jawabnya sengaja membuat Ali naik darah. Saga akui, ia memang suka menggoda Ali karena wajah dia yang bertekstur keturunan Arab dengan kulit manisnya, tak lupa lesung pipi menggemaskan itu bertambah menggemaskan ketika kesal. Ali berdecak sebal. “Kalo gue bisa bujuk tuh orang, kaga bakal gue ngajak lo!” sungutnya dalam telepon. Dengan membuka deretan koleksi jam tangannya, Saga tetap menaruh ponselnya yang berisi suara Ali tanpa menyahuti saat sedang memilih sesuai keinginannya. “Li! Kayaknya, gue emang butuh asisten. Gila, gue baru sadar ... koleksi aksesoris gue melebihi tante-tante girang kayaknya.” Tanpa merasa terhina oleh tawa Ali yang memekakkan telinganya, Saga kebingungan memilih aksesorisnya sendiri. “Cepetan, ah! Ntar gue diomelin sama produser songong acara banyak omong ITU!” Menekankan kata yang membuat Saga terkikik sendiri. “Ati-ati, ntar lo suka sama tuh produser songong. Eh, tapi, cakep juga si Baron!” Sekilas nama Baron terdengar seperti laki-laki atau bahkan nama peliharaan, tetapi nama Baron yang asli adalah Baronia Agasya. Cantik, ‘kan? “Lo aja anjeng, yang bilang dia cakep. Udah tau bikin gedek!” “Bawel! Lo reseknya ngelebihin Baron. Nggak sadar aja, lo merhatiin dia mulu,” jawab Saga, seraya mematikan sambungan agar Ali tidak menambah pelik.  “Argh! s**l, susah juga kalo nggak ada yang bantu.” Saga menggerutu sendiri.  * Melelahkan, selama seminggu ini Refa memang kurang memiliki waktu tidur, dan tertambah tidak bisa tidur karena ulah ibunya dan Gea yang berteriak menyuruh ini-itu layaknya pembantu. Tepat tiga hari yang lalu, Refa bertemu kakak kelas SMP-nya. Dia sudah menjadi manajer artis. Pada waktu pertemuan tiga hari itu, kakak kelasnya memaksa Refa untuk menjadi asisten artis yang sedang ditangani. Jelas ia menolak, karena menjadi asisten sama saja dengan seperti menempel pada arogannya sikap para artis itu. “Fa, ada pesanan.” Via bertitah, tetapi seharusnya dia bisa mengantar sendiri. Pekerjaannya bahkan sudah agak longgar. “Kok, tumben? Kan kerjaan kamu bukannya udah santai?” tanya Refa yang memang berusaha memprotes. Karena ia malas naik ke lantai tiga, lebih baik membersihkan meja-meja. “Baru juga seminggu, Fa. Kamu udah mulai males?” Ucapan Via membuat Refa bangun kembali. Jika tidak bersemangat, bagaimana bisa bertahan lama di sini? Refa meringis, lalu meraih nampan yang sebelumnya bertengger di meja pelayanan. “Jangan ngambek, aku cuma bercanda, Vi.” Berusaha melembutkan hati Via, agar tidak mengadukannya pada pemilik resto. “Ya udah, gih! Udah ditunggu,” jawab Via. Refa mencoba tidak menggerutu, meski dalam hati. Namanya bekerja pasti lelah. Menjadi pemilik saja lelah, apalagi menjadi bawahan. Ia melangkah cepat dan pasti seperti sebelum-sebelumnya. Tidak ada pikiran aneh yang ia rasakan selama perjalanan mengantar pesanan ke lantai tiga tersebut. Begitu sampai di meja yang dituju, Refa menghela napas kasar. Lagi dan lagi ia harus bertemu Ali, kakak kelasnya tersebut tidak gentar sama sekali rupanya. “Ini pesanannya, Tuan.” Refa merasa perlu membatasi interaksinya dengan Ali. Meski tidak banyak pengunjung di lantai tersebut dan memang pengunjung lain pun tidak mengenal mereka, tetapi baginya profesionalitas sangat diperlukan. “Fa, duduk! Aku udah bilang sama bos kamu,” kata Ali memulai. “Kak, tapi—” “Maaf, telat.” Ada suara lain yang membuat Refa menoleh cepat. Tidak main-main, penampilan laki-laki itu terlihat sangat necis dan tentu saja tidak menunjukkan bahwa dirinya orang biasa-biasa saja. Refa mengetahui bahwa lelaki di hadapannya ini adalah aktor terkenal. Siapa namanya? Ya, ampun ... aku lupa! “Saga Hilmiya Putra,” sahutnya dengan mengulurkan tangan. Sepertinya, dia pandai membaca perangai seseorang. Refa membalas uluran tangannya. “Refa Andiniar.” Tidak ada yang spesial, perkenalan dengan artis tersebut terasa biasa. Ia kira akan seperti apa sensasinya, meski memang jenis penampilan dan harum tubuh Saga sangat berbeda. Ali mempersilakan keduanya duduk. Tanpa Refa sadari sebelumnya pesanan di meja tersebut untuk tiga orang. “Jadi, kita mulai diskusinya?” Ali memulai. “Eum, maaf ... tapi saya rasa, saya nggak seharusnya ada di sini.” Refa berniat mengelak kembali. Ia benar-benar tidak tertarik menjadi asisten seorang artis kenamaan. “Tolong jadi asisten saya,” ucap Saga. Melihat bagaimana seorang artis memohon padanya jelas bukan hal yang biasa, maka dari itu Refa menatap keduanya dengan lekat secara bergantian. Refa menghela napas sejenak, dan mulai memberanikan diri menimpali percakapan. “Apa keuntungannya?” Lelaki itu mengeluarkan map berwarna biru yang di dalamnya terdapat kertas perjanjian. Seketika saja, ia membelalakkan mata melihat keuntungan yang ia akan dapatkan jika menyetujui menjadi asisten Saga. “Kamu mikir nggak, sih? Saya rela memohon, berasa kamu yang artis!” desis Saga mulai menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya. Bagi Refa ini benar-benar menyebalkan. Artis memang memiliki kadar kesombongan tersendiri. Semua media bohong saat memberitakan artis-artis di sana baik hati. Tidak ada yang tulus baik, begitu yang ia rasakan ketika berhadapan dengan Saga. “Saya rasa, ini penawaran yang berlebihan. Saya masih bisa mencari pekerjaan untuk memenuhi ekonomi keluarga saya,” elak Refa, pada kedua lelaki yang kini duduk berhadapan dengannya. Artis yang menurut Refa sombong itu terlihat mendengkus, cukup kentara jika dia terlalu meremehkannya. “Kamu itu kerja juga, sebagai asisten saya. Apanya yang menjatuhkan harga diri kamu, sih?” Dari penglihatan Refa, Ali tengah mengusik lengan lelaki itu. Baginya kesopanan hanya pantas diberikan untuk temannya, bukan si artis itu. Ali menggeser kursi mencoba membuat suasana lebih cair, tapi bagi Refa tidak akan bisa mencair jika ada Saga. “Ehm, gini, Refa ... kamu bisa memikirkan ini nanti. Kami nggak akan memaksa, kamu bisa hubungin saya. Oke?” Refa mengangguk patuh, dan mengerti untuk kembali bekerja. “Saya, permisi.” Sekali lagi, Refa bersikap sopan karena Ali dan bersikap sebagai pekerja. Lamat-lamat, suara perdebatan antara Ali dan artis itu bisa Refa dengar dari balik punggungnya sendiri yang semakin jauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD