Day 3: Kematian°

1705 Words
KONDISI Juily sangat lemah, ditambah pendarahan yang dialaminya. Buah beri liar, umbi-umbian dan air sungai membantu Juily bertahan hidup. Bayinya dibungkus dengan dupatta agar terjaga dari udara dingin. Juily masih diberi kelapangan hidup. Melintasi hutan, Juily tiba di sebuah kota bernama Rajpur, di wilayah Kashmir, sebelah utara dataran India yang berdekatan dengan pegunungan Himalaya. Di kota itu, Juily mencari bibinya, Sarasvati, satu-satunya kerabat yang dikenalnya. Rajpur adalah kota yang cukup ramai dan maju di bidang pendidikan dan perdagangan. Kota itu dipimpin oleh Kekaisaran Singh. Raja saat itu bergelar Maharana Udai Singh. Maharana Udai Singh terkenal arif dan bijaksana. Sebagai raja, ia memiliki banyak istri dan putra-putri. Namun, posisinya kelak dilanjutkan oleh putra mahkota yang saat itu baru berusia 7 tahun, seorang bocah yang cerdas dan tangkas, bernama Rajputana. Di kota Rajpur terdapat sanggar seni terkenal bernama Sanggar Mohabbatein. Sarasvati adalah wanita paruh baya yang menjadi guru tari di Mohabbatein, sebuah sanggar seni dan tempat hiburan bagi para saudagar, bangsawan dan tamu penting pemerintahan. Di usianya yang tidak lagi muda, Sarasvati masih terlihat cantik jelita dan bugar. Wanita itu gemar memakai sari India berwarna cerah dan sanggul berhias untaian bunga. Dia tinggal di paviliun sanggar bersama suaminya, Akash. Mereka tidak memiliki anak dan kerabat lain sudah banyak yang tiada, sehingga kedatangan Juily membuat Sarasvati terkejut bukan main. Juily datang ke sanggar Mohabbatein melalui pintu belakang saat hari gelap. Ketika Sarasvati lewat dekat gerbang kecil itu, Juily memanggilnya. Sarasvati sangat terkejut melihat penampilan Juily. Wajahnya pucat pasi, tubuh kurus kering dan pakaiannya kotor. Sarasvati menangkap tubuh Juily yang limbung ketika memasuki rumahnya. “Anakku, apa yang terjadi padamu?” tanya Sarasvati cemas melihat kondisi Juily yang mengenaskan. “Aku baik-baik saja, Bibi, jangan khawatir,” jawabnya lemah sambil mendekap erat bundelan kain. Sarasvati memapah Juily ke kamar tamu dan membantunya bersandar. Sarasvati terkejut ketika melihat bundelan kain yang dibawa Juily berisi seorang bayi mungil yang sangat manis. “Maha suci Tuhan, bayi ini ... anakmu?” Sarasvati mengambil bayi yang tertidur lelap itu dari dekapan Juily dan meletakkannya di dipan. Juily mengangguk pelan. “Namanya Chandni.” Kelopak mata Juily bergetar lalu tertutup. Melihat kondisi Juily melemah, Sarasvati bergegas ke dapur mengambil minum untuk Juily. Dia menyiapkan campuran s**u dan madu. Juily meminumnya beberapa teguk. Minuman itu menjadi penawar rasa lelahnya selama berkelana di hutan. Dia mendapatkan sedikit kekuatan untuk kembali tersadar. Sarasvati membersihkan bayi Juily sementara keponakannya itu beristirahat. Bayi itu dimandikan dan dipakaikan baju yang bersih serta selimut hangat. Sarasvati tidak memiliki anak, tetapi dia kerap mengurus anak-anak yang dipungut sanggar. Anak yatim piatu atau yang ditinggalkan seseorang di pintu depan. Melihat kulit cerah dan bola mata yang cokelat terang, Sarasvati bisa tahu bahwa ayah bayi itu bukanlah penduduk lokal. “Siapa ayah bayi ini?” tanyanya. “Majikanku,” jawab Juily. “Apa Sir Robert Lanchester tahu soal bayi ini?” Juily mengangguk. “Kalau begitu kita harus memberitahu bahwa putrinya sudah lahir,” tukas Sarasvati. Namun Juily malah menggeleng kuat. “Tidak! Jangan!” tegasnya. “Jika mereka mengetahuinya, mereka akan membunuh anakku. Anakku tidak bersalah. Dia tidak tahu apa pun.” Kecemasan Sarasvati menjadi-jadi. “Apa mereka tahu kau berhasil kabur?” Juily menggeleng. “Mereka berpikir aku sudah mati di hutan.” Sarasvati geleng kepala takjub. “Anakku, hidupmu benar-benar penuh rintangan,” ujar Sarasvati prihatin. “Tidak lama lagi,” gumam Juily sambil memejamkan mata dan menarik napas dalam. Sarasvati mendekati Juily. Dia dapat melihat jelas wajah Juily merah padam karena suhu tubuh yang semakin tinggi serta bernapas berat. Tubuhnya juga menggigil. Dia menyentuh kening Juily dan tersentak. “Anakku, aku akan memanggil dokter atau tabib untuk memeriksamu.” Sarasvati beranjak, tetapi Juily menangkap pergelangan tangannya. “Jangan, Bibi, kumohon jangan! Jangan panggil siapa pun. Aku tidak ingin kehadiranku diketahui orang lain. Aku akan semakin merepotkanmu. Hanya satu pintaku, Bi. Kumohon, jagalah putriku seperti anakmu sendiri. Kau satu-satunya harapanku. Putriku harus hidup. Dia berhak merasakan dan melihat keindahan dunia, kehidupan yang lebih baik dari yang kualami.” “Anakku ...,” lirih Sarasvati. Dia pun kalut dihadapkan pada pilihan sesulit itu. Akash, suaminya, datang dari acara jamuan di istana Maharana Udai. Sarasvati bergegas menyambut suaminya. “Suamiku, bantu aku,” pintanya seraya menarik lengan Akash agar ikut bersamanya. “Ada apa?” Akash keheranan. Sesampainya di kamar, ia melihat Juily terbaring dengan mata tertutup rapat. “Keponakanku ... dia sakit parah,” isak Sarasvati. Akash segera menyentuh dahi Juily, memeriksa denyut nadinya, lalu mengguncang tubuh wanita muda itu. Namun tidak ada reaksi apa pun. Juily bergeming seolah tidur lelap. Akash beralih menatap istrinya dengan sendu. “Istriku, Juily telah tiada,” ujarnya. Sarasvati membekap mulut. Matanya membulat dan berkaca-kaca. Berderai air mata, dia berlari ke dekapan Akash dan menangis sejadi-jadinya. Suara tangis bayi membuat pasangan suami istri itu menoleh ke dipan di mana seorang bayi bergerak-gerak dalam bungkusannya. “Bayi itu ... siapa?” tanya Akash. Sarasvati mengusap air mata yang membasahi pipinya lalu mendatangi bayi itu. Dia menggendongnya dan membawa bayi perempuan itu ke sisi Akash. “Ini adalah Chandni, anak Juily.” Sarasvati menatap memelas pada suaminya. “Bayi ini tidak punya siapa-siapa lagi, suamiku. Bagaimana jika kita memeliharanya? Kita besarkan Chandni seperti anak-anak lainnya. Lihatlah dia! Bayi yang sangat cantik. Aku yakin Chandni akan jadi anak yang berguna.” Akash tidak pernah menolak keinginan istrinya. Lagi pula, bagaimana bayi sekecil itu bisa hidup sendiri? Mereka pun sepakat membesarkan Chandni sebagai anak asuh di sanggar seni. Malam itu juga, mereka memakamkan Juily dan tidak ada seorang pun menyebut kejadian itu. Chandni hadir sebagai anak pungut yang diletakkan orang di pintu belakang sanggar. Membesarkan Chandni seperti anak-anak lainnya adalah ucapan ternaif yang pernah diucapkan Sarasvati. Karena ternyata mengurus Chandni penuh tantangan yang tidak biasa. Anak itu kerap menangis tiba-tiba dalam tidurnya. Chandni juga sering demam dan kejang. Untungnya tidak pernah membahayakan, karena Sarasvati akan segera membawa Chandni berobat ke dukun. Sebelumnya, sudah pernah berobat ke dokter bangsa Eropa beberapa kali, tetapi tidak membuahkan hasil. Sarasvati membawa Chandni hanya pada satu dukun, yaitu Dukun Abhijeet. Dukun yang sudah sangat tua. Dukun itu akan memberi Chandni air mantra dan jimat-jimat penangkal roh jahat. Usia Chandni baru beberapa bulan. Dukun Abhijeet menatap saksama wajah Chandni. Dari warna kulit yang cerah, netra dan rambutnya yang kecokelatan, terlihat jelas Chandni berdarah campuran keturunan Eropa. “Anak ini lahir di bawah naungan bulan purnama, Sarasvati-ji,” ujar Dukun Abhijeet seraya mangut-mangut. “Dia akan hidup berdampingan dengan penguasa besar. Anak ini akan membawa kejayaan untukmu, tetapi sebelum itu jangan sampai roh jahat mengambilnya.” Sarasvati sangat ketakutan mendengar roh jahat disebut. “Apa yang harus saya lakukan, Abhijeet-ji?” “Jaga anak ini dari dunia luar sampai dia cukup besar untuk melindungi diri sendiri. Nah, sementara, pakailah dulu jimat ini.” Dukun Abhijeet memasangkan kalung dengan liontin gelang besar terbuat dari logam keemasan. “Jika dia sudah cukup besar, pakaikan gelang ini di tangan atau kakinya dan jangan pernah lepas dari tubuhnya.” Sarasvati mengangguk cepat. Dia memangku Chandni. Anak itu menggenggam kalung barunya dan mengulumnya ke mulut. Sarasvati menarik tangan Chandni, membuat bayi itu bergerak kesal. Sarasvati mendekap erat bayi itu. “Baiklah, Abhijeet-ji. Terima kasih atas bantuan Anda.” Sarasvati menyerahkan kantong berisi koin emas kepada dukun itu. Abhijeet menerimanya dengan senang hati. Sarasvati lalu pulang ke sanggar. Sarasvati sangat lega setelah mendapat petuah dan jimat untuk Chandni dari Dukun Abhijeet. Chandni tidak lagi mengalami gangguan yang mencemaskan. Sarasvati juga merasa sangat beruntung sempat menemui Dukun Abhijeet, karena tidak lama kemudian, dukun baik itu wafat. Desas-desus mengatakan Dukun Abhijeet tewas karena serangan ilmu hitam dukun lain. Rupanya dalam dunia perdukunan pun terdapat persaingan yang sengit. Semakin bertambah usia Chandni semakin pintar, tetapi juga semakin menunjukkan keanehan. Dia kerap bicara dengan udara dan binatang. Dia kerap melihat orang lain dengan tampang ketakutan atau jijik. Dia juga menyebut orang-orang dengan nama binatang atau wujud-wujud aneh lainnya. Bahkan Sarasvati yang cantik pun disebutnya sebagai angsa putih. Sedangkan Akash, ayah angkatnya, adalah sapi jantan. Hal itu kerap membuat Chandni dimarahi orang-orang dan dianggap anak yang tidak tahu sopan santun. Tidak jarang pula Chandni kecil berkelahi dengan anak-anak yang sepantaran ataupun lebih tua darinya karena perdebatan itu. Chandni akan pulang ke rumah dengan pakaian kotor atau sobek, luka lecet di mana-mana dan menangis sesenggukan. Sarasvati dan Akash tidak jemu-jemunya mengomeli kelakuan Chandni. “Chandni, sudah sering Bibi bilang, jangan memaki orang dengan nama binatang!” omel Sarasvati. “Aku tidak memaki siapa pun,” tukas Chandni sambil mengusap berulang-ulang air matanya yang tidak mau berhenti mengalir. “Itu yang sebenarnya aku lihat dengan mataku ...,” sedunya. “Yang kau lihat bagaimana, Chandni? Ada-ada saja alasanmu,” ketus Akash sambil melewati anak 3 tahunan itu. Ia hendak menuju dipan untuk membaca koran. “Aku hanya mengatakan apa yang kulihat,” sahut Chandni. Dia menangis karena kesal tidak ada yang mempercayainya dan anak-anak lain menjauhinya. Sarasvati berdecak, melewati Chandni. Dia membawa secangkir teh masala untuk suaminya. “Sudahlah, Chandni, akui kesalahanmu dan jangan diulangi lagi.” Chandni sangat sedih. Dengan berurai air mata dia berlari ke kamarnya. “Aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Aku yakin dengan apa yang kulihat,” urainya. Chandni masuk ke kamar, menutup pintu, dan mengurung diri. Sarasvati mengembuskan napas panjang dan geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak itu. “Mungkinkah ada yang salah dengan matanya?” gumam Sarasvati. “Ah, itu karena kau terlalu memanjakan Chandni. Anak itu jadi suka membuat masalah untuk cari perhatian,” sahut Akash sambil membolak-balik lembaran koran. Ucapan suaminya ada benarnya. Sarasvati mengembus napas lelah. “Hmm, kasihan Chandni,” gumamnya seraya duduk di dipan bersama Akash. “Mesti bagaimana lagi kita memberi perhatian pada anak itu? Pantas saja Dukun Abhijeet dulu mengatakan kita harus menjaga Chandni dari dunia luar. Chandni akan kesulitan bergaul. Bagaimana menurutmu, suamiku? Haruskah kita mengurungnya?” Akash menurunkan korannya dan mendesah lelah. Ia menatap pintu kamar Chandni. Ia sangat menyayangi anak itu. Ia pun sadar usianya dan istrinya tidak muda lagi. Umur mereka mungkin tidak akan lama hingga sempat melihat Chandni dewasa dan menemukan seseorang untuk menjaganya dari kerasnya dunia luar. Membatasi ruang gerak anak kecil yang serba ingin tahu adalah kesalahan. Akan tetapi demi kebaikannya di masa depan, sepertinya mereka harus melakukan itu. Mencegah Chandni mendapat perilaku yang lebih buruk dari orang-orang. *** Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD