Day 2: Kelahiran°

1536 Words
Bagian Utara India, Tahun 1740 *** GUNTUR menggelegar bersahutan terdengar remuk di langit hitam yang menumpahkan hujan deras menghunjam ke bumi. Sesosok wanita berkerudung dupatta hitam berlari menerobos sela dedaunan rimbun dalam hutan. Pakaiannya dari kain berlapis-lapis berat karena basah kuyup melekat erat di tubuhnya. Dia tidak bisa melihat apa pun dalam kegelapan itu, tetapi kali ini gelap adalah penyelamatnya. Kaki telanjangnya tidak gentar menapaki wilayah yang tidak pernah dimasukinya. Gerombolan pria berseragam kurta putih dengan kepala memakai turban putih pula, mengangkat obor sebagai penerangan jalan menjelajahi hutan itu. Mereka berseru bersahutan memburu wanita yang kabur dari rumah tuannya. Wanita itu sedang hamil anak haram tuan mereka dan nyonya memerintahkan membunuh wanita itu beserta anak dalam kandungannya. Namun, b***k wanita itu berhasil kabur. Para pesuruh harus segera menemukannya sebelum rencana pembunuhan itu diketahui orang lain. Kegelapan malam dan hujan lebat tidak menghalangi mereka mencari wanita itu. Hujan yang terlampau deras di dalam hutan belantara, memadamkan api obor. Gelap pekat segera menyelimuti. Langkah para pria itu terhenti. Mereka saling pandang dan merapat karena ketakutan. Dingin segera menusuk tubuh mereka hingga ke tulang. "Bagaimana ini? Bagaimana ini?" gumam mereka di tengah kepanikan. Sunyi senyap untuk sesaat. Mereka merasakan sepasang mata tajam mengintai, membuat sekujur tubuh mereka menggigil dimulai dari tulang belakang. Lolongan panjang sang penguasa malam nyaring menggema di kesunyian seolah hewan buas itu mengelilingi mereka. Para pria itu menunduk seraya bersedekap dengan tubuh gemetaran. "Itu suara serigala!" teriak salah satu dari mereka. "Cepat kita pergi dari sini!" Bunyi lolongan semakin dekat dan dedaunan disibak dengan cepat membuat para pria itu lari tunggang langgang ke arah mereka datang tadi. "Aaargh, serigala itu datang! Serigala itu datang! Cepat kabur! Aaaargh ...." Mereka berteriak ketakutan melihat pria paling belakang terjatuh dan seekor serigala berburu keperakan segera menerkam dan rahang panjangnya menyobek tubuh orang itu. Tersembunyi di balik kegelapan, sosok wanita tadi meringkuk sambil membekap mulutnya agar tidak mengeluarkan suara. Geledek di langit meredam suara isakannya. Diterangi sekelebat cahaya petir, mata bundarnya menyaksikan sang serigala mencabik-cabik mangsanya. Dua serigala muncul dan ikut menyantap makan malam. Mereka berebut tarik menarik onggokan mangsa seolah itu makanan terakhir yang akan mereka nikmati. Potongan tubuh dan isi usus terburai berserakan. Merah darah bersatu dengan hitam kegelapan. Ketiga serigala itu kenyang melahap porsi mereka masing-masing. Wanita itu perlahan menjauh dari sana. Dia tidak bisa kembali ke desa karena orang suruhan nyonya akan menangkapnya. Dia memilih masuki hutan lebih dalam, mengadu nasib di alam liar. Jauh lebih baik daripada menghadapi sekelompok manusia yang sudah memutuskan akhir hidupnya. Wanita itu mengelus perutnya yang buncit. Dia akan segera menjadi seorang ibu. Demi anak yang dikandungnya, dia harus menemukan cara untuk bertahan hidup. Helaan napas membulatkan tekad membantunya mantap melangkah. *** AVIA sedang dalam perjalanan menunaikan tugasnya. Dari kediaman Zourdan, ia membawa roh si Pembawa Kebahagiaan dengan membungkusnya menggunakan bola pelindung serupa kaca bening yang sangat tipis. Cahaya kehidupan si Pembawa Kebahagiaan bersinar terang dan indah, seperti sebuah galaksi bintang. Avia mampir di markas pusat langit ke tujuh untuk minta persetujuan turun ke bumi. Lobi markas itu sedang sepi. Tidak ada seorang petugas pun tampak. Sebelah tangan memegang bola roh, sebelah lagi mengempit surat perintah. Avia merogoh kantong kulit untuk mencari lencana tugasnya. "Eihh, di mana ya?" Ia bergumam sendiri. Seorang pemuda berpenampilan sama seperti dirinya melintas di lobi. Avia memanggil pemuda itu. "Devdas, kemari!" Pemuda itu menoleh. Devdas adalah seorang malaikat kematian. Pemuda tampan dengan tubuh berotot kekar dan kulit kecokelatan. Rambut hitam pekat dengan iris mata abu-abu menambah kesan dingin dan angkuh bersama tulang pipi yang tinggi dan rahang tirus yang membentuk wajahnya. Meskipun terlihat arogan, Devdas malaikat yang baik. "Ada apa?" tanyanya menghampiri Avia. "Aku perlu bantuanmu. Tolong pegangkan ini!" Avia menyerahkan bola kehidupan si Pembawa Kebahagiaan ke tangan Devdas. Bola cahaya itu berpindah tangan. "Tetapi ini ...." "Sebentar saja!" timpal Avia seraya mengocek kantongnya dan menemukan lencananya. "Aku mau ke dalam sebentar," katanya sambil berlalu meninggalkan Devdas. Avia memasuki ruangan pimpinan markas Langit ke tujuh. "Huff ...." Devdas mengembus napas panjang berdiri mematung di tengah lobi. Ia memegangi bola roh dengan sebelah tangan. Seorang malaikat bersayap putih seperti dirinya mendarat di lantai lobi itu. Namanya Vixion. "Hai, Dev!" Pemuda itu menyapa Devdas dan menepuk pundaknya. Bola roh di tangan Devdas jatuh menggelinding di lantai yang sebening kaca. "Yah!" seru Devdas kaget. "Oops, sorry ...," lirih Vixion. Secepat kilat Devdas mengejar bola itu dan memungutnya. Ia mengusap-usap bola itu sekaligus memeriksanya dan Devdas terbelalak. Pelindung cahaya itu retak. Vixion mendempet Devdas, ikut melihat keretakan di permukaan kaca setipis gelembung sabun itu. "Wah, gawat!" seru Vixion. Devdas menyikut Vixion. "Ck! Ini ulahmu!" ringisnya. "Dasar jahil!" Krak! Keretakan pelindung itu semakin melebar. Devdas dan Vixion tercengang. "Cepat, cepat, perbaiki!" risik Vixion. Devdas membuat pelindung rusak itu menghilang dan mengganti pelindung cahaya kehidupan itu dengan pelindung buatannya. Bola cahaya itu utuh seperti sediakala. Bertepatan dengan kembalinya Avia. "Hai, Dev, maaf merepotkanmu," pungkas Avia. Ia mengambil kembali bola cahaya itu. "Aku sudah mendapatkan izin turun ke bumi untuk mengantar roh ini. Terima kasih atas bantuanmu!" "Sama-sama," seloroh Devdas diiringi siulan Vixion yang tanpa rasa bersalah. "Kapan-kapan akan kutraktir kau," ucap Avia sambil berbalik dan mengembangkan sayapnya. "Sampai jumpa!" Avia melesat ke bawah menembus lapisan langit untuk menunaikan tugasnya, sementara Devdas dan Vixion saling tonjok. *** AVIA menuju daratan India. Saat itu tahun 1740. Kegelapan masih betah menyelimuti India. Kekaisaran Mughal melemah, sehingga terbentuk kerajaan-kerajaan kecil. Hal itu membuat India mudah dijajah oleh negara-negara Eropa yang ke sana untuk mengeruk komoditi perdagangan rempah-rempah dan bahan baku industri lainnya. Inggris menjadi penguasa terkuat di India. Penduduk lokal banyak bekerja pada para bangsawan Eropa dan menjadi abdi para pangeran dan raja keturunan kekaisaran India. Salah satu wanita yang cukup beruntung menjadi pelayan di rumah bangsawan Inggris yang baik adalah Juily. Meskipun sudah memiliki istri, Sir Robert Lanchester sangat menyukai Juily dan menjadikan Juily gundiknya. Hubungan terlarang itu membuat Juily hamil. Ketika Sir Robert Lanchester bertugas ke luar kota, istri yang cemburu melancarkan aksinya untuk menyingkirkan si gundik tepat saat kehamilan Juily memasuki hari kelahiran. Juily berhasil meloloskan diri dengan kabur ke dalam hutan. Setelah merasa cukup beruntung bisa lolos dari kejaran para sepoy, Juily yang tidak tahu arah harus menghadapi kesulitan lainnya. Perutnya mengalami kontraksi. Ketuban pecah dan air deras mengguyur kakinya. Cairan yang keluar dari rahimnya terasa hangat dibandingkan tubuhnya yang menggigil kedinginan. Juily bersandar di bawah pohon besar, sekadar mencari tempat mengurangi air hujan yang mengguyurnya. Dia duduk dengan kaki terbuka lebar dan berteriak nyaring kesakitan. Dia tahu dia akan segera melahirkan dan menyadari tidak akan ada seorang pun datang membantunya. Juily mengejan seorang diri dan mencengkeram batang kayu di dekatnya, mencakar hingga kulit kayu terkelupas karena menahan serangan sakit yang mendera. Dia tidak punya penolong lain kecuali doa yang diucapkan dalam hati. Perjuangan antara hidup dan mati. Seluruh tenaga dikerahkan hingga akhirnya Juily terkulai lemah dan kehabisan napas. Gumpalan daging yang sangat besar keluar dari mulut rahimnya. Rasa sakit itu berakhir dan ia bisa bernafas lega. Gundukan besar dalam perutnya menghilang. Sebagai gantinya seonggok besar daging berlumuran darah tergeletak di antara kedua tungkai kakinya. Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, Juily melongok ke belahan pahanya. Dia gemetaran melihat sosok bayi berkulit pucat pasi tidak bergerak meringkuk di antara onggokan tembuni. Dia ingin menyentuh bayi itu. Namun geraman nyaring menghentikannya. Sepasang mata tajam berwarna abu-abu menatap nyalang. Mata itu menyala dalam kegelapan. Moncong keperakan perlahan muncul dari sela kegelapan diterpa sinar bulan. Liur menetes di antara gigi-gigi runcingnya. Bukan hanya 1satu, akan tetapi ada tiga makhluk buas serupa muncul. Kawanan Serigala tadi sekarang berada di hadapannya. Juily tidak berkutik. Dia memasrahkan hidupnya berakhir di mulut sang serigala. Serigala yang paling besar dan berada paling depan merangkak perlahan mendekati Juily. Geraman halusnya terdengar jelas ketika moncong berbulu itu mengendus tubuh Juily. Juily memejamkan mata dan menahan napas. Dia mengira sudah saatnya serigala itu menggigitnya. Akan tetapi, yang dirasakannya justru usapan kasar dan basah tetapi hangat di area pangkal pahanya. Juily terkesiap dengan mata terbuka lebar. Serigala itu menjilati sisa-sisa darahnya. Serigala itu menjilati bayinya dan memakan tembuninya. Tubuh bayi mungil yang di dorong-dorong oleh moncong serigala itu serta tekanan jilatannya menghangatkan tubuh si bayi dan membuka aliran napasnya. Bayi itu bisa bernafas dan segera menangis keras memecah kesunyian. "Ooeeek! Ooeeek!" "Oh!" Juily menangis seraya membekap mulutnya sendiri. Bayi itu bergerak dan menangis. Bayinya adalah bayi perempuan. Dia lega bayinya masih hidup akan tetapi tidak berani bergerak karena serigala itu masih menatapnya. Para serigala itu telah kenyang, mereka tidak ingin makan lagi. Suara tangis bayi yang memekakkan telinga membuat para serigala itu mundur perlahan lalu berlarian menjauh. Hujan telah berhenti dan sinar bulan memberikan penerangan bagi Juily untuk lebih jelas melihat bayinya. Menangis membuat wajah bayi itu kemerahan. Tubuhnya menggeliat-geliat ingin segera dipeluk. Juily segera mendekap erat bayi itu untuk memberikan kehangatan dengan suhu tubuhnya. Bayi itu menjadi tenang dan wajahnya berseri-seri bagai rembulan di langit. Tersenyum lembut, Juily berkata, "Anakku, malam ini adalah malam keberuntungan bagi kita berdua. Aku rasa ini pertanda dari dewa bahwa jalan hidupmu masih panjang. Aku harap kau menjadi anak yang memesona semua orang. Kecantikanmu akan terpancar seperti rembulan di langit sana. Bukan hanya kecantikan yang sedap dipandang mata, tetapi juga kecantikan yang terpancar dari dalam hati. Kecantikan yang meresap ke dalam hati. Putriku, aku akan menamaimu Chandni." *** Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD