BAB 8: Rasa Takut dan Kebebasan

1143 Words
Dinding tidak diciptakan untuk kebebasan, melainkan untuk mengurung. Lantas, apa kastil juga dibangun dengan tujuan berbanding lurus seperti filosofi dinding? Luis tidak ingin berpikir demikian. Bagaimana kalau sebenarnya di dalam dongeng terkenal seperti ibu Putri Rapunzel tidak jahat? Bahwa sang ibu angkat itu hanya ingin melindungi putri kecilnya dengan membangun kastil yang sangat tinggi, agar Rapunzel aman dari tangan orang-orang jahat. Ah, Luis jadi ingat sendiri akan nasib malang dari kisah mitologi Medusa dan juga Medeia. “Apa para lelaki memang k*****t seperti itu di masa lalu?” Sepertinya Luis jadi lupa akan jenis gendernya sendiri. Ia juga laki-laki. “Hm … bahkan tidak terlalu berbeda dengan masa sekarang,” ungkap Luis lagi ketika mengingat di dalam perjalanan tadi, ia mendengar sekilas kumpulan wanita-wanita penggosip yang membicarakan perihal pelecehan seksual dan juga perselingkuhan … sampai dengan pengkhianatan. Luis menghentikan langkahnya di depan pintu kamar Asley, murid lucunya itu kini tengah mondar mandir tidak jelas di dalam sana. Sudut bibir Luis tertarik ke atas. “Apa yang dia lakukan?” gumamnya pelan. Luis bisa melihat dari suara. Suara yang tercipta dari getaran dan gelombang menciptakan visual tak biasa di dalam sudut pandangnya. Ia tidak perlu memakai mata, bahkan Luis bisa melihat apa yang terjadi meski pintu di depan masih tertutup rapat. Kemampuan luar biasa dari seseorang yang buta sejak lahirnya. Tok … Tok … Tok …. Luis akhirnya memilih untuk mengetuk pintu mana kala Asley tampak sudah selesai dalam bersiap-siap. Telinga Luis sedikit memerah, ia baru sadar kalau tadi Asley panik mencari baju dan baru saja mengenakan jubah. “Apa itu kau, Luis? Baik, tunggu sebenta—waa!” BRUGH! Terdengar suara seseorang yang jatuh dengan keras di dalam sana. Ia tentu saja adalah Asley yang tak sengaja menginjak ujung jubah kebesaran yang baru saja gadis itu kenakan. “Sial! Sejak kapan ada karpet di sini?” cerca Asley menginjak-injak lantai yang dari dulu memang sudah begitu. “Aduh, memalukan. Untung Luis tidak lihat,” lirihnya lagi sambil memperbaiki penampilan. “Eh … maaf saja kalau aku melihat itu,” batin Luis. Pemuda buta ini meringis pelan, ia seakan bisa merasakan rasa sakit dari orang yang baru saja jatuh, tersungkur di dalam sana. Padahal Luis hanya bermodal mendengarkan saja. “Pasti sakit,” pikir Luis tapi ia malah terkekeh kecil. “Dasar ceroboh.” “Oke, aku sudah siap,” ucap Asley di dalam sana, sedikit berteriak. Luis menyungging senyum tipis. “Kalau begitu, saya izin masuk,” katanya sambil mendorong pintu ke dalam dan melangkah menghampiri sang majikan sekaligus muridnya tersebut. Asley sedikit terkejut melihat penampilan Luis. Jubah serba hitam yang gurunya itu kenakan bagai menyatu dengan alam. Seolah Luis adalah bayangan dari kegelapan atau …. “Kau seperti pembunuh bayaran,” pungkas Asley. Entah itu merupakan pujian atau malah sindiran. “Terima kasih,” sahut Luis asal bunyi saja. Tidak ingin ambil pusing. Asley berdehem. “Tapi kau sungguh yakin dengan ini? Maksudnya adalah … membawaku ke luar. Bahkan turun ke desa,” ragu sang Tuan Putri untuk kesekian kali. Ia masih diliputi akan rasa cemas dan ketakutan yang mendera hampir di tiap kesempatan. “Tenang saja.” Luis melangkah mendekat, menarik tudung agar menutupi kepala dan wajah Asley. “Saya juga sudah mencari tahu sedikit-sedikit. Kepala pelayan sebelumnya belum tentu mati karena Anda. Dia hanya menghilang tanpa jejak. Kita bisa mencari informasi tentangnya dan juga altar persembahan di bawah sana serta … kutukan Medusa itu, sekaligus. Bagaimana?” Terlalu dekat. Asley menunduk meski ia tahu Luis tidak akan bisa melihat wajah memerahnya saat ini. ia tetap saja malu dan kebingungan. “T-Tapi kalau benar adanya berarti aku adalah seorang pembunuh.” Luis menggeleng. Ia menarik dagu Asley agar mendongak, menghadap ke arahnya. Lalu dengan lembut, Luis memasangkan topeng pada gadis kurus tersebut. “Bagian matanya sudah saya pasangi kaca satu arah.” “Kenapa … kau menolongku sejauh ini?” Pertanyaan diluar ekspektasi Luis tiba-tiba keluar begitu saja dari bibir mungil Asley. Menggidikan bahu, Luis menjawab tanpa berpikir panjang. “Kita sudah membuat perjanjian, bukan?” Ah, benar. Apa yang sebenarnya Asley harapkan? Namun, entah kenapa ada sudut di bagian hatinya yang terasa berdenyut, sakit. Pertanda apa ini? Asley tidak tahu, ia hanya berusaha mengabaikannya saja. “Lagi pula kalau kepala pelayan sebelumnya memang sudah mati, yang membunuhnya bukanlah Tuan Putri, tapi kutukan itu,” tutup Luis kemudian meraih tangan Asley tanpa permisi dan membawanya ke luar. Luis bisa mengerti bagaimana gugup dan begitu menakutkannya bagi seseorang yang seumur hidup dikurung di dalam kastil dan kini … malah dipaksa untuk melangkah menuju dunia luar. Pergi dari kandang dan zona nyaman. Makanya Luis tidak protes sama sekali ketika Asley memepet ke dirinya seolah bersembunyi, atau ketika Asley meremas kuat tangannya guna menetralisir perasaan takut, dan juga suara berisik dari jantung Asley yang berdetak sangat kencang. Luis memaklumi semua itu karena Asley adalah seorang manusia biasa. “Tuan Putri, apa Anda tahu? Semua orang punya rasa takutnya sendiri-sendiri,” beo Luis ketika mereka sudah berhasil melewati gerbang utama dari Kastil Medeia. Kedua orang itu sudah menuruni jalanan menuju ke desa Athenia. “Apa kau sedang mengejekku?” cicit Asley dengan nada lirih, napasnya sudah tersengal-sengal padahal mereka hanya berjalan santai. Ia merasa kelelahan sendiri karena gumpalan emosi yang berkacamuk di dalam diri. “Tidak.” Luis menarik Asley agar lebih mendekat ke arahnya, mengeratkan genggaman seolah dia kini berperan sebagai seorang ayah bagi gadis kurus tersebut. “Maksud saya adalah … saya juga punya rasa takut.” Luis ingin mengajak Asley mengobrol santai supaya muridnya ini tidak terlalu fokus pada alam sekitar. Asley bagai kelinci percobaan yang ketakutan saat dilepas karena penelitian sudah terselesaikan. “Kau juga takut pada … dunia luar?” tebak Asley tanpa ingin menoleh ke arah Luis. “Hm … dari pada itu, yang saya takutkan lebih remeh bagi Anda.” Didorong rasa penasaran, Asley menolehkan kepala. “Apa itu?” “Suara.” Dapat Luis duga kalau saat ini ekspresi yang Asley tampilkan adalah wajah dan tatapan penuh akan ketidakpercayaan dari ucapan yang barusan ia lontarkan. “Orang bodoh macam apa yang takut pada suara,” cerca Asley tajam. Luis tidak marah. Ia malah tertawa lebar, sinar mentari yang menerpa membuat sosok yang memakai baju serba hitam itu tampak bersinar. Kontradiksi cahaya yang memukau. “Benar, kan? Saya memang orang bodoh,” aku Luis yang berhasil membuat Asley merasa bersalah dalam seketika. “Ugh … aku tidak bermaksud mengataimu sebagai orang bodoh.” “Tidak apa-apa. Memang hanya orang bodoh seperti saya yang takut akan suara.” “Tolong hentikan itu!” “Tapi saya memang sungguh takut pada suara, terutama kebisingan,” jelas Luis lagi. Kakinya dan Asley melangkah secara beriringan. Ia berhasil menarik gadis itu dari rasa ketakutan. Mengerjap beberapa kali, Asley akhirnya bertanya lagi, “Kenapa? Kenapa kau takut pada suara?” Setelah memberi jeda, Luis pun menjawab, “Karena suara bisa membunuh saya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD