BAB 7: Perasaan Asing

1127 Words
“Apa Tuan Putri sudah menemukannya?” Menurut Asley, kalimat itu adalah pertanyaan Luis untuk keseribu kalinya, akan tetapi bagi sang guru tersebut, dia hanya bertanya dengan mengulang kalimat yang sama sebanyak dua puluh satu kali. Tidak kurang dan tidak pula lebih. Ah, bisa jadi lebih sih, kalau Luis ingin bertanya kembali. “Apa Tuan Putri—” “Duh, cerewet! Berisik! Diam saja di sana! Kau bahkan tidak membantu apa-apa!” sentak Asley murka. Ia membuka lembaran buku di tangannya dengan keras-keras, menimbulkan efek suara pertanda pelampiasan emosi yang sangat jelas. Hal tersebut membuat Luis segera mengurungkan niatnya untuk kembali bertanya. Ia tidak ingin lagi mencari perkara. Pemuda tersebut menyadari ada gejolak emosi berupa amarah yang bersarang elok dalam benak murid lucunya di sana. Amat jenaka bagi Luis apalagi ketika Asley berusaha menahan diri agar tidak meledak-ledak. Pemuda buta ini pun menarik sudut bibirnya ke atas, bersender pada rak buku terdekat, lalu melipat tangan di depan d**a. Seolah tengah memerhatikan gerak gerik Asley di sudut sana. Meski matanya tak dapat melihat, tapi Luis bisa tahu. “Aku sedang berusaha mencari petunjuk dari tadi, jangan mendesak seolah kiamat akan segera tiba!” gerutu Asley di tengah aktivitas sibuknya yang sedang membaca sederet kalimat panjang dari buku di hadapan. Rumit dan menyebalkan. Dikarenakan tidak tahu harus meletakkan atau mempersembahkan sesuatu seperti apa di altar yang mereka temukan saat menjelajahi jalan rahasia di bawah sana tadi, Luis pun tidak ada pilihan lain. Ia mengajak Asley kembali ke atas dan menyuruh muridnya itu untuk mencari petunjuk. Siapa tahu ratusan buku di perpustakaan besar ini ada yang berisi perihal kutukan, rahasia, atau jalan tersembunyi tadi dan bahkan juga tentang altar persembahan di sana. Kemudian sudah hampir tiga jam lebih yang Asley habiskan untuk mencari buku, melempar buku, membaca buku, dan meletakkannya lagi dengan setengah emosi. “Luis, ini sungguh sia-sia!” keluh Asley tidak ada habis-habisnya. Ia sudah kehabisan tenaga hanya dengan membaca buku, marah pada buku, kecewa pada buku, dan … ada sedikit melempar buku-buku berharga itu—karena tidak ada yang sesuai dengan apa yang mereka berdua cari. “Kita bisa bergerak ke rak berikutnya,” hibur Luis yang lebih terdengar seperti sosok malaikat berhati iblis penyiksa yang menuntun Asley kepada jenis siksaan berikutnya. “Rak ini kalau tidak salah adalah kumpulan dari karya-karya para penulis terkemuka,” tambah Luis lagi. Andai dia bisa melihat dengan mata, andai ia bisa membaca tulisan pada buku-buku biasa di sana, pasti Luis lebih memilih untuk melakukan segala hal seperti ini sendiri. Namun, pada kenyataanya ia hanyalah pemuda yang buta. Terdengar decakan keras dari bibir ranum Asley. Rambut pirang keemasan yang bergelombang itu terlihat mulai kusut, wajah gadis ini sudah sangat suntuk, hidung mungilnya bahkan harus beberapa kali bersin karena tertimpa debu. Mata keunguannya yang khas tampak memerah karena dipaksa terus membaca. “Ini … tidak mungkin ada perihal altar persembahan di bawah sana,” terang Asley saat melihat daftar sederet judul dan penulis di rak yang tadi ditunjuk Luis. “Kenapa?” Luis bertanya. Menggembungkan pipi, Asley mengambil napas banyak-banyak. “Middlemarch karya George Eliot pada tahun 1874, To the Lighthouse karya Virginia Woolf pada tahun 1927, Mrs. Dalloway karya Virginia Woolf pada tahun 1925, Great Expectations karya Charles Dickens pada tahun 1861, lalu Jane Eyre karya Charlotte Brontë pada tahun 1847, dan … masih banyak lagi. Kira-kira hampir lima puluhan di sini.” Asley menggeleng cepat. “Tidak ada. Apa yang kita cari tidak ada di rak ini,” jelas gadis itu lemah. Sangat lelah. Ia sudah membaca semua maha karya tersebut, makanya bisa tahu. Mimik wajah Luis berbinar jenaka, ia bisa mengira-ngira kalau Asley akan terjun ke dasar jurang jika ia menyuruh gadis tersebut untuk membaca lagi buku-buku gila pada rak di sebelah sana. “Hm … menarik. Apa harus aku coba?” gumam Luis. Hitung-hitung memberi Asley … murid yang tidak tahu sopan santun itu sebuah pelajaran tentang hidup. Namun, baru selangkah Luis mendekat ia sudah harus dikejutkan dengan jeritan mendadak dari pita suara Asley yang melengking kuat. Wajah Luis berubah masam, pemuda ini reflek menutup telinganya menggunakan tangan. Andai ada alat lain yang berfungsi sebagai peredam suara. Oh, mungkin Luis harus membuat sesuatu seperti itu saja sebagai jaga-jaga. Kalau gendang telinganya pecah maka habis sudah. Luis tidak ingin melengkapi kekurangan diri. Masa sudah buta … dia harus tuli juga? Wah, jangan sampai. “Aku tidak bisa! Aku tidak sanggup lagi!” pekik Asley mencak-mencak. Bagusnya Luis sudah bisa memprediksi amarah tersebut, jadi jantung dan telinganya cukup aman sekarang. Ia sudah mulai terbiasa dalam pola tak biasa dari gejolak emosi muridnya. “Kenapa tidak ada yang tahu? Kenapa tak panggil penyihir saja sekalian!' racau Asley masih terus menggerutu tapi ia tidak menyerah sepenuhnya. Gadis itu masih mengambil beberapa buku, memeriksa judul, membuka beberapa halaman, dan tetap berakhir dengan erangan frustasi yang memilukan. Luis tersenyum hambar, tapi kata-kata Asley barusan membuatnya memunculkan ide yang liar. Luis dengan cekatan menarik buku yang ingin Asley lihat lagi, memasukkan buku tadi kembali pada raknya. “Anda benar dan saya salah,” aku Luis yang mendapatan pandangan skeptis dari Asley. “Apa maksudmu?” Bahkan gadis manis ini sudah tidak lagi memanggil Luis dengan sebutan guru. Hanya pernah sekali dan itu hanya saat kontrak tak tertulis di antara mereka berdua. “Saya akan pergi ke desa untuk mencari informasinya. Siapa tahu ada yang pandai dalam hal semacam itu di Athenia ini,” terang Luis. Ia kembali mengambil selimut putih untuk Asley kenakan lagi. “Jadi … kita cukupkan saja untuk hari ini. pencarian bisa kita lanjutkan besok lagi. Sungguh tidak apa-apa. Segala sesuatu yang terlalu terburu-buru juga tak baik. Kita bisa menyelesaikan ini pelan-pelan saja, tapi pasti.” Luis mengoceh panjang kali lebar dengan niat untuk menenangkan kegelisahan di dalam benak Asley. Sebenarnya Luis hanya menerka-nerka. Dia mana tahu detakan jantung tak biasa yang Asley rasakan bukan karena gelisah akibat kutukan Medusa. Namun, karena Asley sadar bahwa merupakan fakta, kini ia dalam satu ruangan besar nan sunyi bersama seorang pria. Kemudian juga saat ini, Luis tidak menjaga jarak dengannya, pemuda itu sembarangan saja menyentuh tangan Asley, atau memasangkan selimut tipis seperti tadi di kepalanya dengan lembut. Luis tidak menyadari bahwa semua hal yang baginya biasa tapi bagi Asley yang tidak pernah berhadapan langsung dengan manusia … tindakan Luis membuat gadis itu kebingungan. Luis juga tidak tahu betapa merahnya wajah Asley sekarang. “Kerja bagus untuk hari ini,” puji Luis tulus. Ia mengusap gemas pucuk kepala Asley yang sudah tertutupi oleh selimut tipis tadi. "Aku tahu!" desis Asley menepis reflek tangan sang guru. Pemuda ini tidak terlihat tersinggung, ia malah tersenyum ramah. “Oh, iya. Apa nanti Anda mau ikut ke desa?” tawar Luis begitu terdengar tak masuk akal. "Apa kau sudah gila?" Asley tidak ingin terjadi pembunuhan masal di desa karena kutukannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD