BAB 6: Altar Persembahan

1304 Words
Kini, kontrak tak tertulis antara Luis dan Asley telah terikat. Sebenarnya pemuda ini heran kenapa Asley sampai menawarinya dengan imbalan yang begitu besar. Donor mata … yah, hal seperti itu bukanlah merupakan sesuatu yang main-main. “Jadi … aku harus apa sekarang?” Luis masih berdiri di depan gerbang Kastil Medeia yang megah dan besar ini. Ia sampai tidak tidur semalaman hanya karena memikirkan berbagai cara untuk menyembuhkan kutukan murid sekaligus majikannya itu, Asley. “Ck, tidak ada pilihan lain. Mari berharap di bawah sana tidak ada apa pun yang dapat membahayakan nyawa Asley,” gumam Luis yang sudah mulai mengambil langkah masuk. Ia memutuskan untuk membawa Asley ke jalan rahasia yang Luis temukan di perpustakaan besar. Lalu suara yang terdiri dari getaran dan gelombang yang tercipta merambat elok ke dalam sensor Luis, membuat pemuda buta tersebut dapat ‘melihat’. Iya, tongkat untuk orang buta yang kini menuntunnya hanya sebagai formalitas saja. Suatu keadaan di mana Luis bisa merasa aman. Dia tidak ingin dianggap sebagai dukun atau penyihir yang buta dan bisa melihat dalam ranah magis. Bisa-bisa Luis malah akan dikecam atau yang lebih parah adalah … dikelilingi banyak orang. Wah, Luis sangat benci hal seperti keramaian. “Orang yang banyak hanya menciptakan suara berisik yang merepotkan.” Luis bergumam sambil menghela napas berat. Menghadapi satu anak perempuan saja ia hampir kewalahan. Luis pernah pingsan waktu dulu desanya terjadi kerusuhan akibat perang tak berkesudahan yang luar biasa sangat panjang itu. Untung sekarang sudah tidak ada lagi, sudah selesai. “Kelebihan mendengarkan bunyi bisa merusak gendang telingaku … merusak kepalaku … dan tubuhku rasanya hancur.” Luis jadi merinding sendiri tiap kali ia mengingat saat-saat dirinya sekarat hanya karena mendengar suara tembakan yang dipadu jerit tangis histeris dan suara-suara memekikkan lainnya. “Semoga orang seperti Tuan Putri hanya ku hadapi satu saja di dunia ini,” harap Luis yang sudah menarik napas panjang, berdiri tegap di depan pintu ruang kelas. Kemudian mulai berbagi ilmu dengan Asley. Memang beberapa kali terjadi adu mulut antara keduanya. Namun, itu tidaklah terlalu lama karena Luis segera mengakhiri kelas. “Apa Anda sudah siap? Sisa waktu untuk kelas bisa kita habiskan di perpustakaan besar.” Luis mulai membenahi barang-barang. Mengerjapkan mata, Asley masih belum terbiasa melihat Luis bergerak ke mana-mana dengan leluasa tanpa menggunakan tongkatnya. Asley kadang masih mempertanyakan apa Luis sungguhan buta atau pemuda berambut ikal panjang yang selalu menutupi netranya itu jangan-jangan memiliki mata batin … atau semacamnya. “Anda memikirkan tentang saya? Apa itu?” tembak Luis tiba-tiba dengan segurat senyuman jahil pada wajahnya. Semburat merah langsung muncul mewarnai dua pipi kurus gadis tersebut. Ia marah! Ini yang paling membuat Asley kesal bukan masin dengan Luis. Gurunya itu seolah tahu-tahu saja isi otaknya. Namun, sebelum Asley meledak, Luis udah lebih dulu mengambil antisipasi. “Ayo, ikuti saya. Kita akan mencari tahu perihal kutukan Tuan Putri di perpustakaan besar,” terang Luis segera mengambil langkah cepat keluar kelas. Asley memicingkan mata, tidak jadi meledakkan emosinya. Andai Luis tahu—melihat—betapa menggemaskan gadis cantik ini dengan rambut pirang keemasan yang bergelombang indah dan mata keungungan bak kristal Amethys, menggembungkan pipinya karena menahan kesal. Asley mau tidak mau ya … jadi tertarik dengan topik yang Luis angkat barusan. Ia tidak ada pilihan selain membuntuti sang guru. Baru saja Asley melangkah ikut keluar kelas, ia sudah dikejutkan dengan sambaran selimut putih yang tipis oleh Luis. Pemuda itu menutupi hampir seluruh tubuhnya—dari atas kepala sampai lima jari di bawah lutut. “Apa-apaan ini—” “Sebagai jaga-jaga kalau kita tak sengaja bertatap muka dengan para pelayan di sini. Karena kalau meminta mereka semua untuk mengosongkan tempat akan memakan waktu yang cukup banyak. Bukan begitu?” Saran dan tindakan Luis tak terbantahkan. Namun … Asley memasang wajah yang masam. “Kalau begini bagaimana aku berjalan?” “Mudah saja,” balas Luis tersenyum tipis. Sial. Asley jadi penasaran dengan wajah utuh dari balik rambut yang selalu menutupi setengah bagian wajah Luis itu. “Kita bisa pengan tangan seperti ini,” ungkap Luis membuyarkan lamunan Asley. Dia dengan enteng menautkan jemari mereka berdua. Lalu mulai melangkah ke tujuan utama. Pemuda ini tidak mengerti kenapa suara jantung Asley malah makin berdetak cepat, mungkin karena gadis itu takut ke perpustakaan besar. Padahal sudah Luis temani. Lucu juga. Ia menarik sudut bibirnya ke atas, tersenyum samar. “Luis …,” panggil Asley yang menunduk dalam di balik selimut putih nan tipis yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Wajah gadis itu sudah semerah kepiting rebus, terasa panas apalagi jantungnya berdegub sangat cepat. Asley bahkan berjalan seperti robot. Di mana kaki dan tangan bergerak bersamaan, kanan-kanan dan kiri-kiri. Ini pertama kali. Pertama kali ada orang yang leluasa bersemuka dengan Asley. Mengawalnya dan bahkan … tidak ragu atau takut untuk menggenggam tangannya. Namun, tentu saja Luis tidak sadar akan perasaan gadis itu. Dia memang pemuda yang tidak peka. Wajar, bukan? “Anda kenapa? Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,” tenang Luis yang justru berpikir kalau Asley hanyalah ketakutan. Kini mereka sudah memasuki perpustakaan besar yang dimaksud. Luis juga sengaja mengambil jalan memutar untuk mengindari para pelayan, tanpa Asley sadari. “Nah, sudah.” Luis melepaskan genggaman tangan, ia juga dengan sigap menyingkap selimut putih dari Asley, melipatnya dan melakukan selimut tersebut di atas salah satu meja. Asley mengerjap beberapa kali, tiba-tiba kepalanya pening. Apalagi saat wajah Luis sangat dekat dengannya tadi. Tampan. Asley tidak bisa memungkiri pesona guru barunya ini. Sial. Bikin kesal saja. “Saya akan menunjukkan sesuatu yang menarik,” ucap Luis lagi. Memberi kode agar Asley mengikutinya. Langkah kaki Luis berhenti ketika ia sudah mencapai ujung sebelah kiri dari ruang perpustakaan besar ini. Jemari Luis mengabsen rapi deretan buku di rak terakhir sebelah kiri. “Baris keenam dari bawah, kotak keenam dari kiri, buku dengan nomor jilid enam.” Luis menarik pelan buku yang ia sentuh tadi. Pemuda ini mengulangi apa yang ia lakukan tempo silam. Asley mengernyit, ia tidak tahu apa yang akan Luis lakukan. Namun pemandangan langka yang menyambutnya membuat mulut Asley menganga lebar. Dia tidak pernah tahu akan rahasia luar biasa yang berada dalam kastilnya sendiri. Dinding yang tadinya menjadi jalan buntu mulai bergetar. Ada bunyi-bunyi bebatuan—entah itu apa—yang saling bergesekan. Kemudian dinding tersebut mulai bergeser ke kiri. Menciptakan pintu baru dengan lebar kurang lebih satu meter. “Woah! Keren! Kok, bisa kau menemukan ini? hebat sekali!” pekik Asley heboh, tapi sedetik kemudian dia segera menutup mulut dan memperbaiki ekspresi wajahnya. “Ehem! Maksudku … bagus-bagus. Kau bisa menemukan jalan rahasia di kastilku,” ralat Tuan Putri ini begitu terlambat. Luis terkekeh kecil, binar wajahnya jenaka. “Kastil Medeia milik Anda memang sangat luar biasa,” puji Luis mengikuti arah permainan Asley. “Anda bisa menyalakan lentera di sana, mari kita masuk,” ajak sang guru lagi. Setelah mengikuti perintah Luis, Asley mengikuti gurunya itu menelusuri lorong gelap yang terlihat menjorok ke bawah cukup curam. Tidak ada tangga, hanya lantai yang—entah terbuat dari apa—begitu panjang ke bawah sana. Sunyi dan senyap, tapi hebatnya Asley tidak takut walau hanya sedikit. Apa mungkin karena ada Luis yang bersamanya saat ini? Bisa jadi. “Oh, ini apa?” Luis yang bisa ‘melihat’ tak peduli terang maupun gelap, menarik sebuah tuas yang ada di ujung kiri dari lorong yang tengah mereka telusuri. Mengejutkan. Bunyi berderek seperti mekanisme ruangan terdengar menggema, kemudian seisi ruangan tiba-tiba menyala lampunya, menerangi sekitar dengan seksama. Lalu lantai di hadapan Luis dan Asley yang berbentuk seperti pola lingkaran bergerak secara mengejutkan. Lingkaran itu berputar ke arah dalam, lalu secara perlahan munculah sebuah altar persembahan yang naik ke atas. Luis dan Asley otomatis mundur dengan wajah kaget, terheran-heran. “Siapa … yang membuat ini?” gumam Asley. “Pertanyaan salah. Bukan siapa, tapi untuk apa?” tukas Luis meluruskan kondisi. Jadi sekarang … mereka harus apa dengan latar persembahan ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD