BAB 5: Kontrak Si Buta dan Si Terkutuk

1306 Words
“Eh?” Langkah kaki Luis terhenti mana kala gendang telinganya menangkap suara getaran yang sangat familier. Bahkan ia bisa merasakan emosi nestapa yang membuncah ruah dari pemilik gelombang getaran ini. "Apa itu ... Asley?" gumam Luis sedikit menelengkan kepala. Tangan yang memegang tongkat khusus orang buta itu mencengkram dengan cukup kuat. Ada emosi yang membuat sesuatu di dalam diri Luis seolah terbakar bara api. "Siapa gerangan yang membuat dia sampai mencapai emosi setingkat orang depresi ini?" heran Luis, ada sepercik api kemarahan di dalam nada bicaranya barusan. Luis tentu saja kebingungan, pasalnya yang ia kenal--meski masih singkat--Asley adalah gadis pemarah yang tidak mudah menangis. Ah, kecuali insiden dongeng Medusa saat itu. Apa mungkin Asley adalah gadis yang sangat perasa? "Hm ...." Luis mengusap dagu. "Apa dia baru saja membaca dongeng menyedihkan lagi atau semacamnya?" tebak Luis yang mulai kembali menggerakkan tungkai. Ia menuju ke arah sumber getaran emosi ini berasal. Tiap langkah yang Luis ciptakan guna mempersempit jarak antara ia dan Asley, membuat pemuda buta ini mulai berkeringat dingin. "Aduh ... sial." Berisik. Bunyi Isak tangis yang berusaha diredam, rasa sesak pada d**a karena spot jantung yang berdetak makin kencang, semua itu sangat berisik. Dan semua itu juga membuat kepala Luis makin berdengung. "Wah .. celaka. Aku tidak pernah belajar cara menenangkan perempuan yang menangis," gumam Luis ketika ia sudah berada di titik terdekat dengan Asley. Kini hanya ada satu tembok yang menghalangi keduanya dan hanya ada Luis yang sadar akan keberadaan Asley di sana. Tidak dengan gadis yang kini masih sesenggukan sambil menutup mulutnya erat-erat. "Hah ... aku tidak bisa lebih dekat dari ini." Luis bersandar pada tembok, wajahnya berubah sendu dan kelabu, tangan pemuda ini mengepal satu, sedangkan yang sebelahnya lagi mencengkram kuat tongkat khususnya itu. Luis tidak tahu harus berbuat apa. Sosok Asley di balik tembok ini terlihat sangat rapuh. Bagai gelembung yang terbuat dari sabun yang akan pecah jika salah sentuh. "Mereka bilang ... ugh! Aku terkutuk? Jadi itu adalah alasan kenapa selama ini aku hidup ... terkurung?" isak Asley di sela tangis. Luis dapat mendengar hal tersebut dengan sangat jelas. "Oh, jadi dia juga sudah tahu. Kenapa baru sekarang? Apa karena ayahku?" Luis bergumam kecil. Seolah sedang menelaah masa lalu yang kelam. "Hahaha!" Tiba-tiba Asley tergelak, tapi air yang mengalir dari matanya semakin deras. Gadis itu mengacak-acak rambutnya dan beranjak pergi dengan langkah terburu. "Pantas saja ... pantas saja ayah dan ibu sampai mati!" desis Asley dengan mimik wajah yang beringas. "Wah ... wah." Luis jadi merinding sendiri. Ia tidak mengerti mengapa seorag gadis yang tadinya menangis riuh mendadak berubah jadi seperti itu. Luis bisa merasakan segumpal amarah membara dari diri Asley sebelum gadis kurus itu pergi tadi. Luis tida berniat mengejar muridnya itu. Ia malah mengambil jalan yang berlawanan arah. Kemudian menghadang seorang pelayan. Tidak sembarang orang, pria itu adalah kepala pelayan di kastil ini, Adam. "Ada apa Tuan Luis? Saya adalah Adam, Kepala Pelayan di Kastil ini, yang menyambut Anda saat itu." Wajah Luis yang sebagiannya tertutupi oleh rambut ikal yang legam itu terlihat makin gelap. Ia tersenyum tersirat. "Saya tahu." Adam tampaknya pura-pura percaya saja. Ia berpikir mana mungkin orang buta bisa tahu tanpa melihat, tanpa menggunakan mata. "Apa ada Anda tersesat?" Luis berusaha menahan kesal, sudah terhitung sepuluh kali ia mendengar pertanyaan itu hari ini. "Tidak. Saya ada perlu dengan Anda." "Oh, saya? Kebetulan sekali. Ada apa?" Tidak kebetulan, tuh. Luis sengaja menemui orang tua ini. "Selaku guru yang akan membimbing Tuan Putri ke depannya. Saya ingin transparansi dari Anda. Tolong katakan semua yang Anda ketahui mengenai Nona Asley dari Keluarga Schimidbauer," pinta Luis tanpa banyak basa-basi lagi. Sempat ada jeda keheningan yang cukup panjang antara kedua orang ini. Luis bisa mendengar detak jantung sang kepala pelayan, detak cepat seolah bisa meledak. "Baiklah," jawab Adam pada akhirnya, setelah berpikir matang-matang. Mimik muka pria tua ini juga tak kalah gelapnya dari Luis. *** "Hemlock water dropwort," sebut Asley ketika Luis baru saja berdiri di hadapannya, bersiap untuk melanjutkan kelas. "Jadi Tuan Putri sudah menemukan nama tanamannya?" Luis mengulas senyum tipis. Apa gadis ini sudah baik-baik saja? secepat itu? Luar biasa sekali. Mungkin Asley tidak seterpuruk yang ia duga. "Hemlock water dropwort memiliki nama latin Oenanthe crocata. Tanaman ini biasa tumbuh di daerah yang lembap seperti rawa, danau, tepi sungai, dan bahkan parit atau selokan. Daun Hemlock berwarna hijau terang dan bentuknya mirip daun pakis dengan dua sampai empat bagian menyirip, keseluruhannya terlihat segitiga," jelas Asley melanjutkan. "Bunga Hemlock berwarna putih dengan ukuran kecil. Bijinya berbentuk seperti bola ruby berwarna cokelat dan batangnya berwarna hijau cerah serta berongga. Jika batang Hemlock dipotong akan mengeluarkan cairan berwarna kuning. Mulai dari akar, batang, daun, biji, bunga, dan buah Hemlock sangat beracun.” Asley tidak membaca di buku. Gadis ini sudah hapal betul dengan isi dari apa yang ia pelajari barusan. “Lanjutkan,” pinta Luis. Asley tidak memiliki pilihan. “Seluruh bagian dari tanaman ini mengandung alkaloid beracun.” Pikiran Asley sebenarnya masih kacau, perasannya berkecamuk. “Yang akan berakibat fatal meskipun dalam jumlah kecil." Namun, ia tidak memiliki siapa-siapa untuk disalahkan, untuk dicurahkan atau meminta pertolongan. Asley tidak memliki siapa-siapa. “Lalu cara membuat—" “Cukup,” potong Luis. “Apa Anda baik-baik saja?" tegur sang guru yang merasakan detakkan tak biasa dari jantung Asley. Padahal suara gadis ini tampak baik-baik saja. Luis tidak mengerti. Dia kenapa lagi? Bukannya menjawab, Asley malah menangis. Ia menelungkupkan wajahnya ke meja dan merengek sejadi-jadinya. Membuat gendang telinga Luis hampir meledak. “T-Tuan Putri cukup! Anda berisik sekali! Anda sudah terlalu besar untuk menangis!” Luis melangkah menjauh sambil menutupi telinga dengan buku. Kalau dia lempar buku ini, apa Asley akan berhenti menangis? Tidak. Bisa jadi gadis itu malah akan mengamuk dan berteriak di telinganya. Jadi Luis harus bagaimana? Seumur hidup dia tidak pernah di hadapkan dengan seorang gadis, apalagi tangisan menyiksa ini. Luis bisa mati. Tunggu dulu. Mati? Oh, benar juga! “Tuan Putri! Saya tahu masalah kutukan Anda!” sentak Luis nyaring dan dalam detik itu juga Asley menghentikan tangis. “Kau tahu?” Berhasil! Jakun Luis sampai bergerak meneguk saliva. “Benar, barusan. Itu disebut kutukan Medusa, jadi siapa saja yang melihat mata Anda maka orang itu akan mati mengenaskan,” jelas Luis begitu ringan. Seolah bukan apa-apa. Asley mendongak, melihat gurunya yang meringkuk di pojokan. "Kenapa kau di sana?" "Jarak aman," balas Luis apa kadarnya. Kening Asley berkerut dalam, ia baru sadar kalau setelan baju yang Luis kenakan selalu berwarna hitam dan juga mata Luis yang tidak pernah kelihatan karena ketutupan rambut yang panjang itu. “Jadi kau masih baik-baik saja karena kau buta,” simpul Asley tiba-tiba. “Iya, untungnya saya buta,” sahut sang guru santai. Kening Asley mengerut lagi. Sejak kapan ada orang buta yang mengatakan untung dia buta? Dasar aneh. Tiba-tiba ide gila terlintas di benak Asley. Senyum cerah mendadak terbit di wajah kurusnya yang menawan dalam seketika. “Apa guru bisa membantuku? Jika ada kutukan maka pasti ada cara untuk menghilangkannya, kan!” seru Asley girang. “Aku akan membuat guru bisa melihat lagi! Donor mata!” Sejak kapan dia memanggilku dengan sebutan guru? Luis membatin. Pemuda ini ingin terkekeh saja mendengar tawaran tadi. Namun, ia berusaha menahan diri. Berdehem ringan, Luis membenarkan posisi dasi. “Tuan Putri yakin?” “Tentu saja!” Asley mendekat sambil mengulurkan tangan, meminta tanda sepakat. Luis bisa merasakan emosi berkecamuk dari detak jantung Asley. Dia tidak paham kenapa gadis itu bisa berubah-ubah perasaanya bagai ketidaktentuan cuaca. Tadi Asley sedih, berikutnya marah, tiba-tiba jadi tenang, terus menangis dan kini malah berapi-api. Ada setitik harapan tinggi dari diri Asley yang mendesak Luis untuk bergerak. Sudut bibir Luis terangkat. Membentuk senyuman ringan yang membuat mata bak kristal ungu milik Asley terbelalak sempurna. Ia menerima jabat tangan gadis tersebut. “Baiklah, Tuan Putri. Saya akan membantu Anda.” “D-Dan aku akan membantumu juga!” seru Asley tiba-tiba gagap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD