BAB 4: Kutukan dan Rahasia

2194 Words
Asley kini mengembangkan senyuman cantiknya yang sayang sekali tidak bisa Luis lihat. "Kami hidup dengan banyak menerjemahkan tulisan kuno secara sembunyi-sembunyi." “Jadi Tuan dan Nyonya Schmidbauer juga tertarik dengan hal seperti ini,” simpul Luis merasa menemukan petunjuk yang penting. “Lalu yang tertulis di batu itu bukan bahasa Yunani Kuno? Apa itu bahasa Latin? Makanya Anda tidak bisa menerjemahkannya,” tebaknya lagi. Asley langsung menggeleng. “Tidak, bukan begitu. Aku cukup pandai memahami kedua bahasa itu.” Sudut bibir Luis tertarik, jadi Asley bukanlah perempuan yang bodoh. Ia hanya tidak pandai di beberapa bagian dan itu sangat wajar untuk ukuran manusia. “Lalu itu bahasa apa?” Asley menggidikan bahu. “Entahlah, aku lupa ibu bilang apa. Yang pasti, bahasa ini sudah mati. Sulit menerjemahkannya, ditambah lagi ini tidak lengkap. Potongan batunya banyak yang hilang, dan orang yang menulis di sini sepertinya dari suku minoritas yang memakai bahasa mereka sendiri, atau mungkin juga ini adalah sebuah kode rumit. Tidak atau ... belum terpecahkan,” terang Asley begitu fasih. Ia tak berbohong pernah meneliti bebatuan di sini bersama kedua orangtuanya. “Begitu rupanya. Bukankah hukuman kali ini asyik? Oh, iya. Tuan Putri tidak memberi tahu apa yang Anda tulis. Saya mana bisa membacanya.” Asley menoleh pada Luis yang duduk di atas batu dan menggantungkan kakinya. “Tidak, kau pasti bisa membaca ini. Akan kuserahkan besok.” Kening Luis berkerut dalam. “Maaf, tapi saya kurang paham maksud Tuan Putri.” Asley malah tersenyum bangga. “Coba kemarikan tanganmu,” pintanya sambil menarik paksa tangan kanan Luis. Lelaki itu cukup terkejut dengan gerakan tiba-tiba Asley. Namun, ia hanya bisa diam menurut. “Ada dua baris dengan enam titik. Tiga di kiri dan tiga di kanan.” Asley menggambar di tangan Luis sesuai apa yang ia ucapkan dengan tangannya sendiri. Jadi itu seperti bayangan saja. “Titik satu di atas kiri adalah huruf A. Titik dua di kiri baris pertama dan kedua adalah B. Titik satu di kanan atas dan titik satu di kiri atas adalah C. bagaimana? Benar, kan?” Telinga Luis memerah, tangannya jadi gemetaran lantas ia segera menariknya dari genggaman Asley. “Tuan Putri bisa huruf braille?” herannya dengan sedikit bumbu kekaguman. Asley mengangguk walau ia tahu Luis tidak akan melihat anggukannya. “Saya dulu pernah buta. Oh, ya. dilarang bertanya lebih jauh!” Hal tersebut tentu saja membuat Luis begitu terkejut, tapi ia hanya bisa mengangguk sok paham. “Jadi begitu.” “Ngomong-ngomong, dari semua batu yang ada di sini aku hanya bisa menerjemahkan satu kalimat sempurna hanya pada itu.” Asley menunjuk pada batu berukuran sedang di samping batu besar yang Luis duduki. “Apa katanya?” Asley terlihat sedikit ragu. “Ini adalah mantra yang tidak boleh diucapkan sembarang orang, apa aku harus mengucapkan mantranya?” tanya Asley pada sang guru. Mendengar hal tersebut, Luis semakin tertarik saja. Jadi ada mantra yang tidak boleh disebutkan sembarang orang? Kalau begitu apa Asley bisa membacanya tanpa menimbulkan masalah? Namun akan lebih baik jika masalah itu muncul, siapa tahu ia bisa menemukan titik terang dalam menginvestigasi kastil ini. Pemuda buta itu lantas menarik sudut bibirnya, membentuk senyuman yang mengejek. “Tuan Putri takut?” Sepertinya Asley memakan umpan Luis, gadis itu langsung naik darah begitu ia merasa direndahkan. “Ti-tidak! Mana mungkin aku takut! Akan aku lanjutkan.” “Go ahead,” balas Luis, mengayun-ayunkan kakinya dengan santai. Tongkat yang selalu ia bawa sebagai formalitas itu dia letakkan di atas batu besar yang didudukinya sekarang. Maka Asley pun mulai membaca mantra terlarang pada batu berukuran besar di samping. “Wahai penunggu di dunia bawah, ambilah jiwaku sebagai pengganti nyawa yang kau rebut.” DEG! Perasaan tidak nyaman langsung menyerang benak Luis tanpa alasan yang jelas. Angin yang tadinya bertiup pelan, berubah tiba-tiba. Udara yang bergerak di sekitar mereka memiliki perbedaan tekanan besar yang signifikan. Perbedaan suhu membuat udara dingin dan menghasilkan tekanan udara yang tinggi. Angin kencang langsung berembus melewati mereka. Namun, Asley tidak berhenti, gadis kurus dengan surai keemasan yang bergelombang itu tetap melanjutkan tulisan mantra di batu tadi. “Kembalikanlah Mermeros dan Feres atau Medeia akan bangkit dan mengutuk kalian dengan—” “ASLEY!” Luis melompat ke arah sang murid, ia langsung menarik gadis itu ke dalam dekapannya. Bertepatan dengan kilat yang menyambar disertai gemuruh petir yang menggelegar. Asley meringkuk ketakutan dalam pelukan Luis. Dia tidak suka hujan, dia membenci kilat, dia takut pada petir. Namun, sepertinya semua hal tersebut sedang menimpanya sekarang. Butiran air yang turun dari awan mulai membasahi pucuk kepalanya. “Kelas hari ini sudah cukup, Tuan Putri harus istirahat. Mari saya antar kembali ke kamar,” tukas Luis berusaha menenangkan gadis rapuh yang kini tubuhnya tengah gemetaran. *** “Apa yang tadi adalah mantra pemanggil roh di dunia bawah?” Luis masih menyandarkan diri di pintu kamar Asley. Gadis di dalam sana sudah tertidur pulas setelah mengganti baju. Kini ia bisa tenang sedikit dan mulai memikirkan makna mantra yang disebutkan Asley di taman tadi. “Ambilah jiwaku sebagai pengganti nyawa yang kau rebut … kembalikanlah Mermeros dan Feres atau Medeia akan bangkit.” Luis bergumam kecil, mengulang kembali potongan mantra tersebut. “Medeia, penyihir handal dari mitologi Yunani itu, membunuh kedua anaknya karena sang calon suami, Iaros, yang berkhianat. Dia lebih memilih untuk menikahi wanita lain dari pada Medeia yang padahal banyak membantunya.” Luis menegapkan tubuh. “Ada juga sumber yang mengatakan kalau Medeia tidak sengaja membunuh kedua anaknya. Memeros dan Feres.” Luis menggerakan tungkainya, ia harus ke perpustakaan besar itu lagi. Di luar sana, hujan masih merembes turun, membasahi desa Athenia yang cukup subur. Debit dari tetes air hujan terdengar ringan, tanpa angin berlebihan dan juga tanpa sambaran kilat atau gemuruh petir lagi. Pemuda itu bisa bernapas dengan cukup tenang. “ … begitulah kata Tuan Josef Winer yang pernah kudengar.” Huh? Luis memperlambat langkah ketika nama ayahnya disebut. Suara yang baru saja ia dengar tadi milik seorang pelayan yang tengah berbicara bersama dengan dua orang teman sesama pelayan. “Lima belas meter dari sini, tempat jemuran sebelah kiri,” gumam pemuda buta itu, sedang melakukan analisis singkat. Tempat di mana para pelayan tadi berada. Luis menguping lagi. “Jadi kematian kepala pelayan sebelumnya adalah karena kutukan itu?” “Sepertinya iya.” “Pantas saja kita dilarang keras untuk berhadapan langsung dengan Tuan Putri.” “Aku pikir karena Tuan Putri tidak suka bertemu dengan orang rendahan seperti kita. Tuan Putri kan memiliki keturunan darah biru.” “Tapi aku sering mendengar Tuan Putri membentak gurunya sendiri.” “Ya ampun! Kau menguping? Tidak sopan sekali!” “Tidak, bukan begitu! Aku hanya tak sengaja mendengarnya, kau tahu sendiri tugasku adalah menyiapkan makan dan t***k bengeknya. Suara Tuan Putri sangat besar, asal kau tahu saja.” “Yah, bangsawan tetaplah seorang bangsawan, memangnya apa yang kita bisa harapkan? Masih untung upah kita tinggi bekerja di sini dari pada di tempat lain. Meski kita terancam mati sekali pun, itu hanya berlaku kalau kita melanggar peraturan.” “Kau benar, bahkan mendiang Tuan Josef mengajarkan Tuan Putri di balik sekat.” “Eh, lalu bagaimana dengan anak beliau? Gosipnya menyebar luas dengan cepat. Katanya Tuan Luis dan Tuan Putri belajar bersama tanpa sekat!” “Eii, dasar otak domba! Kau lupa, ya? Guru yang sekarang itu buta. Tuan Luis tidak perlu menatap mata Tuan Putri.” “Oh, benar juga. Sayang sekali dia buta, padahal tampan begitu.” Suara langkah kaki dari salah satu penguasa tinggi di kastil mendekati ketiga pelayan tukang gosip tadi. “Apa yang kalian bicarakan sampai begitu asyiknya di sini! Cepat selesaikan pekerjaan kalian!” teriak sang kepala pelayan dengan begitu lantang. Membuat ketiga orang itu keteteran membereskan jemuran. “Ck, menganggu saja. Aku jadi tidak sempat mendengar mereka membicarakan kutukan apa.” Sekarang, di otak jenius pemuda buta tersebut, malah muncul pertanyaan baru. Seumur hidup, sang ayah tidak pernah membicarakan tentang Asley, kecuali hal-hal yang baik saja. Misalkan kalau gadis itu begitu berisik saat sedang malu, suka tertidur di kelas, dan suka marah-marah tidak jelas. Tunggu, apa itu terhitung hal yang baik? Sudut bibir Luis tertarik ke atas. “Entahlah.” Hanya satu hal yang pasti, Josef Winer tidak pernah membicarakan perihal kemistisan di kastil atau kutukan pada Asley seperti yang para pelayan lakukan. Jadi dia sedikit kesal pada mendiang ayahnya itu, Josef tidak menceritakan padanya tapi malah memberitahu para pelayan? Menarik sekali. “Jadi kesimpulannya aku tidak memiliki pilihan lain selain menanyakan pada mereka secara langsung nanti.” Luis memilih untuk menunda tujuan sebelumnya, ke perpustakaan besar. Ia bisa ke sana kapan saja di luar jam mengajar. *** “Dulu atau bahkan mungkin masih digunakan sampai sekarang, ada sebuah racun yang dipakai untuk euthanasia atau pun pembunuhan bagi para orang tua yang tidak sanggup mengurus diri sendiri di suatu kalangan masyarakat.” Asley kali ini cukup antusias, selama masuk jam pelajaran di kelas, ia hanya tertidur sebanyak tiga kali—biasanya lebih. Jadi pada penutupan hari ini, gadis tersebut cukup semangat untuk mencatat apa yang Luis ucapkan—karena itu akan menjadi PR. “Racun ini berasal dari suatu tumbuhan, dia tidak terasa pahit atau pun menyakitkan. Malah, manis, menyenangkan, dan sangat memabukkan. Yang paling menarik dari racun ini adalah dia bisa membuat korbannya mati dalam senyuman, atau lebih tepat lagi kalau disebut dengan seringaian.” Luis berdiri di samping mejanya sambil terus menjelaskan. “Tumbuhan dari racun ini biasanya hidup di daerah yang lembab seperti sungai, danau, dan rawa-rawa. Orang yang memakan racun ini akan mengalami disfungsional tubuh, kejang-kejang, dan berakhir dengan kematian dalam kurun waktu kurang lebih dua puluh empat jam,” tutup Luis kemudian. Asley mendongak. “Jadi tugasku adalah mencari tahu nama tanaman beracun ini? Kemudian menjelaskan detail reaksinya, racun apa yang ada di dalamnya, dan juga ciri-ciri tanamannya. Apa betul?” tebakan yang sangat tepat. Luis menjawab dengan anggukan dan senyuman. “Benar sekali Tuan Putri, apa Anda bisa?” Asley menyipitkan mata, menatap Luis dengan raut wajah tidak suka. “Tentu saja aku bisa! Kau pikir aku ini bodoh, apa?” “Tidak, saya tidak pernah berpikir demikian,” sahut Luis santai, masih mempertahankan mimik wajah tersenyumnya. “Memang harusnya begitu! Awas saja kau berani meremehkanku!” Mulai lagi. Luis harus segera minggat dari sini. “Kalau begitu kelas hari ini berakhir, terima kasih atas kerja samanya Tuan Putri.” Pemuda itu membungkuk sopan. “T-tunggu!” teriak Asley menahan langkah kaki Luis yang sudah berada di ambang pintu. “Ya? Ada yang Tuan Putri ingin tanyakan lagi?” “Tidak, sudah kubilang aku ini tidak bodoh!” cerca Asley tiba-tiba merasa tersinggung. “Eh?” Luis sungguh tidak paham pada sosok yang dinamakan perempuan, dia bertanya dengan sopan tapi Asley malah salah paham. Di mana letak kesalahannya? “Maafkan kelancangan saya.” Apa pun itu, minta maaf adalah jalan satu-satunya. Asley bersidekap dengan wajah sok kesal. “Suruh para pelayan mengosongkan jalan ke perpustakaan besar dan juga taman.” Kening Luis berkerut dalam. “Perpustakaan besar?” ia tidak bisa membayangkan ternyata Asley cukup berani untuk masuk ke sana sendirian. “Iya, buku-buku di sini kurasa tidak ada yang menerangkan tanaman beracun tadi. Aku harus ke sana sebelum g-gelap,” gagap Asley berusaha menyembunyikan rasa takut hanya dengan mebayangkan sendirian berada di perpustakaan besar itu. Sudut bibir Luis melengkung ke atas. “Baiklah. Apa Anda tidak ingin saya temani?” tawarnya begitu paham pada rasa takut Asley. “T-tidak sama sekali! Jangan sok baik!” Luis tersentak kaget, lagi-lagi murid kurang ajarnya itu marah-marah tidak jelas. Padahal niat Luis, kan baik. “Ah, maaf. Kalau begitu saya permisi dulu.” “Hmph!” sahut Asley begitu ketus. Ia merasa mampu mencari jawabannya sendiri di perpustakaan besar. “Saya akan memberi tahu yang lain kalau Tuan Putri akan keluar, tolong tunggu beberapa saat.” Luis meninggalkan pesan sebelum benar-benar pergi di balik pintu. “Cepatlah!” pinta Asley yang lebih terdengar seperti perintah. Tuan Putri yang satu ini benar-benar tidak perlu belajar etika. Dia akan melawannya. *** “Hei! Apa yang kau lakukan di sini? Ayo cepat pergi atau sembunyi!” Seorang pelayan dengan wajah penuh bintik seperti buah stroberi tergesa-gesa menghampiri temannya. “Eh, memangnya kenapa?” “Tuan Putri katanya ada di perpustakaan besar, ini adalah jalan pulangnya, dasar dungu!” “Demi Dewa! Kok, aku baru mendengarnya!” “Cepat lari! Ah, kutukan mematikan pada diri Tuan Putri memang sangat merepotkan!” “Ayo sembunyi! Aku tidak ingin mati seperti kepala pelayan sebelumnya karena kutukan sialan itu!” Kedua pelayan terebut pun segera mengambil langkah seribu, mencari tempat sembunyi yang nyaman. Sayangnya yang tidak mereka ketahui adalah ada sosok yang paling penting di kastil ini, telah mendengarkan dengan tidak sengaja percakapan singkat tersebut. BRAK! Tiga buku tebal yang tadinya Asley peluk terjatuh mencium lantai, kemudian suara keras berikutnya kembali terdengar. Itu adalah suara tubuh Asley yang ambruk, otot-otot di lututnya tiba-tiba melemas. “Aku … terkutuk?” lirih gadis kurus tersebut. Rambut pirang keemasannya yang panjang terurai menutupi wajah memerah karena syok dengan mata berkaca-kaca. Asley hampir gila menangkap fakta yang baru saja ia dengar. "Kepala pelayan sebelumnya ... Jason. Apa aku membunuhnya dengan kutukan itu?" lirih Asley ketakutan, wajahnya sangat horor.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD