BAB 3: Legenda dan Misteri Kastil Medeia

2209 Words
Gadis itu malah menatap Luis dengan penuh rasa penasaran. “Aku tidak percaya kalau kau buta,” racaunya tak karuan. Luis terlihat ragu untuk menyentuh wajah muridnya ini. Bukan takut pada sosok Asley, ia takut tindakannya ini melanggar norma dan berakibat fatal. Atau hanya pikiran Luis saja yang berlebihan, ya? “Kenapa … Tuan Putri terus menanyakan itu?” Tangan kurus Asley bergerak mengusap air bening yang tidak kunjung berhenti mengalir deras dari mata indahnya. “Habis, Luis jahat sekali!” rengek gadis itu dengan tuduhan mendadak. Luis tidak mengerti, seumur-umur, ia tidak pernah diberikan tugas membuat anak gadis berhenti menangis. “Ma-maafkan saya,” beo pemuda itu. Tangannya menyentuh pelan bahu Asley, menepuk-nepuknya dengan lembut. Luis tidak tahu tindakannya ini sudah benar atau salah. Namun, dengan ajaib tangisan Asley mereda. Walau gadis itu masih sesekali cegukan. Setidaknya jantung dan mulut Asley tidak seberisik sebelumnya. “Aku tidak suka dongeng yang menyedihkan!” teriak gadis kurus itu tiba-tiba. Hampir saja Luis terjungkal ke belakang, untung saja ia dapat menahan tubuh olengnya dan hanya mundur beberapa langkah. “Oke, baiklah. Saya minta maaf, saya tidak akan menceritakan dongeng menyedihkan lagi, tidak akan. Saya janji,” bujuk laki-laki itu berusaha tidak terlihat takut. “Sudahlah! Cepat mulai saja kelasnya!” titah Asley dengan tangan yang masih sibuk mengeringkan wajahnya yang basah karena tangisan. Sebenarnya Asley baru merasa malu sekarang. Ia sungguh membenci Luis. “Pakai ini.” Luis menyodorkan sapu tangan dengan motif bulat-bulat dan warna merah maroon. Mengetahui bahwa Asley akan sok untuk menolak, pemuda ini dengan sigap mengusap sendiri sisa-sisa air mata Asley. Ia kemudian memasukkan sapu tangannya kembali ke dalam saku. “Baiklah, kita sekarang akan membahas sejarah Athenia.” Luis memberikan Asley sebuah buku yang kali ini terlihat baru dengan sampul bertuliskan ATHENIA. “Wilayah yang kini Tuan Putri tempati.” Asley terlihat cukup tertarik, meski anak ini sebenarnya akan lebih antusias andai saja Luis mengajarkannya tentang alam, biologi. Itu adalah pelajaran yang paling ia minati. “Saya harap Tuan Putri bisa fokus,” beo Luis seolah menyindir. Kening Asley langsung berkerut dalam, curiga pada sosok guru barunya ini. Ia memikirkan segala kemungkinan yang ada, misalnya Luis adalah manusia super yang bisa membaca pikiran orang lain seperti salah satu buku fantasi yang pernah ia baca. “Anda masih tidak fokus rupanya.” “Tuh, kan!” Asley berteriak tiba-tiba. Bangkit dari kursinya dan menunjuk ke arah Luis yang sudah menempeli badan ke papan tulis. Jangan ditanya lagi, Luis tentu saja kaget karena mulut Asley. “Tuan Putri, tolong tenanglah dan duduk kembali,” pinta Luis baik-baik. Namun, sepertinya gadis itu tidak mengacuhkan permintaan sang guru. Dia malah berkacak pinggang dengan wajah angkuh. “Berikan saja aku bukunya, akan k****a sendiri! Kau pergi sana dan kembali untuk menanyakan kesimpulan atau apa pun itu! Aku tidak nyaman melihatmu!” kecam Asley lantas kembali duduk. Luis jadi ingin sekali memukul kepala gadis itu andai saja gender mereka sama. Namun tidak bisa, posisi Asley bukan hanya sebagai murid di sini, tapi juga majikannya. “Baiklah, tunggu sebentar.” Setelah menggeledah laci meja, Luis mengambil sebuah buku yang tampak tua. Sampul hitamnya juga mulai pudar dan koyak moyak. “Silahkan baca pada bab pertama saja, mengenai legendanya. Ada kaitan dengan mitologi Yunani, karena itu dongeng yang saya bawakan sebelumnya terkait dengan mitologi Yunani juga,” jelas Luis dengan suara yang tenang sembari meletakkan buku tadi di atas meja Asley. Luis kembali ke mejanya untuk mengambil tongkat—The White Cane, tongkat khusus untuk orang buta. “Saya akan kembali untuk mengecek apakah Anda sudah paham atau ada pertanyaan nanti,” pamitnya melangkah pergi dengan tuntunan tongkat. Sengaja meninggalkan tanda tanya besar dalam benak sang murid. Langkah kaki Luis terdengar menggema ketika ia melewati salah satu lorong panjang dari kastil ini. Ia bisa mengetahui sekitar lima meter di depan sana ada belokan dengan dua orang pelayan wanita yang tengah bergurau. “Apa kau sudah lihat guru baru Tuan Putri?” “Tentu saja, aku adalah salah satu orang yang menyambutnya tadi.” “Ah! Kau beruntung sekali! Aku hanya melihatnya dari kejauhan, dia sangat tampan dengan kulit pucatnya yang seperti vampir di novel-novel!” Keduanya tertawa cekikikan. Kemudian melangkah belok ke kiri dan begitu terkejut mendapati Luis di sana. “Ah, Tuan? Kenapa Anda di sini? Apa Anda tersesat?” tanya salah satu pelayan dengan wajah penuh bintik seperti buah stroberi. “Benar juga, kelas Tuan Putri belum berakhir di jam begini. Tuan, izinkan saya mengantar Anda ke ruang mengajar,” tawar teman di sampingnya. Pelayan ini memiliki wajah bulat dan mata yang seakan masuk ke dalam. Luis tersenyum ramah. “Tidak perlu, saya tidak tersesat. Saya hanya jalan-jalan saja.” Kedua pelayan tadi langsung mengangguk bersamaan, saling tukar pandang dan tersenyum penuh arti. Mungkin bisa Luis artikan itu adalah senyuman menahan tawa. “Baiklah kalau begitu, kami permisi dulu, Tuan.” “Tolong panggil saja kami jika Anda membutuhkan sesuatu.” Kedua pelayan tersebut membungkuk sok sopan. Luis membalas dengan sedikit menunduk. “Tentu, terima kasih banyak. Saya sangat terbantu,” pamit pemuda itu melangkah lebih dulu dengan panduan tongkatnya. Kedua pelayan tadi langsung menoleh dan berbisik-bisik. “Lihatkan? Sudah sangat tampan dia juga sangat sopan.” Si pelayan dengan banyak bintik di wajahnya mengangguk setuju. “Dia juga jadi guru berarti dia pintar, kan?” “Benar, tapi sayang sekali dia buta.” “Iya, sayang sekali.” Luis menghentikan langkahnya, jarak ia dan kedua pelayan itu tidaklah jauh-jauh sangat, akan tetapi tetap saja. Kenapa mereka harus bergosip langsung di belakangnya begini? Apa mereka pikir Luis tidak bisa mendengar? Cukup saja dengan buta, Luis tidak tuli. “Kalau tidak buta aku pasti bersedia jadi istrinya.” “Hei, kalau Tuan Luis tidak buta aku yang lebih dulu melamarnya, haha!” Kedua pelayan tadi kembali melanjutkan langkah dan tertawa ria. “Bahkan walaupun aku buta, seleraku bukan kalian berdua,” cibir Luis melanjutkan langkahnya. Ia ingin ke perpustakaan kastil yang terkenal horor. “Kastil Medeia, kastil tua yang memiliki umur setara dengan desa ini. Desa Athenia.” Luis melakukan senandikanya lagi, sambil melangkah memasuki area perpustakaan besar. “Konon katanya kastil ini dibangun di atas bekas reruntuhan bangunan megah pada masa dewa dan dewi Olympus.” Jika ada orang yang melihat Luis, pasti mereka akan menganggap dia laki-laki buta yang gila. “Jadi pada akhirnya aku bisa menjelajahimu dengan leluasa, ya.” Luis melangkah sambil meraba deretan rak-rak buku yang melebar panjang dan menjulang tinggi. Bahkan untuk seukuran Luis yang memiliki tubuh tegap tinggi, dia tetap harus menaiki tangga kalau ingin meraih buku pada rak paling atas. “Kastil Medeia, bahkan namamu tidak berubah sejak pertama kali berdiri. Medeia, ya? Nama seorang penyihir handal dari mitologi Yunani.” Luis seperti berbicara pada seseorang, atau lebih tepatnya di sesuatu—kastil ini. Langkah kakinya berhenti ketika ia sudah mencapai ujung sebelah kiri dari ruang perpustakaan besar ini. Jemari Luis mengabsen rapi deretan buku di rak terakhir sebelah kiri. “Baris keenam dari bawah, kotak keenam dari kiri, buku dengan nomor jilid enam.” Luis menarik pelan buku yang ia sentuh tadi. Kemudian dinding yang tadinya menjadi jalan buntu mulai bergetar. Ada bunyi-bunyi bebatuan—entah itu apa—yang saling bergesekan. Kemudian dinding tersebut mulai bergeser ke kiri. Menciptakan pintu baru dengan lebar kurang lebih satu meter. Luis menarik sudut bibirnya. “Menarik, jadi seperti itu mekanismenya,” puji lelaki buta tersebut. “Ruang bawah tanah, ya.” Ia tengah menimbang-nimbang, apa masuk sekarang atau nanti saja. “Dalam sekali.” Luis menggosok dagu, menelengkan kepala. “Aku tidak bisa memperkirakan di dalam sana ada apa.” Pemuda ini memang dari kecil sangat tertarik dengan sesuatu yang disebut misteri. Ia sudah sejak lama mengincar kastil tua ini. Ingin menjelajahi setiap sudutnya. Namun …. “Ini terlalu beresiko, aku belum menyiapkan apa-apa.” Luis memanjangkan tongkatnya, memakai benda itu untuk memukul kembali buku yang ditarik ke luar setengah tadi. Dapat ditebak pintu rahasia itu langsung menutup lagi dengan perlahan. “Kira-kira siapa orang pintar yang bisa membuat ini?” Pemuda itu berusaha memutar otak dalam perjalanannya kembali ke ruang mengajar. “Asley sepertinya tidak tahu apa-apa tentang keanehan kastil ini, dia tidak akan berani berkeliaran di perpustakaan. Dia hanya pernah ke taman bebatuan itu—oh!” Luis menjentikkan jari. “Mungkinkah ada petunjuk di sana? Seingatku ayah pernah bilang Asley bisa menggunakan bahasa Yunani Kuno. Berarti dia bisa membaca apa yang tertulis pada bebatuan aneh di taman.” Luis tahu bebatuan di sana memiliki tulisan dengan huruf aneh dari gosip para pelayan. Sebenarnya kalau bukan karena penasaran pada rahasia tersembunyi kastil ini, sampai mati pun Luis tidak akan bersedia menjadi guru Asley. Dia memiliki alasan yang kuat untuk menolak. Luis memasuki ruangan dengan derap langkah yang ringan. “Bagaimana? Sudah selesai?” Pemuda itu meletakkan tongkatnya di bawa meja, lalu memutar tubuhnya menghadap Asley. “Apa Tuan Putri memiliki … apa dia tertidur lagi?” heran Luis tak habis pikir. Menghela napas berat, Luis melangkah mendekati sang murid yang asyik bermalas-malasan. “Permisi Tuan Putri, apa Anda pikir Anda adalah putri tidur atau semacamnya? Tolong bangun, segera!” pinta Luis sambil mengetuk-ngetuk meja Asley dengan jari. “Ah! Pak Tua! Sudah kubilang aku tidak ti—” Ucapan Asley tersanggah dengan mulutnya sendiri. Ia segera menegakkan punggung, mendapati Luis yang bersidekap menahan amarah di sana. “Ma-maaf.” Asley memalingkan wajah ke samping. Ia menggaruk tengkuk yang tak gatal. Luis melirik ke bawah, mendapati halaman buku yang ia beri tadi baru terbuka pada halaman pertama saja. Ia lalu menghela napas panjang. “Tuan Putri bilang tadi bahwa Anda bisa belajar sendiri, apa saya salah dengar?” “Bukunya bikin mengantuk,” kilah Asley membela diri. Luis tahu betul sifat keras kepala dan tidak mau mengalah apalagi mengaku salah pada diri muridnya ini. Bagaimana caranya memberi hukuman, ya? Luis menelengkan kepala lalu menarik sudut bibirnya. “Dengan berat hati saya harus menghukum Anda.” Mata gadis itu langsung membelalak. “Apa katamu!” Sebenarnya dia tidak pernah mendapat hukuman dari Josef kecuali satu hal, PR yang sangat banyak. Apa Luis akan melakukan hal yang sama? Dasar ayah dan anak! Namun, sepertinya ekspetasi Asley sedikit banyak meleset. Kini dirinya malah berdiri di taman—setelah mengusir para pelayan—dengan Luis. Dia menatap pemuda buta di sampingnya ini dengan penuh tanda tanya. Asley … tidak pernah berada di taman ini dengan orang lain sejak kematian ayah dan ibunya, dia selalu sendirian. Dia jadi mendadak gugup. “Kenapa Anda berisik sekali?” tembak Luis tiba-tiba di tengah keheningan mereka. “Kapan aku berisik!” sergah Asley tentu saja tidak terima. “Itu, Tuan Putri berisik.” Sayangnya jawaban Luis sering kali membuat wajah gadis itu bersemu merah karena malu dan kehabisan kata-kata untuk membalas. “Kau sangat tidak sopan!” tuduh Asley tanpa bercermin terlebih dahulu. Namun anehnya Luis malah tergelak ringan, tidak merasa tersinggung. “Baiklah, apa Tuan Putri tidak penasaran apa hukuman Anda?” beo makhluk tampan tersebut mendekati salah satu bongkahan batu besar. Tempat biasanya Asley membaringkan diri. “Kau … ingin menyuruhku membelah batu? Batu itu?” tebak Asley begitu jenaka. Gadis ini padahal sudah berusaha memikirkan segala kemungkinan yang ada. Luis kembali tertawa, dalam cahaya dari sinar mentari begini, Asley baru menyadari kalau gurunya tersebut begitu tampan. Ah, tidak! Cukup tampan, ya! Hanya cukup tampan saja, tidak lebih! Asley mengangguk-ngangguk tanpa sadar. Luis menarik sudut bibirnya, tersenyum jahil. “Apa Tuan Putri baru saja memuji kalau saya memiliki wajah yang tampan?” Maka pada detik itu juga Asley batuk-batuk, tersedak ludahnya sendiri. “Sudah kuduga kau itu aneh! Jangan-jangan kau punya kekuatan magis!” tuduhnya sembarangan, lagi. “Jadi benar Tuan Putri berpikir tentang wajah saya tadi? Padahal saya hanya menebak saja.” Oke, Asley kini memandang gurunya dengan tatapan penuh rasa tidak suka. Kenapa Luis sangat menyebalkan? Bahkan melebihi si Pak Tua Josef itu. “Tuan Putri bisa membaca ini?” Sebelum Asley meledak kembali, Luis segera membuka mulutnya lagi. Sudah cukup puas menghukum muridnya itu. Asley memang lebih cocok dikerjai. Netra bak permata Amethys itu memutar malas. “Maksud kau tulisan di batu itu? Iya, aku bisa. Kenapa?” tanyanya dengan nada ketus. Luis menepuk-nepuk batu dan menunjuk bebatuan di sekelilingnya. “Maka tugas Anda adalah menerjemahkan tulisan di batu ini. Tulis di sini,” ujar pemuda itu menyodorkan dari kejauhan sebuah buku catatan seukuran saku. “Sambil katakan terjemahannya pada saya,” tambah Luis lagi ketika Asley menghampirinya untuk mengambil buku dan pena. “Sepertinya hukuman ini tidak akan pernah berakhir,” gerutu Asley menulis setengah hati arti kata di batu yang di sentuh Luis tadi. “Apa maksudnya itu?” Asley meniup poninya kesal. “Ayah, ibu, dan aku dulu juga melakukan ini, tapi kami tidak berhasil,” terangnya. Wajah Luis tampak terkejut. “Jadi apa maksud Anda tadi bisa membacanya?” Asley memutar pena. “Apa kau bodoh? Tentu saja aku bisa membacanya tapi belum tentu aku bisa menerjemahkannya! Aku tidak bisa.” Luis malah semakin heran. “Lalu apa yang Anda tulis di sana.” Asley kini mengembangkan senyuman cantiknya yang sayang sekali tidak bisa Luis lihat. “Aku bisa menerjemahkan beberapa kata. Ibuku juga bilang bebatuan ini semacam peninggalan sejarah penting, tapi dia dan ayah menolak untuk memberitahukan pada khalayak umum atau pemerintah.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD