1. Bertemu

1550 Words
  Admund POV- Hari ini terasa begitu melelahkan bagiku. Pekerjaan kantor yang begitu banyak dan menumpuk seolah menahanku untuk terus duduk di kursi kerjaku dan menandatangani puluhan dokumen yang seakan tiada habisnya setiap hari. Bahkan tak jarang akhir-akhir ini aku sering lembur hanya untuk mengerjakan tugas kantor hingga larut malam. Bisa dikatakan bahwa aku adalah seorang pria penggila kerja. Karena neski pun aku merupakan pemilik dari perusahaan ini, tapi bukan berarti aku bisa bermalas-malasan, justru aku lebih sering lembur dari pada para karyawanku. Yah mau bagaimana lagi, aku adalah seorang pengusaha muda yang merupakan pewaris sebuah perusahaan komputer milik keluargaku. Dan aku adalah seorang anak tunggal, mau tidak mau aku harus melanjutkan bisnis keluarga. Meski hal tersebut tak jarang sedikit banyak merepotkan dan menguras waktu luangku. Apa lagi mengingat akhir-akhir ini, ibu sering sekali mendesakku untuk cepat-cepat menikah dengan alasan ingin segera menimang cucu. Padahal aku sama sekali belum ada pikiran ke arah sana. Fokusku saat ini hanya ingin menikmati masa mudaku dan tidak ingin terikat degan sebuah pernikahan. Menikah, memiliki anak, mengurus anak dan istri. Pikiran seperti itu masih jauh dari bayangan hidupnya. Aku selalu berusaha menghindar setiap kali ibu akan membahas mengenai pernikahan. Kuakui umurku memang sudah cukup matang untuk membina sebuah rumah tangga. Tapi untuk ukuran seorang pengusaha yang cukup sukses sepertiku sepertinya tidak terlalu aneh jika belum menikah di usia kepala dua, maksudku hampir menginjak kepala tiga. Lagi pula aku adalah anak laki-laki di sini, patokan umur untuk menikah bukan lagi hal yang harus dipermasalahkan. Bukankah banyak di luaran sana lelaki lajang berusia 30 tahunan dan belum pernah menikah? Sekali lagi kutegaskan, aku belum siap. Bukan karena tidak ada wanita yang mau denganku. Malah sebaliknya, mereka para w************n malah dengan senang hati melemparkan tubuhnya padaku hanya dengan sekali kedipan mata. Hal itulah yang membuatku muak dan terlalu pemilih terhadap wanita. Karena kebanyakan di antara mereka adalah jalang. Bahkan ibu sering menyodorkan berbagai wanita yang harus kukencani, dengan harapan aku akan memilih salah satu di antara mereka yang menurutnya cocok. Tapi tidak denganku, kebanyakan di antara mereka hanya mengincar harta dan kekayaan keluargaku. Matrealistis. Dan aku tidak akan terperdaya oleh wanita seperti mereka. Kalian boleh tertawa karena aku begitu pemilih terhadap perempuan yang akan kujadikan pendamping hidupku kelak. Karena pada kenyataannya, tak jarang aku menggunakan jasa para jalang itu untuk memuaskan hasrat brengsekku selama ini. Karena sekeras apa pun aku mengelak, tetap saja aku adalah lelaki normal yang membutuhkan pelampiasan disaat jenuh seperti saat ini. "Huhhh..." Kuhembuskan napas panjang dan mengedarkan pandanganku ke sekeliling penjuru ruang kerjaku. Kusandarkan kepalaku pada sandaran kursi dan melonggarkan simpul dasi yang terasa mencekikku seharian ini. Kulempar dengan asal simpul dasi yang akhirnya sedikit membuatku bisa bernapas lega setelah aku melepasnya. Kulakukan sedikit peregangan badan untuk merilekskan otot-otot tubuhku yang terasa kaku karena duduk di kursi seharian. Ah sepertinya lain kali aku butuh meluangkan waktuku utuk pergi berolahraga dan ke tempat gym langgananku. Karena aku tidak ingin menjadi seorang pengusaha muda yang memiliki perut buncit karena jarang berolahraga dan duduk seharian di kursi. "Hari sudah larut rupanya." Kutengok jam tangan rolex di pergelangan tangan kiriku, pukul 11.19 PM. "Mungkin aku akan ke club sebentar." Berjalan meninggalkan ruang kerjaku menuju lift. Suasana sepi terasa mencekam malam ini, memang ada rumor tak sedap di kantorku saat malam hari, tapi aku tak memedulikan hal itu dan tetap fokus untuk menuruni lift dan bergegas mengendarai mobil sport-ku ke tempat club. Setelah sampai di tempat club langgananku, segera aku mencari tempat duduk yang nyaman untuk sekedar melepas penat. Kujentikkan jariku pada bartender yang biasa melayaniku setiap kali aku mampir ke club malam ini. "Cocktail." Seperti biasa, ia langsung mengangguk dan meracik minuman yang kupesan tadi. Tangannya dengan lihai menuangkan minuman-minuman tersebut. Tak lama kemudian, sebotol cocktail telah terhidang di hadapanku dan ia segera menuangkan pada segelas kecil cocktail yang ada di hadapanku. Kuambil segelas cocktail tersebut dan kusesap cairan memabukkan itu dalam sekali tegukan. Rasa panas membakar langsung mengaliri tenggorokanku tatkala cairan tersebut berhasil kuteguk. Tak puas hanya dengan sekali tegukan, kutuang lagi botol cocktail pada gelas yang telah kosong. Setelah aku meminum beberapa gelas minuman dengan kadar alkohol yang lumayan tinggi tersebut, dapat kurasakan ada sesuatu yang mencoba meraba dadaku, dan berusaha melepas satu per satu kancing kemejaku. Tangannya bergerak secara sensasional mencoba menggodaku. Kutolehkan kepalaku pada sesosok yang ada di sampingku dan aku mendapatinya; jalang. Kuraih dia dalam dekapanku dan mendudukkannya di pangkuanku. Setelah aku memangkunya dan memberikan dia akses untuk semakin bertindak atas tubuhku, kini dia semakin agresif mengeksplorasi bagian tubuhku dan menjamahnya sesuka hati. Bahkan lidahnya sudah mulai bertengger di ceruk leherku, memberikan beberapa kismark di sana. Jari jemari lentiknya tak tinggal diam, terus bergerilya melepaskan sisa kancing kemejaku hingga terbuka semua dan menampakkan bagian d**a juga perutku yang liat. Oh bersyukurlah meskipun akhir-akhir ini aku sangat sibuk, tapi paling tidak bentuk tubuhku masih berbentuk. Hal tersebut terbukti saat w***********g ini tampak semakin bersemangat meeraba-raba bagian perutku yang liat. Lekuk tubuhnya yang kuakui cukup menggoda layaknya gitar Sepanyol, ditambah kulitnya yang eksotis agak kecoklatan membuat ia tmpak panas dan menggairahkan. Pakaian mini dress berwarna hitam yang membalut tubuhny terasa sempit hingga bagian dadanya terlihat seakan-akan mau tumpah  saking sempitnya ruang di untuk menampungnya. Senyum sinis tersungging di bibirku, kubiarkan untuk saat ini ia bermain dengan diriku. Tanganku pun tak tinggal diam, ikut menjelajah seluruh lekuk tubuhnya yang menurutku sensitif. Memberikan belaian memabukkan pada jalang yang telah terbakar kabut gairah. Suara desahan perlahan yang sengaja dibuat serak dan seksi telah keluar dari bibirnya yang memakai lipstik merah tebal. Bahkan wanita itu juga meniup dan menjilat cuping telingaku untuk membuatku ikut terangsang akibat ulahnya. Cih, kena kau. Karena sangat disayangkan, saat ini aku sedang tidak bernafsu pada jalang sepertimu. Bahkan belaianmu tak mampu membuat sesuatu di bawah sana terbangun. Jalang. Ketika ia berniat memegang sesuatu di bawah sana, segera saja kutepis tangannya kasar dan kulihat dia membelalak kaget. Dengan sedikit lengkungan sudut bibir sebelah kiriku, sebuah ekspresi mengejek yang penuh dengan kepuasan terpampang nyata di wajahku saat melihat ekspresinya. 'Ohh aku suka ekspresi kecewamu, jalang.' "Maaf sayang, aku sedang tidak b*******h denganmu." Kulihat ekspresi wajahnya yang seketika melotot tak percaya akan perkataanku. Bibir berlapis lipstik merah itu membuka dan menutup seakan-akan kehilangan harga dirinya akan sikap dan perilakuku yang kurang ajar. 'Oh si jalang rupanya tak terima akan kata manis pahit yang kulontarkan padanya, toh apa peduliku.' Senyum mengejek tersungging di bibirku, segera kuhempaskan dia dari pangkuanku dan menepuk-nepuk celanaku yang kusut karena ulahnya. Tanpa mempedulikan jalang tadi yang masih kaget akan perlakuanku karena berani menolaknya, segera saja kulangkahkan kakiku keluar dari club malam. Niatanku datang ke tempat ini hanya untuk meminum beberapa teguk minuman untuk meringankan dan menghangatkan badanku, jadi jangan salahkan aku karena mempermalukanmu b***h. "Hmm sesekali mengerjai jalang ternyata cukup menyenangkan," senyum sinis kembali tersungging di bibirku dan segera kunyalakan mobilku membelah kesunyian malam menuju apartemenku. Dengan langkah pelan kulangkahkan kakiku menuju lift dan menekan angka 4, mengingat apartemenku terletak di lantai 4 gedung apartemen ini. Kulangkahkan kakiku keluar ketika lift terbuka dan samar-samar kulihat ada seorang perempuan yang tengah terduduk di kursi yang disediakan di depan apartemenku. Lalu aku berjalan mendekat dan ternyata dia juga bersama seorang laki-laki yang tampak tertidur bersandar di lengannya. "Arnest," kuguncang pelan tubuh Arnest yang ternyata sahabatku. Oh sial! Bagaimana bisa aku lupa kalau kemarin ia memintaku untuk menjaga adiknya selama seminggu karena dia harus menghadiri rapat perusahaan yang mengharuskannya ke luar negeri selama seminggu. Sementara adikknya baru saja tiba dari Paris untuk melanjutkan study-nya di sini. Kulihat Arnest mengeliat pelan dan kemudian membuka kedua matanya menyadari kehadiranku. "Admund? Akhirnya kau datang juga. Dari tadi aku berusaha menelponmu tapi tidak aktif, sampai aku akhirnya ketiduran dengan tidak elitnya di sini," gerutu Arnest padaku yang kutanggapi dengan menggaruk tengkukku yang tidak gatal. "Maaf, tadi aku pergi ke club sebentar sehabis lembur dan handponeku mati. Ngomong-ngomong siapa dia?" Kualihkan pandanganku pada sesosok gadis yang terlihat tengah tertidur pulas bersandar pada lengan Arnest. Kuamati wajahnya yang bisa dibilang cantik, ralat sangat cantik. Dengan kulit putih bersih dan mulus serta badan yang proposional. "Kau tidak mengingatnya? Dia adikku Carl." "Benarkah dia, Carl? Gadis kecil yang dulu begitu lucu dan imut?" Aku bertanya memastikan pada Arnest seakan meragukan penjelasannya. Pasalnya dia kini telah tumbuh menjadi gadis cantik yang begitu mempesona. "Dia cantik," ucapku tanpa sadar. "Tentu saja, dia akan menjadi gadis kecilku yang paling cantik," ujar Arnest menanggapi. "Apa kau akan membangunkannya?" Tanyaku padanya yang dibalas gelengan. "Tidak, aku tidak tega untuk membangunkannya. Lebih baik kau buka pintu apartemenmu sekarang dan tolong bawakan koper ini. Sementara aku akan menggendong Carl dan menidurkannya di dalam," Arnest kembali berujar yang kubalas dengan anggukan. "Dimana kamar untuk Carl?" Arnest bertanya ketika telah membawa Carl ke dalam apartemenku. "Di sebelah sini," dan ia segera membaringkan tubuh Carl di ranjang kamar tamu. "Apa kau akan menginap di sini?" "Tidak, sebentar lagi aku akan segera berangkat ke bandara untuk penerbangan. Tolong jaga adikku baik-baik." "Tentu, aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri." "Baguslah, kupercayakan adikku padamu." Arnest menepuk bahuku sekali dan segera keluar dari apartemenku menuju bandara. Kulangkahkan kakiku menuju kamar tamu. Entah apa yang membawa langkahku untuk kembali melihat wajah damai Carl saat tertidur. Kuamati wajah damainya yang terlihat begitu cantik. Seakan terpana, tanpa bisa kucegah badanku telah membungkuk untuk mengecup dahinya lama kemudian kukecup bibirnya sekilas.  Bagai tersengat listrik, kurasakan dadaku bergemuruh saat aku mengecup bibirnya tadi. Ini aneh, sebelumnya aku tidak pernah merasakan perasaan ini pada wanita manapun. Sepertinya ini gara-gara cocktail tadi. perasaan ini terasa begitu aneh, bahkan dengan refleks tadi aku menciumnya meskipun hanya di dahi. meskipun begitu, tetap saja hal ini tidak boleh kubiarkan, dia adalah adik sahabatku, juga aku telah menganggapnya sebagai adikku sendiri. "Huh mungkin ini efek minum tadi," kuacak rambutku frustasi dan segera pergi keluar dari kamar tamu yang ditempati Carl menuju kamarku sendiri. "Sepertinya aku butuh mandi air dingin."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD