3. Pengakuan tak terduga

2236 Words
~22.00~ Adam melepaskan snelinya dengan wajah yang menyiratkan lelah. Tangannya tergerak memijat keningnya dengan gerakan bolak-balik sambil melangkahkan kaki untuk memasuki kamarnya. Sudah jam sepuluh malam dan ia baru saja menginjakkan kaki di rumah. Tadi ada operasi mendadak yang harus ditanganinya hingga ia harus pulang semalam ini. Seharian ini ia sangat sibuk oleh kegiatan operasi hingga terlambat makan saat siang dan kini perutnya sangat lapar. Ia menepuk perutnya beberapa kali saat merasakan bunyi yang cukup kuat di perutnya yang sudah berdemo minta asupan. Dibukanya tudung saji diatas meja yang menyembunyikan ayam sambal. Kemudian tangannya membuka kulkas untuk mengambil teh dingin karena rasanya ia butuh sesuatu yang bisa menyegarkan dahaganya. "Eh? Kak Adam udah pulang?" tanya Naya saat melihat Adam yang berada di dapur. Tadinya ia ingin mengambil sebotol air dingin yang ada di kulkas, namun melihat adanya Adam, ia tak mungkin bisa mengabaikan pria itu. "Iya, ini saya mau makan" jawab Adam singkat sambil menyendoki nasi dari tempatnya. Mengingat janjinya pada Naya untuk tak mengusik gadis itu ketika di rumah orang tuanya, maka ia berusaha untuk menjaga sedikit batasan agar Anaya merasa nyaman. "Oh sayurnya udah dingin kak, biar Naya panasin dulu" Adam mengerjap beberapa kali untuk melihat dengan jelas bahwa wanita yang sedang berbicara dengannya adalah Anaya Selindyna, gadis pujaannya. Tidak ada nada jutek dan ketus dari gadis itu hingga membuat Adam sedikit heran. "Makasih" ucap Adam setelah Naya meletakkan sopnya diatas meja untuk Adam santap. Setelah itu Naya meninggalkan Adam yang tersenyum penuh arti sendirian begitu saja. Dalam hati pria itu merapalkan doa agar Anaya-lah yang dimasa depan akan memasak dan menghidangkan makanan untuknya layaknya seorang istri. "Loh kak, udah pulang?" tanya Vio heran sambil duduk di depan kakaknya yang sedang makan. "Lo liat?" tanya Adam sarkastik. "Ah elah, judes amat kalo gue yang nanya. Coba aja kalo tadi Naya, pasti ngga ditanya juga udah dijawab" sinis Vio sambil memajukan bibirnya cemberut. Adam terkekeh mendengar ucapan adiknya yang benar adanya. *** Vio memasuki kamar sambil menatap Naya yang berbaring diatas sana sambil memainkan ponselnya. Ia dengan kesal menaiki tempat tidur dan merebut ponselnya dari tangan Naya. "Kenapa lo?" tanya Naya heran saat melihat wajah jutek Vio. "Tuh, kak Adam nyebelin banget, gue nanya dijutekin sama dia. Padahal kalo lo ngga nanya aja, dia udah heboh ngasih tau" judesnya melampiaskan kemarahannya kepada Naya, padahal Naya sama sekali tak meminta perlakuan berbeda dari Adam untuk dirinya maupun orang lain. Naya terkekeh kecil "Dih, gitu aja ngambek" "Yaiyalah. Mentang-mentang lo calon istrinya jadi dia bisa gitu ---aw..sakit Nay" ringis Vio sambil mengusap lengannya yang di cubit oleh Naya. "Omongan lo mulai ngaco, siapa bilang gue calon istri kak Adam?" "Memangnya lo ngga mau jadi istri kakak gue. Udah dokter, ganteng, mapan, perhatian, penyayang lagi. Dompetnya tebel itu" bangga adik Adam itu sambil menarik turunkan alisnya kepada Naya. "Kalo gue bukan adiknya aja, gue rasa gue udah tergila-gila sama dia. Jadi wajar aja banyak cewek yang sampe datengin rumah bawa makanan buat kak Adam" Naya bergidik ngeri melihat cara Vio yang promosi dengan berlebihan kepadanya, meski tak dapat ia bantah bahwa apa yang Vio ucapkan adalah kebenaran. "Terus Axel mau lo kemanain?" tanyanya. "Ah lo, itu kan seandainya. Gue maunya kan lo yang jadi kakak ipar gue" "Jangan ngaco" Naya berusaha mengabaikan ucapan Vio. Ia tak ingin memperpanjang pembicaraan mereka. "Gue beneran Nay, lo jual mahal amat sih sama kakak gue" terdengar nada kesal dari suara Vio. "Vi, please, lo tau alasan gue" Naya menatap Vio dengan penuh permohonan. Vio mengusap bahu sahabatnya itu "Lo ngga mau coba jujur sama kak Adam? Siapa tau dia ngerti" ia berusaha membujuk sahabatnya itu. Naya menggeleng sebagai jawaban, selanjutnya Vio hanya mengangguk pasrah atas keputusan sahabatnya. *** Pagi ini, kediaman Glevino mendapat seorang tamu yang sudah mengetuk pintu bebrapa kali. Mau tak mau, Vio yang tadinya sedang menonton televisi akhirnya membukakan pintu meski merasa kenyamananya sudah diganggu oleh tamu tersebut. Setelah membukakan pintu, ia mendengkus karena ternyata yang dating adalah kakak pertamanya. "Ma, tukang nagih utang dating nih" teriak Vio disusul pukulan dari seorang wanita di belakangnya. "Sakit kak" ringisnya. "Makanya jangan ngaco" Seorang pria disamping wanita itu terkekeh melihat aksi istri dan adik iparnya yang saling adu mulut. Ia segera menyalami ayah dan ibu mertuanya sambil menanyakan kabar keduanya yang dijawab baik oleh Dina. "Febi kangen ma" peluk wanita yang tadi memukul Vio itu pada Dina. Ya, dia adalah Febi, anak pertama keluarga Glevino yang sudah berkeluarga. "Sama papa?" tanya pria paruh baya disamping Dina. Anak pertama keluarga Glevino itu kini memeluk ayahnya dengan teramat erat seolah menyiratkan bahwa ia benar benar sangat merindukan ayahnya "Kangen papa juga" manjanya. "Tadi Vio ngga dipeluk" ambek Viona mencebikkan bibirnya pada Febi. "Ohhh..adek kakak mau di peluk juga" ledeknya namun tetep memeluk adiknya itu. "Adam mana Ma?" tanya Febi menyusul yang lain yang sudah duduk. "Rumah sakit lah kak, memangnya dimana lagi?" heran Dina. Tidak perlu ditanyakan lagi kemana Adam jika tak ada di rumah, karena sudah pasti jawabannya adalah rumah sakit. Tugas Adam sebagai seorang dokter cukup mempengaruhi waktu pria itu untuk berkumpul bersama keluarganya. Di rumah sakit, ada banyak orang yang menunggu untuk diselamatkan atau dibantu kepulihannya sehingga sebagai keluarga, mereka tak bisa memaksakan Adam untuk selalu ikut berkumpul bersama keluarga. "Ya siapa tau ngapel" duga Febi ngasal. "Ngapel sama siapa? Orang yang mau diapelin aja ada disini" ujar Sandi Glevino selaku kepala rumah tangga. "Naya disini?" tanya Febi terkejut dan diangguki Vio, Sandi dan Dina. "Lagi mandi" kata Vio memberi tau kakak tertuanya. "Jadi gimana kak, udah isi?" tanya Dina menatap anak pertamanya. Febi menggeleng lirih dengan kepala yang tertunduk membuat Dina dan Sandi mengerti secara bersamaan bahwa putri mereka belum hamil. Bayu menggelengkan kepalanya dengan senyum geli menatap akting istrinya yang benar-benar meyakinkan "Apaan sih Bi, ngga boleh gitu ah. Orang kamu udah aku buat hamil kok" ujar Bayu mendapat cubitan kuat dari istrinya atas perkataan pria itu yang terlalu v****r. "Awssh, sakit Bi" ringis suaminya. "Abisnya kamu v****r" desis istrinya sambil menutup wajah yang rasanya pasti sudah memerah karena menahan malu. Dina menatap tak percaya pada putri dan menantunya dengan pandangan yang sulit ditebak. Ia seperti masih butuh kalimat meyakinkan dari keduanya. Bayu mengangguk menatap ibu mertuanya "Bener Ma, Febi udah hamil. Makanya kita datang buat ngasi tau Mama sama Papa" "Astaga, Mama mau pingsan" ujar Dina tak percaya, ia menghampiri putrinya dan menciumi wajah anaknya itu dengan haru. Setelah sekian lama menunggu kabar membahagiakan itu, akhirnya penantiannya tidak sia-sia dan justru memberikan buah yang manis. "Mama senang banget sayang. Jaga kehamilan kamu baik-baik ya" nasihat wanita paruh baya itu diangguki oleh Febi dengan patuh. Ia juga sangat menantikan adanya anak diantara ia dan Bayu yang sudah dua tahun menikah. Tadinya ia sempat merasa putus asa dan merasa bahwa perjuangannya sia-sia karena ia tak bisa hamil, tapi ternyata Tuhan berkehendak lain saat ia sudah tak ingin lagi berharap. Ia juga beruntung karena memiliki suami yang siap menunggu dan menaminya dalam kesulitan. "Eh..maaf ya Naya ganggu" ujar Naya sambil meletakkan jus jeruk di depan masing-masing orang. Tadi saat keluar dari kamar, ia melihat anak tertua Glevino bersama suaminya, membuatnya berinisiatif membuatkan minum. "Ya ampun Nay, repot-repot amat sih jadi tamu. Harusnya Vio nih yang nyiapin minum, bukan kamu" cibir Febi sambil melirik adiknya. Vio mengangkat bahu tak acuh, bukannya merasa tersindir, ia jsutru dengan senang hati menggoda Naya "Naya lagi belajar jadi mantu yang baik kak" hal itu membuat Naya menatapnya dengan pelototan tajam. "Ngga apa-apa, kakak setuju kok" goda Febi diangguki Sandi, Dina dan Bayu. "Tuh, semua udah kasih lampu hijau buat lo, kurang apa lagi?" tanya Vio menggoda. Naya tersenyum kikuk dan tak berniat menjawab tanya sahabatnya. Ia takut salah menjawab dan malah jadi menyinggung perasaan keluarga Glevino secara tidak sengaja. Alangkah baiknya kalau diam bisa membuat mereka tak lagi melayangkan godaan padanya. Keluarga itu juga sadar kalau godaan mereka yang seperti itu akan membuat Naya tak nyaman, hingga akhirnya mereka memilih menghentikan pembicaraan seperti itu. *** Malam ini, Naya harus pamit kembali ke kontrakannya karena besok ia harus mengajar. Dengan tak rela keluarga Glevino itu membiarkan Naya pulang diantar oleh anak laki-laki satu-satunya di keluarga itu, siapa lagi jika bukan Adam yang dengan senang hati menawarkan diri. "Yaudah, Adam pamit anter Naya dulu ya" pamit pria itu setelah Naya menyalam kedua orang tuanya dan pamit pada kakaknya. "Jangan ajak anak gadis orang pacaran, nanti ada syetan" goda Febi. "Jangan lama-lama juga di kontrakan Naya, nanti terjadi pertempuran yang menghasilkan si botak kecil" ujar Vio menambahkan dengan usil. "Iya, ribet banget sih nasihatnya" protes Adam tak terima. Ia juga mengerti batasan seklaipun sebagai pria dewasa, ia kesulitan mengendalikan semuanya, terlebih lagi karena ia begitu menyukai Naya. "Bukan ribet, ini tuh ngingetin" kata Febi. Adam mengangguk malas, kemudian mengangkat tas milik Naya untuk di taruhnya di mobil. Naya mengikuti saja langkah pria itu. *** Adam berdeham sejenak sambil beberapa kali melirik sisi di samping kirinya dimana Naya yang sudah tertidur pulas karena lamanya perjalanan yang disebabkan macet berkepanjangan. Saat ini mobil yang ia kendarai sudah berhenti tepat di depan kontrakan Naya. Tak menyia-nyiakan kesempatan kecil itu, Adam menatap Naya dengan tenang dan mengagumi betapa indah jika ia bisa menatap wanita itu disetiap paginya, ketika matanya terbuka setelah beristirahat sepanjang malam. "Nay" pria itu menggoyang kecil tangan gadis disampingnya. Ia tak tega untuk mengganggu kepulasan gadis itu, tapi rasanya ia juga tak bisa menggendong Naya dan masuk ke dalam kontrakan Naya dengan seenaknya. Ada banyak pandangan buruk dari warga sekitar jika tahu hal seperti itu terjadi pada orang yang belum menikah, jadi ia tak ingin mengambil resiko demikian. "Hei, Nay, bangun" ujar Adam untuk kedua kalinya dengan nada yang agak tinggi dari sebelumnya. Naya melenguh dan mengerjapkan matanya beberapa kali dengan mulutnya yang terus menguap dengan lebar membuat Adam menggelengkan kepala dan menutup mulut gadis itu sambil terkekeh geli. Seketika mata Naya membulat dengan wajah yang memerah bak tomat rebus. Naya benar-benar merasa malu karena tingkahnya yang memalukan di depan Adam. Bagaimana bisa seorang gadis menguap sembarangan seperti itu, bukannya menutup mulutnya dan menunjukkan bahwa ia adalah gadis yang tak memalukan. Adam sendiri tak menganggap hal itu memalukan, tetapi menggemaskan karena buktinya ia jadi ingin mencubit pipi Naya. Naya melihat arlojinya untuk sesaat, dan jam masih menunjukkan 19.45 "Kakak mau mampir dulu? Biar Naya siapin makan" tawarnya. Adam tersenyum kecil dan mengangguk, tidak menyia-nyiakan waktu untuk berdua dengan gadis pujaan hatinya. Jarang sekali ia punya kesempatan emas seperti saat ini, apalagi gadis itu juga lebih sering menjutekinya. Naya memasuki kontrakannya disusul Adam yang membawa tas ransel wanita itu dan meletakkannya di kursi kayu sederhana milik Naya. Naya langsung menghidupkan lampu-lampu di dalam supaya memebri penerangan untuk mereka. “Kakak duduk disini aja dulu, biar Naya siapin makananya dulu” Naya menunjuk kursinya bermaksud supaya Adam mengerti bahwa ia ingin Adam duduk disana sambil menunggunya mempersiapkan makanan yang pastinya cukup memakan waktu. “Mau lihat kamu masak aja” ujar Adam. Pria itu menyusul langkah Naya memasuki dapur dan duduk di salah satu kursi meja makan mini milik Naya yang hanya bisa menampung dua orang. Dari meja makan, ia dapat menyaksikan aktivitas Naya karena tidak ada sekat antara dapur dan meja makan. "Naya buatin mie goreng aja ya kak?" tawar Naya setelah mengecokkan nasi ke dalam pemasak. Tadinya ia ingin membuatkan nasi goreng, namun jika memasak nasi goreng, itu artinya ia harus menunggu nasi masak dulu baru bisa memasaknya menjadi nasi goreng, jadi Naya lebih memilih yang simple. "Terserah kamu aja, kakak akan makan apapun masakan kamu" angguk Adam. Lidah Adam sendiri tak terlalu pemilih, menyukai apa saja makanan yang layak makan. Naya melanjutkan acara memasaknya tanpa ingin terusik oleh tatapan lekat dari Adam yang terus memerhatikan gerakannya, walaupun sebenarnya ia agak merasa terbatas karena pergerakannya yang terus diamati. Meskipun membelakangi tubuh Adam, Naya dapat merasakan bahwa pria itu sedang memperhatikannya. Adam tertarik melihat Naya lebih dekat hingga akhirnya ia menghampiri wanita itu dengan langkah pelan, hingga Naya sendiri tak sadar bahwa ia mendekat. Adam berdiri tepat di belakang Naya sebelum akhirnya memeluk wanita itu dengan gerakan lembut. Naya mematung mendapat pelukan yang tak pernah ia duga dari sosok Adam yang selama ini hanya berani menyentuh tangannya. Tangan pria itu yang melingkari perut Naya berhasil membuat kaki wanita itu lemas, hampir tak mampu menopang bobot tubuhnya. Pelukan itu terlalu tiba-tiba dan membuat debaran tak biasa pada jantungnya, napasnya bahkan terasa ditahan sangking gugupnya ia. "Ka-k" bata Naya merasa kelu untuk menggerakkan lidahnya. Saraf-saraf tubuhnya seolah bekerja sama untuk membuat Naya lemah dan tak bisa menepis tangan Adam dari tubuhnya dan mendorong pria itu agar tidak menempel padanya. Adam tahu bahwa pelukannya itu mengejutkan Naya dan membuat gadis itu gugup. Ia pun merasakan gugp luar biasa dan takut ditolak untuk kesekian kalinya, namun ia berusaha memberanikan diri dan menepis segala pemikiran buruk akan penolakan Naya "Besok kakak mau ke Bandung buat lamar kamu ke orangtua kamu supaya mereka ngga nerima lamaran cowok lain lagi" Adam memberitahu dengan menopangkan kepalanya di ceruk leher wanita itu dan menikmati aroma segar yang menguar dari rambut atau tubuh Naya "Karena setelah itu, lusa kakak akan berangkat buat jadi dokter sukarelawan ke pelosok desa bersama rekan-rekan kakak selama kurang lebih tiga bulan" "Jaga diri dan kesehatan kamu ya, pulangnya juga jangan malem banget" pesan pria itu dengan lembut. Suaranya yang sangat dekat dengan telinga Naya mampu membuat tubuh Naya meremang, namun pria itu masih melanjutkan kata-katanya "Kalau sabtu, kerumah tante Dina aja ya. Takutnya ada yang ngapelin kamu malamnya" goda Adam. Naya memutar kepalanya sembilan puluh derajat ke kanan hingga pipi wanita itu mendapat kecupan lembut dari bibir Adam "Kak, sebelum kakak ngelamar Naya, Naya akan bilang alasan kenapa Naya terus nolak kakak supaya setelah ini kakak bisa memikirkan ulang semuanya." "------" Setelah mendengar itu napas Adam tertahan dengan pelukan yang perlahan melemah karena hatinya baru saja ditusuk amat dalam oleh ucapan Naya. Ia sama sekali tak pernah mempersiapkan diri untuk mengetahui alasan Naya menolaknya, dan kini ketika ia tahu secara tiba-tiba, seluruh tubuhnya tak mampu menerima pengakuan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD