2. Calon menantu idaman

2120 Words
Author Pov Adam mencium pipi Dina dengan lembut hingga wanita paruh baya itu menoleh ke arah putra satu-satunya itu. Meskipun sudah dewasa, Adam tak pernah menganggap mencium atau dicium ibunya adalah hal yang kekanakan dan menurunkan kredibilitasnya sebagai seorang pria. Dengan lembut wanita itu mengusap kening Adam. Nyaman. Itulah rasa yang selalu Adam rasakan saat mendapat sentuhan dari mamanya yang penuh kasih sayang. Wanita yang begitu penuh kesabaran dan kelembutan. "Kusut banget mukanya anak mama ini" tanya Dina saat melihat Adam yang pulang sore ini dengan wajah tak bersemangat. Biasanya setiap kali pulang kerja, akan tampak wajah berseri-seri Adam yang terbawa padanya hingga ia ikut tersenyum. Dina tahu bahwa anaknya itu selalu menghampiri Anaya setiap kali pulang kerja. Bagi keluarga Glevino, bukan hal baru lagi jika mengetahui bagaimana cara pendekatan Adam yang terang-terangan kepada Naya. Mereka sangat tahu bagaimana inginnya Adam menjadikan Naya sebagai kekasih atau bahkan pendamping hidup. Kedekatan keluarga Glevino dengan Anaya membuat mereka tak terlalu berkomentar jika Adam terus berusaha dengan sangat gencar. Menurut mereka yang sudah mengenal baik-buruknya Naya, wajar jika Adam sulit meraihnya karena Anaya juga memiliki kredibilitas yang terjamin. Adam menyandarkan kepalanya di bahu mamanya. Viona yang tadinya sibuk dengan ponselnya kini menatap geli kakaknya. Ia saja yang perempuan jarang bermanja kepada mamanya karena inget umur, tapi Adam malah dengan mudahnya menurunkan gengsi untuk mendapat perhatian lebih dari mamanya. "Namanya juga ditolak ke seribu kalinya ma" ledeknya membuat Adam menatap sinis pada adiknya itu. "Mungkin Naya memang ngga punya perasaan sedikitpun sama kamu" jelas mamanya menduga-duga. Jujur saja, ia merasa kasihan kepada putranya yang selalu berjuang setiap harinya tetapi tidak mendapat tanggapan berarti dari Anaya. Sebagai perempuan, ia juga tak ingin turut campur tangan untuk memperngaruh Naya menerima Adam sekalipun ia ingin melakukannya, tapi ia tahu Naya pasti tak merasa nyaman jika ia berbuat seperti itu. Adam mencebikkan bibirnya kesal "Mama kok jatuhin semangat Adam gitu sih. Harusnya kasih semangat dong supaya cita-cita mama punya cucu dari Adam cepet terkabul" Dina dan Viona sama-sama terkekeh melihat wajah cemberut Adam yang tampak menggemaskan. Tidak ingat umur sama sekali. "Lebay lo kak" cibir Vio. "Lebay gimana maksud lo, kakak udah berjuang selama sepuluh tahun terus mau disia-siain gitu?" desisnya. Bagaimana ia bisa begitu saja menyerah setelah sepuluh tahun memberikan harapan yang besar kepada Anaya. Ia tahu bahwa ia terlalu tak tahu malu telah mendapatkan penolakan berulang kali, namun ia benar-benar menginginkan gadis itu menjadi pendampingnya. "Ya buktinya sampe sekarang lo belum bisa dapetin Naya" ledek Vio sambil menyelipkan sindiran agar kakaknya itu sadar. "Gue akan buktikan kalau gue bisa dapetin dia" kekeuh Adam. "Kasihan Naya-nya Dam, dia keliatan ngga nyaman gitu kamu deketin" Adam menatap mamanya dengan lekat "Jadi menurut Mama, Adam mundur aja?" tanyanya ragu. Dina mengangguk kecil "Bukannya mama ngga suka kalau kamu ngejer-ngejer Naya, tapi sepertinya Naya memang ngga niat buka hati buat kamu" jelas wanita paruh baya itu mencoba realistis. Viona menggelengkan kepalanya "Kayaknya enggak deh ma, Naya ngga mungkin ngga luluh sama perjuangannya kak Adam. Vio yakin kok kalau Naya punya sedikit aja rasa sama kak Adam" yakin wanita itu membuat Adam tersenyum senang dan mensyukuri kehadiran adik biadabnya. "Ada juga otakmu dek" ujarnya membuat Vio melemparkan remot tv ke arah Adam sambil mengumpatkan kata sialan tanpa suara. Takut kena marah mama. "Yaudah terserah kalian aja. Mama sebagai orangtua cuma bisa kasih dukungan dan doa buat anak-anak mama" "Itu udah lebih dari cukup ma, selebihnya biar Tuhan yang mengatur." "Tapi kamu juga tetep harus inget umur, udah tua. Jadi, jangan kelamaan geraknya" peringat mamanya. "INGET UMUR" tekan Vio meledek kakaknya. *** Sabtu, 09.00 Adam sudah datang tepat seperti janjinya kemarin, ingin menjemput Anaya. Jadwalnya dirumah sakit pagi itu bahkan ia minta digantikan oleh sahabatnya. Bukan Adam melalaikan tugasnya, tapi pagi ini belum ada info apapun yang darurat sehingga ia masih bisa menyempatkan diri menjemput gadis pujaannya. Dengan penuh senyuman, ia mengetuk pintu kontrakan yang menyembunyikan keberadaan pujaannya itu. Belum berapa lama mengetuk, tangan Adam sudah melayang di udara karena pintu sudah terbuka. "Selamat pagi" sapanya dengan penuh kehangatan. "Pagi" jawab Anaya singkat. "Udah siap?" tanya Adam. Naya mendengus kasar dan pasrah secara bersamaan menyembunyikan kekesalannya "Kemarin kan Naya bilang, Naya bisa pergi sendiri kak. Kakak itu kan punya kerjaan yang lebih penting daripada sekedar menjemput Naya" "Udah ngga apa-apa. Kakak juga ngga sibuk kok" Adam menganggukkan kepalanya untuk meyakinkan gadis didepannya. "Ck" Naya dengan pasrah mengeluarkan tas yang akan ia bawa ke kediaman Glevino. Adam segera mengambil tas itu dan mengangkatnya masuk mobil. Naya mengikut setelah memastikan rumahnya terkunci dengan baik. Selama perjalanan berlangsung, Naya tidak sedikitpun terusik dengan lirikan Adam yang tampak jelas ditujukan padanya. Ia dengan tidak acuh hanya memainkan ponselnya untuk mengabaikan pria disampingnya. Adam sendiri justru geli melihat tingkah Naya yang menurutnya menggemaskan dengan paras cantik dan manis milik wanita itu. Setiap kali mendapati Naya menghindarinya atau berusaha mengabaikannya, ia justru menjadi gemas sendiri pada gadis itu. "Kamu udah sarapan?" tanya Adam. Anaya mengangguk. Jawaban seperti itu sudah cukup memuaskan Adam. "Kamu jadi jutek banget semenjak kakak bilang kalau kakak suka sama kamu. Ngomongnya juga jadi singkat-singkat yang biasanya bawel" secara tiba-tiba, Adam kembali membahas bagaimana sifat Naya sejak ia mengungkapkan perasaannya bertahun-tahun yang lalu. Naya hanya diam, berusaha tidak mengacuhkan perkataan Adam yang benar adanya. Ia tidak memiliki alasan yang tepat untuk membela dirinya karena rasanya ia terlalu jahat sudah mengabaikan Adam yang baik berulang kali. "Jadi jarang ke rumah juga sejak kakak pulang dari Jogja. Kalau dirumah kakak ngga akan ngusik kamu deh" Naya melirik sekilas ke arah pria di sampingnya "Kakak ngga laku ya sampe harus ngejer-ngejer Naya terus?" desis wanita itu menyampaikan unek-uneknya. Adam tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan itu "Kakak ngejer-ngejer kamu bukan karena ngga laku, tapi kakak takut kamu yang ngga laku" ledeknya disambut dengan cubitan di lengannya dari Naya. "Jahat tau ngga" dengkus wanita itu. Adam terkekeh kecil sambil melirik Naya "Bercanda. Kan ngga mungkin kamu ngga laku sampe sekarang kalau bukan karena nunggu kakak" goda pria itu. Mengetahui Anaya yang saat ini sedang kosong atau jomlo, ia jadi merasa bahwa wanita itu menunggunya. "Apaan sih, geer banget" ejek Naya sambil mencebikkan bibirnya. "Gih turun, nanti kakak aja yang bawa tasnya" titah Adam pada Naya saat mereka sudah sampai di depan kediaman Glevino. Naya segera memasuki kediaman yang cukup besar itu. Ia dengan penuh senyuman memeluk Dina "Naya kangen banget sama tante" ujarnya. "Tante juga kangen banget sama kamu" balas Dina. "Sama adek ipar engga?" tanya Viona dengan nada menggoda Naya. "Apaan sih Vi?" kesal Naya namun tetap memeluk sahabatnya itu. "Dek, buatin minum sana" perintah Dina pada putri bungsunya. Dina menatap Naya dengan hangat "Kamu udah makan sayang?" "Udah tante, ngga usah repot-repot" tolak Naya akan tawaran baik hati Dina. Adam datang dengan menggendong tas milik Naya dan meletakannya di samping sofa yang diduduki wanita itu. Ia juga ikut duduk di samping Naya, tempat yang tadinya ditempati oleh Viona. "Ya ampun kak, maunya dekat terus ya" ledek Vio dengan dua gelas teh hangat di atas nampan yang dibawanya. "Kamu ngga kerja?" tanya Dina menatap anak laki-lakinya. "Iya, ini mau berangkat ma, tunggu minum dulu. Kasihan Vio buatnya udah capek, sayang kalo ngga diminum" ujarnya beralasan, padahal ia sedang mengulur waktu agar semakin lama berdekatan dengan Naya. "Ih itu untuk Vio tau" desis Vio pada kakaknya. "Ngga apa-apa dek, kamu buat lagi aja. Anak gadis ngga boleh males" ujar Adam sebelum akhirnya pamit pergi pada mama, adiknya, dan Naya. "Maaf ya Nay, anak-anak tante ngga inget umur" "Ngga apa-apa tante, kayak sama siapa aja" ujar Naya. "Tau nih mama, sama calon mantu juga. Nanti juga Naya bakal terbiasa" goda Vio sekali lagi. Vio adalah pendukung paling depan Adam dalam memperjuangkan sahabatnya itu, namun selama ini ia tetap berusaha agar menyadarkan Adam supaya tak terlalu menaruh harapan lebih pada Anaya. Naya melotot kesal pada Vio atas ucapan wanita itu yang ngasal. Ia dengan kikuk tersenyum kepada Dina "Ngga kok tante, Vio ngga usah di dengerin" ujarnya tak enak hati. Dina hanya tertawa saja melihat keduanya. *** Anaya menambahkan garam pada sop yang sedang ia masak untuk membuat sop itu lebih terasa pas di mulut. Setelah merasa cocok di lidah, Naya mematikan kompor dan menghampiri Dina yang sedang mencuci daging ayam yang akan digoreng. "Sini Tante, Naya bantuin" pinta Naya menawarkan bantuan baik. Naya ikut ambil alih dalam pekerjaan Dina. Keduanya selalu tampak kompak apalagi dalam hal memasak. Menurut Dina, Naya sudah sangat cocok menjadi istri (apalagi kalau jadi istrinya Adam) dengan kemampuannya yang ulet dalam memasak dan lihai dalam melakukan pekerjaan apapun. Sifat Naya yang rajin dan sopan itulah yang membuat Dina sangat menyukainya. Naya adalah orang yang sangat tau tata karma dalam bertamu dan berteman. "Kamu terganggu ya dengan perasaan anak tante?" Pertanyaan terang-terangan itu membuat Naya kikuk sekaligus bingung harus menjawab apa pada mama sahabatnya itu. "Dikit tante" jawabnya sambil tersenyum canggung. Ia takut setelah ini Dina malah tak lagi menerimanya untuk berkunjung karena sok kecantikan sampai menolak Adam yang pekerjaannya sudah bagus dan didukung juga oleh wajah trampan serta akhlak yang baik. Dina terkekeh kecil sambil bergerak menaikan kuali di atas kompor dengan minyak diatasnya "Tante ngga berusaha ikut campur dalam perjuangan Adam bukan karena tante ngga mau kamu jadi mantu tante, tapi tante ngga mau kalau kamu merasa ngga enak lagi sama tante" Naya tersenyum "Maafin Naya tante, bukannya Naya ngasih harapan sama kak Adam tapi kak Adam ngga pernah dengerin penolakan Naya." "Tante tau kok, anak itu keras kepala. Tante juga beberapa kali bilang supaya dia cari yang lain tapi maunya tetep kamu aja. Kemarin dia sempet ajak tante sama om buat ke rumah mama kamu di bandung, katanya mau ngelamar" "Kak Adam juga bilang gitu sama Naya Tante, Naya ngga tau harus jawab apa supaya kak Adam ngerti sama penolakan Naya" "Iya Tante juga bingung sama tuh anak" angguk Dina setuju pada kebingunga Naya. Ia juga heran dengan sifat keras kepala anaknya. "Jadi Tante mau nemenin kak Adam ngelamar Naya ke orangtua Naya?" tanya Naya hati-hati. Ia berharap wanita paruh baya itu mengatakan tidak, karena jika iya, maka Naya akan sangat merasa bersalah jika menolak niat baik orang tua sahabatnya itu. "Ngga, Tante biarin aja dia sendiri supaya minta izin buat perjuangin kamu sampe kamu mau sama dia. Takutnya nanti tante ngelamar, eh taunya kamu ngga mau" “Tante, maafin Naya ya” pinta Naya dengan tak enak hati. Dina menatap Anaya dengan kekehan kecil melihat bagaimana tatapan rasa bersalah tampak jelas di mata Naya yang ekspresinya begitu naif “Tante ngga apa-apa. Kamu ngga perlu minta maaf. Sebagai seorang perempuan yang diperjuangkan, kita berhak menentukan ingin mengatakan ya atau tidak. Tante cuma berharap kamu tetap menjaga hubungan baik kita walaupun nantinya ngga sama Adam” “Iya, Tante” angguk Naya yakin. Jujur, untuk menjaga hubungan baik dengan keluarga sahabat kita akan sangat sulit disaat kita sudah sering menolak salah satu dari anggota keluarganya. Naya tidak yakin bisa melakukan hal seperti itu, tapi ia berharap tetap bisa berhubungan dengan keluarga baik hati ini. Viona yang baru saja bangun dan masih menutup mulutnya yang berulang kali menguap, menyela ucapan sahabat dan mamanya “Kalian ini drama banget sih, toh Anaya juga bakalan jadi menantu Mama” ujarnya. “Kamu ini” Naya memberikan protesan sambil menyenggol lengan Vio. “Apaan sih Nay. Gue cuma bilang apa yang udah gue duga aja, lo pasti jadi kakak ipar gue” yakinnya “Kalau sampai lo ngga jadi kakak ipar gue, gue nggak akan nikah sama Axel, lo bisa pegang ucapan gue” ujarnya memberi jaminan agar lebih meyakinkan. “Husss, kamu nih, jadi doa itu” tegur Dina “Udah Ma, ngga usah panik dan khawatir kalau aku ngga akan nikah sama Axel. Ya kali aku rela nikah sama orang lain, padahal aku bucinnya Axel. Aku berani bilang begini karena udah yakin banget kalau Naya nantinya bakal jadi menantu Mama, jadi kakak ipar aku” Naya menggelengkan kepalanya heran “Nanti kalau kamu ngga nikah sama Axel karena kata-kata kamu ini, jangan salahin aku ya. Aku sama sekali ngga pernah ngarepin kamu ngga jadi nikah sama Axel” desisnya karena ia sama sekali tak mau menjadi penanggung jawab perasaan Vio yang nantinya hancur karena ngga jadi nikah sama Axel. Ia tahu jelas bagaimana Vio sangat tergila-gila pada Axel dan sebaliknya. “Iya, lo ngga perlu tanggung jawab. Tapi kalau seandainya lo ngga jadi kakak ipar gue dan gue beneran ngga jadi nikah sama Axel, tolong tampung air mata gue” ujar Vio dengan dramanya. “Lo tenang aja, jadi bahu buat lo bersandar aja, gue siap” kekeh Naya. Ia sendiri geli mengucapkan kalimat tersebut, namun ia terpengaruh untuk mengucapkannya karena sering mendengar kalimat seperti itu dari sinetron. “Kalau seandainya gue ngga nikah sama Axel, gue ngga akan nikah deh” “Husss” Dina menepuk punggung anaknya dengan cukup kuat “Ngomong kok ngga pake rem sama sekali. Jangan kebiasaan ngomong sembarangan, Vi. Kita cuma manusia dan segala rencana yang kita susun kadang ngga sejalan sama yang terjadi karena Tuhan udah menyusun rencananya sendiri. Kalau omongan kamu ini jadi doa, kamu sendiri nih yang nanggung akibatnya” “Iya iya Ma, maaf, Vio cuma berusaha ngeyakinin kalau ucapan Vio bener” “Kalau ngomong sama orang, ngga perlu memberikan keyakinan seperti itu” tegur Dina lagi. Naya terkekeh melihat wajah cemberut Vio dan mengusap punggung gadis itu sambil mengejek “Udah sering gue ingetin kalau ngomong harus hati-hati kan” ujarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD