5. Menunggu (2)

2044 Words
Adam menyesap kopinya yang agak panas di lidah setelah meniup beberapa kali, sedangkan tangan lainnya memegang ponsel sambil mengarahkan ke atas untuk mencari jaringan karena tidak sedikitpun jaringan menyentuh ponselnya. Tidak ada satupun sms yang bisa ia kirim untuk siapapun. Rasanya saat ini, ponsel itu tak lagi berguna karena tak dapat mengirimkan pesan barang sekata. "Woiii, asik nyariin jaringan aja, nyari pendamping hidup kapan?" goda Dimas Arsenta—rekannya yang juga ikut menjadi sukarelawan. Pria itu menghampirinya sambil membawa segelas kopi s**u hangat yang siap menemani dinginnya malam itu. "Gue bingung kalo ngga bisa ngasih kabar gini, takutnya orang rumah khawatir" Jelas Adam lalu seketika ia menaikkan sebelah alisnya pada Dimas "Kayak lo udah punya aja pendamping hidup" balasnya meledek. Ia baru menyadari jika rekannya itu juga belum memiliki kekasih, sama sepertinya. "Udahlah, orang rumah lo ngga ada yang khawatir. Dugaan paling masuk akal itu mereka cuma nganggap lo masih hidup kalo kita balik dua bulan lagi dari sini, tapi kalo seandainya lo ngga balik, mereka pasti ngira lo udah ngga ada" jelas Dimas realistis. "Sialan lo" desis pria itu. "Gimana sama bu guru itu, ada perkembangan?" tanya Dimas dengan manik-turunkan alisnya. Ia cukup penasaran dengan perkembangan hubungan Adam dengan cewek yang selama ini pria itu kejar-kejar. Adam membingkai senyum diwajahnya "Lo tinggal tunggu undangan dari gue" jawabnya sambil terkekeh. "Sejak kita balik dari Jogja juga lo udah bilang gitu sama gue, tapi pembuktiannya belum ada sampai sekarang" ledek Dimas. Ia sudah cukup muak mendengar Adam selalu mengatakan untuk menunggu undangan dari pria itu. Ia malah takut dirinya lebih dulu naik pelaminan, dibandingkan Adam. "Hehehe...namanya juga rencana, kita mana bisa netapin kapan berhasilnya" Adam tertawa kecil. "Dasar tukang ngeles" cibir Dimas. Adam kembali menyesap kopinya yang hampir habis, tatapannya menerawang ke depannya, dimana hutan gelap yang menyembunyikan banyak hal karena kita tak bisa melihat lebih ke dalam sana. Setelah itu ia melihat kearah Dimas "Lo kenapa belum punya pacar sampe saat ini?" tanyanya cukup penasaran melihat Dimas yang selama ini seperti menutup diri dari wanita dan tak pernah membahas wanita manapun. Dimas tersenyum kecut "Dulu gue punya pacar, sejak masuk sekolah kedokteran. Tiga tahun setelah pacaran sama cewek itu, gue baru mergokin dia sering jalan sama sahabat gue. Bahkan yang lebih menjijikan, gue ngedapetin mereka lagi bertelanjang dibalik selimut di kostan cewek gue, disitu gue marah banget sampe nampar cewek gue dan bilang dia itu cewek paling murahan yang pernah gue tau. Sejak itu gue ngga percaya lagi sama yang namanya cewek plus sahabat. Menurut gue itu semua bullshit" jelas Dimas secara singkat. Suaranya yang meninggi membuktikan bahwa ia masih mengingat jelas kejadian pengkhianatan itu. "Mantan lo itu pernah ngga nemuin lo lagi?" "Iya, seminggu setelah insiden itu, dia datang ke gue dan minta maaf. Dia bilang kalau dia ngga pernah melakukan persetubuhan dengan sahabat gue itu, dia cuma pengen putus sama gue aja. Ya, gue sadar sih itu semua terjadi karena selama ini gue ngotot ngga mau putus sama dia sampe buat dia pake cara kayak gitu. Memang sebelumnya gue sempet bilang kalau gue mau ngelamar dia sampe akhirnya insiden itu merusak segalanya" Dimas menerawang kejadian beberapa tahun silam dan masih merasakan sesak sampai sekarang karena nyatanya ia tak bisa melupakan sang mantan. "Tapi waktu gue bilang caranya salah, dia bilang sama gue kalo pada akhirnya gue ngga akan bisa nerima dia karena sebenarnya dia udah ngga suci lagi, itu sebabnya sejak gue pengen ngelamar dia, dia selalu minta putus sama gue" tambah Dimas lalu menatap Adam sambil terkkeh “Padahal kalau awalnya dia jujur sama gue soal itu, gue ngga akan permasalahin karena yang gue rasain cinta bukan nafsu semata" Adam menepuk bahu rekannya itu "Mungkin dia memang bukan jodoh lo" "Iya, gue juga menekankan kalimat itu dalam d**a gue supaya gue ngga berharap sedikitpun lagi sama dia" "Terus sekarang lo belum berniat buka hati lagi?" rasanya malam hari ini, Adam snagat kepo terhadap urusan cinta Dimas yang seharusnya tak ia ketahui. "Mama ngerencanain perjodohan sama anak rekan kerjanya, dan mungkin itulah saatnya buat gue buka lembaran baru" jelas Dimas mengingat bahwa orang tuanya pernah mengatakan padanya mengenai perjodohan dengan anak dari reka kerja papanya. "Iya, gue yakin lo bakal dapet yang terbaik" doa Adam. "Kalo kali ini gue masih belum dapat yang terbaik, gue bakal bunuh diri" desis pria itu membuat Adam terkekeh dan menepuk bahu rekannya. "Gue tunggu kabar kematian lo" "b******k lo" umpat Dimas disambut gelak tawa dari Adam. "Lo sendiri, gue denger-denger dari dulu cuma ngejar-ngejar satu orang dan itu bu guru itu?" kinia gentian Dimas yang merasa penasaran. Adam terkekeh kecil "Namanya Anaya. Bisa dibilang gitu lah, sejak gue menginjak umur 18 gue suka sama cewek itu dan yah, sampe umur 30 tahun ini gue masih belum dapat balasan apa-apa. Cuma gue juga baru bisa nyatain perasaan waktu umur 20 tahun, bukan karena ngga berani, tapi menurut gue dia masih terlalu kecil buat ngerti cinta" jelasnya. "Sumpah lo? Eh tapi bukannya lo bilang orang tuanya tinggal di Bandung ya?" "Iya, cuma Naya itu sejak SMP udah ngga tinggal sama orang tuanya. Dia tinggal sama Tante dan Om-nya yang ngga punya anak. Sampe akhirnya kerja dia baru misahin diri dari tante dan Om-nya itu" "Dia cewek keberapa yang lo suka?" "Pertama dan dia satu-satunya" Adam tampak tak keberatan sama sekali mengatakan pada seluruh dunia bahwa selama ini ia hanya menyukai Naya dan hanya Naya. "Gila lo, gue baru nemu orang kayak lo" Dimas menggelengkan kepalanya tak percaya. "Jangan terlalu salut ah, nanti gue malu" goda Adam dengan mimik wajah dibuat-buat. "Ya bayangin aja, gilanya lo itu gimana sampe nunggu balasan cinta selama itu. Itu hati bang, walaupun ngga punya batas karatan tapi punya batas penantian" ledek Dimas. "Itukan tergantung orangnya" Adam berusaha membela dirinya sendiri. "Terus orangtua lo pernah marah ngga karena lo cuma berharap sama Naya aja? Apalagi usia lo cukup matang untuk berkeluarga" "Kalo papa sih terserah gue aja, dia ngerasa gue udah cukup dewasa untuk mutusin pilihan sendiri. Sedangkan mama pernah ngusulin gue buat cari yang lain, dia takutnya Naya ngga akan pernah mau sama gue. Sedangkan kakak dan adik gue, dukung banget gue berjuang buat dapetin Naya. Apalagi Vio, karena Naya sahabatnya jadi dia cukup tau kan cewek itu baik atau engga, sampai dia pengen banget supaya Naya jadi kakak iparnya" "Terus lo yakin masih menambatkan hati sama dia?" "Udah gue bilang, lo bakal dapet undangan secepatnya" yakin Adam. "Wah, kalo denger yang itu, gue mah cuma bisa doain, takutnya ngga terkabul" ledek Dimas membuat Adam menyikut perut pria itu sambil mengumpat. *** Sandi mengusap lembut kepala istrinya, membiarkan wanita itu menumpahkan kekhawatiran padanya karena Adam yang belum bisa dihubungi sampai saat ini. Sebagai ibu dan ayah, jelas kekhawatiran sellau terpancar dri mata mereka jika anaknya belum bisa dihubungi saat berada di kota orang. "Ma, Adam kan udah bilang kemarin waktu udah sampe disana, dia bakal jaga diri, jangan khawatir sama dia kalo pun ngga ngasih kabar karena disana sulit jaringan" jelas Sandi berusaha menenangkan istrinya yang sangat khawatir hingga beberapa hari ini menyebabkan Dina tak enak badan. "Tapi mama cemas, Pa" Dina mengutarakan isi hatinya pada snag suami. "Papa juga, tapi yaudahlah ma, Adam juga bisa jaga diri kok" Vio datang dan meletakkan kopi s**u untuk papanya kemudian ia duduk di depan kedua orang tuanya yang sedang berpelukan alay. Tangannya meraih ponselnya lalu membukanya dan mengirimkan pesan kepada kekasihnya. "Udahlah ma, kita tunggu aja sebulan lagi, kalo kak Adam belum juga pulang berarti udah tewas dimakan hewan buas" ujar Vio ngasal membuat Dina memelototi putri bungsunya itu sedangkan Sandi hanya tertawa. Ya, ini sudah bulan kedua sejak kepergian Adam. "Kamu itu kalo ngomong kok ngga ada remnya sih" kesal Dina pada putri bungsunya yang kalau ngomong ngga pernah di filter. "Ya abis mama panik banget, kak Adam pasti baik-baik aja. Kan mama sendiri yang bilang kalo disana pasti susah cari jaringan, jadi yaudahlah pahami" Vio yang cuek berusaha mengutakan logikanya yang sedang bekerja dengan baik. "Mama masih belum bisa tenang sampe mama dapet kabar dari Adam" "Terserah aja deh ma, Vio mau ke apartement Axel dulu" "Viiooo, dasar kamu. Mama lagi khawatir kamu malah mau ngapel" teriak Dina membuat Sandi yang terkekeh kembali mengusap kepala istrinya. "Adam ngga apa-apa ma, percaya sama papa. Kita tunggu sebulan lagi ya" Dina dengan terpaksa mengangguk pasrah karena hanya itu solusi satu-satunya. *** Naya dengan napas terengah-engah mengusap dadanya yang menyembunyikan jantung yang berdebar begitu cepat di dalam sana. Ia bermimpi buruk dan keringat diseluruh wajahnya membuktikan bahwa ia sangat ketakutan dengan mimpinya barusan. Kakinya yang lemah melangkah ke dapur untuk mengambil segelas air minum dan langsung meneguknya seolah baru melihat kehidupan saat mendapati air itu. Rasa takut akan mimpi barusan membuatnya tak berani memejamkan mata. Kenapa ia bisa memimpikan hal seburuk itu? Naya hanya berdoa dalam hati, semoga mimpinya barusan tak pernah menjadi kenyataan. Ia memimpikan bahwa mantannya yang kurang ajar mengajaknya balikan dan saat itu pula ia dihantam oleh kenyataan bahwa Adam menggandeng wanita lain naik ke pelaminan. Kedua hal yang menyatu dalam mimpi yang tak bisa ia jabarkan itu membuatnya menggelengkan kepala dengan khawatir. Sekalipun itu hanya mimpi, ia tak rela membangun hubungannya kembali dengan mantan dan ia juga tak rela jika Adam harus bersanding dengan wanita lain. Ia tahu bahwa ia tak bisa bersikap egois seperti sekarang. Setelah selama ini ia menganggap Adam sebagai pengganggu, ketika pria itu meninggalkannya ia malah tak terima. Naya menyandarkan punggungnya ke dinding dan menengadahkan kepalanya keatas untuk meredakan gelisahnya “Aku harap itu hanya mimpi dan selamanya cuma mimpi” doanya dalam hati. Naya membuka pesan-pesan dari Adam dan membacanya dengan sedih hati. Bagaimana tidak? Setelah ia membaca pesan itu ulang, ia baru merasakan bahwa ia adalah perempuan yang tak punya hati, yang menyia-nyiakan kebaikan hati Adam, apalagi setahun terakhir ini. Adam : Hai Nay. Gimana kabar kamu? Aku akan pulang dan menuntut janji kamu. Aku harap kamu menepatinya. Adam : Nay Adam : Diread tapi ngga dibalas. Segitu sibuknya nyuekin aku Adam : Jangan lupa istirahat. Semoga hati kamu cepat terbuka untuk aku. Masih setia menunggu Naya tidak membalas. Adam : selamat pagi cantik. Maaf mengganggu waktunya, aku cuma mau bilang kalau perasaan ini tetap utuh dari dulu sampai sekarang. Naya : Tolong jangan ganggu Naya, kak Adam : Akhirnya dibalas juga. Nanti kakak datengin kamu ke tempat ngajar ya Naya : Jangan. Saya merasa terganggu dengan kehadiran kakak. Tolong mengerti ini, saya tidak ingin ada gosip tidak enak di Sekolah Adam : Tenang aja, kakak bisa jadi temen kamu untuk didepan publk, tapi kalau pribadi, maunya jadi pacar Naya tidak membalas. Adam : Besok malam jalan yuk Adam : Malam minggu loh Adam : Enaknya keman ya sama cewek cantik yang sombong? Adam : Tuhkan, masih aja dicuekin. Orang sayang jangan disia-siain loh, takutnya hilang Naya : Aku sibuk. Adam : Yaudah, aku temenin ngapel sama kesibukan kamu. Naya : Kakak ngga punya kesibukan apa ya? Kenapa selalu gangguin orang lain sih? Adam : Ya punya lah, Nay. Namanya masih hidup ya udah pasti punya kesibukan dong, tapi kesibukan aku adalah memperjuangkan kamu (emot tertawa). Oh ya, kenapa kakak gangguin orang lain, karena kalau gangguin diri sendiri itu ngga seru. Naya tidak membalas. Adam : Mau diperjuangin nggak? Kalau enggak, aku mundur Naya : Enggak Adam : (Emot mengedipkan sebelah mata) cepet banget balasnya. Kangen kan? Naya tidak membalas. Adam : Surat aja ada balasnnya Nay, walaupun harus nunggu beberapa hari. Kamu segitu pelitnya buat buang pulsa untuk kakak, nanti kakak isiin deh. Naya : Jangan coba-coba. Adam : Uwu, calon istri idaman banget, ngga matre sama sekali Naya tidak membalas. Naya mengusap wajahnya kasar dan menyadari bahwa ia tak akan sanggup diperlakukan segitu dingin oleh orang lain, tapi Adam tetap menaruh harapan padanya yang entah sampai kapan baru pria itu akan lelah. Jika saat ini Naya bisa mengulang waktu, ia hanya ingin mengatakan alasannya mneolak Adam lebih awal agar pria itu tak perlu berharap kepastian yang tak kunjung dating darinya. Sayangnya, percuma ia berharap demikian karena pria itu sudah melangkah terlalu jauh untuk berputar arah. Ia sendiri juga sudah terlalu jauh untuk menghindari Adam hingga kehilangan pria itu, membuatnya sadar arti merindu. Saat ini, Naya hanya berpikir bagaimana cara ia bisa menghindari Adam yang sudah mengetahui keburukannya. Ia pasti tak bisa menyembunyikan diri terus menerus dari keluarga Glevino terkhusus dari Viona yang pemaksa dalam hal apapun. Naya hanya berharap bahwa Adam tak memandangnya buruk karena Naya sudah mengalaminya dimasa lalu dan itu sangat menyakitinya. Untuk memberitahukan hal seperti itu saja, Naya sangat menekan dirinya karena itu sangat berat. Tapi, ia juga tak bisa membiarkan Adam hanya mengetahui sisi baiknya saja, karena bagaimanapun sewaktu-waktu aib yang selama ini ia tutupi pasti akan terbongkar juga. Ia tak ingin Adam kecewa setelah mendapat kepastian. Lebih baik baginya untuk menyadarkan Adam sebelum pria itu menyesal telah memilihnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD