Axel mencium kening kekasihnya yang bersandar di dadanya dengan lembut. Saat ini keduanya tengah asik menonton koleksi film yang belum sempat Axel tonton karena kesibukannya di bengkel. Sedangkan Siska berada di kamar dan mengurung diri supaya tak jadi nyamuk diantara kedua manusia yang menurutnya sok romantis.
"Gimana kerjaan kamu di bengkel?" tanya Vio.
"Lancar, beberapa hari ini bengkel aku rame. Kamu sendiri gimana?" tanya Axel sambil mengusap rambut Vio dengan lembut.
"Ada sedikit masalah sama keuangan perusahaan, aku takut disuruh ganti sama kekurangannya" keluh wanita itu sedih.
"Memangnya kamu yang bikin rugi?"
"Ngga, tapi aku takut aja"
"Ngga usah takut, kalo emang ngga salah kenapa harus takut. Tugas kamu kan cuma menghitung pemasukan dan pengeluaran kantor”
"Iya sih, tapi tetep aja"
Axel memeluk kekasihnya itu dengan erat "Jangan takut, kan ada aku yang siap bantu. Makanya inget doa terus sama Tuhan"
Vio mengangguk dalam pelukan yang ia rasa sangat nyaman dan aman itu.
"Kamu taukan kalo aku mau buka usaha laundry?"
"Iya tau" angguk Vio heran mengapa kekasihnya itu membahas mengenai usaha yang akan Axel buka.
"Nah, kamu juga taukan kalo usaha laundry itu butuh biaya yang lumayanlah"
"Terus kamu mau minjem duit kan?" tebak Vio membuat Axel terkekeh dan mengacak rambut kekasihnya itu dengan gemas.
"Bukan sayang. Aku pasti butuh tenaga karyawan kan? Jadi aku mau jadiin kamu karyawan aku supaya gak perlu bayar" ujar Axel berhasil membuat Vio merengut kesal atas usul kekasihnya itu. Kekasih mana coba yang tega membuat kekasihnya bekerja sebagai karyawan untuk usahanya? Tidak dibayar pula?
"Ah, kamu jahattt"
"Enggak-enggak bukan itu, bercanda. Aku cuma mau kamu bantu aku buat kontrol Laundry itu nantinya. Kan laundry-nya deket sama kosan milik kakak kamu" jelas Axel karena setahunya keluarga Gelvino memiliki usaha kosan yang diturunkan kepada Adam dan dikelola pria itu ditengah kesibukannya.
"Kamu ngga takut aku selipin uangnya di kantong aku?" goda Vio menaik turunkan alisnya.
Axel menggenggam erat tangan Vio "Aku percaya sama kamu, walaupun urakan tapi kamu orangnya jujur. Lagipula laundry itu aku buka buat nambah tabungan untuk nikahin anak orang"
"Kamu beneran mau nikahin aku?" tanya Vio antusias.
"Siapa bilang yang mau aku nikahin kamu?" goda pria itu membuat Vio kesal "Aku mau nikahin putri bungsunya pak Sandi Glevino" bisik pria itu berhasil membuat Vio tersenyum merekah dan langsung mengapit leher Axel dengan kedua tangannya.
"Vio, sebenarnya aku pengen nikahin kamu sekarang, tapi kamu bilang tunggu kak Adam dulu" aku Axel jujur.
"Iya Ax, aku juga udah ngga sabar jadi istri kamu. Tapi kita tunggu kak Adam ya?" pinta Vio. Ia tak ingin melangkahi kakaknya yang tak kunjung mendapat balasan dari sahabatnya itu.
"Iya, kita tunggu kak Adam dulu. Tapi jangan salahin kalo aku khilaf ya karena kita sering berduaan di ruang tertutup gini"
"Iish, Axel, masa kamu ngga bisa tahan sih sampe kita nikah"
"Iya-iya, tahan sayang. Aku ngga mungkin nyentuh kamu sebelum kamu sepenuhnya jadi milik aku"
"Nah, gitu dong cowok aku" bangga Viona, mengangkat kedua jempolnya kearah Axel.
Axel menggesek hidungnya ke hidung Viona dengan gemas karena tingkah laku gadis itu. Meskipun sedikit urakan dan sering mengumpat namun Axel tetap mencintai putri bungsu Glevino itu. Selagi Vio juga bisa ditegur dan mau mendnegar arahannya kearah yang positif, ia tak masalah membimbing gadis itu. Lagipula ia juga bukan orang yang hanya memiliki kelebihan saja, ada banyak kekurangannya yang juga dapat diterima dengan baik oleh gadis itu.
***
Naya meringis saat mengingat bagaimana Adam dengan beraninya memeluknya dari belakang sebelum pria itu pergi karena pekerjaannya sebagai dokter dua bulan lalu. Bayang-bayang itu membuat Naya panas dingin dengan dirinya sendiri, sulit baginya untuk melupakan sikap-sikap Adam padanya yang begitu menghormatinya sebagai perempuan.
Sikap Adam yang perhatian, pengertian, dan penyayang benar-benar mudah menggoyahkan dinding penutup hatinya, hanya saja selama ini ia benar-benar menghindari Adam karena tak ingin hubungan persahabatannya dengan Vio hancur jika sewaktu-waktu ada masalah antara ia dengan Adam. Selain itu juga ada alasan kuat yang membuatnya tak yakin.
Padahal seharusnya ia tau bahwa Adam adalah sosok yang sangat dewasa dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Tapi dengan bodohnya ia mengabaikan perhatian bahkan perjuangan pria itu dengan mudahnya. Oh, ayolah, mengapa sekarang tiba-tiba Naya menemukan kesadarannya stelah menyakiti hati orang lain terlalu lama.
Sampai pada titik ini, titik dimana ia baru menyadari seberapa besar perjuangan Adam untuk sekedar mendapat perhatiannya. Tapi semuanya tetep akan hilang meskipun Adam kembali dari pekerjaan sukarelawan-nya nanti.
Sesungguhnya sulit bagi Naya menghilangkan bayang-bayang wajah, sikap, dan perhatian pria itu padanya, terlebih selama dua bulan lewat, mereka tidak bertemu. Rasa rindu itu mendesak dadanya hingga terasa sesak. Ingin sekali ia mengirimi pria itu pesan, namun ragu karena pembicaraan mereka terakhir kali.
Ia juga begitu penasaran apakah Adam benar-benar mengunjungi rumah orang tuanya di Bandung. Apakah pria itu masih berniat melamarnya setelah pembicaraan mereka saat itu. Ingin sekali rasanya wanita itu menanyakan pada orang tuanya, namun rasa takut kecewa membuatnya lebih memilih diam saja.
Mengingat dua bulan ini, Adam yang tak pernah mengiriminya pesan membuat ia yakin jika pria itu pasti berubah pikiran untuk melamarnya. Gio, mantannya dua tahun lalu sudah berhasil membuatnya ragu akan cinta karena perkataan pria itu yang masih terekam sempurna di memori ingatannya. Bahkan goresan itu berhasil melukai hatinya dan membuat luka itu masih membekas sampai saat ini.
Bahkan bayang-bayang kata demi kata yang Gio lontarkan bagaikan pisau-pisau tajam yang berhasil menusuk relung terdalam hati Naya. Hatinya selalu tidak siap menerima kenyataan itu. Kenyataan dimana Gio yang saat pacaran memperlakukannya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, berubah menjadi b******k bahkan b******n secara bersamaan saat itu.
Air matanya kembali menetes mengingat bagaimana pria itu memutuskannya saat itu. Sebab itu lah, ia tidak pernah lagi membiarkan siapapun yang berjenis kelamin pria mendekatinya. Selain Adam si keras kepala, tentunya.
***
Tidak terasa satu bulan yang Naya nantikan bagaikan satu tahun akhirnya terlewati, ia benar-benar berharap akan ada pesan dari Adam bersarang di ponselnya. Hanya itu harapan terakhirnya, namun jika tidak ada pesan yang masuk hari ini maka Naya memutuskan untuk tidak berharap sedikitpun lagi pada Adam.
Hanya hari ini, jika lewat, ia tidak akan lagi menaruh secuilpun harapan untuk pria yang selama ini memberinya perhatian itu.
Libur hampir selesai, namun orang tua Naya tidak pernah membahas adanya kedatangan Adam tiga bulan lalu selama ia dirumah orang tuanya, selain membahas beberapa lamaran dari tetangga mereka yang ingin meminang Naya beberapa hari lalu.
"Gimana kerjaan kamu Nduk?" tanya ayahnya.
"Baik Yah"
"Kamu disana udah punya pasangan?" tanya Rena-ibunya- tiba-tiba dan itu membuat Naya sedikit was-was.
"Belum Bu" jawabnya ragu.
"Kemarin ada yang ngelamar ke rumah" mendengar itu Naya agaknya berharap besar jika yang dimaksud ibunya adalah Adam.
"Siapa Bu?"
"Vito-anak bu Iyen, sebelumnya juga ada Rinto anak pak Kades" mendengar hal itu membuat Naya lesu "Menurut kamu gimana nak, kemarin bapak sama ibu cuma bilang kalau kita nunggu keputusan kamu?" tanya ibunya.
"Apalagi usia kamu juga udah matang untuk menikah nak, kamu kan perempuan, kalo bisa ya jangan lama-lama nikahnya. Tapi tetep keputusan ditangan kamu karena ini untuk masa depan kamu. Ayah sama ibu ngga akan maksa" timpal ayahnya.
Naya menghela nafas pelan "Maaf Yah, Bu, Naya ngga bisa nerima lamaran mereka, apalagi Naya belum kenal dekat sama mereka"
Ayahnya terlihat menghela nafas pasrah kemudian mengangguk lesu "Ngga apa-apa nak, kalo menurut kamu begitu"
"Maafin Naya Yah, Bu"
"Ngga apa-apa Nak, kamu bebas menentukan siapa yang akan jadi suami kamu"
Setelah percakapan itu, orangtuanya tak pernah lagi membahas lamaran siapapun. Dan dapat Naya simpulkan adalah Adam benar-benar berubah pikiran terhadap niat melamarnya. Alasan Naya saat itu pasti sangat membebankan bagi Adam hingga pria itu menutup niatnya.
"Dek Ana" panggil seseorang hingga menghentikan langkah Naya menuju ladang ayahnya.
Naya menoleh "Eh Mas Rinto" ujarnya dengan senyum kecil. Rinto ini adalah adalah anak pak Kades, pria paling ganteng di desa mereka, kata ibu-ibu sih begitu. Pekerjaannya dibagian perkapalan, hingga membuatnya jarang pulang namun sekali pulang punya banyak waktu di desa.
"Kamu mau ke ladang ayah kamu ya?. Mas temenin ya?"
"Eh, enggak usah Mas, Naya bisa sendiri kok" tolak Naya dengan halus.
"Ngga apa-apa, Mas pengen ngobrol sama kamu" ujar pria itu dengan memamerkan senyum kecil yang menimbulkan lesung pipi yang membuatnya jadi terasa manis.
"Yaudah" pasrah Naya menganggukkan kepalanya.
"Kamu udah punya pacar?" tanya Rinto to the point membuat Naya meneguk ludahnya kasar. Dengan ragu Naya mengangguk, meski ia tau ini suatu kebohongan. Ini hanya cara supaya Rinto tak menaruh harapan besar padanya.
"Oh, pantes lamaran Mas ditolak" ujar pria itu maklum "Kapan-kapan pacar kamu di kenalin ke Mas ya?"
Naya mengangguk lagi sebagai jawaban ya.
"Mas gimana pekerjaannya?" sekedar basa-basi, rasanya Naya juga perlu memberikan feedback kepada orang yang berusaha mengajaknya bicara.
"Lancar"
"Mas betah ya disana?"
"Lumayan lah, namanya juga kerja betah ngga betah kan harus mau"
"Eh itu ayah, Naya samperin dulu ya Mas." pamitnya cepat meninggalkan Rinto karena merasa risih di tatap lekat oleh pria itu.
"Ayah, ini makan dulu. Naya udah siapin lauk kesukaan ayah"
Ayah Naya-Andi-mengangguk pada putrinya kemudian membuka topinya dan ikut duduk di gubuk kecil sebagai tempat istirahat.
"Sama siapa kesini-nya Nduk?"
"Sama Mas Rinto Yah"
Rinto baru saja datang setelah beberapa menit lalu hanya menolehkan kepalanya ke arah ladang-ladang yang berisi tanaman yang kebanyakan sayuran dan buah-buahan.
"Pak" Pria itu mencium tangan Andi dengan sopan.
"Maaf tangan bapak kotor" enggan Andi namun membiarkan Rinto mencium punggung tangannya.
"Kalian sudah makan?"
"Naya udah Yah, kalau Mas Rinto ngga tau" jawab Naya sambil melirik Rinto.
"Udah kok pak" Rinto tersenyum lagi dan mengangguk. Pria itu memang orang yang cukup ramah hingga selalu memamerkan senyumnya. Sepertinya pria itu tahu jelas bahwa senyumnya adalah daya tarik utama dari dirinya.
"Oh, yaudah, bapak makan dulu ya"
“Iya Pak, silahkan” ujar Rinto lalu menatap Naya “Mau temenin Mas jalan bentar nggak?”
“Boleh Mas” angguk Naya.
Keduanya menyusuri jalanan yang dikelilingi oleh tanaman hijau yang menyegarkan, sesekali menyapa beberapa orang yang mengenal keduanya atau sebaliknya. Rinto masih diam hingga Naya tak tahu harus mengambil topik apa untuk menghilangkan keheningan diantara mereka.
“Boleh Mas berharap kalau kamu akan mempertimbangkan Mas sebagai calon suami. Mas tidak berniat merusak hubungan kamu dengan pacar kamu, Mas hanya ingin kamu tahu kalau perasaan Mas tulus. Seandainya nanti ada kesempatan, Mas ingin kamu mengenal Mas lebih dalam supaya kamu bisa mempertimbangkannya”
Naya menatap Rinto sebentar lalu mengalihkan pandangannya karena malu, rasanya sedikit tak nyaman dengan cara Rinto berterus terang. Ia takut menyinggung perasaan pria itu jika menolak langsung, namun jika ia meminta waktu untuk memikirkannya, ia takut Rinto jadi menaruh harapan besar akan jawabannya.
“Tenang aja, Mas ngga menuntut kamu untuk menjawabnya sekarang atau nanti dengan kata-kata. Kalau Mas tidak mendapat kabar apa-apa dari kamu, Mas akan sadar diri kalau Mas sudah ditolak”
“Maaf Mas, saya takut membuat Mas berharap lebih” ujar Naya dengan senyum canggung.
“Tidak apa-apa. Saya juga tidak bisa memaksakan kehendak seseorang atas perasaannya yang sudah diisi oleh orang lain”
***
Setelah mandi sore, Naya sibuk berdebat dengan pikirannya mengenai ucapan Rinto. Ia sama sekali tak memiliki perasaan pada pria itu, namun memikirkan bagaimana cara Rinto yang terlihat sangat tenang dan dewasa, memberikan pertimbangan besar bagi Naya untuk mencoba pria itu. Ia tak bisa berharap terus-menerus pada Adam meskipun ia ingin melakukannya.
Pria itu tak kunjung memiliki kabar untuk dikirimkan padanya, selain dari Vio yang sering menyelipkan godaan pada Naya untuk tidak rindu pada Adam karena pria itu kesulitan menemukan jaringan untuk bisa menelpon atau bahkan mengirimkan pesan. Naya hanya berusaha bersikap seolah ia tak merindukan pria itu, jika didepan Vio, meskipun sebenarnya ia sangat memendam perasaan itu sedalam mungkin dan tak membiarkan siapapun mengetahuinya.
Ting
Naya meraih ponselnya dan berharap bahwa ada pesan dari Adam, sayangnya ia harus menghela nafas kecewa saat membaca nama Viona.
Viona : Yang udah kangen kak Adam, kayaknya rindunya bakalan cepet terobati.
Naya mengernyit membaca pesan itu hingga ia mengetikkan jari-jarinya dengan lancar di keyboard ponselnya.
Naya : Emang kak Adam udah pulang?
Viona : Ya ampun, segitu kangennya ya, sampe chat gue yang 0,02 detik lalu udah terbalas.
Naya : Ihhh, apaan sih. Aku cuma nanya doang dan balasan aku ngga secepet itu juga kali.
Naya mengusap dadanya yang terasa berdebar dengan cepat karena tuduhan Vio yang benar. Ia bahkan sampai tak sadar kalau ia seantusias itu membalas pesan Vio, hanya karena mendengar bahwa Adam akan pulang.
Viona : Jangan rindu, kata Dilan berat (emot mengedipkan sebelah mata)
Naya : Biasa saja
Viona : Sama gue aja lo masih bohong, nanti pas jumpa kak Adam langsung meluk lagi
Naya : Udah dulu ya, akum au tidur.
Viona : Cepet amat mau nyamperin kak Adam ke dalam mimpi. Ini masih jam tengah tujuh, buk.
Naya tak lagi membalas godaan-godaan Vio yang akan membuatnya semakin hilang kontrol hanya karena mendengar nama Adam secara tidak langsung. Jantungnya bahkan sudah menggila hanya karena berbalas-balasan pesan mengenai Adam, dengan Vio.
“I Miss you, kak” ujar Naya sambil mengusap dadanya dan memejamkan mata, berharap Adam yang jauh disana juga merindukannya. Ada setitik harapan dalam hatinya yang mengharapkan pria itu segera kembali dan memberikan jawaban, meski ia takut menerima kenyataan jika nantinya jawaban Adam justru melukainya.