7. Bertemu

2231 Words
Adam mengusap wajahnya kasar mengingat percakapan terakhirnya dengan Anaya yang sampai saat ini masih berputar dalam kepalanya dan membuatnya bingung. Ia dilema dengan hal yang sejak itu menjadi beban pikirannya. Apakah salah jika ia memikirkan semua ini sebagai pertimbangan besar? Ia jelas memikirkan itu dan merenungkannya selama tiga bulan terakhir ini. Walau bagaimanapun, keputusannya akan menentukan masa depannya, jadi ia tak mau salah mengambil keputusan Flashback on "Ka-k" Naya terbata-bata, merasa kelu untuk menggerakkan lidahnya. Sentuhan Adam di perutnya membuat sesuatu dalam dirinya bergejolak kuat, tetapi tubuhnya jutsru terasa lemah. "Besok kakak mau ke Bandung buat lamar kamu ke orangtua kamu supaya mereka ngga nerima lamaran cowok lain lagi" Adam memberitahu dengan menopangkan kepalanya di ceruk leher wanita itu "Karena setelah itu, lusa kakak akan berangkat buat jadi dokter sukarelawan ke pelosok salah satu kota bersama rekan-rekan kakak selama kurang lebih tiga bulan" "Jaga diri dan kesehatan kamu ya, pulangnya juga jangan malem banget" pesan pria itu. "Kalau sabtu, kerumah tante Dina aja ya. Takutnya ada yang ngapelin kamu malamnya" goda pria itu. Naya memutar kepalanya sembilan puluh derajat ke kanan hingga pipi wanita itu mendapat kecupan lembut dari bibir Adam "Kak, sebelum kakak ngelamar Naya, Naya akan bilang alasan kenapa Naya terus nolak kakak supaya setelah ini kakak bisa memikirkan ulang semuanya" kali ia lebih merasakan terbata-bata lagi meskipun ia sudah berusaha merangkai kalimat yang tepat untuk ia sampaikan pada Adam. Adam benar-benar menikmati harum wajah Naya yang terus saja pada posisi kepala sembilan puluh derajat ke kanan itu, membuat hidungnya dengan mudah menggesekkan pipi Naya dengan manja. Ia menyukai aroma Naya yang sangat harum dan membangkitkan sesuatu dalam dirinya sebagai pria normal. Kondisi berdua dalam ruangan kecil ini juga membuat godaan-godaan buruk berbisik di telinga Adam. "Alasannya?" bisik Adam bertanya. Adam sama sekali tak pernasaran dengan alasan Naya menolaknya, karena ia sendiri sadar bahwa ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan tapi kita tidak menyukainya begitu saja, namun karena Naya ingin mengatakannya, maka Adam rasa tak masalah untuk mendengarnya. Naya memejamkan matanya rapat-rapat dan memutar kepalanya menghadap depan "Naya udah ngga perawan" lirih wanita itu dengan tetesan air mata membuat Adam berhasil mematung untuk beberapa saat dan pelukannya di tubuh Naya melemah. Ia kesulitan mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkannya pada Adam, tapi kini ia lebih kesulitan untuk menyembunyikan wajah naifnya dari pria yang mungkin saja selama ini memberikan nilai positif kepadanya. "Ka-mu--?" Ada kata-kata yang tertahan dalam tenggorokan Adam untuk ia ucapkan. Sebelum Adam menyelesaikan kata-katanya, Naya sudah menganggukkan kepala dengan lemah karena mengerti arah pertanyaan Adam. Ia merasa malu telah mengungkapkan hal bodoh itu pada Adam. Ia yakin setelah ini Adam pasti akan membencinya dan jijik untuk melihat wajahnya. "Itu sebabnya selama ini Naya tegasin supaya kakak jangan deketin Naya lagi, tapi kakak ngga pernah mau dengerin perkataan Naya selama Naya belum kasih alasan, jadi sekarang Naya putuskan untuk jujur supaya kak Adam tau alasan Naya" lirihnya mengusap wajahnya yang basah karena air mata “Naya hanya ingin kakak mencari wanita lain yang jauh lebih baik dari Naya” "Na..y" "Sekarang kakak udah taukan? Boleh Naya minta kakak pergi dari hidup Naya? Naya malu kak, kakak pantes dapetin yang terbaik" pinta Naya. "Naya kasih tau hal ini supaya kakak tau gimana Naya dan bisa memikirkan lagi keputusan selanjutnya" ujar wanita itu tersenyum kecil. Adam memutar tubuh Naya dan melihat air mata yang mengalir membasahi pipi wanita itu. Ia mengusap pipi wanita itu dengan lembut, meski masih sedikit syok mendengar pengakuan Naya yang sangat tak terduga. Dipeluknya tubuh itu dengan erat, tangannya mengusap kepala Naya dengan penuh kasih sayang, meski tubuhnya sedikit bergetar setelah mengetahui fakta tersebut. "Kalau nanti kakak kembali dengan keputusan yang sama, apa kamu siap jadi istri kakak?" tanya pria itu kini menangkup wajah Naya. Anaya memejamkan matanya kuat, tak tahan dengan pertanyaan bodoh dari Adam itu. Disaat pria lain langsung memilih meninggalkannya, Adam malah menanyakan hal sebaliknya. "Kak, Naya ngga pan---" "Ssstt" Adam meletakkan telunjuknya tepat di bibir Naya "Setelah kembali dari pekerajaan kakak, maka kakak akan berikan jawaban. Tunggu sampai hari itu tiba" Flashback off Dengan satu helaan nafas, Adam memilih menghampiri orangtuanya yang berada di ruang keluarga. Ia duduk tepat dihadapan Sandi dan Dina yang menatapnya penasaran karena yang mereka pikir Adam pasti butuh istirahat setelah sampai di rumah dua jam yang lalu. "Udah mandi kak?" tanya Vio membuat Adam dengan gemas mengacak rambut adiknya itu. "Dek, kakak udah harum gini dan baju kakak udah ganti. Apa masih sulit dicerna otak kamu kalau kakak udah mandi?" desisnya. Vio mencebikkan bibirnya "Yaudah sih santai aja. Coba aja kalau Naya yang nanya, pasti jawabnya penuh kasih sayang" Adam terkekeh ringan "Cemburu aja" godanya. "Kenapa ngga istirahat kak?" tanya Dina. "Adam mau izin ke Bandung Ma" ujar Adam terus terang. "Mau ngapain?" Sandi buka suara, cukup terkejut dengan niat tiba-tiba Adam, padahal mereka tak memiliki sepupu di Bandung.. "Ngapain lagi Pa selain ngapelin Anaya Selindyna" desis Vio yang tanpa diberitahukan pun sudah tahu niat hati Adam berkunjung ke kota orang.. "Adam mau nemuin Naya Pa" angguk Adam yakin. *** Naya baru saja mengganti baju dengan gaun tidurnya. Ia akan tidur saat itu juga karena malam sudah cukup larut. Namun sebelum sempat ia memejamkan matanya, ponselnya berbunyi menandakan ada panggilan masuk. Ia kembali duduk untuk meraih ponselnya. Seketika ia merasakan pasokan oksigen berkurang setelah membaca id caller ponselnya yang menunjukkan nama ‘Kak Adam’. Ponselnya terus berdering di bawah tatapannya yang kosong dan tubuh yang membeku. Tangannya bergetar saat menggeser ikon hijau untuk menyambungkan panggilan. Ia mendekatkan ponselnya ke telinga untuk mendengar suara pria yang tiga bulan ini tidak memberinya kabar sedikitpun. Sampai dua menit berlalu dalam keheningan, tidak ada juga yang membuka suara. Nafas Naya terasa sesak saat ia hanya mendengar deru nafas kasar dari sebrang telpon memenuhi pendengarannya. Ia berusaha menduga-duga, apa yang akan Adam sampaikan padanya. "Apa kabar?" tanya Adam dengan suara lembut khas pria itu. Naya tidak mampu lagi menahan sesak di dadanya hingga air matanya luruh begitu saja "Baik. Kakak apa kabar?" tanyanya lirih. "Baik. Vio bilang kamu di Bandung" "Iya. Kakak udah pulang ke Jakarta?" tanya Naya tak dapat menyembunyikan rasa penasarannya akan keberadaan pria itu. "Udah, tadi sore sampe di rumah" jawab Adam. "Oh, syukurlah. Kak-ak--ada apa nelpon Naya?" "Mau ketemu" jawaban singkat, padat dan jelas itu membuat Naya meneguk ludahnya kasar. Apa yang Adam katakan? Kenapa pria itu masih saja ingin menemuinya? Tidakkah pria itu tau jika hal itu dapat menimbulkan harapan kecil dalam hati Naya. Selain itu juga, Naya tak berani menunjukkan wajahnya yang mungkin saja sudah diberikan penilain jelek oleh Adam karena pengakuannya tiga bulan lalu. "Bisa kamu keluar?" pertanyaan itu membuat Naya lagi-lagi berharap lebih jika Adam berada di depan rumah orang tuanya. "Naya di Bandung kak" ujarnya sengaja menekankan supaya Adam tahu dimana posisinya saat ini. "Kakak tau, tapi kakak ingin minta kamu keluar dari rumah" Naya menggigit bibirnya "Iya" singkatnya kemudian keluar dari kamarnya. Pintu kamar orang tuanya tertutup rapat membuktikan keduanya sudah tidur karena malam semakin larut. Dengan langkah pelan ia menuju pintu utama dan membukanya dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara yang dapat mengganggu tidur orang tuanya. Kaki Naya lemas saat melihat Adam sedang bersandar di mobilnya dengan tatapan pria itu yang benar-benar lekat tertuju padanya. Satu tangan pria itu memegang ponsel sedangkan satu lagi berada di saku celananya. Tangan Naya yang memegang ponselnya meremas kuat benda pipih itu dengan jantungnya yang berdetak tak terkendali. Melihat wajah dan mata itu saja sudah seperti obat bagi Naya. "Ka-k-" ujarnya pelan namun masih terdengar Adam lewat ponsel mereka yang masih terhubung. Adam mematikan ponselnya kemudian mendekati posisi Naya dengan langkah panjang. Naya meremas kuat gaun tidurnya saat perasaan rindu itu ingin meledak bersamaan dengan rasa gugupnya. Pria itu kini bahkan berhasil menarik Naya masuk dalam dekapan hangatnya untuk menyalurkan rasa rindu yang ia pendam selama tiga bulan ini tanpa menatap wajah pujaan hatinya itu. Naya benar-benar lemas karena pelukan mengejutkan itu, sampai ia bahkan merasa kakinya tak kuat lagi menahan beban tubuhnya jika saja tangan Adam melepas pinggangnya. "Kak" seru Naya lirih dengan kedua tangannya meremas dua sisi gaun tidurnya. "Aku kangen kamu" bisik Adam kemudian menikmati harum tubuh Naya yang begitu menguji imannya. Sama halnya dengan yang Adam lakukan, Naya pun menikmati harum maskulin pria itu hingga benar-benar menghapal bagaimana harum khas milik pria itu yang selalu menghipnotisnya. "Kak" serunya sekali lagi. Kali ini suaranya terdengar lebih jelas dari sebelumnya. Adam mengusap lengan Naya dengan lembut setelah melepas pelukan itu. Tatapannya masih terarah kepada Naya yang merasakan gugup luar biasa "Kita bicara besok, lebih baik sekarang kamu masuk dan tidur" saran pria itu. "Kakak mau tidur dimana?" Naya tak mungkin mengabaikan fakta yang ia ketahui bahwa keluarga Glevino tak memiliki kerabat di Bandung. "Di mobil" "Maaf, Naya ngga bisa ajak kakak masuk rumah" Naya merasa tak enak. "Ngga apa-apa, ngga sopan kalau saya masuk rumah tanpa izin orang tua kamu" ujar Adam mengangguk ngerti "Selamat tidur" ucapnya dengan senyuman khas pria itu. Selepas itu Naya masuk ke dalam rumah dan kembali ke kamarnya dengan perasaan kacau. Ada rasa senang dihatinya setelah melihat bahkan memeluk pria yang dirindukannya itu, namun ada pula perasaan takut akan jawaban Adam nantinya. Malam itu dengan pasrah ia menyerahkan jawaban Adam sepenuhnya pada Tuhan. Dalam pejamannya ia hanya bisa berharap bahwa hari esok akan lebih indah dari hari ini dan ia siap menerima apapun jawaban Adam. *** "Ana" teriak wanita paruh baya. Naya keluar dari kamarnya dengan wajah khas bangun tidur setelah beberapa kali ibunya menyerukan namanya. Ia hanya berdiam sambil menatap ibunya yang tengah melihat-lihat keluar pintu rumah yang terbuka. "Ada apa Bu?" tanyanya heran, merasa tidur yang terganggu. "Itu mobil siapa di depan rumah kita?" Naya dengan malas menatap pintu utama yang langsung menunjukkan wujud mobil Adam yang terparkir rapi di halaman rumahnya. Ia menepuk jidatnya sambil mengigit bibir, benar-benar melupakan keberadaan pria yang semalam membuatnya susah tidur. "Itu Adam bu, anaknya tante Dina yang kedua" ujarnya. Selama ini Naya memang cukup sering bercerita mengenai keluarga Glevino yang selama ini sudah menganggapnya seperti keluarga juga. Rena-ibu Naya- sangat bersyukur bahwa anaknya seperti menemukan keluarga kedua di luar kota sana. "Oh, abang sahabat kamu itu ya, siapa namanya..?" Rena menunjuk-nunjuk Naya sambil berusaha mengingat nama teman Naya yang sering Naya sebutkan dalam telepon, disetiap cerita mereka. "Viona bu" jawab Naya. "Oh iya, ibu lupa" Naya hanya menggelengkan kepalanya mengerti "Terus dia sejak kapan disini?" tanya ibunya. "Tadi malam bu" "Yaudah gih kamu bangunin suruh masuk" titah ibunya yang langsung dilaksanakan Naya. Dengan enggan wanita itu mengetuk jendela mobil Adam untuk mengganggu tidur Adam yang sudah pasti kurang nyenyak ditambah sakit badan alias pegel-pegel. Oh, andaikan di rumahnya ada cukup kamar untuk Adam, ia pasti membiarkan pria itu masuk sekalipun belum izin pada ibunya. "Kak Adam" panggilnya. "Engh..." Adam kemudian mengusap sudut matanya sambil berusaha menekan penglihatannya. "Eh, Naya" "Iya, ayo masuk" ajak wanita itu. Adam keluar dari mobilnya kemudian mengikuti langkah kaki Naya. Di depan pintu, Adam mencium punggung tangan ibu Naya yang menyambutnya ramah. "Sakit ya badannya, tidur di kamar Ana aja gih" sarannya. Naya membelalak mendengar perintah ibunya pada Adam "Bu" tegurnya. Ia tahu ibunya sedang menggodanya karena ada pria ganteng yang mengunjungi rumahnya, namun bukan seperti ini caranya. "Kasihan Na, udah tidur di mobil semalaman" Adam berdehem kecil "Ngga apa-apa Tante, ngga sopan rasanya kalau saya tidur di kamar anak perempuan tante" tolaknya. "Ngga usah panggil Tante, Ibu aja" Rena berusaha memperbaiki panggilan Adam padanya. "Eh, iya Bu" "Yaudah kalau gitu duduk di sini dulu ya, biar Ana buatin minum dulu" "Iya bu, maaf ngerepotin" "Ngga apa-apa" Naya segera ke dapur untuk membuatkan ayahnya dan Adam kopi. Ia tersentak kaget saat seseorang menyentuh pundaknya pelan. "Ehh, maaf" Adam mengusap tengkuknya yang tak gatal karena baru saja mengejutkan Naya hingga Naya menatapnya dengan cukup garang. "Ck, kak. Naya kaget tau" wanita itu mengusap dadanya sejenak. "Engh, itu, saya mau numpang kamar mandi" "Oh, itu di luar" Naya menunjuk pintu dapur yang terbuka, mengatakan pada Adam bahwa kamar mandi mereka di luar rumah. Adam kemudian keluar menuju kamar mandi. Naya sudah meletakan dua kopi yang dibuatnya diatas meja, dimana ayahnya yang baru bangun, sudah duduk di bangku kayu yang tadi di tempati Adam. "Ibu mana yah?" tanyanya dengankepala celingak-celinguk mencari keberadaan ibunya. "Katanya beli ayam" jawab Andi. "Oh. Yaudah, Naya ke kamar dulu ya yah" pamitnya kemudian menuju kamarnya. *** "Minum nak" Andi menunjuk minuman yang bkan miliknya dengan tangan terbuka sebagai penawaran untuk Adam. "Iya pak" angguk Adam. "Jadi kamu ini dokter spesialis toh?" tanya Andi, berusaha mencairkan suasana hening diantara mereka. "Iya pak, tamat dua tahun lalu dan kerja di rumah sakit Jakarta" "Terus tujuan ke Bandung ngapain?" Andi kembali penasaran. Adam tersenyum kecil "Mau nemuin bapak dan Ibu" akunya terang-terangan. Andi kaget "Kok bapak sama ibu?" "Iya pak, saya mau izin deketin putri bapak" "Bukannya udah dekat toh, kan Ana sahabatnya Vio. Vio itu adik kamu kan?" "Iya pak, tapi maksud saya ke jenjang yang lebih serius pak. Saya ingin menjadikan Anaya istri saya pak" "Wah, kalau itu bapak ngga bisa mutusin. Lebih baik kamu tanya Ana langsung" "Iya pak. Tapi alangkah lebih baik kalau saya juga mendapatkan izin lebih dulu dari bapak dan ibu" "Kalau bapak dan ibu sih iya-iya aja. Tapi kami lebih mengutamakan keputusan Ana" "Iya pak, terimakasih. Saya akan tanya keputusan Naya nanti" angguk Adam yakin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD