8. Jawaban

2478 Words
Anaya Pov Aku berusaha menenangkan perasaan ku saat ini, rasanya begitu gugup berjalan berduaan dengan Adam di perkebunan teh yang ada di kampung kelahiranku ini. Aku sesekali menarik dedaunan untuk ku mainkan sebagai cara mengurangi kegelisahan. Sesekali mataku melirik kearah Adam yang entah sampai kapan diam. “Gimana pekerjaan kakak disana?” tanyaku lebih memilih mendahului pembicaraan. Adam menoleh hingga kami bertatapan untuk sejenak, kemudian ia memamerkan senyum manisnya kepadaku “Lancar, meski ada beberapa kendala kecil” “Disana ngga ada jaringan?” tanyaku ragu. Aku benar-benar tak bisa menghindari pertanyaan yang paling membuatku penasaran itu. Aku ingin tahu apakah selama ini Adam memang menghindariku atau memang karena keadaan. “Kenapa? Kangen ditelpon dan dichat?” jawabnya yang justru malah menggodakuku hingga mau tak mau wajahku jadi memerah karena malu, sebab apa yang duga bukanlah suatu kesalahan, hanya saja untuk mengakuinya, aku sangat malu. Aku menggelengkan kepala “Enggak, gausah geer” judesku. Adam tertawa geli mendengar balasanku lalu dengan gerakan tiba-tiba aku merasakan tangannya menjalar ke jemariku dan berakhir dengan menautkannya “Aku yang kangen sama kamu” ujarnya tenang. Aku tak berani menatap matanya saat ia melihatku, tak jua menjawab ucapannya karena memang aku tak tahu harus menanggapi seperti apa sekalipun hatiku seperti ingin meledak saat itu juga. “Oh ya, kakak kenapa kesini? Nggak kerja?" tanyaku lebih memilih mengalihkan topik pembicaraan dari pada berdiam dengan suasana canggung. "Kerjanya lusa, dapet libur tiga hari setelah dari pekerjaan sukarelawan. Saya disini mau ngasih jawaban atas pernyataan kamu tiga bulan lalu" seketika aku melepas tautan tangan kami. Aku takut Adam merasakan tanganku yang kian makin dingin. Jantungku seperti berhenti untuk sesaat. Aku meneguk ludah kasar mendengar ucapan gamblang Adam tentang percakapan kami tiga bulan lalu. "Eh, ngga usah di jawab kak, Naya udah tau kok jawabannya" ujarku menghindari jawaban yang akan ia sampaikan secara langsung. Aku takut kecewa. "Oh ya?" tanyanya tak percaya. "Iya, Naya tau diri kok kak. Naya ngga pantas dapat pria baik seperti kakak" Aku tersentak kaget saat tangan Adam menggenggam tanganku lagi dengan lembut, lalu ia tanpa menatapku berbicara "Lalu yang seperti apa yang layak untuk saya?" tanyanya padaku. Apakah aku harus menjawabnya. Jelas aku tidak tahu seperti apa wanita yang layak untuknya, hanya saja rasanya itu bukan aku. "Naya ngga tau kak, tapi yang pasti itu bukan Naya" "Saya maunya kamu Anaya" aku memundurkan tubuhku dengan lemah. Bahkan untuk menarik tangan yang digenggam oleh Adam saja rasanya aku tak mampu. Aku menatap Adam dengan tatapan tak percaya "Kak, percayalah kakak bisa dapat yang lebih dari Naya" aku berusaha meyakinkannya bahwa memilihku bukanlah pilihan terbaik. Dia bisa mnedapatkan wanita yang jauh lebih baik diluar sana. Ia menghentikan langkahnya dan menatapku lekat dengan dua tangannya yang memegang lenganku "Nay, saya sudah menyukai kamu lebih dari sepuluh tahun, tidak bisakah kamu menghargai itu dengan menerima kehadiran saya dalam hidup kamu?" Bukan seperti itu maksudku. Aku sama sekali tak pantas menolak pria sebaik Adam, tapi aku hanya ingin dia tahu bahwa masalah ini akan berdampak pada masa depan. Aku sudah kehilangan kehormatanku dan itu adalah sesuatu istimewa yang seharusnya diterima oleh suaminya. Adam tak bisa mengabaikan hal itu hanya karena ia sudah menyukaiku selama sepuluh tahun. Aku memejamkan mata erat untuk sejenak sebelum akhirnya menatap matanya "Kak, Naya hanya menyadarkan kakak supaya suatu hari nanti kakak ngga menyesal dengan keputusan kakak milih Anaya" "Anaya, saya percaya dengan pilihan saya. Dan itu tetap kamu" tegasnya membuatku benar-benar tak bisa lagi berkata-kata. "Kakak yakin?" aku kembali bertanya untuk meyakinkan. "Iya Anaya. Hati saya hanya ingin kamu" jawabnya memberi kepastian. "Kak, tapi Anaya---" "Saya mencintai kamu, saya menerima kamu dengan segala kelebihan maupun kekurangan kamu" ia lebih dulu memotong ucapanku sebelum aku menyelesaikannya. Aku dengan uraian air mata bahagia memeluk pria itu, pria yang tidak memandangku hina seperti yang dilakukan mantanku dulu, Gio. Padahal aku sempat berpikir bahwa setiap pria mungkin akan memberikan reaksi yang sama seperti yang Gio lakukan dulu kepadaku. Flashback On Hubungan ku dengan Gio sudah terjalin selama dua tahun. Sikapnya yang lembut, perhatian, pengertian dan dewasa membuatku semakin nyaman melalui hari-hari bersamanya. Dia selalu bisa membuatku tersenyum dalam keadaan sedih. Setiap kali ada masalah, ia dengan sukarela mendengar keluh kesahku dan menerima kekesalanku. Ia tak pernah sekalipun memperlakukanku dengan buruk, meskipun sesekali ia mencoba ingin mencium bibirku. Namun dengan lembut aku mengingatkannya "Aku ngga mau ya kamu cium aku sebelum kita nikah" Mendengar itu justru dengan semangat ia menjawab "Yaudah, kalau gitu kita nikah aja" Aku menoyor kepalanya dengan sadis "Kamu pikir nikah segampang itu?" "Aku tau ngga gampang yank, tapi kan kamu tau aku emang udah pengen nikahin kamu" "Ngga semudah itu Gi, aku juga pengen kerja" ujarku. Tentu saja aku ingin kerja, saat itu usiaku bahkan masih 23 tahun. Gio menghela nafas kasar "Kamu kenapa sih tiap aku ajak nikah pasti aja ada alasannya untuk menghindar" Aku pada akhirnya tak lagi menjawab karena apa yang dikatakan oleh Gio adalah benar. Aku selalu seberusaha mungkin menghindari ajakan Gio untuk menikah. Aku menatapnya dengan ragu untuk memberitahukan alasanku selalu menolak ajakan menikahnya, selain karena menurutku umurku juga masih tergolong muda untuk menikah, yaitu 23 tahun. Sedangkan dia, umurnya saat itu 25 tahun dan orang tuanya juga ingin ia menikah secepatnya. Itulah sebabnya ia sering sekali mengajakku memasuki dunia rumah tangga. "Kamu cinta sama aku?" Ia dengan wajah kesal menoyor kepalaku "Yaiyalah yank, masa itu masih dipertanyain sih" dengusnya. Terdengar jelas bahwa dari nada bicaranya, ia kesal mendengar dan menanggapi pertanyaanku. "Kalo seandainya aku udah ngga suci lagi, apa kamu masih tetep cinta sama aku?" tanyaku ragu dan dengan suara yang lebih pelan, tapi aku yakin kalau Gio masih bisa mendengarnya. "Apaan sih yank, ngga usah bercanda ah. Ngga lucu tau" "Aku serius Gi" aku berusaha meyakinkannya dengan tatapan bersungguh-sungguh. Saat itu dapat ku lihat dengan jelas perubahan raut wajahnya "Jadi maksud kamu aku nantinya menikah dengan bekas orang lain?" tanyanya tak percaya. Aku meneguk ludah takut dengan tatapan tajamnya, ia mencengkram pergelangan tanganku dengan kuat "Kamu udah ngga suci lagi tapi selama ini kamu selalu menghindari ciumanku" ujarnya dengan nada sinis "Dasar murahan, aku ngga tau kenapa aku sangat percaya dengan wajah polos kamu" Aku menahan laju air mata yang mendesak ingin keluar dari persembunyiannya saat Gio dengan kasar menjambak rambutku hingga kepalaku tengadah dan ia dengan gerakan cepat melumat kasar bibirku. Aku bahkan tak bisa melawan gerakannya yang kasar dan membuat tubuhku lemah seketika. "Gi..Yo..please.. Jangan" rintihku. Ia tertawa sinis sekaligus mengejek "Cewek bekas kayak kamu seharusnya ngga perlu jual mahal lagi. Kamu pikir aku cowok bodoh yang mau menerima bekas orang lain untuk kujadikan istri" ujarnya kasar sampai menghinaku. Ternyata semudah itu ia berubah setelah hubungan yang menurutku sudah cukup lama untuk bisa mempertimbangkan semuanya. Aku terisak perih saat tangannya dengan kurang ajar meremas dadaku "Siapa yang udah pernah melihat, menyentuh dan menikmati tubuh murahan ini?" tanyanya dengan nada mengejek. "Gio, stop..please" "Kenapa sialan? Selama ini ternyata aku hanya membuang waktu menjaga cewek murahan berwajah polos kayak kamu" bentaknya mendorong tubuhku kasar ke sofa. "Seharusnya tubuh ini dijual kepada pria-p****************g di club malam. Jangan menipu orang lain lagi dengan wajah polos ini" bentaknya sebelum akhirnya meninggalkanku di rumah tante ku yang kosong, sendirian tanpa peduli dengan isakanku. Flashback off Ya, sejak saat itu aku sulit sekali membangun kepercayaan diri untuk sekedar dekat dengan pria manapun termasuk rekan guru disekolah tempat ku mengajar. Aku pikir beberapa orang bisa menerima keadaanku seperti itu, tapi ternyata Gio langsung berubah begitu mendengar kenyataan seperti itu. Memang aku bodoh karena seharusnya dari awal aku sudah sadar diri untuk melihat siapa aku untuk disandingkan dengan pria lain, apalagi Gio bukan pria b******k yang mengambil keuntungan dari wanita. Tanpa sadar karena mengingat kejadian itu, air mataku sudah berhasil membasahi pipi. Rasa sesaknya kembali menguak kenyataan dimana Gio melecehkanku dengan kata-kata dan perlakuannya yang cukup kasar. Sampai saat ini, kejadian itu terekam jelas diingatanku hingga membuat ku selalu mengingatnya setiap kali ada pria yang berusaha mendekatkan dirinya denganku Aku menoleh terkejut saat tangan Adam membelai pipiku untuk menghapus buliran yang menetes disana. Ia lantas meraihku ke dalam pelukannya "Jangan diingat kalau sakit, mungkin waktu itu kamu terlalu cinta sama cowok itu sampai mau melakukannya" bisiknya mengira aku mengingat masa dimana kesucianku terenggut. Aku terisak pilu "Kakak boleh kok ninggalin Naya sekarang, sebelum terlambat" peringatku padanya. "Saya sudah sejauh ini dan kamu masih saja mau ngusir saya. Saya tidak akan berubah pikiran" kekeuhnya membuatku bingung bagaimana supaya pria ini sadar. "Naya bukan ngusir kak, Naya sekali lagi hanya mengingatkan kakak bahwa diluar sana masih banyak perempuan yang jauh lebih baik dari Naya" Ia mengecup keningku lama "Yang saya mau hanya yang sebaik dan seburuk kamu. Tidak yang lebih baik ataupun yang lebih buruk" tegasnya. Aku mengeratkan tanganku yang melingkari tubuhnya, menenggelamkan senyaman mungkin kepalaku dalam d**a bidangnya. "Makasih kak, kakak ngga mandang Naya hina" "Sstt, jangan bahas lagi ya" ujarnya. Aku mengangguk dengan senyum kecil setelah melepas pelukannya "Sebenarnya Naya sayang sama kakak" "Iya, saya tau. Kelihatan kok dari mata kamu" godanya membuatku memukul lengannya dengan lemah, lalu mengusap tetesan air mata yang masih membekas di pipiku. "Apaan sih" cibirku. "Yaudah, ayo jalan lagi. Saya pengen lebih lama menghirup udara segar disini" Dan sepanjang jalan yang kami telusuri, aku harus berusaha kuat mengontrol debaran jantungku yang memberontak karena tangan kami yang terus bertautan. Rasanya juga warna merah padam yang sudah beradaptasi dengan wajahku, betah menjejakkan diri disana. Tak ayal godaan-godaan syetan-eh maksudnya warga desa juga berhasil membuatku malu, sedangkan Adam hanya tersenyum kecil. "Dek Ana?" aku menoleh ke belakang ketika mendengar namaku diserukan seseorang dengan lantang. Adam pun melakukan hal yang sama. Rinto. Pria itu lah yang baru saja memanggil namaku. "Eh Mas Rinto, abis dari mana?" tanyaku. "Abis liat-liat kebun juga kayak kalian. Kan udah lama juga Mas ngga kesini" jawab pria itu dengan senyum khas yang selalu melekat di wajahnya. "Oh, sendiri Mas?" "Iya. Kamu sama siapa ini? Pacar kamu itu?" tanya Rinto setelah melihat tautan tangan kami. Aku berusaha melepasnya karena merasa tak enak dilihat oleh orang lain, namun Adam malah mempereratnya. Aku seketika bingung di beri pertanyaan seperti itu oleh Rinto, pasalnya tadi Adam tak sedikitpun mengajak ku berpacaran. Biar bagaimana pun aku tak mungkin mengklaimnya sesuka jidatku kan? Aku juga malu untuk mengatakan dirinya pacarku tapi nanti dia malah nggak ngakuin aku lagi. "Kenalin saya Adam Mas, calon suaminya Anaya" jawab Adam sambil mengulurkan tangannya di depan Rinto. Aku menatapnya terkejut. "Oh, saya Rinto Mas. Padahal kemarin Ana bilangnya pacar" Jurang mana? Jurang? Tenggelamkan hayati ya Tuhan. Adam terkekeh kecil menanggapi ucapan Rinto sambil melirikku dengan raut menggoda sebelum akhirnya kembali mengalihkan tatapan kearah Rinto "Rasanya udah terlalu tua untuk pacaran Mas, saya ingin langsung meresmikan Anaya" "Wah bagus dong Mas, saya doain semoga kalian langgeng" ujar Rinto. Ku lihat ia melirikku dengan tatapan yang sedikit lebih redup. "Amin" jawab Adam menyadarkanku. "Yaudah, kalo gitu saya pamit dulu ya Mas, Na. Ada urusan lain soalnya" pamitnya. "Oh iya Mas, hati-hati" jawabku karena Adam hanya memberikan senyuman. "Maksud Mas Rinto tadi apa tentang 'pacar kamu itu'?" tanyanya membuatku meneguk ludah kasar "Emh, itu..." "Kamu bilang sama dia kalau kamu udah punya pacar?" "I..iya. Soalnya kemarin dia ngelamar aku, terus nanya emangnya aku udah punya pacar, jadi aku jawab aja udah supaya Mas Rinto ngga ngerasa aku tolak tanpa alasan" jawabku seadanya. "Oh" Adam hanya mengangguk singkat "Besok saya pulang, kamu ngga mau ikut. Hitung-hitung irit ongkos" Aku mencubit lengan Adam "Ihh, emangnya aku sekere itu" "Enggak, bukan itu, saya hanya waspada calon istri saya kenapa-napa" "Issh, gausah perasaan deh. Kamu belum dapet restu dari orang tua aku" "Udah, tadi pagi saya ngomong empat mata sama pak Andi. Dia ngizinin saya untuk ambil tanggung jawabnya jaga kamu. Kamu tinggal nunggu lamaran resmi keluarga Glevino" "Kamu serius?" tanyaku tak percaya. Secepat itu? "Iya. Kapan saya bercanda coba?" jawabnya terdengar lebih seperti godaan. "Apa ngga terlalu cepat?" "Terlalu cepat apa lagi Anaya, umur saya udah mateng banget buat punya anak. Lagipula ini cara jaga-jaga paling ampuh supaya kamu ngga berubah pikiran" *** Aku meletakkan tiga gelas teh manis hangat di depan ayah, ibu dan Adam masing-masing. Kemudian ikut bergabung duduk dengan mereka yang sedari tadi sudah membicarakan sesuatu yang aku tak tahu. "Beneran Na, kamu nerima Adam untuk jadi suami kamu?" tanya ayah tiba-tiba membuatku merasa sidang dadakan yang lebih menegangkan dibandingkan sidang untuk meraih gelar sarjana ku. Ibu juga menatapku dengan penasaran. Aku harus menatap siapa? Adam. Aku melihat pria itu yang dibalasnya dengan senyum dan anggukan seolah meyakinkanku. "Engh, i..iya..yah, bu. Ana yakin sama kak Adam" jawabku pelan. "Bagus kalau akhirnya kamu menemukan yang pas. Ayah dan Ibu seneng dengernya" kata Ayah. "Jadi kapan rencana kalian menikah?" tanya ibu tiba-tiba. "Uhukk..uhukk" aku terbatuk beberapa kali karena kaget dengan pertanyaan ibu yang agaknya terlalu sembrono dan terburu-buru. Adam menepuk tengkukku pelan beberapa kali "Hati-hati dong Nay" sarannya. "Ibu nih, abisnya pertanyaannya santai banget. Kayak nanya udah makan apa belum" Rena tak terima dengan perkataan anaknya "Apaan, Ibu kan cuma mau mastiin kalo tujuan kalian jelas" "Udah sewajarnya Ibu nanya gitu Nay" ujar Adam membuatku mengangguk pasrah saja "Rencana saya Bu, setelah lamaran resmi dari keluarga saya, terhitung lima atau enam bulan untuk persiapan. Itupun nantinya kalau Bapak dan Ibu ngga keberatan” "Wah Bapak sama Ibu mah setuju aja. Semakin cepat kan semakin baik" angguk ibu dengan semangat. Setelah percakapan yang cukup lama itu, ayah dan ibu akhirnya memutuskan untuk tidur karena malam semakin larut dan udara semakin dingin hingga mengundang orang-orang untuk masuk ke dalam selimut dan menutup diri. Kalau bukan karena Adam yang sekarang ada disini, aku mungkin sudah memasuki kamar sejak selesai mandi sore tadi, lalu mengurung diri disana karena aku sangat suka dengan tempat tidur yang paling membuatku nyaman. Kini aku bersandar di sofa yang sama dengan Adam, belum bisa meninggalkan pria itu karena ia tiba-tiba meraih tanganku ke dalam genggamannya lalu meletakkan diatas pahanya. Aku menatapnya sejenak "Apa ngga kecepatan waktu lima bulan kak?" Adam menatapku "Enggak lah Nay. Itu juga rasanya udah lama banget, tapi karena aku tahu persiapannya ngga semudah itu, jadi lebih baik bikin lima bulan" "Kakak kan sibuk kerja" ujar Naya yang tahu jelas bagaimana Adam dengan waktu kerjanya yang sering jadi keluhan tersendiri untuk Tante Dina. "Ya, aku akan usahakan biar punya waktu, sayang. Selebihnya biar jadi tanggung jawab EO (event Organizer)" Aku mengangguk kikuk mendengar panggilan sayang dari Adam. Dengan melipat bibir ke dalam, aku menundukkan kepala karena tiba-tiba merasa pipiku menghangat. "Duduk deketan sini" ajak Adam supaya aku mendekatinya. Tidak ku sangka, setelah berada dekat disampingnya, ia justru menarik kepalaku untuk bersandar di dadanya. Rasanya deguban jantungku semakin waktu semakin tak normal saja. Apalagi pria yang membuat jantung ku deg-degan itu, sebelumnya tak pernah melakukan hal yang berlebihan. Ia mengusap-usap puncak kepalaku dengan lembut sambil membiarkan keheningan meraja di tengah kami. "Mulai sekarang kamu panggil kakak dengan sebutan Mas ya?" "Kenapa?" tanyaku. Selama ini juga panggilan kakak tak jadi masalah. "Biar terbiasa nantinya. Aku ngga mau dipanggil kakak, entar orang ngiranya kamu adik ku lagi" Aku terkekeh "Oke, Mas Adam" godaku singkat. Ia mengacak rambutku dengan gemas. "Yaudah gih kamu tidur" titah Adam. "Mas juga tidur, semoga besok ngga sakit badan karena tidurnya cuma pake tiker" "Iya, ngga apa apa. Good night sayang" ia mengecup dahiku sebentar namun efeknya lama. "Night too Mas" balasku sambil menutupi wajahku yang memerah karena malu. Sesampainya di kamar, aku tidak bisa menjabarkan bagaimana jantungku terus berdetak lebih cepat dengan seenaknya, senyumku yang tak kunjung memudar sekalipun aku sudah memaksakan diri. Aku tidak dapat mengendalikan diri dengan kebahagiaan ini. Rasanya jatuh cinta itu menggelikan, tapi aku sangat senang mengalaminya dengan Adam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD