Sore ini aku memutuskan untuk ikut dengan Adam pulang ke Jakarta, sehingga tadi pagi aku sudah sibuk menyusun pakaian untuk dibawa kembali melancong ke kota tempat ku bekerja itu. Setelah itu, kami berdua berpamitan kepada orangtua ku yang sudah mengizinkan ku pulang dua hari lebih cepat dari yang di rencanakan. Mereka memberi pesan untuk hati-hati, jangan singgah ke tempat-tempat aneh karena cuma berdua.
Mereka nggak tau aja kalau calon mantu mereka ini, anaknya sopan dan tau tata krama. Ngga mungkin banget kalau Adam mengajakku ke tempat aneh kan, ya walaupun tetep ada kemungkinan juga karena dia tetap seorang pria dewasa yang normal. Mendengar nasihat orangtua ku, Adam justru hanya terkekeh dan mengangguk sopan untuk menuruti ucapan ayah dan ibuku.
"Kamu mau makan ngga?" tanya Adam setelah kami menempuh lama perjalanan.
Aku menggeleng singkat "Emangnya Mas mau makan? Kalo laper, yaudah kita berhenti aja dulu"
"Iya" Adam kemudian menghentikan mobilnya di depan sebuah restoran yang ramai.
Setelah memesan dua lemon tea dengan beef steak, Adam mengecek ponselnya, sedangkan aku hanya melihat kegiatannya sambil sesekali melihat sekitar dimana orang-orang kebanyakan fokus pada ponselnya sekalipun sedang makan.
"Nanti kita ke kosan Mas dulu ya?" ujarnya setelah meletakkan ponselnya diatas meja.
"Kosan?" tanyaku bingung.
"Iya. Mas punya kosan, sebenarnya punya Mama sama Papa, tapi mereka ngasih usaha kos itu ke Mas. Jadi selama tujuh tahun ini, Mas yang mengelolanya"
"Nanti juga Axel mau buat laundry dekat kosan Mas" tambahnya. Kalau masalah Axel yang akan membuka usaha Laudry, aku juga tahu karena Vio sering bercerita kepadaku, tapi kalau tentang kosan Adam ataupun keluarga Glevino, aku sama sekali belum pernah mendengarnya.
"Bagus dong Mas" tanggapku.
"Iya" angguknya setuju.
"Permisi Mas, Mbak, ini pesanannya" seorang pramusaji meletakkan pesanan kami lantas pergi.
Adam segera menyantap steaknya "Kamu mau?" tawarnya kepadaku. Aku menggelengkan kepala, namun tangannya yang memegang garpu kini sudah berada di depan mulut ku.
"Engga usah Mas" tolakku. Dia yang lapar, kenapa aku ikutan makan?
"Ini makan, Mas ngga enak makan sendirian" tawar Adam tak menyerah.
"Naya ngga laper Mas, lagian Naya lagi diet" ujarku beralibi, meski memang iya, aku sedang menurunkan berat badan yang rasa-rasanya belakangan ini jadi lebih berat dari sebelumnya. Aku tidak berani timbang karena takut melihat angka yang akan ditunjukkan.
"Dietnya jangan ngga makan, ngga baik karena perut kosong total. Paling nggak makan sedikit"
"Iss, Mas ngga tau rasanya diet. Naya suka khilaf kalau ketemu makanan, nanti niat dietnya lenyap seketika" Ya, aku sering lalai dengan niat dietku jika sudah menemukan makanan.
Adam tak menyerah, ia tetap menyodorkan beef seteak itu kepadaku hingga mau tak mau aku membuka mulut untuk menyantapnya.
"Oh ya, nanti kamu nginap di rumah mama aja ya" ujarnya memberi pernyataan bukan pertanyaan atau pilihan.
"Tapi Mas.." aku menggelengkan kepada dengan ragu.
"Ngga apa-apa, Mama pasti seneng. Kamu tau kan kalau mama suka banget sama kamu"
"Iya Mas, tapi ini beda dari biasanya..."
Entah kenapa, aku agak takut untuk datang ke rumah Glevino kali ini. Rasanya jauh berbeda ketika aku datang hanya sebagai sahabat Vio dan sekarang menjadi calon istri Adam. Ehh, maaf kepedean. Tapi tadi Adam sendiri kan yang bilang gitu. Belum lagi, keluarga itu sangat sering menggodaku hingga aku kehabisan kata dan bingung untuk menanggapinya.
"Terus kapan lagi? Akhir pekan ini rencananya aku mau ngajak Mama sama Papa nemuin orang tua kamu"
"Secepet itu?" aku agak kaget.
Tampak ia hanya tenang sambil menatapku "Iyalah, biar makin cepet resminya" godanya membuat pipiku bersemu memerah bak tomat kematengan.
"Udah jangan blushing gitu"
Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku mendengar ucapan Adam yang menyaksikan betapa merahnya pipiku saat ini. Kenapa juga ia harus menggoda ku seperti itu? Tapi pria itu dengan santainya tetap menyantap steaknya tanpa merasa bersalah telah membuat anak perempuan orang gugup dan malu setengah mati.
"Ayo, Mas udah siap"
"Engh, iya" aku lantas berjalan kearah mobilnya terparkir sementara pria itu membayar makanannya.
Niat mendekati mobil Adam seketika aku kubur untuk sementara melihat sosok pria yang pernah menjadi pengisi hatiku dua tahun lalu sedang bersama wanita lain yang tampak ia manjakan. Ada gelenyar aneh melihat pria itu karena sejak putus aku berusaha lenyap dari pandangannya, namun kali ini justru melihatnya tanpa sengaja. Aku menyandarkan kepalaku di salah satu mobil yang tak jauh dari mobil Adam terparkir.
Berat rasanya saat tiba-tiba masa dimana Gio memutuskan ku kembali teringat dalam otakku. Tubuhku sangat lemas bahkan untuk menopang diri sampai sebuah tangan menahan pinggangku. Aku menoleh dan mendapati wajah Adam yang terlihat sangat khawatir.
"Kamu kenapa Nay? Ada yang sakit?" tanyanya berusaha menatap wajahku saat aku menundukkan pandangan. Aku menggeleng kecil, namun sepertinya itu tak berhasil membuat gelisahnya menghilang.
"Bisa jalan?" tanyanya. Ku rasa ia dapat merasakan bahwa aku sangat lemah.
Aku menggeleng. Jujur, kaki ku seperti sulit untuk berjalan bahkan walau hanya satu langkah saja. Seperti ada yang menahan kaki itu untuk terus berada di sana menyaksikan adegan romantis mantanku dengan kekasihnya. Bukan karena aku cemburu melihat perlakuannya dengan wanita lain, aku hanya takut jika ia bertemu denganku dan malah membuat masalah baru karena mulutnya yang tak terkontrol.
"Maaf"
Seketika aku merasakan tubuhku melayang karena digendong oleh Adam. Pria itu dengan cepat membawaku ke dalam mobil dan mendudukan ku dengan lembut. Pria itu mengusap lenganku sebentar sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil untuk mengemudikan kendaraan roda empat ini.
Dan selama perjalanan, aku hanya diam saat Adam berusaha bertanya apa yang ku rasakan, apakah ada yang sakit, atau kita perlu ke dokter. Tubuhku memang bersama Adam tapi entah kemana perginya jiwaku setelah melihat wajah mantan b******k itu. Sesak sekali di dalam dadaku mengingat kata-kata yang pernah di lontarkannya saat kami putus.
***
Aku menatap sekitar ketika mobil yang Adam kemudikan berhenti di depan sebuah gerbang besar yang kemudian di bukakan oleh seorang satpam sehingga kami dapat masuk ke pelataran bangunan megah itu. Masih dengan tatapan bingung, aku mengitari sekitarku dengan mata yang tertarik pada setiap sudut bangunan itu.
"Kita dimana?" tanyaku
"Di kosan aku" jawabnya singkat sambil melepas sabuk pengamannya kemudian menghadap ke arahku.
"Kamu tadi kenapa? Aku khawatir" kini ia menatapku dengan penasaran.
Aku memejamkan mata erat erat "Ta..ta.di..aku lihat Gio" ujarku.
"Oh, mantan kamu itu?" tanyanya.
"I..i.ya" jawabku kembali dengan nada suara yang bergetar. Rasanya sakit sekali mengingat semua perkataannya saat itu.
"Udah, jangan sedih ya. Lupain semua tentang mantan-mantan kamu"
Aku hanya mengangguk dan tersenyum paksa untuk membuat perasaan Adam lebih baik. Ia jelas tak tau bagaimana kenangan buruk ku itu.
"Kita masuk ya" ajaknya kemudian turun dan membukakan pintu mobil untukku.
Dua satpam menyapa Adam dengan hormat dan memberikan senyum hormat juga padaku. Adam mengaitkan tangannya padaku sampai kami menaiki lift hingga lantai empat.
Ini beneran kosan?
Kami berhenti di depan sebuah ruangan yang lumayan besar, jauh lebih besar di bandingkan beberapa ruangan yang telah kami lewati. Adam membukanya dengan sebuah keycard.
“Ini kosan atau apartemen sih?” tanyaku tanpa bisa menyembunyikan rasa penasaran ini lebih lama. Bagaimana mungkin ini disebut dengan kosan tapi lebih mirip dengan apartemen walaupun tidak semegah apartemen biasanya. Bukannya menjawab pertanyaanku, Adam malah menatapku sejenak lalu terkekeh. Apa pertanyaanku barusan salah? Atau lucu kah?
"Ini ruangan kamu?" tanyaku lagi.
"Iya. Duduk sini" aku duduk di sampingnya yang langsung memegang komputer yang sepertinya terhubung dengan cctv.
"Ini beneran kosan? Kok besar banget, pake lift segala lagi"
Adam tertawa "Wajar kalo kamu heran, aku aja dulu heran. Dulu tuh kakek pengen jadi pengusaha sukses, dia mau coba bangun perusahaan disini, tapi entah darimana idenya, tiba-tiba kakek berubah pikiran dan lebih milih buat tanah ini di jadikan bangunan kosan elit katanya"
"Woah, ini mah bener-bener elit. Ada cctv segala lagi"
"Iya, usaha ini dari Kakek, diturunin ke Papa terus ke aku. Sebenarnya ini kayak asrama sejak aku pegang, aku buat seketat mungkin peraturannya. Dulu Papa sebenarnya takut kalau ngga ada lagi yang mau kos disini kalau aku buat peraturannya sangat ketat, tapi aku justru ngga nyangka sekarang kosnya justru makin rame"
"CCTV-nya cuma ada di setiap sudut lorong aja. Itu mengawasi siapa yang masuk ke kamar. Misalkan nya kamar cewek, ngga boleh ada cowok yang masuk dan begitu sebaliknya. Selebihnya kalo di kamar, ngga ada. Kecuali ruangan aku, itu juga cuma ruang kerjanya. Sebenernya disini ada tangga, cuma ngga terlalu sering di gunain, tau sendiri sekarang zamannya udah berubah, manusia udah males berusaha"
"Oh, iya sih. Keren deh kos nya"
"Iya, nanti kamu yang jadi ibu kos-nya" godanya membuatku menggigit bibir bawah ku malu.
Dia menyentuh bibirku lembut "Jangan di gigit" ujarnya.
Aku meneguk ludah kasar saat perlahan Adam mendekatkan kepalanya kepadaku. Jantungku sudah marathon dunia karena tangannya tak juga berpindah dari bibirku. Sungguh, aku bimbang antara ingin menerima atau menolak. Tapi rasanya sungguh memalukan jika aku sampai menolak Adam.
Tepat saat bibir itu hampir menempel dengan bibirku, dengan hembusan nafas yang terasa begitu jelas, seseorang mengetuk pintu dari luar membuat jantungku agak reda sedikit. Aku terkekeh kecil melihat Adam yang agaknya kesal pada si pengetuk pintu melihat dari bibirnya yang menggeram. Ia membuka pintu.
Aku melihat seorang wanita yang agaknya seumuran denganku sedang menunjukkan deretan giginya di depan Adam "Maaf ganggu" ujarnya saat menyadari kehadiranku, ia tersenyum sambil menganggukan kepala.
"Iya, ganggu. Sana pergi." usir Adam kesal membuat wanita tersebut lari meninggalkan kami.
Adam mendekati ku setelah menutup rapat pintu yang terkunci otomatis "Sampe mana tadi?" tanyanya membuatku mengedipkan mata beberapa kali.
Pertanyaan macam apa itu coba?
"Nay, may I kiss you?"
Terus aja Dam, buat hatiku cenat-cenut. Langsung cium aja kek, pake nanya segala.
Oh maaf..aku tidak tahu harus bagaimana saat ini. Aku hanya memejamkan mata dengan tangan saling meremas diatas pahaku, ada rasa gugup yang membuat jantungku menjadi-jadi.
Ia tanpa aba-aba kembali mendekati wajahku hingga akhirnya bibir kami bertemu dan saling menyapa dengan malu-malu. Tangan Adam menahan tengkukku agar tidak melepas pagutan kami. Aku tidak bisa menjabarkan bagaimana rasa ciuman itu begitu membuat perutku tergelitik dengan spontan membuat aku menggerakkan tanganku ke tengkuknya dan melingkari leher itu seperti mempedalam kedekatan kami. Tak lama dari itu, ciuman ini berubah menjadi panas dan menuntut. Tangan Adam masuk ke dalam bajuku bagian belakang dan membelai punggungku.
"Ad..am" desisku terbata-bata.
Dia membulatkan mata dan langsung mengeluarkan tangannya dari balik bajuku "Astaga Tuhan, maafkan aku Naya. Aku bener-bener hilang kontrol" ujarnya dengan panic.
Aku meneguk ludah susah payah dengan jantung yang berdebar kian cepat. Adam menggenggam tanganku "Maaf, aku ngga bermaksud melecehkan kamu" katanya.
Aku hanya mengangguk singkat. Lagipula tidak ada yang perlu dipermasalahkan dari itu. Aku sudah cukup dewasa untuk memahami bagaimana kebanyakan orang memanfaatkan status pacaran untuk hal seperti itu.
Lagi juga ngga apaapa Mas, adek rela.
Oh ayolah, itu suara setan dalam hatiku karena jiwa liarnya merasa terbangunkan.
***
"Siapa sih tengah malam bertamu?"
Aku terkekeh mendengar gerutuan Viona yang agak keras, langkahnya juga terdengar di hentak-hentak menuju pintu membuktikan gadis itu sedang kesal karena aktivitasnya terganggu. Ya, setelah tadi mengecek kosan dengan Adam, kami berakhir dengan menuju rumah orang tua Adam.
"Sia--- eh- Naya, kak adam" Vio menatap kami dengan wajah terkejut yang tak dapat ia sembunyikan.
"Iya, marah-marah aja terus sama kakaknya" desis Adam pada Vio dibalas kekehan dari adiknya itu.
"Yaelah, mana Vio tau kalo kakak yang datang"
"Yaudah, ayo masuk." ajak Adam melangkah masuk.
"Lo ngga jadi pulang hari kamis?" tanya Vio padaku.
"Ngga jadi, mendingan sekarang kan ada tumpangan" jawabku dengan kekehan kecil.
Dia menoyor kepalaku "Lo udah kerja tapi masih pengen iritan aja" cibirnya "Atau sebenarnya ada niat terselubung ya buat deketin kak Adam" curiganya sambil menatapku dengan mata menyipit.
"Ihh, apaan sih" sanggahku. Orang kakaknya sendiri yg deketin aku.
Saat di ruang keluarga, aku lihat Om Sandi, Tante Dina dan Axel tampak berbincang. Aku menghampiri mereka dan mencium punggung tangan mertua-upss maksudnya Tante Dina dan Om Sandi. Dan menyapa Axel.
"Eh, Naya. Kenapa malam banget datangnya?" Om Sandi bertanya.
"Tadi ke kos Adam dulu Pa" Adam menjelaskan.
"Ngapain kak?" tanya tante Dina.
"Paling cari kesempatan buat berduaan sama Naya Pa, Ma" ujar Vio.
"Bukan. Kamu tuh yang selalu cari kesempatan sama si kucrut itu" balas Adam pada Vio dengan menunjuk Axel saat mengatakan kucrut. "Tadi Adam cek kosan, kan udah tiga bulan ngga di cek Pa, Ma"
"Bohong" tukas Vio sinis pada kakaknya. Aku hanya menggelengkan kepala, heran melihat kakak-beradik itu.
"Iya Tante, Om, tadi kak Adam cek kosan mangkanya kita agak lama" ujarku menengahi.
"Tuh ma, dengarkan calon mantu ngomong apa?" kata Adam. Aku menunduk malu.
"Elehhh, gayamu kak, Naya aja ngga mau sama kamu" cibir tante Dina pada putranya itu.
"Udah mau ma, hari sabtu kita ke Bandung ya buat lamar Naya ke orangtuanya"
"Iss, jangan kepedean deh kak" dengus Vio
"Bener Nay, kamu udah mau sama Adam?" tanya Om Sandi to the point.
"Em...i.iya om" jawabku ragu.
"Yaudah, sabtu kita ke Bandung" ujar Om Sandi tegas.
Tante Dina menatapku tak percaya "Beneran Nay, kamu mau sama anak tante?" tanyanya memastikan.
Aku menjawab sekali lagi, kali ini tanpa ragu "Iya Tante"
"Astaga, akhirnya entar lagi mama ngga punya anak perjaka" ujarnya membuat yang lain terbahak-bahak. Aku hanya tersenyum kecil mengingat hal itu.
Adam bukanlah pria liar, dia pasti masih menjaga dirinya hanya untuk orang yang dicintainya. Dan kesalahannya adalah ia mencintai wanita yang sudah terjamah pria lain. Menyadari keterdiamanku, Adam mengusap punggung tanganku dengan tatapan menenangkan.