10. Dicium depan calon mertua

2679 Words
"Kak Adam udah tau?" Pertanyaan pertama yang Viona lontarkan setelah kami memasuki kamarnya. Sejak aku mengatakan bahwa aku sudah menerima Adam, aku melihat jelas mata Vio sudah memberi isyarat padaku untuk menjelaskan padanya. Aku yakin bibir anak itu pasti gatal sekali ingin bertanya bagaimana kronologinya sampai aku tiba-tiba menerima Adam setelah sekian lama membendung hati dengan tembok tinggi. Aku menghela nafas dan menaiki ranjang disusul dengan gerakan Vio yang juga menaiki ranjang. Bedanya, aku ingin tidur, sementara Vio sibuk menerorku dengan kekepoannya untuk segera mendapat jawaban. "Nay, jawab dong..jangan buat gue kepo" paksanya. "Ck" aku menggelengkan kepala dengan decakan menatap gadis itu "Iya, kak Adam tau" ujarku. "Semuanya?" tanyanya lebih penasaran lagi. "Enggak" aku menggelengkan kepala dengan cukup lemah. "Terus lo bilang apa sama kak Adam?" Vio menarik bantal keatas pahanya sambil mengarahkan diri menghadapku, terlihat jelas bahwa dia sangat tertarik dengan ceritaku. "Gue cuma bilang kalau gue udah ngga perawan lagi" Vio menoyor kepalaku kuat, tidak peduli aku marah, kesal bahkan sampai mengumpat kata sial padanya "Kenapa lo ngga ceritain kronologisnya?" nada suaranya menyiratkan bahwa ia tak terima karena aku hanya mengatakan inti dari segala inti. "Udahlah Vi, intinya sama aja. Gue udah pernah terjamah tangan pria lain" Ku lihat Viona menghela nafas sambil menganggukan kepala "Yaudah, terserah lo" pasrahnya. Ia pasti mengerti bagaimana aku sangat tak ingin membahas masa lalu buruk itu. Ia tahu betapa naasnya kejadian itu sampai menimpaku dan membuat aku tak bisa menjalin hubungan dengan pria lain meski sempat memberinikan diri saat bersama Gio dulu. "Oh ya, ngomong-ngomong tadi lo ngapain aja sama kak Adam di kosan?" Aku meneguk ludah mendengar pertanyaan menyelidik yang di lontarkan Vio. Aku pikir kekepoannya sudah berhenti begitu tadi dia meletakkan bantalnya kembali keatas tempat tidur, ternyata ia masih niat mengintrogasiku. "Ya kak Adam ngecek laporan dari tiga bulan lalu" jawabku berusaha tidak gugup. "Boong banget, pasti kalian m***m kan?" ia mengarahkan telunjuknya kepadaku dengan mata menyipit, berusaha membuatku merasa terintimidasi dan mengalah. "Astaga Vio, pikiran lo tuh ya" aku menoyor kepalanya "Lo tuh yang taunya m***m aja sama Axel" omelku. "Iiihh, apaan, gue sama Axel paling parah ya ciuman. Itu juga masih ciuman level cinta, belum ciuman level nafsu" protesnya membela diri. Jangan salahkan aku dan Vio yang puber bersama hingga tentang apapun kami selalu terbuka satu sama lain. Tidak ada satu hal pun yang kami tutupi, sekalipun hal paling sensitif dan pribadi. Vio tau apapun tentangku dan begitu juga sebaliknya, kecuali mungkin hubungan sensitifnya dengan Axel. "Ciuman itu udah terkait ke nafsu tau" protes ku. Ya kali ada ciuman level cinta dan ciuman level nafsu. Intinya ciuman sebelum nikah itu dosa yang dikarenakan nafsu. Kalau ciuman setelah menikah, baru deh namanya ciuman cinta. "Gue juga gini karena lo sama kak Adam yang ngga nikah-nikah" sindirnya. "Vio, gue baru juga buka hati buat kak Adam" ujarku memelas. "Iya-iya, buruan dah nikah. Biar gantian, gue juga pengen cepet resmi sama Axel biar ngapain-ngapian jatuhnya ngga dosa" "Lo kata nikah segampang itu. Kak Adam juga menentukan lima bulan dari waktu lamaran" "Ciee yang mau kawin" godanya, mau tak mau aku tersenyum lalu melotot setelah mengoreksi kalimatnya. "Apaan sih Vi, mau nikah bukan kawin" "Gue ngga nyangka, lo akhirnya mau juga sama kakak gue" "Gue lebih ngga nyangka karena kakak lo yg mau sama gue" balasku lebih realistis, walau bagaimanapun Adam lebih memiliki banyak kelebihan dibandingkan aku. Semua orang juga akan mengira bahwa akulah yang beruntung jika nantinya menikah dengan Adam. "Iya dah, apa kata yang lagi jatuh cinta aja" ujarnya sambil  menyelimuti tubuhnya yang sudah berbaring nyaman. Aku hampir saja menutup mata jika ponselku tidak bergetar, membuat senyumku terbit melihat sebuah chat dari Adam. Adam : kamu udah tidur? Naya : belum, tapi udah mau tidur. Adam : aku ngga bisa tidur Naya : kenapa? Adam : maunya deket kamu terus Aku tersenyum malu membaca chatnya. Dia selalu saja membuatku tak bisa berkutik. Aku bahkan tak pernah tahu kalau jatuh cinta semenggelikan ini, tapi aku justru menyukainya. Naya : udahlah Mas, jangan gombal malam-malam Adam : ngga gombal sayang, ini serius. Mas juga pengen banget kamu tidur dalam pelukan Mas. Naya : iih Mas, resmiin dulu kali Adam : iya, maunya juga cepet-cepet sayang. Sabar ya. Naya : Naya sabar kok Mas, kamu kali yang ngga sabar. Aku terkekeh geli tanpa suara sambil berusaha menaikkan selimut agar Vio tak memergokiku yang masih bangun dan terkekeh seperti orang gila. Adam : tau aja kamu. Yaudah gih, kamu tidur. Good nigth baby. Naya : night too, Mas. Aku tersenyum sambil memeluk hp-ku, membayangkan bahwa itu adalah Adam. Aku tak baru tahu bahwa jatuh cinta memang segila ini, tapi rasanya ini lebih menggelikan dari remaja baru puber. Aku bahkan baru merasakan bahwa Adam adalah pria yang manis, bukan menggelikan atau mengganggu seperti yang dulu kurasakan. Ah, seperti malam ini aku akan tidur dengan nyenyak dengan harapan Adam mengisi mimpiku. *** "Tante ngga nyangka, akhirnya kamu bakal jadi menantu Tante" Aku tersenyum malu mendengar godaan tante Dina yang sedang menyicip kuah sayur. Aku harus mensyukuri bahwa aku memiliki calon mertua sepertinya, selalu terbuka dan tak terlalu ikut campur dalam usaha Adam. "Pastikan nanti kamu cepet isi ya, biar rumah Tante rame sama cucu" "Issh, Tante apaan sih. Naya kan belum nikah sama Mas Adam" proteseku. Kenapa juga tante Dina harus membahas mengenai cucu saat ini, padahal kami juga belum menikah. "Loh, manggilnya udah Mas aja ternyata" goda tante Dina lagi membuat pipiku merah bak tomat kemasakan. "Mas Adam yang minta, Tan" jelasku. "Iya ngga apa-apa. Tante ngerti kok sama yang lagi kasmaran" Aku bahkan baru tahu kalau tante Dina sejahil ini, padahal sebelum aku menerima Adam, tante Dina terkesan tak terlalu ingin memojokkanku, tapi kini malah berubah menjadi satu spesies dengan Vio. "Pagi Ma, Nay" Aku dan tante Dina sama-sama menoleh sejenak ketika Adam menyapa kami sambil berjalan mengambil gelas. Ia kemudian menuangkan air putih ke dalam gelasnya dan meneguknya hingga tandas. "Pagi Dam" "Pagi Mas" Jawab kami bersamaan, setelah itu kembali fokus pada kegiatan masing-masing. Adam mendekati tante Dina kemudian mencium pipi wanita paruh baya itu. "Ihh, jangan manja gini depan Naya. Ngga malu apa" protest ante Dina sambil melihatku. "Kan udah tiga bulan Adam ngga jumpa Mama, kangen tau" ujar pria itu membuatku segan berada disini. Adam menarik tanganku saat aku ingin pergi dari Dapur. Aku mengerjapkan mata beberapa kali setelah pria itu mendaratkan kecupan di pipiku. Aku membeku dengan ludah yang susah payah melewati tenggorokan, mengerjapkan mata beberapa kali lalu menunduk dengan wajah merona yang berusaha ku sembunyikan karena tante Dina melihat hal itu. "Adam, nggak sopan kamu ya, main cium anak orang sembarangan" protes tante Dina sambil memukul Adam. Adam hanya terkekeh "Kan ngga adil Ma, kalau cuma Mama yang aku cium" alibinya sambil mengedipkan sebelah mata padaku. Aku membulatkan mata melihat sikap genit Adam yang seperti itu. "Alasan aja kamu. Bilang aja kamu sengaja cium Mama biar bisa nyium Naya juga" "Hahaha...Mama tau aja" disaat aku menggelengkan kepala melihat sikapnya, ia justru tertawa. "Jangan macem-macemin Naya sebelum nikah. Mama ngga suka" tante Dina memelototi Adam dengan wajah yang menunjukkan ketegasan dalam kata-katanya. "Iya Mamaku yang cantik" "Yaudah gih, mandi, siap-siap ke rumah sakit" "Yes Mam" jawabnya sambil hormat kepada tante Dina. "Aku siap-siap dulu ya sayang" pamitnya padaku dengan kedipan mata dan senyuman menggoda. Tante Dina menggelengkan kepala kemudian menatapku "Jangan mau di goda Adam. Sekalipun nanti udah menjelang hari pernikahan, jangan biarin dia macem-macem sama kamu. Tunggu sah baru kasih lampu hijau" "Iya Tante" "Jangan percaya sama janji laki-laki, omongannya doang yang gede, buktinya nol. Pokoknya sebelum sah jadi suami istri, jangan mau lah digrepe-grepe. Kalau enaknya mah cuma bentar, bekasnya di perempuan" "Iya Tante" aku mengangguk. Ini sama seperti Ibu kalau memberikan pesan kepadaku saat diperantauan seperti ini. "Meskipun Adam itu anak Tante, tapi dia itu laki-laki. Yang namanya nafsu, pikiran kotor ngga jauh dari kepala laki-laki, makanya Tante ingetin perempuan yang harus jaga diri” Aku tersenyum kecil mendengar petuah tante Dina. Dia sama sekali tidak mencoba memberitahu ku kebaikan putranya, justru memberi banyak petuah untuk bekal menjaga diri dari putranya. "Yaudah yuk, kedepan, sayurnya juga udah masak. Takutnya nanti kamu bosan lagi denger ceramah Tante" "Enggak kok Tante, Naya justru seneng denger nasihat Tante" *** Selepas sarapan tadi, aku minta ditemani oleh Vio untuk belanja beberapa baju baru dan kebutuhan lainnya seperti make up, peralatan mandi dan bahan pokok di kontrakan yang sudah habis atau mulai menipis. Vio juga ingin membeli beberapa kebutuhan Axel yang sengaja pria itu minta pada Vio untuk di belikan. "Lo mau tau ngga beberapa hal pribadi tentang kak Adam?" tanya Vio membuatku mengernyit bingung. "Hal pribadi?" "Iya. Pokoknya hal yang belum lo tau lah" ia memasang tampang menggoda seolah akan menyampaikan rahasia besar Adam. "Apa?" tanyaku penasaran. "Dia pernah ngajak Axel nonton bokep" bisiknya. Aku meneguk ludah kasar "Seriusan?" tanyaku tak percaya. "Iya. Lo tau ngga kenapa dia manggil Axel kucrut?" "Enggak" aku menggelengkan kepala, cukup penasaran bahwa Adam memanggil Axel kucrut karena alasan tertentu. "Karena Axel nyeritain hal itu ke gue tanpa sepengetahuan kak Adam. Terus gue ngeledekin kak Adam, sampai akhirnya tiap ketemu Axel, kak Adam pasti kesel dan manggil dia kucrut" tawanya meledak tanpa pandang tempat. Aku hanya terkekeh geli mendengarnya. Apa benar Adam seperti itu? pikirku. Aku menutup mulut, menyembunyikan tawa geli membayangkan jika memang cerita Vio ini adalah kenyataan. "Ada-ada aja sih kalian" "Iya. Terus nih ya, kak Adam tuh kalau tidur ngga pake baju sama celana" ujarnya menambahi dengan suara yang semakin kecil dan bibir yang semakin dekat ke telingaku. "Jadi pake apa?" tanyaku cukup terkejut. "Pake daleman doang..hahaha" lagi-lagi tawa Vio meledak sambil tangannya memukulku sebagai pelampiasan atas rasa bahagianya membongkar aib kakak sendiri. "Kok lo tau?" tanyaku terkejut. Ngga mungkin kan Adam sama Vio seterbuka itu sebagai saudara? Vio menghentikan tawanya sejenak lalu menatapku sambil menggaruk kepalanya "Kak Dimas sama kak Ardit yang bilang gitu, mereka kan satu kamar sama kak Adam waktu koas" “Siapa mereka?” “Temen deket kak Adam” jawabnya santai lalu melanjutkan langkah kaki menuju salah satu toko make up “Mereka bilang itu biasa kok bagi laki-laki, mungkin Axel juga gitu. Nanti kalau udah nikah, buktiin aja” ujarnya. Aku meneguk ludah lagi. Vio mengusap lenganku dengan lirikan nakal "Gue rasa nanti setelah kalian menikah, kebiasaan kak Adam bakal berubah. Dia ngga akan suka tidur cuma pake daleman lagi" katanya membuatku menghela nafas lega. Hanya sejenak sebelum akhirnya Vio kembali berkata "Dia pasti lebih suka tidur tanpa pakaian sama lo" Aku membulatkan mata dan mencubit lengan gadis itu tanpa ampun. Vio masih memegang perutnya sambil sesekali tangannya naik mengusap air mata yang menggantung disudut matanya karena begitu terbahak. *** Hari ini aku sudah kembali masuk untuk mengajar, rasanya badanku sudah terlalu nyaman dengan libur hingga malas sekali untuk bekerja. Tapi ya mau gimana lagi, mau ngga mau tetep harus masuk. Mengajar anak-anak beranjak dewasa benar-benar menguras emosional. Tingkah mereka yang nakal terkadang sulit di toleransi, meskipun beberapa hal lainnya juga mampu membuatku tertawa saat mengajar. Seperti saat ini, karena memasuki ajaran baru, jadi beberapa siswa tidak masuk dalam kelas karena menjadi bagian untuk mengospek adik kelas. Alasan seperti ini membuat kelas cukup riuh dan tak bersemangat untuk menerima pelajaran. "Josua mana?" tanyaku menyebutkan nama ketua kelas. "Ngospek hati anak baru bu" jawab Obet membuatku menggelengkan kepala. "Bu, kita jangan belajar dulu ya" pinta Rico dengan mengangkat tangannya. Aku mengernyit "Kenapa?" yang lain ikut memandangnya. "Kita ngga mau pinter sendirian bu. Nunggu anak yang lain masuk ya bu" Seketika mereka riuh mendukung kemauan Rico dengan mengatakan "Iya ya bu, jangan belajar dulu" "Kan masih hari pertama bu" "Biar otak fresh bentar bu" "Nanti ibu capek" Dan dengan helaan nafas pasrah, aku mengangguki keinginan mereka. Bagi anak SMA yang baru memasuki semester baru, jelas ini menjadi kesempatan untuk bermalas-malasan. Aku juga memaklumi hal itu karena aku pernah muda "Asal jangan keluar-keluar kelas" ujarku memperingati. "Iya bu" jawab semuanya serentak. Saat pelajaran saja, mereka tak pernah menjawabku sekompak ini. Dasar. Saat aku hanya memainkan ponsel untuk meredam kebosanan, tiba-tiba suara dehaman dari siswa secara bergantian mengusik telingaku. Aku menatap mereka bingung. "Ehem" "Ekhem" "Ekhem" "Bu, ada yang nyariin tuh" ujar seseorang yang tidak sempat aku perhatikan karena aku buru-buru menoleh kearah pintu masuk. Aku melihat ke pintu, dimana pak Rian-guru bahasa inggris-sedang berdiri di depan pintu. Aku segera menghampirinya membuat beberapa dehaman kembali terdengar. Saat aku menolehkan kepala kearah kelas dengan pelototan taja, seketika suasana senyap, membuatku akhirnya dapat menatap pak Rian untuk menanyakan maksudnya menghampiri kelas. "Ada apa ya pak?" "Oh, itu Bu, kita ada rapat guru sebentar" ujarnya sambil menjunjuk ruang guru dimana beberapa guru juga memasuki ruangan itu. "Oh, iya pak. Nanti saya datang" "Yasudah, saya permisi dulu ya bu" pamitnya. "Iya pak" *** "Mas Adam" pekik ku kaget melihat keberadaan Adam di depan kontrakan. Ia menunjukkan deretan giginya "Kangen" katanya membuatku mengernyit bingung. "Kamu ngga kerja?" "Udah pulang" jawabnya singkat, namun terdengar sangat bahagia. Hal itu jelas tampak dari suara dan wajahnya yang berseri-seri. Aku makin bingung, ya kali dokter pulangnya lebih cepet dari guru. "Kok cepet banget?" tanyaku sambil membuka kunci pintu kontrakan. Adam ikut masuk ke dalam dan membiarkan pintu terbuka hingga memberikan penerangan ke dalam rumah "Iya, nanti malam ada resepsi pernikahan anak direktur rumah sakit. Terus dokter-dokter muda spesialis diundang" “Cuma dokter muda doang?” “Enggak, tapi yang tua-tua ngasih selamatannya siang aja” guyonnya. Aku hanya memutar bola mata dengan malas sembari menggelengkan kepala. "Mas udah makan siang?" tanyaku. "Belum, masakin ya" pintanya dengan mengedip-ngedipkan mata padaku. "Lagi males Mas, tadi Naya udah masak kok" "Masak apa?" "Telur sambel doang" jawabku malu. Hidup sendiri di kontrakan membuatku tak terlalu rajin untuk memasak, hanya seadanya saja, yang penting sehat. "Yaudah, aku ke dapur ya" pamitnya nyelonong ke dapur tanpa persetujuanku. Aku segera ke kamar untuk mengganti pakaian ku. Saat keluar dari kamar dengan kaos putih berpadu hotpants longgar, aku melihat Adam sudah makan sambil menonton tv. Ia mengerjapkan mata beberapa kali ketika menatapku, mulutnya bahkan berhenti mengunyah dan gerakan tangan yang akan menyuapkan nasi ke mulutnya juga terhenti begitu saja, sampai aku bingung dan menatap diri sendiri. "Kamu mau godain Mas ya?" "Kok Mas mikir gitu?" tanyaku. "Tuh, celanamu" tunjuknya "Naya yakin kok Mas ngga akan macem-macem" jawabku seadanya. Jujur saja, rasanya kebiasaan itu sangat sulit diubah. Aku sudah telanjur biasa menggunakan hotpans, apalagi saat sendiri atau bersama teman dekat. "Siapa yang tau Nay, niat macem-macem mah muncul begitu aja. Tanggung ya nanti kalo Mas khilaf" katanya menakut-nakutiku. "Ihh, Mas kok gitu sih?" "Kalo ngga mau nanggung, gih ganti celana" usuknya. Aku segera kembali ke kamar dan mengganti celanaku menjadi lebih sopan untuk dipakai di depan Adam. Aku mendekatinya kemudian duduk di sampingnya, padahal biasanya aku selalu menghindari posisi yang bisa membuat kami berdekatan, tapi sekarang, rasanya aku ingin selalu dekat dengannya. Harum parfumnya terasa sangat menusuk indra penciumanku, namun bukan harum yang membuat muak, tapi nyaman. Aku bahkan dengan tak sadar menyenderkan kepala di bahunya untuk dapat merasakan harum itu lebih lagi. "Apaan sih Nay, tiba-tiba senderan manja gini. Mas lagi makan juga" protesnya. "Pengen aja Mas, kamu harum banget soalnya" jawabku jujur. "Iya, kamu aja yang baru sadar padahal udah dari dulu Mas deketin kamu" gerutunya. "Jadi Mas ngga iklas?" tanyaku marah. "Iklaslah. Iklas banget malah" jawabnya menekan setiap kata. "Mas, kamu punya teman dokter perempuan?" tanyaku tiba-tiba. Adam menatapku bingung "Ya punya lah Nay, ngga mungkin juga kan yg sekolah kedokteran cuma laki-laki aja" "Terus, ngga pernah gitu mas suka sama salah satu dari mereka?" aku menatap Adam penasaran. Adam terlihat mempertimbangkan jawaban lalu menatapku "Mungkin sulit untuk dipercaya, tapi Mas bener-bener ngga pernah suka sama cewek manapun selain kamu" jawabnya dengan mengedipkan sebelah mata padaku. Aku tersenyum kecil dan mengusap-usap lengan Adam yang ku jadikan sandaran "Mas ngga usah malu bilang kalau mas itu sebenarnya ditolak" godaku. "Ah, dibilangin bandel. Bukan mas yg ditolak, mereka yang mas tolak" "Kepedean" "Geser bentar, Mas mau mulangin piring" Aku menatap punggung Adam yang hilang tertelan dapur. Dengan enggan aku mengambil ponselnya dan mengaktifkannya. Senyumku terbit begitu saja melihat fotoku memakai seragam dinas menjadi layar kunci ponsel Adam. Tidak diragukan lagi, dia pasti mendapatkan foto itu dari Vio, sumber terpercayanya. "Nggak sopan buka hp orang sembarangan" tegur suara Adam. Aku tersenyum padanya "Aku nggak buka kok, cuma ngidupin aja" Ia kembali duduk disampingku "Itu hp untuk pekerjaan, ini yg pribadi" ujarnya sambil mengeluarkan ponselnya dari snelinya yang digantung di kursi. "Mas punya hp dua?" aku baru mengetahui hal itu. "Iya. Oh ya, Mas mau ngajak kamu ke pernikahan anak direktur, kamu ikut ya?" "Ah, tapi kan ini undangan buat dokter aja Mas " "Ya enggaklah. Lagipula kalo Mas udah diundang, ya nggak mungkin-lah Mas datangnya sendiri padahal udah punya calon" "Tapi Naya malu lah Mas " "Ngapain malu sih, kan kamu Mas yg ajak" "Yaudah deh" "Kalo gitu, gih ambil baju" "Hah? Kok gitu?" "Iya, biar kamu siap-siap dari rumah Mas aja" "Oh, yaudah, bentar ya Mas" aku berlalu setelah mencium pipi Adam. “Jangan ngundang Mas buat hamilin kamu sekarang ya, Nay, masih siang” ujarnya penuh peringatan hingga ku mengunci pintu dari dalam kamar dengan tawa geli yang tak dapat kutahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD