11. Tak sengaja tahu

2119 Words
Aku keluar dari kamar Vio begitu selesai berdandan dan merasa diri sudah siap untuk menemani Adam ke pernikahan anak direkturnya. Ku lihat Adam duduk di sofa sambil memainkan game di ponselnya karena terdengar jelas suara yang tak Adam kecilkan sama sekali, sedangkan Vio menonton televisi sambil sesekali menghidupkan ponselnya dan memeriksa pesan disana. “Mas” aku menyolek bahu Adam agar ia menyadari kehadiranku. Adam mengangkat wajahnya dan terlihat menatapku cukup intens hingga aku memperhatikan penampilanku. Apakah ada yang salah dari penampilanku malam ini? Aku menatap Vio sambil mengangkat dagu sedikit sebagai isyarat ‘apa yang salah?’ yang dibalas gadis itu dengan mengacungkan jari jempolnya padaku dan senyum jahil khas Viona Glevino. “Mas” aku mengguncang bahu Adam untuk menyadarkannya “Ada yang salah ya?” tanyaku khawatir. Adam berdiri dan langsung menggenggam tanganku “Nggak ada, aku hanya terpukau” ujarnya membuat wajahku merona malu. “Haduh, jangan drama deh, mau muntah nih ngelihatnya” sindir Vio. “Sirik aja” dengkus Adam “Udah buruan sana pergi” usir Vio. Adam langsung menarik tanganku keluar dari rumah, menuju mobil yang sering dipakainya setiap kali kerja atau berkunjung ke kontrakanku. Aku merasakan debar yang cukup membuatku panik jika Adam sampai mendengarnya, entah mengapa aroma tubuh Adam malam ini sangat kuat untuk memengaruhi penciumanku. “Makasih Mas” ujarku saat ia membukakan pintu dan menjaga kepalaku agar tidak terantuk saat aku memasuki mobilnya. Adam menyusul dengan mengambil duduk di kursi kemudi, lalu memasang seatbeltnya. “Mas, Naya sebenarnya malu dan gugup buat nemenin Mas Adam malam ini” aku menatap Adam setelah menyampaikan isi hatiku yang cukup takut bahwa orang-orang akan menatapku dengan tatapan menilai dan dibandingkan dengan Adam. Adam menatapku sebentar lalu kembali fokus pada jalanan yang malam ini cukup ramai “Nggak apa-apa. Yang penting selama pesta, kamu ada di samping Mas terus. Mas juga pastiin kalau temen-temen Mas nggak sepicik itu dalam menilai orang, lagi pula kamu sangat cantik malam ini, Mas sampai pangling” “Ah, Mas bisa aja ngehibur aku begitu” sanggahku. “Kenapa? Mas bicara jujur” Naya mau tak mau melipat bibirnya ke dalam, berusaha keras menahan senyumnya dengan memandang jendela disebelah kiri. Adam memperhatikan tingkah Naya yang seperti itu lalu terkekeh geli “Mas suka lihat kamu malu-malu gitu” “Iih, apaan sih Mas” “Mau Mas ceritain tentang temen dekat Mas?” “Mau” jawabku cukup bersemangat. Aku penasaran dengan teman-teman Adam, terkhusus yang menceritakan aib pria itu kepada Vio. “Tapi abis Mas ceritain, jangan minta nomor teleponnya ya, Mas cemburuan” ujarnya. Aku memberikan pukulan kecil terhadap lengan Adam “Apaan sih Mas. Ya enggaklah” dengkusku. Adam hanya terkekeh hingga aku menatapnya tajam “Oke, oke, Mas ceritain ya. Mas punya dua teman dekat, namanya Ardit sama Dimas, ya walaupun sama yang lain juga dekat” “Tentang Mas Ardit sama Mas Dimas, aku udah pernah denger dari Vio, katanya mereka temen sekamar kamu waktu koas” “Iya. Eh, tapi dalam rangka apa kalian nyeritain temen Mas?” Seketika wajahku merona karena mengingat ucapan Vio saat itu, aku buru-buru menggelengkan kepala “Ada deh, nanti kalau udah Nikah, baru aku aku kasih tahu sama Mas” Adam menatapku dengan senyum menggoda “Jadi nggak sabar pengen cepetan nikah” ujarnya. “Seriusan deh Mas kalau mau cerita” protesku, tak ingin berteman lebih lama dengan rona merah di pipiku. “Iya, iya, ini Mas cerita beneran. Ardit itu sifatnya nyebelin dan kalau ngomong itu asal nyeplos, satu spesies sama Vio, jadi nanti kalau kamu ngelihat ada yang kurang ajar dari temen Mas, udah pasti itu Ardit. Kalau Dimas, orangnya pendiem, pokoknya berbanding terbaliklah sama Ardit, ya walaupun sesekali kalau dipancing jadi ngikut juga” “Mereka udah pernah ke rumah Mas?” “Udah tiga kali kayanya” jawab Adam, aku mengangguk “Mas mau bilang kalau nanti Ardit nanyain kamu punya temen atau nggak, kamu jawab aja temen kamu cuma Vio, soalnya dia tuh rada genit banget demi nyariin jodoh” “Ya kan ngga ada salahnya bantuin temen sendiri, Mas” “Enggak usah, Ardit tuh bisa nyari sendiri. Dia minta dikenalin ke temen kamu, cuma buat php-in anak orang” Aku hanya mengangguk paham lalu memperhatikan gedung tinggi yang cukup ramai saat Adam mulai masuk dan langsung mengarahkan mobil ke basement. Adam keluar begitu mobilnya terparkir rapi sehingga aku langsung mengikutinya. Sambil menuju lift dari basement, kami bergandengan tangan. “Pasti yang datang, orang kelas atas semua kan, Mas?” “Iyalah, anak direktur. Kenalan bapaknya aja udah banyak dan orang kelas tinggi” “Mas sih pasti udah biasa sama orang kelas atas, kalau aku kan enggak” “Eleh, yang penting kita datang itu karena diundang, sayang” jelasnya. Aku mengangguki ucapannya walaupun sebenarnya hatiku tak cukup terima karena nyatanya sekarang aku menilai penampilanku sendiri saat melihat lantai hotel ini sudah dijajaki oleh wanita-wanita berbusana cantik dan seksi. Aku menoleh pada Adam “Aku nggak begitu malu-maluin kamu kan, Mas?” Adam terkekeh lalu melepas gandengan tangan kami dan memindahkan tangannya ke pinggangku “You look so sexy” bisiknya membuatku bergidik ngeri lalu mencubit lengannya, sedangkan ia hanya terkekeh. “Itu temen-temen Mas” aku mengikuti arah dagu Adam yang menunjukkan teman-temannya sedang berkumpul seolah membicarakan sesuatu. “Kok cowok semua Mas?” tanyaku heran. “Namanya juga jomlo, ya gitu lah” ejeknya. Belum sempat Adam menyapa, salah satu temannya yang sudah menyadari keberadaan kami, mengundang yang lain dengan seruannya yang penuh godaan “Eis, Adam udah bawa gandengan aja nih” “Siapa Dam?” tanya yang lain. Aku menundukkan kepala sebentar sebagai tanda kesopanan. “Calon istri lah” jawab Adam. Aku menatap pria itu saat kurasakan dirinya menyebutku calon istri tanpa ragu meskipun di depan teman-temannya. Berarti aku tidak sememalukan itu kan untuk dikenalkan kepada temannya? “Bu guru itu ya Dam?” aku agak terkejut ketika salah satu diantaranya menyebut profesiku. Adam terkekeh lalu mengangguk “Iya, namanya Anaya” “Pantes aja nggak nyerah-nyerah walaupun banyak dokter dan suster yang ngatri ngasih makanan tiap hari” goda seorang pria lainnya pada Adam lalu menatapku “Orang bu gurunya cantik begini” ujarnya. “Nggak enak banget dikenalin sama orang lain, nggak asik” desis yang lain lagi lalu berjalan maju kearahku dan menyodorkan tangannya “Nama Aa Arditya” ujarnya sambil mengedipkan mata padaku. Aku tersenyum kecil mengetahui bahwa pria ini adalah salah satu teman dekat Adam, lalu membalas uluran tangannya “Anaya” balasku. “Udah, jangan lama-lama” tegur seseorang sambil menepis tangan Ardit, lalu menatapku dengan uluran tangan yang langsung kujabat dengan senang hati “Abel” Setelah menjabat tangan Abel, aku kini membalas uluran tangan yang lain “Reynaldi, panggil Rey aja” “Dimas” kini aku menatap uluran tangan pria paling tampan diantara ke empatnya, lalu menyalamnya sambil berseru dalam hati ‘orang ganteng emang selalu paling kalem’. “Kalian udah pada nyalam anaknya direktur?” tanya Adam setelah selesai denga acara perkenalan. “Belum, masih rame banget tuh tamu” jawab Abel. “Nay, kamu nggak punya gitu temen cewek yang jomlo?” aku menoleh pada Ardit dan tersenyum kecil. “Bener kan Mas bilang, dia ini genit” bisik Adam padaku. “Bisikin apa lo?” tanya Ardit dengan tatapan menyelidik pada Adam. “Gue cuma bilang kalau lo adalah temen gue yang paling gatau malu” “Sialan” desis Ardit, lalu melihatku “Ada ngga Nay?” “Temen deket aku cuma Viona, Mas” “Yaelah, kalau Viona mah udah ada pawangnya” jelasnya sambil menggelengkan kepala. “Kalau seandainya kamu punya temen yang bisa dikenalin ke temen aku, ngenalinnya ke Dimas aja, soalnya dia yang paling nggak laku disini” ujar Adam. “Sialan, mentang-mentang udah bisa gandeng doi, jadi songong banget” desisnya. “Tau, dari kemarin aja uring-uringan kalau dikasih jadwal tambahan, ngakunya harus memperjuangkan cinta” ejek Abel pada Adam. Aku terkekeh kecil mendengarkan pembicaraan mereka. Senang rasanya bahwa Adam memiliki teman seterbuka ini. “Anaya, kalau kamu penasaran sama kebusukannya Adam, bisa hubungin nomor saya supaya saya ceritain semua” ujar Dimas membuatku terkejut. Tidak ku sangka bahwa ia yang sedari tampak tenang, akhirnya membalas Adam. “Enak aja hubungin-hubungin, punya gue nih” Adam merapatkan dirinya kepadaku. “Jadi, kapan rencananya nyebar undangan nih?” tanya Rey. “Nggak lama lagi lah, tinggal nunggu hitungan bulan, doain aja” *** Aku berusaha memejamkan mata setelah selesai mengganti gaun menjadi piama, namun sepertinya otakku tak ingin diajak bekerja sama karena ada hal yang mengganggu saat di pesta tadi. Aku tidak tahu terlalu banyak tentang Adam, tapi aku hanya berusaha meyakinkan hati bahwa Adam adalah pria yang tepat untuk ku jadikan sandaran, tapi perkataan yang sempat ku dengar tadi sangat mengusik kepercayaan diriku untuk melanjutkan hubungan ini dengan Adam. Flashback On “Aku ke kamar mandi dulu ya, Mas” izin ku saat melihat Adam yang cukup asyik menanggapi pembicaraan teman-temannya sehingga aku tak berniat menganggu pria itu dengan meminta Adam untuk menemani ke kamar mandi walaupun aku sama sekali tak tahu harus kemana di hotel megah itu. Adam menoleh pada Naya dengan tatapan lembutnya “Mau Mas temani?” Ingin sekali rasanya aku mengangguk, tapi akhirnya malah memilih menggelengkan kepala agar Adam dengan teman-temannya tidak terganggu “Ngga perlu, Mas. Naya hanya sebentar” “Yaudah, jangan lama-lama” setelah mengangguk, aku segera berlalu dari sana dan mencari sudut-sudut yang mungkin memberikan petunjuk keberadaan toilet. Melihat ada petunjuk toilet yang mengarah ke kiri di lantai itu, aku segera mengikuti arahan dan tersenyum lega setelah melihat bahwa didepanku benar-benar ada ruang yang ku cari. Aku mengabaikan toilet yang saat itu hanya terisi oleh dua wanita yang tampak sedang merapikan riasan wajahnya, dan segera memasuki bilik untuk menuntaskan panggilan alam. “Tau nggak Sil, Adam tadi datang sama siapa?” aku menghentikan tanganku yang hendak membuka pintu bilik begitu mendengar ada nama Adam yang disebut oleh orang diluar. “Sama calon istrinya kalau nggak salah. Tadi pas dia nyalam pengantin sih, banyak yang gosipin gitu. Kenapa?” tanya orang yang baru saja menjawab pertanyaan itu. Aku berusaha diam untuk mendengar lebih banyak. “Sialan banget si Adam, dia udah ngasih harapan sama aku sebelum dia pergi ke pelosok desa buat jadi sukarelawan” “Ngasih harapan gimana sih maksud lo, Ritha?” “Dia b******k banget sumpah. Tiga bulan lalu gue ketemu dia lagi mabuk di club sama Ardit, pas Ardit pergi, gue langsung nyamperin dia yang udah mabuk banget dan dia langsung nyium bibir gue begitu gue sapa. Sejak itu, gue jadi kepikiran dan berharap dia pulang secepatnya dari pekerjaan sukarelawan, tapi dengan seenaknya, dia malah bawa calon istrinya ke sini” “Serius lo?” tanya orang itu tak percaya. Aku berusaha menahan sesak yang teramat mengimpit dadaku hingga berefek pada mataku yang perlahan berair. Apa iya Adam adalah pria yang seperti itu? Apa yang mereka bicarakan adalah Adam Glevino? Apakah yang mereka bicarakan adalah Adam, calon suamiku? “Serius, Silvia. Lo tau gue suka sama Adam dan jelas itu berefek banget sama jantung gue” “Waktu nyium lo, Adam mungkin lagi mabuk banget jadi gak sadar siapa yang dia cium” “Iya sih, dia kelihatan lagi bermasalah gitu. Dia berhenti begitu aja setelah gue tertarik buat balas ciumannya. Gue juga bingung dia ngomongin apa waktu itu, tapi seinget gue dia bilang ‘kenapa harus jujur setelah sepuluh tahun aku berharap besar’. Gue ngga ngerti sama sekali dia ngomong itu buat siapa?” “Terus, lo udah tanya langsung ke Adam soal ciuman itu?” “Udah. Dia minta maaf dan bilang kalau waktu itu dia nggak sadar udah ngelakuin itu sama gue” “Ya ampun, kasihan banget sih lo, jadi pelampiasan” “Sialan lo. Tapi setelah gue pikir-pikir, jangan-jangan Adam juga jadiin calon istrinya itu pelampiasan atas rasa sukanya sama seseorang atau justru dia yang bikin Adam jadiin gue pelampiasan” “Ah, udahlah, gak usah ngurusin hubungan orang, mending lo buruan nyari cowok lain yang bisa ditaksir dengan bebas. Ardit tuh jomlo juga” “Males banget, dia pemain perempuan” Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan setelah itu, yang pasti aku terlalu fokus pada diriku hingga aku merasakan bahwa kenyataan yang aku ungkapkan pada Adam pasti telah membebaninya. Kenyataan bahwa Adam sempat mabuk-mabukkan sebelum menjalani pekerjaan sukarelawan, membuatku sadar bahwa hal itu adalah dampak dari apa yang kusampaikan pada pria itu. Flashback Off Aku masih ingat jelas bahwa sejak keluar dari kamar mandi, aku terus ditegur oleh Adam karena pertanyannya yang terus kuabaikan, tapi aku benar-benar terganggu setelah mengetahui kenyataan tentang Adam dan wanita yang kuingat namanya adalah Ritha. Apakah Adam benar-benar-benar sudah yakin untuk mempersuntingku menjadi istrinya? Atau-apakah ia tetap berniat menjadikanku istrinya karena merasa waktunya sudah cukup lama menanti hingga tak siap beralih pada yang lain? Aku meraih ponsel dengan malas karena benda itu bergetar tepat disamping bantalku, dan begitu melihat nama Adam sebagai pengirim pesan, aku segera membukanya. Adam : Mas udah sampai rumah dan baru selesai mandi. Mas cuma ngasih tau, supaya kamu nggak khawatir. Aku menatap pesan itu sejenak lalu mengetik balasan untuk Adam. Naya : Mas, besok kamu sibuk? Adam : Cukup sibuk, mungkin sampai sore Naya : Boleh besok Naya datang buat nganterin makan siang begitu pulang sekolah? Adam : Bukannya kamu pulangnya jam dua-an? Naya : Iya. Mas bisa makan siang dulu kalau udah lapar, Naya cuma mau bawain sedikit makanan sekaligus berkunjung. Adam : Mau Mas jemput? Naya : Jangan. Naya bisa berangkat sendiri. Adam : Yaudah, besok kabari aja kalau udah sampai. Naya : Iya. Aku hanya berharap bahwa besok aku bisa mempertanyakan banyak hal kepada Adam supaya hubungan ini lebih jelas dan tak ada perasaan mengganggu yang terselip dalam dadaku. Aku siap menerima seandainya Adam hanya berusaha menerimaku karena tak bisa lari begitu saja dengan alasan sudah sepuluh tahun mengejar dan tak mungkin beralih karena pengakuan Naya yang mengatakan sudah tak perawan. Nyatanya, Naya sadar benar bahwa keperawanan sudah menjadi tolak ukur terhadap seorang wanita. Itu adalah hal yang sangat penting bagi pria. Naya yakin bahwa Adam pun sependapat dengan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD