Bab.2 - Kelas Training

1256 Words
Sepanjang perjalanan, Joy mendumel tidak karuan. Bibirnya memang mengatup rapat. Akan tetapi, jiwanya merutuk tiada henti. "Sial banget! Udah diputusin tiba-tiba! Keserempet orang aneh! Baju kotor begini! Mana sempet buat beli dan ganti? Apalagi pulang ke rumah dulu, udah telat! Ini hari pertama training! Masa iya harus telat?!" keluhnya. Ia masuk ke salah satu lobi kantor. Pandangan mata orang-orang menatapnya heran bercampur ejekan meski tidak dikatakan dengan gamblang. "Hei..." sapa seseorang. Joy menoleh. "Ya?" "Namaku Ratna." Seseorang memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. Senyum ramah tergambar di bibirnya. Entah kenapa penampilan gadis ini terlihat absurd di mata Joy. Dilihat dari ujung mana pun, kemeja putih kotak-kotak warna-warni dibalut jaket jeans hitam, dipadukan rok motif penuh bunga dan tas selempang bergambar beruang, benar-benar di luar nalar keselarasan dalam memadukan pakaian. "Joy," balasnya tidak acuh. "Begini, jangan tersinggung ya..." Ratna mencoba bicara pelan. "Tapi, kamu harus ganti bajumu. Atau minimal ditutupin dulu. Pakaian dalammu kelihatan lumayan agak jelas." Pasca mendengar kata-kata Ratna, sontak Joy menunduk dan melihat bagian yang dimaksud. Buru-buru ia menutup badan dengan dua tangan. Ratna langsung melepas jaketnya dan langsung memberikannya pada Joy. "Pakai ini saja dulu," ujarnya berbaik hati. "Thanks. Lo karyawan di sini?" Ratna menggeleng. "Belum resmi. Tepatnya sih masih calon." "Calon karyawan?" "Yap, aku datang untuk ikut kelas training. Sebelum benar-benar diterima, kan, harus ikut training dulu di sini." "Oh..." Joy agak heran. Ia merasa asing dengan gadis berpenampilan tidak karuan ini. Mungkin sepanjang tes sebelumnya, Joy kurang memperhatikan sekeliling? Ataukah Joy terlalu sibuk dengan dunianya sendiri? Entahlah. "Kamu lupa sama aku, ya?" "Kita kenal sebelumnya?" "Belum sih. Kamu pernah pinjamin aku bulpoin, waktu test pertama masuk. Ingat nggak?" Joy mencoba menelaah, dan jujur saja ia tidak begitu ingat. "Oh gitu..." "Ayo, kita hampir terlambat!" Ratna menarik lengan Joy. Keduanya berlari bersaman mengejar waktu. Pintu lift hampir tertutup rapat. Ratna berusaha mencegah, dan berhasil. Pintu kembali terbuka. Seorang pria menatapnya tajam. Agak merinding dipandang sedemikian rupa. Keduanya menyusul masuk. "Liftnya sepi banget, ya? Masa cuma tiga orang? Di sebelah penuh banget tadi kulihat," celoteh Ratna. Joy melihat ke sekeliling usai menekan salah satu angka dari lantai yang mereka tuju. Di bagian atasnya tertulis kalimat aneh. "Ehm... gue rasa kita salah masuk lift," kata Joy sambil memijat tengkuk. "Salah gimana?" Telunjuk Joy mengarah ke tulisan yang baru ia baca. Ratna mengeja dengan suara lantang. "Lift ini khusus manajer dan atasan." Bola matanya spontan membelalak kaget. "Apa-apaan?! Ini namanya diskriminasi dalam pekerjaan!" cecarnya tidak terima. Joy menyikut lengan Ratna serta melirik pria di belakang mereka. Ratna langsung membekap mulut dengan satu tangan, kemudian berdehem dua kali. Ia menggaruk kepala, merasa kikuk sebentar. Dengan muka dibuat super ramah, Ratna berbalik dan mencoba tersenyum pada pria di belakangnya. "Maaf, Pak. Ini hari pertama kami. Tolong dimaklumi." Pria yang disapa tidak peduli dan tetap diam seribu bahasa. Ratna kesal bukan main. "Apa dia bisu? Atau tuli?" tanyanya pada Joy. "Hus. Jangan bicara ngawur!" Joy tidak habis pikir dengan ucapan Ratna yang menurutnya kurang disaring. "Sombong banget, untung ganteng, ya?" Lagi-lagi Ratna keceplosan bicara. Joy tidak menggubris. Ia menggelengkan kepala sambil menahan tawa. Selain penampilan yang agak-agak, rupanya gadis di sebelahnya juga terlalu polos dan jujur. Tanpa sadar Joy bisa mengesampingkan sakit hati akibat diputuskan sang kekasih tadi. Mereka sampai di lantai tujuan. Keduanya keluar, berjalan bersisian menuju salah satu ruangan. Langkah Ratna terhenti. Iya menoleh cepat ke belakang. "Bapak ngapain ikutin kami? Bapak mau ngulang jadi karyawan training?" tanyanya penasaran. Joy langsung tepuk jidat. Ratna memang tidak bisa membisukan pikirannya agar tidak bersuara dari mulut. Pria itu lagi-lagi diam. Iya masuk ke dalam ruangan lebih dulu, dan duduk di salah satu kursi. Bukan di depan, tapi benar-benar duduk di kursi yang memang disediakan untuk karyawan training. "Hah?! Ternyata sama kayak kita!" pekik Ratna. "Kirain atasan, nggak taunya nyasar juga!" "Hus, kedengeran orangnya." Joy tidak habis pikir dengan teman barunya satu ini. Benar-benar asal jeplak kalau bicara. "Justru bagus kita ngomongin orang di depannya. Biar dia tau. Daripada diem-diem gibahin di belakang, kan?" "Ya ya, terserah lo aja deh." Joy memilih kursi dekat jendela. "Ngomong-ngomong, lo yakin pakai baju begini di kelas training?" "Kenapa memangnya? Kan, diperbolehkan pakai pakaian bebas. Nggak harus putih hitam. Asalkan sopan dan bukan kaos atau celana jeans." "Nggak apa-apa sih, cuma... lupain aja deh." "Aku di depanmu, ya!" Ratna menepuk-nepuk dan mengusap meja pilihannya. "Akhirnya, aku diterima di sini, walaupun masih harus berusaha biar jadi karyawan betulan!" Baru saja Joy meletakkan tas, pintu kembali terbuka. Seorang pria tergopoh dengan tentengan di tangan. Begitu menoleh, muka Joy langsung berubah emosi lagi. "Hah? Lagi-lagi itu orang?! Ini dunia yang terlalu sempit atau gimana sih?!" Sang pria berjalan menuju kursi di belakang pria pendiam tadi. Ia sempat menepuk pundak kawannya itu. "Nyaris terlambat gara-gara insiden, Bro!" tukasnya berkisah. "Kenapa?" "Ada cewek aneh nangis di jalanan, nggak sengaja gue serempet. Kasihan tapi ngeselin!" "Terus?" "Nggak tau…." Kalimatnya menggantung, begitu menoleh ke sudut lain. Tatapannya langsung bersiborok dengan korban yang ia maksudkan. Keduanya sama-sama bersitegang, nyaris saling melempar sumpah serapah satu sama lain, kalau saja pengampu training tidak segera masuk. Pria itu mengangkat sedikit tangannya. Dengan santai menunjukkan jari tengah ke arah Joy, lalu menjulurkan lidah. Edisi balas dendam tentunya. "Hih! Cowok prik!" dumel Joy. "Siapa yang aneh?" Ratna bicara pelan, tidak sengaja mendengar ocehan Joy di belakang. "Tuh cowok di sana!" "Oh, namanya Elang. Panggilannya El." Ratna menyahut. "Tau dari mana?" "Kenalan lah." "Terus, kenapa nggak kenal sama yang satunya?" "Nah itu dia, aku kenal semua temen-temen seangkatan training kita ini. Tapi, kok baru lihat dia, ya?" "Lah?" "Apa dia calon karyawan selundupan, ya?" "Calon karyawan selundupan? Lo pikir apaan?" Joy menahan tawa mendengar kiasan absurd Ratna untuk si pria pendiam. "Selamat pagi semuanya." Pengampu training mulai menyapa seluruh penghuni ruangan. "Perkenalkan, nama saya Megawati, tapi bukan mantan presiden RI, ya. Saya kepala pengampu training tahun ini. Kalian bisa panggil saya Bu Mega." Wanita paruh baya dengan kacamata eksentriknya itu tersenyum sekilas. "Jika ada yang ingin ditanyakan, silahkan dan jangan sungkan-sungkan." Ratna mengangkat satu tangan. "Maaf Bu, mau tanya." "Ya, silahkan." "Sepertinya ada yang pura-pura jadi calon karyawan di sini." Semua mata langsung tertuju pada gadis ini. Bertanya-tanya apa maksudnya. "Maksud kamu bagaimana?" "Saya hafal wajah-wajah semua orang di ruangan ini. Tapi laki-laki di sana, ehm... saya nggak pernah lihat dia ikut tes sebelumnya." "Oh... maksud kamu Ravi?" "Ravi?" Para gadis mulai sibuk berbisik-bisik. Bukan fokus pada kekepoan Ratna, justru malah fokus pada wajah tampan nan mempesona Ravi yang sejak awal memang menggoda iman mereka. "Ravi memang calon karyawan juga. Hanya saja dia ikut jalur tes pilihan." "Jalur tes pilihan?" Semua orang bingung. "Mulai tahun ini kami mulai mengadakan jalur tes tersebut. Lebih tepatnya, test melalui jalur online dan dipilih langsung oleh HRD berdasarkan nilai terbaik." "Hanya satu orang, Bu?" Ratna semakin penasaran. "Sebenarnya ada beberapa kandidat, tapi yang lain mengundurkan diri karena sudah telanjur diterima bekerja di perusahaan lain. Dan ada satu orang lagi yang masih dirawat di RS akibat kecelakaan. Akan segera menyusul ikut training begitu kondisinya membaik." "Oh..." semua orang mengangguk paham. Begitu pun Ratna yang langsung menyudahi pikiran buruk sebelumnya. "Kalau dari awal aku nggak kesal dengannya, mungkin dia bakalan masuk tipe idealku," celetuknya pada Joy. "Tipe ideal?" "Ganteng, tinggi, pinter. Sayang kurang sopan santun. Diajak ngomong diem aja. Minus satu lah jadinya." "Minus satu?" Lagi-lagi kata-kata Ratna membuat Joy terhibur. "Absurd banget." "Kamu bilang apa barusan?" "Bukan apa-apa." Kelas training pun dimulai. Hanya saja, sepanjang penjelasan, Joy tidak bisa fokus dengan pembahasan. Pikirannya kembali berkecamuk dengan hati yang remuk redam tidak karuan. Apa iya alasannya cuma karena itu? Kenapa rasanya nggak mungkin banget….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD