Part 3

1385 Words
Saat itu Sena masih duduk di bangku SMP kelas dua. Orang tuanya bekerja di Jerman dan menetap di sana dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Sena dan Cintya tidak ikut orang tuanya karena beberapa alasan. Kalau Cintya pada saat itu tengah sibuk bekerja sebagai aktris yang tengah naik daun, sinetronnya cukup digemari hingga ia memutuskan menetap di Jakarta dan akan pulang ke Bandung jika jadwal syuting kosong. Sedangkan Sena, dia lebih suka tinggal di Bandung, dia pernah mengikuti orang tuanya ke Jerman dan hanya bertahan satu minggu di sana karena kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Akhirnya, Sena dititipkan pada Oma Retno. Oma Retno sudah menganggap Septian; Ayah Sena sebagai anaknya dan mau membantu mengurus Sena, lagipula pada saat itu Candra; anaknya Oma Retno dan ayah dari Rayyan sekaligus sahabat karib Septian yang sudah meninggal dunia bersama istrinya karena sebuah kecelakaan. Keberadaan Sena, membuat Oma Retno memiliki teman untuk di ajak mengobrol, karena Rayyan saat itu tengah sibuk melanjutkan kuliah S2. Sena jarang bicara dengan Rayyan. Rayyan seperti acuh tak acuh dengannya. Setiap kali Sena mengajak Rayyan bicara, Rayyan sudah lebih dulu memalingkan wajah tak ingin menatapnya. Sena remaja yang bingung berspekulasi kalau Rayyan sebenarnya tidak menyukainya. Lalu pada suatu malam saat Oma Retno tengah mengunjungi adiknya di Sukabumi. Sena tidak ikut karena esok harinya ada ulangan harian, dia memutuskan menetap di rumah. Tak ingin membuat Sena sendiri di rumah, Oma Retno mewanti – wanti Rayyan untuk segera pulang ke rumah sebelum hari menjelang malam. Sayangnya, Rayyan tidak kunjung pulang meskipun hari sudah berganti malam. Sena yang lapar memilih keluar rumah mencari makanan di pedagang kaki lima. Setelah membungkus dua porsi bebek goreng; untuknya dan Rayyan; andai jika Rayyan pulang dan belum makan malam, Sena kembali berjalan kaki di sepanjang jalan menuju rumah. Hanya saja, hujan tiba – tiba mengguyur sangat deras. Sena segera mengikat bungkus plastik makanannya dan menerobos hujan untuk segera sampai rumah. Sesampainya di rumah. Mobil Rayyan sudah terparkir di garasi, saat Sena memasuki rumah. Dia melihat Rayyan tengah berdiri mondar – mandir di ruang tamu. Melihat kedatangannya, Rayyan segera mendekati Sena dengan rahang mengetat menahan marah. "Dari mana kamu?" Bentak Rayyan cukup keras. Sena terkejut dengan bentakan itu, ia  ketakutan di bentak seperti itu oleh Rayyan. Tubuhnya bergetar karena takut juga hawa dingin yang merasuk sampai ke tulangnya. "Jawab!" Bentak Rayyan lagi. "B—beli nasi. Aku lapar, aku pikir Mas Rayyan pulang masih lama." Rayyan menghembuskan napasnya, lalu menarik paksa kantong plastik yang ada di tangan Sena. "Cepat ganti baju kamu. Aku tunggu di meja makan." Sena mengangguk, walau masih ketakutan, dia segera ke kamar untuk mengeringkan tubuhnya dan juga berganti baju. Tak ingin Rayyan menunggu terlalu lama, Sena segera keluar dari kamarnya. Dia melihat Rayyan sudah duduk di kursi meja makan dengan bungkus makanan yang tadi Sena beli. Agak canggung memang, Sena memutuskan duduk di seberang Rayyan dan mereka makan dalam diam. Rayyan terlihat sekali mengabaikannya setelah membentaknya tadi. Mungkin pria itu kesal, namun Sena tidak berani membuka suara. Selesai menghabiskan makanannya, Sena membuang bungkus makanannya di tong sampah. Dia mencuci sendok dan piringnya. Di tengah – tengah dia mencuci piring, Rayyan dari belakang tubuhnya meletakkan piring di wastafel. Hanya saja, ada yang membuat Sena tidak nyaman, sentuhan Rayyan di pinggangnya dengan sedikit remasan di sana membuat Sena mematung tanpa sadar, perlahan dia memutar kepalanya dan menatap Rayyan yang juga menatapnya. Jarak wajah mereka begitu dekat, sampai – sampai Sena bisa merasakan helaan napas Rayyan yang menerpa wajahnya. Tidak ada suara yang keluar dari mulut Sena. Tangan Rayyan menyentuh dagunya dan menarik wajah Sena. Sena yang gugup terlihat sekali kalau tubuhnya tiba – tiba sulit untuk di gerakkan. Apalagi ketika bibir Rayyan menempel di bibirnya dan mencecap bibirnya. Spoge cuci piring yang di genggamnya terjatuh begitu saja hingga membuat tangannya terkulai di samping tubuh. Rayyan seakan mengekspor bibirnya. Menciumnya dengan ciuman yang memabukkan. Cukup lama Rayyan menciumnya, pria itu melepas ciumannya dan menyatukan kening mereka. "Lain kali, kalau aku cium, kamu harus membalas seperti yang aku lakukan padamu. Mengerti?" ** Mobil Alphard milik Cintya terparkir manis di garasi rumah. Sena turun dari mobilnya dan segera memasuki rumah. Dia berpapasan dengan Amira; asisten Cintya di ruang tamu. "Tumben jam segini Kak Tya sudah di rumah?" "Tya mengosongkan jadwal dan kemungkinan rehat sampai tahun depan, Sen." Sena mengerutkan dahi karena tidak seperti biasanya Cintya mengosongkan jadwal kerja. "Tumben.." "Lho kamu nggak tahu?" "Nggak. Kenapa sih? Sudah beberapa hari ini aku jarang lihat Kak Tya di rumah. Jadi jarang ngobrol lama." Amira mengangguk – anggukan kepala. Dia mendekati Sena, lalu berbisik dengan lirih. "Aku pikir kamu sudah tahu. Tapi jangan bilang Pak Rayyan kalau Tya lagi hamil. Tya nanti malam mau kasih kejutan buat Pak Rayyan." "Ah!" Sena mengangguk dan mencoba tersenyum dengan semringah. "Akhirnya Kak Tya hamil lagi." "Benar. Aku sempat khawatir. Tya terlalu memforsir diri dalam bekerja. Untungnya, kali ini Tya mau mendengarkan saran dokter dan mau bedrest. Sebenarnya sudah lama setelah keguguran yang terakhir, kalau lihat anak kecil, Tya terkadang melamun cukup lama." "Kak Tya memang sudah waktunya punya momongan." Ucap Sena mencoba bijak. "Aku ke kamar dulu Teh Mir. Mau mandi badanku rasanya lengket." Pamit Sena sembari mengendus bau tubuhnya. Sebenarnya tubuhnya sama sekali tidak lengket. Dia hanya mencari – cari alasan supaya bisa ke kamar dan menjernihkan otaknya. Bukan. Bukan karena dia tidak bahagia mendengar berita kehamilan Cintya. Hanya saja ada sesuatu hal yang mengganjal di hati Sena. Mengapa bukan aku saja yang hamil anak Mas Rayyan? ** Bi Anik; ART yang dipekerjakan Cintya untuk mengurus rumah sedari tadi sudah sibuk di dapur menyiapkan banyak sekali masakan dengan di bantu Anis; anaknya. Sena sudah bisa menebak kalau akan ada makan malam spesial. Supaya tidak mengganggu, Sena memilih mengendap – endap keluar dari rumah. Untungnya; Cintya juga sibuk di dapur jadi tidak akan ada yang tau kalau diam – diam Sena keluar rumah. "Mau ngapain kamu?" Sena yang baru menutup pintu rumah dikejutkan dengan kehadiran Rayyan yang berdiri di belakangnya. Sena berbalik dan menatap Rayyan jengkel. Dia memilih melewati pria itu begitu saja. Merasa diacuhkan, Rayyan berdecak, dia lalu menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya dan berkata, "Masih jam empat. Jam segini tidak ada klub yang sudah buka." "Bukan urusan Mas Rayyan." "Kalau Cintya nyariin kamu bagaimana? Ayolah Sena, jangan buat Cintya khwatir." Sena tersenyum pedih, lalu membalikkan tubuhnya. "Jawab aja aku mau clubbing. Beres kan? Jadi orang jangan rempong deh Mas. Urus aja urusan Mas. Jangan ikut campur sama urusanku." "Kamu memang keras kepala." "Terserah." Ujar Sena acuh dan melenggang menuju mobilnya terparkir. Berbicara dengan Rayyan sama saja memulai pertengkaran dan Sena tidak ingin itu untuk saat ini. Dia hanya butuh ketenangan. Dia pun mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi menuju daerah Lembang. Hampir empat puluh menit perjalanan, mobil yang dikendarai Sena berhenti di depan sebuah rumah minimalis yang tampak indah dengan berbagai tanaman yang tumbuh di halaman depan rumah. Ketika Sena turun dari mobilnya, seorang wanita berumur akhir lima puluhan membuka pintu rumah. "Non Sena. Non datang di waktu yang tepat. Ini saya mau pulang." "Sena mau menginap, Bi. Sena rindu rumah ini." Bi Wulan yang bekerja merawat rumah ini tersenyum lebar sembari membuka pintu untuk Sena. "Iya Non. Silahkan - silahkan. Langsung bisa di pakai kamarnya Oma Retno, kamarnya Non, atau kamarnya Den Rayyan, soalnya setiap hari Bibi beresin. Terserah Non Sena mau tidur di mana." "Iya, Bi. Terima kasih," Bi Wulan mengangguk dan menyalakan semua lampu, "Saya pulang dulu ya Non. Kalau pengen di temani, nanti Ningrum aja yang temani sekalian antar makanan." "Iya Bi." "Bi.." Panggil Sena ragu – ragu pada Bi Wulan. "Ada apa Non?" "Jangan bilang Mas Rayyan kalau Sena menginap ya, Bi?" "Oalah tak pikir ada apa, Non. Iya, tenang aja Non. Sama Bibi mah aman." Sena tersenyum dan mengangguk. Bi Wulan tidak bertanya lagi dan segera keluar dari rumah. Setelah Sena benar – benar sendiri. Gadis itu melangkah menuju kamar Rayyan. Kamar Rayyan masih sama seperti empat tahun lalu. Tidak ada yang berubah. Kamar ini menyimpan begitu banyak kenangan mereka dan Sena rindu.. Sena rindu memeluk Rayyan seperti dulu, tapi sekarang tidak bisa dan tidak akan pernah bisa. Sena melangkah menuju lemari pakaian Rayyan dan membuka pintunya. Di sana masih ada beberapa baju milik Rayyan yang terlipat rapi. Sena menarik salah satunya dan menghidu aromanya. Meski sudah lama, tapi aroma tubuh Rayyan masih melekat di baju itu. Sena menutup pintu lemari pakaian Rayyan dan melangkah menuju ranjang Rayyan. Dia membaringkan tubuhnya dan mendekap erat baju itu. Tak terasa air matanya kembali mengalir. Selama beberapa jam Sena hanya menangis dalam diam sembari menghidu aroma tubuh Rayyan yang tertinggal di baju miliknya. Tanpa sadar Sena pun jatuh tidur terlelap sampai pagi menjelang.        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD