Mengasuh Anak I

1302 Words
“Assalamualaikum!” Pak Tatang mengucapkan salam. “ Waalaikumsalam, sudah pulang, Mas?” sambut Bu Aan, lalu mencium kedua tangan suaminya. “ Anak-anak di mana?” tanya Pak Sumitro, sambil menengok ke dalam kamar, dan mendapati kedua anaknya sedang tertidur nyenyak di atas ranjang, berselimut kain flanel berwarna merah muda. Seperti merasakan kehadiran Bapaknya datang, Prita tiba-tiba terbangun, dan menangis. “ Biar aku saja!” cegah Pak Sumitro, melihat mertuanya juga ikut refleks ingin menggendong Prita. Pak Sumitro yang masih mengenakan seragam aparat desa lengkap, berlari kecil ke sisi ranjang, dan mengambil Prita yang saat itu menangis keras. Dengan hati-hati Pak Sumitro mengangkat tubuh Prita yang mungil, lalu menimangnya dengan lembut. “ Cup..cup...cup, Bapak di sini!” kata Pak Sumitro mencoba menenangkan, namun tampaknya Prita tetap menangis, malah semakin keras. Pak Sumitro mulai panik, lalu memanggil-manggil istrinya dan mertuanya. “ Mak..mak.. Neng Aan.. ini Prita kenapa nangis gak mau berhenti ya?” teriak Pak Sumitro gelagapan, sambil terus berusaha menenangkan Sang Bayi. Keringat mulai menetes dari pelipisnya. Mendengar hal itu Bu Sumitro menjadi sedikit panik, iya tinggalkan setrika yang masih tersambung pada colokan listrik, dan segera berlari menuju kamar. Sementara Bu Tatang yang sedang menjemur pakaian bayi di teras rumah, turut sibuk masuk ke dalam rumah sambil menenteng beberapa potong baju dan popok bayi di tangannya. “Ada apa, Mas?” tanpa menunggu jawaban, ia langsung meraih Prita dari genggaman Pak Sumitro. Tak berapa lama Bu Tatang juga masuk ke kamar, dan menyerahkan pakaian yang belum sempat digantung di jemuran kepada menantunya, dan segera menghampiri Bu Aan. “ Ya Allah, kok gak mau berhenti ya, cup... cup... Sayang!” Prita terus menangis. Kepanikan Bu Aan sudah sampai di ubun-ubun, dan tidak ada yang ia pikirkan selain pertanyaan kenapa bayinya tidak mau berhenti menangis. “ Coba susui saja, Neng. Biasanya nanti berhenti.” Kata Bu Tatang. Mendengar saudara kembarnya menangis, Prihatini jadi ikut terbangun dan mulai menangis, sekencang-kencangnya. Kali ini Pak Sumitro tak berani ambil tindakan, mungkin masih sedikit trauma, gara-gara tadi ditimang olehnya, Prita bukannya malah tenang tapi makin menangis keras. Melihat Pak Sumitro yang tampak kikuk, Bu Tatang pergi mengambil Prihatini, dan coba memenangkannya. Masih dalam kepanikan, tiba-tiba dari arah ruang tamu, tercium bau sesuatu terbakar, Pak Sumitro segera berlari ke luar kamar. Asap tebal sudah mengepul memenuhi seisi ruang tamu, sambil terbatuk-batuk, ia mencari sumber asap itu. Ternyata bersumber dari alat setrika yang ditinggalkan Bu Aan saat panik mendengar Prita tak mau berhenti menangis. Pak Sumitro segera meraih terminal listrik yang tersambung ke alat setrika, lalu tanpa pikir panjang langsung mencabut colokan yang menancap di lubang terminal itu. Bu Aan dengan Prita di tangannya ke luar kamar sambil terbatuk-batuk, diikuti ibunya sambil menggendong Prihatini, yang juga mengeluarkan refleks batuk-batuk akibat asap. “ Ini asap apa, Mas? tanya Bu Aan sambil menggendong Prita yang terus menangis. “ Dari setrikaan, Neng!” jawab Pak Sumitro pendek, lalu segera pergi ke ambang pintu untuk membukanya. Setelah itu ia pun berlari ke arah jendela dan menyibak tirai tipis yang menutupinya, lalu membuka kaca jendela lebar-lebar. Untung saja tidak ada tetangga yang datang, padahal asap mungkin sudah keluar dari sela-sela pintu sedari tadi, belum lagi tangis Prita dan Prihatini yang saling bersahutan sangat keras. Mungkin saat itu para tetangga kamar kontrakan sedang asyik berkumpul di tempat Bu Zainal, penghuni kamar kontrakan No. 10. Ia adalah satu-satunya, penghuni kontrakan yang memiliki TV, karena kebetulan suaminya bekerja sebagai sales salah satu perusahaan elektronik. Biasanya saat sore tiba, sesudah anak-anak mandi sore, dan para ibu selesai mengerjakan pekerjaan rumah rutin, sambil menunggu kepala rumah tangga pulang dari pekerjaannya, beberapa orang sering bertandang ke kamar kontrakan No. 10 itu, untuk menyaksikan siaran TVRI di TV. TV masih menjadi barang mewah, selain harganya mahal juga susah di dapat, kecuali mencari di pusat kota, atau bahkan harus melancong sampai ke jalan ABC, Bandung. Berangsur-angsur kehebohan mulai dapat diatasi, asap yang tadi mengepul di ruang tamu sudah berangsur-angsur berkurang, tinggalah sisa celana kerja Pak Sumitro dengan pola bagian bawah alat setrika yang sudah menghitam dan berlubang di bagian pahanya, serta selembar seprai sebagai alas, yang ikut terbakar. *** Sudah dua hari Prita sering terbangun dari tidurnya, lalu mengais keras sekali, dan tidak berhenti saat disusui. Terakhir kali ia begitu ketika tragedi setrikaan tempo hari, yang asapnya mengepul mengisi penuh seisi rumah kontrakan. Setelah kejadian itu, Prita memang sedikit rewel, terutama saat disodorkan ASI. Bu Aan sempat menjadi galau, jangan-jangan ada masalah dengan air susunya. Jangan-jangan jatah ASI hanya untuk satu bayi saja, seperti kebanyakan ibu menyusui dengan bayi tunggal. Kebetulan hari ini Bu Tatang tidak mampir ke rumah, kemarin ia memberitahu Bu Aan bahwa hari ini salah seorang sepupu jauh Bu Tatang baru membuka sebuah lapak sembako di pasar dekat alun-alun desa. Ia dimintai tolong untuk merapikan tempat yang akan digunakan untuk berjualan, selain Bu Tatang semua saudara yang lain juga ikut membantu, karenanya Bu Tatang tak enak jika tak datang. Sedangkan Pak Tatang sendiri sudah dipastikan tidak akan bisa ikut, karena ia harus menggarap sawah milik juragan sapi, menjadi petani memang profesinya, jauh sebelum menikah dengan Bu Tatang, yang di turunkan dari ayah dan kakeknya. Keringat dingin mulai mengucur di kening Bu Aan, sambil memegang Prita di tangan kanan dan menggoyang-goyangkan ayunan dari kain jarik di tangan kiri, terlihat Bu Aan sangat kepayahan. Bagaimana tidak, mengurus seorang bayi saja sudah bisa membuat dunia seperti jungkir balik, apa lagi ini, dua! Dan tanpa asisten. Di lihat Prihatini di dalam ayunan sudah tertidur, tinggal Prita yang masih asyik menggerak-gerakan tangan dan kakinya sambil menyusu, namun lama-lama dia pun terlelap dalam dekapan ibunya. Dengan sangat hati-hati, Bu Aan meletakan Prita di tempat tidur, takut ia terbangun lagi. Namun baru berapa langkah meninggalkan ranjang, anak itu tiba-tiba terbangun dan menangis. “ Ya Allah, kumaha atuh ieu teh?” gumam Bu Aan dalam hati, diiringi kepanikan dan kebingungan yang sudah entah bagaimana cara mengungkapkannya. Sementara Prihatini anteng di dalam ayunan, Bu Aan membawa Prita ke halaman belakang, mungkin bayi itu bosan di dalam kamar. Benar saja, berangsur Prita mulai tenang, tangisannya berhenti dan tangannya yang mungil mulai bermain, menjangkau rambut Bu Aan yang sebahu. Bu Aan bisa menarik nafas panjang sekarang. Dipandangnya Prita lekat-lekat, terlihat tubuh anaknya itu sudah tidak semungil dulu ketika lahir, menginjak usia tiga bulan, timbangan Prita kini sudah merangkak naik di angka 5 kg, Bu Bidan yang dulu menolong proses persalinan merasa bangga melihat perkembangan berat badan Prita yang pesat. Sambil terus menimang, Bu Aan jadi teringat cucian piring di dapur yang belum dibersihkan sisa sarapan tadi pagi, belum lagi pakaian dan popok bayi kotor yang menggunung di depan matanya ini. Bu Aan masuk ke dalam rumah, masih menggendong Prita, ia berjalan ke arah keranjang besar, tempat di mana berbagai perlengkapan bayi seperti kain flanel, selimut, dan lain-lain diletakan. Lalu mengambil beberapa potong kain dan bantal berukuran sedang dengan satu tangan, dan tampak kerepotan. Kemudian kembali ke halaman belakang rumah. Di dekat pintu keluar di halaman belakang ada sebuah dipan berukuran sedang, yang biasa Bu Aan gunakan untuk meletakan cucian piring basah atau belanjaan yang baru ia beli dari pasar. Setelah menyingkirkan beberapa barang, Bu Aan membuat kasur darurat, dengan menghamparkan beberapa kain cukup tebal sebagai alas. Lalu meletakan Prita di atasnya. “ Neng, diam di sini dulu ya, ini Emak kasih penghalang biar tidak jatuh ke bawah!” ucap Bu Aan kepada Prita, sambil membetulkan posisi bantal hingga cukup aman untuk menghalangi bayi agar tidak jatuh. Entah mengerti atau tidak, Prita memandang wajah Bu Aan, lalu tersenyum. “Nah, Neng Prita, jangan rewel, sebentar Emak mau cuci piring dulu.” katanya lagi. Kali ini Prita anteng memainkan bandul benang yang menempel di ujung tali pengikat pada kedua sisi topi bayi memilikinya. Bu Aan bergegas menuju sebuah pompa tangan manual yang jaraknya hanya sekitar 5 meter, dari tempat di mana Prita diletakan. Bu Aan masih dapat mengawasi Prita dengan jelas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD