Mengasuh Anak II

1852 Words
Pompa air manual berwarna hijau itu adalah satu-satunya sumber air bersih di rumah kontrakan tempat keluarga Sumitro tinggal. Setiap rumah sudah memiliki masing-masing pompa air manual sendiri. Dulu sumber airnya berasal dari sebuah sumur, yang tepat berada di belakang deretan rumah kontrakan , tapi karena pernah ada kejadian seorang anak hampir mau jatuh ke dalamnya, maka sumur itu akhirnya di tutup. Dan pemilik rumah kontrakan berinisiatif untuk membuatkan setiap rumah satu buah pompa sebagai sumber air. Berkat fasilitas itu, tarif kontrakan perbulannya pun menjadi naik dua kali lipat. Cara mengambil air menggunakan pompa manual ini sangat mudah, hanya tinggal menarik tuasnya yang panjang terbuat dari besi, ke arah atas dan bawah, kemudian air akan menyambut dari moncong pompa yang terdapat di bagian depan. Di dekat pompa itu lah Bu Aan meletakan berbagai jenis cucian kotor, mulai dari piring, pakaian, dan benda-benda lainnya yang akan dibersihkan. Di dekat pompa, terdapat juga sebuah jolang besar berwarna hitam dan dua buah ember berukuran sedang, yang biasa digunakan Bu Aan untuk merendam dan membilas pakaian kotor. Baru akan mengisi ember dengan air, belum juga penuh Prita mulai menangis lagi meminta perhatian, segera Bu Aan berlari ke arah tangis bayi dan memeriksa apa yang terjadi. Ternyata kain popok Prita basah, bertambah lagi tumpukan cucian kotor. Bu Aan bergegas masuk ke dalam rumah, setibanya di kamar ia segera mengambil selembar kain popok, kain flanel, dan bedak tabur, juga handuk kecil. Tapi sebelum beranjak ke luar kamar, ia kembali menengok ke dalam, tepatnya ke arah sebuah ayunan kain yang tergantung. Terlalu fokus pada pekerjaan rumah dan anak sulungnya, ia hampir melupakan bayinya yang lain. Prihatini masih pulas dalam buaian, anak ini memang sangat manis, pembawaannya lebih tenang dan tidak mudah rewel. Sesekali memang suka mengais, namanya juga bayi, tapi tidak seheboh kakaknya yang terpaut 5 menit itu. “ Cup..cup..anak Sholehah, tidur yang nyenyak ya, sebentar Emak kembali, setelah urus teteh dulu,” kata Bu Aan. Bu Aan sangat bersyukur memiliki Prihatini yang relatif anteng, dapat meringankan bebannya mengurus bayi kembar. Kurang dari semenit, Bu Aan sudah terampil mengganti popok Prita. Setelah mengajaknya bermain sebentar, Prita sudah kembali dapat ditinggal mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tak terasa jam dinding cepat sekali berputar, belum beres lelah rasanya menyiapkan sarapan pagi tadi sebelum Pak Sumitro berangkat kerja, masih harus membersihkan sisa-sisa piring kotor dan pekerjaan lainnya. Akhirnya Bu Aan tak jadi mencuci piring dan pakaian kotor, ia berbelok ke pancuran yang terletak di dekat kamar mandi, dan mengambil air wudhu, karena waktu shalat telah datang. “Ayo kita masuk lagi, ya Neng! Kamu bobo lagi sama adikmu, Emak shalat dulu,” kicau Bu Aan sambil mengangkat Prita yang sudah tertidur, angin sepoi-sepoi berhasil membuatnya mengantuk. Bu Aan membawanya masuk. Sesampainya di kamar dengan sangat hati-hati agar tidak terbangun lagi, Prita direbahkan di atas kasur. Setelah menutupi tubuh Prita dengan selimut, Bu Aan berbalik dan merah peralatan shalatnya, terketak di atas lemari yang tingginya tidak sampai 2 meter. Setelah memakai mukena dan baru akan memulai rakaat Shalat, ayunan yang tergantung bergerak-gerak. Dan semenit kemudian tangisan pecah dari dalamnya. Bu Aan bergegas meraih ayunan yang tepat berada di sebelahnya. “ Cup..cup.. Ba..Neng Cantik lihat Emak sini..ciluk..Ba..” Bu Aan mencoba menghibur, agar Prihatini berhenti menangis. Mata Prihatini berkaca-kaca sisa tangisan tadi, tak lama senyuman lebar pun tersungging dari bibirnya diikuti suara menggeram khas bayi 3 bulan. Tak butuh lama membuat Prihatini kembali anteng, cukup goyangkan ayunan, dan ia kembali tenang. Tidak seperti kakaknya. Selepas shalat, Bu Aan membawa Prihatini yang kini terjaga, ke halaman belakang. Selagi Prita tertidur, Bu Aan mengajak adiknya bermain di atas dipan. Sesekali Bu Aan menggelitik tubuh Prihatini, dan suara-suara menggemaskan pun keluar dari mulut Prihatini. Ada satu hal yang membuat bayi menjadi unik adalah, mereka dapat membuat waktu berputar lebih cepat dari biasanya, lebih tepatnya membuatnya seolah-olah bergulir cepat. Berasa baru tadi selesai shalat dzuhur, Adzan sudah kembali berkumandang dari speaker masjid. Jika waktu Ashar sudah tiba, pertanda bahwa Pak Sumitro akan segera pulang dari bekerja, seketika kepanikan pun melanda. Piring dan pakaian kotor masih menggunung, meja makan hanya berhias tudung saji kosong, karena jangankan memasak makanan, menyentuh kompor saja tidak sempat. Belum lagi ruang tamu dan kamar masih berantakan, bahkan posisi gelas kopi sisa diminum Pak Sumitro sebelum berangkat kerja pun masih sama, dan tidak berpindah dari tempatnya hingga Pak Sumitro kembali. Orang pasti berpikir, selama di rumah, Bu Aan pasti tidak mengerjakan apa pun, dapat terlihat dari kondisi rumahnya, semua masih porak-poranda. Tapi jika begitu, kenapa rasanya tubuh Bu Aan seperti baru berkeliling stadion olah raga sepuluh putaran, remuk!. Jangankan rumpi di rumah tetangga sambil menikmati menu karedok lezat buatan warung depan kontrakan, rebahan sejenak saja tidak bisa. Dengan perasaan yang campur aduk karena sudah terlalu lelah, antara kesal, bingung, sedih, dan sambil menggendong Prihatini di tangannya, Bu Aan tak kuat menahan air mata, ia pun menangis sejadi-jadinya. *** Karena sedari tadi mengucapkan salam tak ada yang datang membukakan pintu, akhirnya Pak Sumitro masuk ke dalam rumah, yang tidak terkunci. “ Neng,” panggil Pak Sumitro. “ Neng?!” ulang Pak Sumitro. Melihat kondisi rumah yang berantakan pikiran liar Pak Sumitro berspekulasi, mungkinkah ada maling masuk?. Meski pun ini bukan pertama kalinya, melihat rumah bagaikan kapal pecah, namun baru kali ini saat Pak Sumitro pulang, ucapan salamnya tidak mendapat jawaban. Sama sekali. Dadanya pun mendadak menjadi sesak, takut sesuatu terjadi sepeninggalannya tadi pagi saat berangkat kerja. Sambil kebingungan, samar-sama suara tangis yang tertahan terdengar dari sudut kamar. Dan ia kenal betul suara itu. “Ya, Allah, Neng ada apa?!” Pak Sumitro melempar tas kantornya tanpa arah, kemudian berlari kecil menghampiri Bu Aan yang wajahnya dipenuhi air mata, cepol rambutnya sudah tak karuan, serta daster ungu lusuh bermotif kembang yang belum digantinya dari pagi. “hiks.. hiks.. hiks,” hanya itu yang terdengar keluar dari mulut Bu Aan. “Astagfirullah, kenapa, Neng? Ada apa?” Pak Sumitro memeluk Bu Aan yang masih terduduk, sambil merangkul dan menciumi kepala istrinya itu bertubi-tubi. “ Mas..hiks..hiks..Mas..” Bu Aan sulit mengeluarkan kata-kata karena tertutup suara isakan tangisnya yang mengalir begitu saja. “ Aduh, Neng!” Pak Sumitro yang tiba-tiba panik berusaha beranjak, meskipun sangat khawatir dengan kondisi istrinya namun tetap berusaha terlihat tenang. Ia segera pergi ke dapur dan mengambil segelas air putih. Pemandangan onggokan cucian piring sempat mengganggunya, namun tak ia hiraukan, dan bergegas kembali ke kamar. “ Neng, minum dulu!” ia menyerahkan segelas air putih ke tangan istrinya, selagi istrinya berusaha meminum air putih yang ia berikan, Pak Sumitro memindahkan Prihatini, yang berada di pangkuan Bu Aan sedari tadi ke atas tempat tidur, untungnya Prihatini tidak rewel, ia aktif menggerakan tangan dan kakinya. “ Ada apa, Neng?” tanya Pak Sumitro, sambil menghapus air mata Bu Aan yang jatuh ke pipi. “ Mas maaf ya, rumah berantakan, belum sempat cuci piring, cuci baju, belum masak..hiks..hiks.,” tangis Bu Aan kembali pecah. “ Ya Allah, Neng, kirain ada apa. Ga apa-apa atuh, nanti Mas Sum bantu ya!” peluk Pak Sumitro lagi, sambil menenangkan. “ Iya, Mas.. “ “ Prita dan Prihatini hari ini pasti rewel ya? Neng Aan pasti lelah?” sambungnya lagi tanpa menghakimi. Bu Aan hanya terdiam, dan mulai tenang. “ Pekerjaan rumah tidak usah dipusingkan lagi ya, yang penting kamu sudah berusaha merawat Prita dan Prihatini dengan baik, Mas Sum sudah berterimakasih. Gak masak, kita kan masih bisa beli, piringnya masih kotor, nanti saja dicuci kalau sempat, tidak usah sama kamu, sama Mas Sum saja nanti.” kata-kata Pak Sumitro berhamburan. “ Kalau ibu nya stress, nanti ASI nya terhambat, ingat gak kata Bu Bidan, itu kan bahaya, masalahnya Neng Prita dan Neng Prihatini kan belum bisa makan ayam bakar depan kantor desa, nanti kalau mereka lapar bagaimana terus ASI nya gak keluar?” sambung Pak Sumitro lagi. Bu Aan tahu suaminya berusaha menghibur, senyuman manis pun keluar dari bibir merah jambu Bu Aan, yang tidak pernah berubah sejak 8 tahun yang lalu, saat pertama kalinya bertemu Pak Sumitro di loket pengurusan KTP itu. “ Sebentar ya!” Pak Sumitro bergegas keluar kamar untuk mencari tas kerja yang tadi dengan panik ia lempar begitu saja entah ke mana. Setelah itu berusaha mencari-cari sesuatu di dalamnya. Tak butuh waktu lama, ia mengambil bungkusan plastik hitam, dan membawanya ke dalam kamar. “Gak masak kan? Mas Sum beli ini tadi!” seru Pak Sumitro menghibur. Ia menunjukan sebuah bungkusan bertuliskan “Ayam Bakar Cap Jago", yang ia beli di sebuah kaki lima seberang kantor desa tempatnya bekerja. Warung ayam bakar pinggir jalan itu memang sangat terkenal enak, dan murah. Dan yang pasti, karena ayam bakar itu kesukaan Bu Aan. Tiba-tiba saja tadi ia tergerak untuk berbelok ke tempat itu, sebelum pulang. Bu Aan pun baru teringat ketika matanya melirik kalender yang tergantung, hari ini awal bulan tepat tanggal 1, hari di mana suaminya menerima gaji hasil jerih payahnya selama sebulan. Kebiasaan Pak Sumitro setelah gajian biasanya membawa pulang oleh-oleh, seringnya adalah makanan, tapi pernah juga beberapa kali membawakan istrinya pakaian atau sandal baru yang dibelinya dari pasar yang tidak jauh dari kantor desa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD