Ayam Bakar Cap Jago I

1196 Words
Tahun 1988 akhir “ Yumm..yumm..”  Bu Aan sangat menikmati ayam bakar favoritnya hingga lapisan daging terakhir. Tangannya masih belepotan kecap, saat pahanya di goyang-goyangkan sepasang tangan mungil, yang tak sabar minta diperhatikan. “ Sebentar atuh Neng Geulis!” kata Bu Aan setengah tak menghiraukan. Dan kembali menyeruput sisa-sisa daging yang masih tersisa di antara tulang belulang ayam. “ Mamam..mammam..” suara menggemaskan itu keluar dari mulut Prita yang sudah menginjak 11 bulan. Dan bersama adiknya akan berulang tahun yang pertama bulan depan. Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa kedua bayi kembar yang sangat dinanti-nantikan kelahirannya sudah melalui tahapan pertumbuhannya yang pesat. Dari yang awalnya hanya bisa menangis, kini sudah dapat menggumam dan belajar sepatah dua patah kata meskipun belum begitu jelas. Yang tadinya hanya bisa berbaring, semakin bertambah bulan, mereka bertambah pintar, mulai dari tengkurap, duduk, merangkak, bahkan sekarang sudah belajar berdiri. Meskipun Prita dan Prihatini adalah anak kembar, mungkin juga bisa dibilang kembar identik, karena wajah keduanya yang begitu mirip. Namun kemampuan perkembangan keduanya berbeda, di usia mereka yang ke-11 bulan, Prihatini sudah mahir berjalan dengan berpegangan dan perpindahan dari benda satu ke  benda lainnya. Namun ia masih kesulitan menggigit makanan padat, karena gigi pertamanya baru tumbuh di usia yang ke-10 bulan, dan sekarang baru dianugerahi tiga buah gigi saja, dua gigi di bagian depan bawah, dan satu gigi baru muncul setengahnya di bagian depan atas. Penguasaan kosakatanya pun masih sangat terbatas untuk bayi di usianya. Bahkan Bu Aan sempat khawatir, takut anak bungsunya mengalami speech-delay, kondisi di mana seseorang anak mengalami keterlambatan dalam bicara. Walapun masih terlalu dini untuk menyimpulkan. Lain lagi Prita, jika saudaranya sangat aktif “merambat", sampai saat ini ia belum memiliki kepercayaan diri untuk mulai berjalan, dan masih belajar menyeimbangkan tubuh saat berdiri, itu pun hanya bertahan sebentar, pada hitungan ke-5 biasanya Prita terjatuh, kemudian bangkit dan malah kembali merangkak, bukannya berdiri. Namun, Prita menonjol dalam segi komunikasi, ia sudah pandai bicara dibandingkan saudaranya. Prita sudah menguasai beberapa kata dengan pengucapan yang sudah jelas, seperti “nini”, “mimi”, “mau", bahkan sudah bisa memanggil Bu Aan dengan sebutan “mama" dan “Baba" kepada Pak Sumitro, giginya pun sudah hampir lengkap, empat buah di bagian atas dan empat buah di bagian bawah, sehingga saat tertawa, Prita sangat menggemaskan dan manis sekali dengan gigi-gigi mungilnya itu. “ Neng sini..sini..sama Bapak! Emak nya masih makan, sini!” seru Pak Sumitro kepada Prita, sambil memegangi adiknya yang tidak mau diam, dan aktif bergerak. Prita hanya menoleh sebentar, kemudian kembali merecoki Bu Aan yang masih asyik menyuapkan nasi ke mulutnya. “ Itu.. mamam.. itu..” kata Prita sambil memperhatikan Bu Aan makan, dan tak menghiraukan seruan Pak Sumitro. “ Iya..mamam, Emak mamam..Neng mau juga?” balas Bu Aan menirukan gaya bahasa bayi. “ mamamam..mamam..” kata Prita lagi, sangat menggemaskan. Akhirnya Bu Aan pun luluh, dan menghentikan makanannya untuk sejenak, kemudian membalikkan badan dan merunduk ke arah Prita. “ Apa atuh Neng Prita teh? Mau ajak Emak ngobrol ya?” tanya Bu Aan dengan penuh ekspresi, sehingga membuat Prita tertawa. “ Sebentar Emak, cuci tangan dulu ya!” Bu Aan segera beranjak, sebelum Prita menahannya untuk pergi, karena biasanya setelah itu tanpa diminta, Prita selalu tiba-tiba duduk di pangkuan Bu Aan, dan akan menangis saat dipindahkan, atau tempatnya direbut saudaranya. “ Sini, Neng, tunggu sebentar,” kata Pak Sumitro lagi, kini ia berinisiatif membawa Prita agar tidak mendekati piring yang penuh sambal. Lalu mendudukkannya di sebelah Prihatini yang sedang anteng bermain boneka Panda. Melihat adiknya memegang mainan, tanpa ragu, Prita langsung menyambar boneka yang sedang di mainkan Prihatini. Seketika tangis pun pecah. Mendengar kegaduhan itu Bu Aan buru-buru keluar dari kamar mandi, insting keibuan memerintahkannya untuk segera melerai pertikaian. Pak Sumitro yang berada di TKP (Tempat Kejadian Perkara) pun masih terlihat kebingungan, meskipun pemandangan ini bukan yang pertama terjadi di rumah mereka, namun memang cukup sulit untuk mengendalikan kondisi semacam ini, apalagi untuk seorang ayah yang tidak hadir 24 jam untuk anak-anaknya layaknya Sang Ibu. “ Ta..ta..ta..” oceh Prita acuh, tanpa merasa bersalah sudah mengambil mainan saudaranya. Karena bayi di usianya mungkin memang belum paham makna meminjamkan atau meminta izin saat ingin memiliki barang orang lain. “ Kenapa, Mas?” tanya Bu Aan sambil mendekat. “ Ini bonekanya yang lagi dimainkan malah di rebut,” jawab Pak Sumitro. Tanpa perlu menanyakan lagi siapa pelakunya, Bu Aan sudah langsung tahu. “ Neng Prita, gak boleh gitu dong, tuh kan dedek nya jadi menangis kan,” nasihat Bu Aan kepada Prita, entah ia mengerti atau tidak. Segera Bu Aan menggendong Prihatini yang masih menangis. “ Aduh kasian, cup..cup..sayang,” kata Bu Aan sambil mengusap kepala Prihatini dan beranjak pergi ke kamar. Sementara itu Pak Sumitro yang masih duduk menemani anaknya yang sulung, mulai mengerti sifat anak-anaknya, khususnya Prita, yang memang saat ini sedang ada di hadapannya. Sambil memandangi Prita, Pak Sumitro jadi sedikit berpikir, rasa-rasanya setiap apa yang disentuh adiknya, ia selalu menginginkannya juga, tidak hanya mainan, kadang hampir semua benda. Lain halnya dengan Prihatini, ia selalu menjadi korban. Fakta lainnya, Prita tidak memiliki inisiatif sebesar Prihatini untuk mengeksplorasi  barang-barang di sekitarnya, terkecuali ketika barang itu sedang dimainkan adiknya. Ada-ada saja tingkah polah bocah. *** Kira-kira setengah jam berada di kamar, Bu Aan kembali ke ruang makan yang sekaligus ruang tamu. Berbicara ruangan yang ada di rumah kontrakan ini, semua ruangan merupakan ruangan multifungsi, karena secara matematis hanya ada tiga ruangan saja di rumah kontrakan kecil ini. Itu terdiri dari satu kamar tidur yang berfungsi juga sebagai mushola dan ruang keluarga, dapur yang berfungsi sebagai ruang penyimpanan, dan tentu saja ruang tamu sebagai ruang utama. Sedangkan kamar mandi dan tempat mencuci itu berada di halaman belakang yang masih beralas rumput. Tentu saja kamar mandinya sudah menggunakan tegel seadanya, namun jika ingin mencuci piring jangan heran jika dari sela-sela pagar pembatas, tetangga bisa saja mengintip, karena hanya dipisahkan pagar bambu setinggi dua meter antara satu rumah ke rumah lainnya. “Prihatini tidur?” tanya Pak Sumitro melihat istrinya ke luar dari kamar. “ Iya, sudah, sepertinya dari tadi dia memang mengantuk. Sudah makan, Mas?” tanya balik Bu Aan, sambil merapikan beberapa sampah yang masih tergeletak di sebuah meja kecil di ruang tamu, sisa makannya tadi. “ Belum.” “ Ya sudah, sebentar aku ambilkan nasi nya ya, Mas,” kata Bu Aan sambil melirik piring plastik berwarna hijau muda di atas meja, masih ada satu potong lagi ayam bakar. Tak berapa lama Bu Aan kembali membawa sepiring nasi, ia sudah tahu betul sebanyak apa porsi nasi yang biasanya dimakan Pak Sumitro. Lalu segera menyerahkan piring berisi nasi ke tangan Pak Sumitro, dengan bonus senyuman manis seperti biasanya. Sementara Pak Sumitro makan, Bu Aan mengajak Prita bermain. “ Rasa ayam bakar ini masih seenak dulu ya, Neng?!” kata Pak Sumitro, sambil melahap ayam bakar bagian paha atas. “ Iya, Mas, kayanya mau cari ke ujung dunia pun gak akan nemu yang rasanya seperti ini.” Balas Bu Aan. “ Apa lagi makannya sama kamu, Neng,” Pak Sumitro melirik Bu Aan, mencoba menggoda Bu Aan. “ Iya pasti lah, Mas, mana aku sampe nambah dua kali, jadi dobel bayarnya." Tawa mereka pun akhirnya pecah.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD