Awalnya Pak Sumitro hanya pasang mata, memperhatikan hilir mudik pelajar yang kebanyakan siswi itu bubaran sekolah. Dia hanya berani memandang dari kejauhan, tak berani mendekat, apa lagi ketika dilihatnya gadis pujaannya keluar dari gerbang, badannya langsung berbalik dan kabur, takut tertangkap basah. Hingga suatu hari ia pun memberanikan diri.
Saat hendak pulang, Bu Aan mendapati seseorang berseragam yang sudah tidak asing lagi di matanya, sedang berdiri terpaku di depan gerbang memperhatikan orang yang lalu lalang. Kali ini ia sudah tahu betul bahwa itu adalah Pak Sumitro. Dari kejauhan, posturnya yang tinggi dan tegap, memang cocok jadi Bintara. Tapi mungkin memang takdirnya jadi juru tulis desa.
“Kang, kok di sini?” sapa Bu Aan.
“Ini kebetulan lewat, tadi habis antar berkas,” sudah pasti jawaban itu bohong.
“Mau pulang? sama-sama saja,” kata Pak Sumitro. Awalnya Pak Sumitro takut melontarkan tawaran itu. Takut ditolak.
“Oh.. hayu atuh! (mari!)”
Klop! gayung bersambut. Entah siapa masuk perangkap siapa, terlihat kedua sejoli itu memiliki hati satu sama lain, yang tidak lagi bisa disembunyikan. Seolah sudah berteman cukup lama, mereka mulai mengobrol kesana-kemari tanpa canggung lagi. Mulai saat itu lah, Bu Aan memanggil Pak Sumitro dengan sebutan “Mas”, karena tahu ia orang Banyuwangi.
“Kamu pasti belum makan?” tanya Pak Sumitro.
“Memangnya kenapa, Mas?” Bu Aan malah balik bertanya.
“Kita makan dulu, yuk!” Ajak Pak Sumitro, sambil menunjuk sebuah warung. Bu Aan sempat ragu, mana mungkin seorang pelajar yang uang sakunya saja tak lebih dari 200 perak makan di warung semacam itu, mau bayar pakai apa, pikirnya.
“Sudah tenang aja Mas Sum yang bayar. Sekalian mau ucapkan terimakasih sudah membawakan tas.” Pak Sumitro seolah tahu kebimbangan Bu Aan.
Warung itu bernama “ Warung Ayam Bakar Cap Jago" warung kenangan, di mana pertama kali Pak Sumitro dan Bu Aan makan bersama, bahkan Bu Aan yang masih polos dan aji mumpung karena ditraktir, tanpa ada kata jaga image sampai-sampai nambah dua porsi. Entah lapar atau ingin mengulur waktu agar bisa terus bersama-sana “Mas Sum nya".
Tak hanya hari itu saja, setiap ada waktu kosong, saat Pak Sumitro istirahat kantor dan kebetulan Bu Aan tidak ada pelajaran tambahan, karena tahun ini ia akan menempuh ujian kelulusan SMEA. Warung itu yang selalu jadi saksi pertemuan mereka, pertemuan dua insan yang saling jatuh cinta. Bukan sekedar menikmati manisnya cita rasa kecap pada Ayam Bakar, lebih dari itu mereka mulai mengecap manisnya cinta.
***
Karena terlalu nyaman bersandar di pundak ibu nya, Prita yang sudah mulai mengantuk kini terlelap. Bu Aan mengusap-usap punggung Prita sambil sesekali merapikan kaus dalamnya, melihat Pak Sumitro yang tinggal sedikit lagi menghabiskan makan malamnya, Bu Aan pun pamit pada suaminya untuk menidurkan Prita di Kasur yang hanya satu-satunya itu. Biasanya mereka bertiga tidur di atas ranjang, Pak Sumitro menggelar tikar beralaskan matras, dan tidur di lantai. Pemandangan Ini berlanjut terus bahkan hingga anak-anak berusia lima tahun. Bukan karena tidak mau mengajarkan anak untuk tidur sendiri, tapi kondisi yang tidak memungkinkan.
Bu Aan mulai berpikir untuk membeli kasur baru, sejenis kasur lipat. Agar saat malam tiba, Pak Sumitro dan dirinya dapat tidur di ruang tamu dengan kasur itu, dan anak- anak tidur di kamar. Tapi rencana itu masih sekedar wacana, menunggu Pak Sumitro mendapatkan uang tambahan, biasanya dari THR saat hari raya. Kehidupan memang tidak akan terus berada di tempat yang sama, semua hal sejatinya pasti berubah, hanya saja ada yang disadari maupun tidak. Semakin bertambah banyak anggota keluarga, semakin sesak rumah kontrakan itu, dan lambat laun anak-anak pun semakin besar, sehingga bukan saja rumah yang menjadi sesak, tapi juga pengeluaran rumah tangga yang semakin menyesakkan d**a.
Bu Aan harus pintar-pintar mengelola uang belanja, meskipun sejak awal menikah pun iya sudah pandai mengatur uang. Tentu saja, apa gunanya sekolah SMEA tiga tahun jika mengatur keuangan simpel semacam ini tidak mampu. Lain hal jika uang yang dikelolanya memang kenyataannya kurang, mau di kata apa, ahli akuntansi kawakan sekali pun pasti akan menyerah. Bukan karena salah cara pengaturannya, tapi karena sesuatu yang akan diaturnya tidak ada, jadi apa yang bisa dikelola.
Tak menyerah dengan keadaan, Bu Aan mulai berpikir mengambil kerja tambahan untuk membantu keuangan keluarga kecilnya bersama Pak Sumitro. Dan ia teringat masih memiliki ijazah SMEA jurusan akuntansi di dalam laci, yang mungkin bisa ia jual untuk melamar pekerjaan ke kantor-kantor, dan kemudian mendapatkan sejumlah uang tambahan dari sana. Ini mungkin salah satu masa-masa terberat Bu Aan dan Pak Sumitro sebagai keluarga baru, tapi mereka mungkin tidak sendiri ada banyak keluarga baru lainnya yang pasti mengalami hal sama dan mampu melewatinya dengan baik, itu salah satu hal yang menguatkan mereka.
***
Tahun 1990 akhir
Matahari baru saja menampakkan dirinya dari balik bukit dengan malu-malu, cahaya kuning keemasan berpijar bagai tembikar yang dipanggang di atas api yang berkobar. Seolah memberi semangat kepada para pejuang untuk segera menyibak selimutnya, dan bangkit memperjuangkan hidup. Siluet Gunung Gede yang tampak dari kejauhan, sangat indah, karya Tuhan yang tidak bisa ditiru siapa pun. Angin dingin berhembus, merembes ke sela-sela pintu dan plafon rumah kontrakan Pak Sumitro, seperti biasanya jendela rumah sudah dibuka lebar-lebar sejak pukul 5 subuh tadi agar udara segar bisa masuk dengan bebas, mengganti kepenatan hari kemarin dengan angin baru penuh harapan.
“Kamu jadi ketemu Pak Darsono hari ini, Neng?” tanya Pak Sumitro sambil menyeruput segelas kopi tubruk panas yang asapnya masih mengepul di atas gelas.
“Jadi, Mas.”
“Terus anak-anak titip siapa?”
“Emak, Mas,” jawab Bu Aan singkat. Sambil merapikan beberapa stoples berisi keripik yang posisinya tidak pas. Kemudian kembali ke dapur sebentar, dan membawa sepiring roti sobek, untuk dihidangkan kepada Pak Sumitro.
“Emak gak ke pasar hari ini?”
“Nggak, katanya, Mas. Hari ini kebetulan ada si Yuyun yang jaga lapak.”
Yuyun adalah sepupu jauh Bu Aan, anak dari Mang Eman yang merupakan sepupu satu nenek Bu Tatang, ibu kandung Bu Aan. Sudah hampir dua tahun, sejak Mang Eman membuka lapak di pasar dekat alun-alun desa, Yuyun dan Bu Tatang bergantian menjaga lapak sembako miliknya. Alasan Bu Tatang ingin membantu Mang Eman cukup simpel, karena dia bosan di rumah, sementara suaminya menggarap sawah, sedangkan anak-anaknya semua sudah besar dan berumah tangga.
Kalau Yuyun, tentu saja karena alasan berbakti pada orang tua, Mang Eman itu ayahnya. Tapi beberapa minggu ini Yuyun sudah jarang jaga toko, karena sedang ikut pelatihan kerja di balai pelatihan, ia akan berangkat jadi TKW ke Hongkong. Sedangkan Mang Eman sendiri tidak menjaga lapak miliknya, karena harus mengawasi para pegawai sebuah pabrik tahu.
Nah, Pak Darsono adalah pemilik pabrik tahu itu, di mana Mang Eman bekerja sebagai mandor bagian produksi, atau nama kerennya adalah supervisor. Hari ini rencananya Bu Aan akan melakukan interview untuk bekerja di pabrik tahu Pak Darsono bagian keuangan. Sudah hampir satu tahun melamar kesana-kemari belum ada yang cocok. Rata-rata melihat pengalaman Bu Aan yang minim, bahkan tidak ada pengalaman sama sekali, dan sebagian lagi melihat status Bu Aan yang sudah menikah dan memiliki anak, sehingga sulit sekali mendapat posisi kerja yang pas, padahal Bu Aan itu lulusan terbaik di SMEA tempatnya sekolah.