Wanita Karier

1187 Words
Setelah Pak Sumitro selesai sarapan, dan berkemas, ia segera keluar rumah sambil menenteng tas. Sementara Bu Aan mengikuti sambil membawakan helm miliknya. “Emak kapan datang, Neng?” kata Pak Sumitro bertanya, sambil membetulkan tali sepatu yang dipakainya. “Sepertinya sebentar lagi, mungkin sedang di jalan.” “Baiklah, nanti kalau kamu pergi bertemu Pak Darsono, sambil lewat kantor desa kabari aku ya, Neng!” Pak Sumitro menyalakan motor. Setelah berpamitan, ia segera meluncur. Sebetulnya kalau bukan karena kebutuhan, bagaimana mungkin Bu Aan tega meninggalkan anak-anaknya untuk bekerja, apalagi mereka sedang sangat membutuhkan kehadiran sosok ibu yang paling berperan dalam perkembangan seorang anak. Ditambah lagi usia Prita dan Prihatini masih di bawah lima tahun, ahli psikologi bilang kalau masa tersebut adalah masa golden age. Ah, sudahlah, tak ada urusan dengan semua itu, jika sudah berbicara soal isi perut. Faktanya, jika dulu uang seribu sudah cukup membeli sayur dan lauknya untuk makan seluruh anggota keluarga di hari itu, kini dengan uang seribu, masih bersyukur dapat tahu-tempe. Padahal gaji Pak Sumitro selalu naik setiap tahun, namun sepertinya tidak bisa mengalahkan laju inflasi, ditambah anggota keluarga yang semakin banyak. *** Hari ini adalah hari pertama Bu Aan kerja di tempat Pak Darsono, setelah seminggu lalu diumumkan bahwa ia resmi diterima bekerja di pabrik tahu, dengan gaji 20.000 Rupiah yang dibayarkan per dua minggu. Uang tersebut cukup lumayan untuk menambah pemasukan keluarga dari uang belanja yang diberikan Pak Sumitro setiap bulannya. Upah yang diterima juga masih terbilang cukup kompetitif, meski angkanya masih di bawah UMR Kota dan Provinsi saat itu. Bahkan jika dibandingkan dengan karyawan pada posisi yang sama di pabrik tahun lainnya upah yang diterima Bu Aan lebih besar, karena pabrik tahu yang dikelola Pak Darsono terbilang cukup maju, bahkan pengirimannya sampai ke luar provinsi. Otomatis omset dan keuntungannya pun cukup lumayan untuk menggaji para karyawannya. Hari ini Bu Aan juga kembali harus merepotkan Bu Tatang, nenek dari anak kembarnya. Sebetulnya Bu Aan sangat tidak enak karena harus menitipkan Prita dan Prihatini selama ia bekerja, sedangkan Bu Tatang sendiri sudah punya kesibukan rutin lainnya, yakni menjaga lapak milik Mang Eman di pasar. Yang sudah digelutinya jauh sebelum Bu Aan memutuskan untuk bekerja sambil nyambi mengurus rumah tangga. Tapi tak ada pilihan lain. “Mak, hapunten nya (mohon maaf), Neng harus menitipkan lagi anak-anak ke Emak, Neng teh meni ngerepotin Emak wae,” kata Bu Aan menunduk, tak berani menatap wajah Ibunya, karena malu. “Gak apa-apa atuh, Neng, mau bagaimana lagi?” kata Bu Tatang. Mungkin sedikit menyesal, karena awalnya bangga menikahkan putrinya dengan seorang pejabat. Pada kenyataannya jabatan sebagai petugas desa yang statusnya masih honorer bukan jaminan dapat mencukupi kebutuhan dapur, meskipun untuk urusan kedudukan di mata tetangga, anak gadisnya itu cukup membanggakan ketimbang anak gadis lain seangkatannya yang paling banter dapat suami kuli serabutan, atau sedikit mentereng sebagai penjaga toko emas. “Terima kasih ya, Mak!” jawab Bu Aan, dilanjutkan ucapan terima kasih yang sama keluar dari mulut Pak Sumitro. Di perjalanan menuju pabrik tahu, Bu Aan berpikir bagaimana ke depannya. Karena tidak mungkin ibunya itu bolos setiap hari dari pasar, apalagi Mang Eman sangat membutuhkannya, mengingat Yuyun anaknya, yang biasa bergantian menjaga lapak itu harus berangkat ke Hongkong. Dan sepertinya sangat egois, jika harus mengorbankan Bu Tatang yang sudah sangat senang dengan kesibukannya di pasar, berganti harus menjaga cucu-cucu yang sedang lincah-lincahnya ke sana-kemari di usianya yang sudah lanjut, meskipun sebetulnya jika diminta pun Bu Tatang pasti tidak akan menolak. Untung saja hari ini Mang Eman sedang berbaik hati, mengizinkan Bu Tatang untuk pergi menjaga cucu-cucunya. Karena mengingat ini hari pertama Bu Aan bekerja, dan tentu menjadi hari yang penting untuk memulai kariernya. Sementara lapak sembako Mang Eman di pasar tutup sehari, tidak apa pikir Mang Eman, hitung-hitung balas budi atas sumbangsih Bu Tatang selama ini terhadap lapaknya. Dengan motor, Pak Sumitro mengantar Bu Aan ke pabrik tahu yang tidak begitu jauh dari kantor desa. Kebetulan dari kontrakannya itu searah. Pertama menurunkan anak-anak di rumah mertuanya untuk dititipkan, setelah itu mengantar istrinya ke tempatnya bekerja, barulah tujuan akhir adalah tempatnya dinas, dengan hanya berputar balik sedikit, ia sudah tiba di kantor desa. *** Tak terasa usia Si Kembar kini genap menginjak 3 tahun, mereka sedang aktif-aktifnya bergerak dan berbicara. Di usianya, Si Kembar juga mulai suka tantrum alias mengamuk jika ada hal yang tidak disukainya. Tak terlepas pada Prihatini, meskipun pembawaannya terbilang lebih kalem dibandingkan kakaknya, kalau dia sudah mengamuk dapat menarik perhatian di pasar. Sedangkan Prihatini kalau sedang tantrum tak usah ditanya, lapak sembako yang dijaga neneknya bisa porak-poranda, di acak-acak olehnya. Sebetulnya, tak harus menunggu anak-anak mengamuk saja, setiap hari Bu Tatang selalu nampak kerepotan, membereskan sejumlah tepung dan gula yang berserakan di lantai akibat dimainkan Si Kembar. Pemilik lapak sebelah kadang suka kasihan melihat Bu Tatang seperti itu, dan jika sudah tidak tega malah ikut membantu merapikan barang-barang jualan yang nyasar ke lapak makanan ringan miliknya akibat di lempar Prita. “Ibunya anak-anak kemana, Mak?” tanya penjaga lapak yang warungnya bersebelahan itu, sambil memunguti serpihan kerupuk mentah yang masih dapat di pulang dan aneka bumbu kering di lantai. Sebetulnya pertanyaan ini bukan yang pertama kali ia tanyakan, entah pendengarannya kurang atau sebetulnya hanya gimmick, sehingga selalu menanyakan soal itu Pada Bu Tatang.” “Di Pabrik Tahu,” jawab Bu Tatang singkat, sambil sibuk memperhatikan Si Kembar yang lalu lalang keluar masuk lapak. “Apa tidak menyewa pengasuh saja, Mak?” “Lah, cari kerja supaya dapat uang tambahan, Ceu, kalah uangnya buat bayar pengasuh, sama aja bohong, cuma dapat capek,” Percakapan antar pedagang di pasar alun-alun desa itu terus berlanjut, malah semakin ramai karena selain pedagang sebelah yang rumpi, tambah lagi satu pedagang lain yang lapaknya tepat di seberang lapak Bu Tatang, ikut-ikutan berkomentar. “Kenapa tidak Ibunya saja yang bawa Si Kembar, Mak?” tanyanya sambil membereskan barang dagangan miliknya, karena sebentar lagi akan tutup. “Kadang-kadang suka di bawa, tapi hari ini Ibunya sibuk.” Bu Tatang menjawab sekenanya. Agar tidak semakin dicecar pertanyaan yang sebetulnya Bu Tatang sudah malas menjawabnya, ia buru-buru menutup toko sembakonya. Lagi pula hari sudah mulai gelap, beberapa lapak malah sudah tutup dari tadi. Aktivitas di pasar ini memang terbatas sampai magrib, paling lama isya, itu pun hanya satu dua lapak saja yang masih buka. Keramaian pasar baru kembali menggeliat lagi keesokan harinya, mulai pukul 3 dini hari, terutama di blok depan, tempat aneka sayur dan ikan-ikanan. “Hayu ah, Ceu, saya duluan!” kata Bu Tatang berpamitan pada pedagang sebelah yang terlihat masih sibuk beres-beres. Ia menuntun kedua cucunya, dan berjalan cepat menelusuri lorong pasar. Sementara itu, Pak Sumitro dan Bu Tatang sudah menunggu di seberang pasar. Tidak biasanya Bu Aan pulang bersama Pak Sumitro, hari-hari normal, ia menjemput anak-anaknya di pasar setiap pukul 3 sore, sambil pulang. Kebetulan jalur pabrik tahu, pasar, dan rumahnya memang searah. Hari ini Bu Aan lembur, karena minggu ini adalah minggu karyawan pabrik tahu terima gaji, sehingga Bu Aan harus merekap beberapa data keuangan, serta memisahkan uang-uang yang akan dibayarkan nanti kepada karyawan, yang sudah dititipkan Pak Darsono sebelumnya. Pada bagian ini pekerjaan Bu Aan sangat berguna, karena telat dan salah sedikit saja bisa bahaya urusannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD