BAB 2 [PART 1]

1123 Words
Mentari menyinari paginya, silaunya sampai menembus celah-celah tirai kamar Arthur. Biasanya Mirna yang akan membangunkannya—apalagi jika waktu-waktu sekolah. Tapi hari ini adalah hari libur, sehingga tidak ada ketukan pintu atau suara ribut jam beker yang memintanya untuk segera bangun. Arthur masih tetap merebahkan dirinya di atas kasur sambil menatap langit-langit kamarnya dan melamun kembali. Beberapa barang di kamarnya masih berantakan karena emosinya kepada Ratna tadi malam. Ratna mengatakan hal yang membuatnya tersinggung—bahkan menggunakan kalimat tidak baik untuk memojokkan Mirna. Dia tidak suka ada yang menyakiti orang yang sudah merawatnya sejak kecil, meskipun itu orang tuanya sendiri. Setelah memantapkan niat, Arthur segera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri karena setelah ini Arthur ingin jalan-jalan atau mampir di perpustakaan yang tidak jauh dari sekolahnya. Tidak lama kemudian, Arthur sudah siap dengan pakaian rapinya, tidak lupa dibalut dengan jaket abu-abu mahal yang sudah ada di dalam lemarinya. Dengan langkah santai, Arthur berjalan menuju meja makan. Melihat ke kanan-kiri untuk memastikan jika tidak ada lagi anggota keluarganya yang masih berada di rumah. Mungkin terbiasa tidak makan bersama, jadi aneh jika duduk di meja makan bersama. Arthur duduk di kursi meja makan dan menatap ke sekelilingnya. Tidak ada Mirna di manapun. Pelayan yang melayaninya pun bukan Mirna, tapi pelayan biasa. "Bi Mirna mana? Kok bukan dia yang siapin sarapanku?" Tanya Arthur. Perempuan muda itu menunduk dan menggigit bibir bawahnya, entahlah apa yang harus dia jawab. "Dimana?" Bentak Arthur cukup kasar, bahkan tukang masak dan tukang bersih-bersih pun kaget dibuatnya. "Anu, Tuan muda, Bi Mirna sudah tidak bekerja lagi di sini." Ucapnya dengan susah payah. "APA?" Teriak Arthur dengan kesal. Mana mungkin Mirna tidak bekerja lagi di sini. Bukankah baru semalam mereka berbincang dan tidak ada pembicaraan masalah keluar dari pekerjaan ini. "Kenapa Bi Mirna keluar dari rumah ini?" Tanya Arthur dengan perasaan kesal. Perempuan muda itu hanya diam lalu berusaha untuk mencari kata-kata yang pas untuk menjawab. Namun, akhirnya memilih diam. "Bi Mirna capek, jadinya pulang ke kampungnya." Ucap Ratna yang baru saja mendekat ke arah Arthur. Arthur menatap tajam Ratna yang saat ini duduk di depannya, "enggak percaya! Aku harus tanya dulu sama Pak Parjo, kenapa Bi Mirna sampai keluar dari rumah ini." "Percuma, mereka sudah pergi. Mommy sudah melarang mereka untuk keluar, tapi katanya mereka butuh waktu untuk tinggal di desa. Mungkin sudah lelah bekerja." Ucap Ratna lalu menyesap kopinya. Arthur menatap Ratna, masih tidak percaya jika Mirna pergi tiba-tiba, bahkan tanpa pamit sekalipun kepadanya. Dia tidak jadi sarapan, memilih naik ke atas dan masuk ke dalam kamarnya. Arthur berusaha berulang kali menelepon ke nomor Mirna, namun tidak diangkat. Bahkan mengirimkan pesan pun sudah Arthur lakukan. Setidaknya Arthur harus tahu di mana tempat tinggal Mirna dan Parjo—suami Mirna. Jika memang mereka sudah lelah bekerja, mengapa tak bicara padanya. Padahal Mirna pernah mengatakan ingin selalu dekat dengan Arthur dan merawatnya. Bahkan ingin melihatnya menikah suatu hari nanti. Arthur menyandarkan punggungnya pada tembok—frustasi karena tidak bisa menghubungi Mirna. Dia sangat menyayangi Mirna seperti orang tuanya sendiri. Jadi, apalah artinya semua ini jika tidak ada Mirna. Arthur hanya dekat dengan Mirna dan memiliki Mirna sebagai orang yang sangat perhatian padanya. Seharian ini Arthur memilih untuk mengurung dirinya di kamar. Tidak mau turun atau bertemu siapapun karena masih sedih dengan kepergian Mirna dari rumahnya. Biasanya, Mirna akan menyiapkan semua keperluannya lalu membuatkan teh hijau hangat atau membuat minuman jahe geprek dengan gula batu untuknya. Air matanya menggenang—sudah lama tidak menangis. Kali ini, Arthur tidak bisa menyembunyikan perasaan sedihnya. Arthur benar-benar takut kehilangan Mirna dan sekarang hal itu pun terjadi. Sudah berapa orang yang mengetuk pintu kamarnya, dari pelayan biasa, Ratna, sampai Raja yang turun tangan. Tetapi Arthur tak ada niatan untuk keluar dari kamar walaupun sebentar. Sejujurnya, perut Arthur juga keroncongan, tetapi tidak selera makan. "Arthur, makan! Mommy bakalan meluangkan waktu untuk makan malam sama kamu. Ayo kita makan dan lupakan masalah Bi Mirna. Mommy janji bakalan cariin yang baru. Jangan khawatir," teriak Ratna dari luar kamar Arthur. Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu dibuka dari dalam dan Arthur keluar. Ratna sempat senang karena dirinya merasa berhasil untuk membujuk sang putra. Sayangnya, senyuman di wajah Ratna tidak bertahan lama karena melihat penampilan Arthur—pakaian rapi, membawa jaket, lalu kunci motor, dan tas selempang kekinian. "Mau kemana?" Tanya Ratna yang berubah dingin. Padahal dia sudah berusaha untuk meluangkan waktu sibuknya hanya untuk menemani Arthur makan malam. Sayangnya, usahanya sia-sia untuk kesekian kalinya. Arthur nyelonong pergi, tidak bicara apapun pada Ratna. Bahkan setelah kepergian Mirna pun, Arthur tidak pernah menatapnya, sama sekali. "Mommy tanya, kamu mau kemana?" Teriak Ratna sambil terus mengikuti langkah Arthur untuk turun dari tangga. "Jawab Mommy, Arthur!" Tandas Ratna sambil menarik tangan Arthur. "Pergi," jawabnya dingin lalu melepaskan tangan Ratna dengan kasar. "Kalau Arthur sampai tahu ini semua rencana Mommy, Arthur enggak bisa maafin Mommy!" Ancam Arthur kesal lalu beranjak pergi. Arthut menaiki motonya dengan kecepatan standar. Tidak mau jika sampai menghancurkan motornya hanya karena terbawa emosi. Arthur mencintai motornya—sangat. Jadi, apapun yang mengganggu pikiran, akan dia kesampingkan sejenak. Arthur tidak mau juga mencelakai orang lain. Semua rencananya gagal dan apa yang tersisa dari dirinya hanyalah perasaan kesal, sesal, dan kecewa. Arthur tidak bisa bertemu kembali dengan orang yang sangat disayangi atau berbicara lagi dengannya. Apa yang akan Arthur lakukan tanpa adanya Mirna di dalam hidupnya? Biasanya Arthur bergantung pada perempuan itu. Menyerahkan semua kebutuhannya, mempercayai semua sarannya, bahkan tempat terbaik untuk bercerita tentang semua masalahnya. Motornya berhenti di sebuah cafe 24 jam yang tidak jauh dari rumahnya. Lonceng berbunyi, tanda pelanggan masuk. Seorang penjaga cafe tidak lupa menyapanya dan menanyakan tentang pesanan apa yang Arthur inginkan. Setelah memesan dan membayar, Arthur memilih tempat duduk yang berada di tengah-tengah ruangan, karena pojok sudah penuh dengan muda-mudi yang berpasangan. Dia hanya duduk sendirian, lalu tidak lama kemudian pesanannya pun datang. Rencananya memang tidak ingin datang kesini, namun untuk menghilangkan suntuk—Arthur memilih untuk datang saja walaupun hanya sekedar melamun. "Arthur," sapa seorang perempuan yang saat ini duduk di depannya—Seina. Arthur menampakkan wajah datar, tidak terlalu peduli dengan kehadiran Seina di depannya. "Lo ingat 'kan kalau kita bakalan men—" ucap Seina yang terputus karena Arthur sudah menatap tajam ke arahnya. "Aku enggak peduli! Jangan meminta kebahagiaan dariku setelah menikah. Aku enggak akan pernah menyentuh kamu, tidak akan menganggap kamu ada, tidak akan menjadikan kamu prioritas, tidak akan mencintaimu! Catat itu di dalam kepala kamu dan berpikirlah," tandas Arthur yang terdengar sangat kasar di terlinga Seina. Perempuan itu diam, menatap mata Arthur yang tidak tersisa kelembutan sama sekali. Entah, semenyeramkan apa pernikahan itu jika sampai terjadi. "Aku masih berharap untuk tidak menyakiti kamu, dengan cara tidak menikah denganmu. Tapi jika sampai itu terjadi, silakan nikmati neraka dunia yang kamu setujui!" ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD