BAB 1 [PART 3]

1220 Words
Setiap anak memiliki mimpi. Mimpi yang ingin sekali diwujudkan dalam setiap langkah dan perjalanan yang ingin dilewatinya. Arthur pun sama, ingin mewujudkan mimpinya untuk belajar sastra dan menjadi seseorang yang bekerja sebagai sastrawan atau orang-orang yang bisa menghasilkan sebuah karya seni dari hasil pikiran dan olah perasaannya. Sayangnya, mimpi tinggallah mimpi. Semua itu tidak akan mungkin bisa terwujud karena banyak faktor. Tak ada yang mendukungnya—seperti Ratna yang mendukung Reon untuk terjun ke dunia hiburan. Menggeluti apa yang dia inginkan dan bersinar karena prestasi yang memang Reon ingin raih. Semua harapan dan keinginan agar bisa hidup lebih baik dan mencintai hidupnya pun, seperti tak akan bisa Arthur lakukan. Arthur tahu, kelak dirinya yang akan memimpin semua perusahaan orang tuanya. Mewarisi semua harta mereka dan melepaskan semua keinginannya untuk terjun dalam bidang sastra. Jangan pernah berpikir jika inilah kehidupan yang Arthur inginkan. Lebih tepatnya lagi, inilah kehidupan yang orang tuanya sudah gariskan. Terkadang, orang tua suka begitu, membuatnya memilih tetapi seperti tidak punya pilihan sama sekali. Jangan tanya bagaimana sedihnya hidup dalam keluarga seperti ini. Setelah mimpinya dirampas sampai tidak berbekas, sekarang kebebasan pun lenyap dalam sekejap. Akhirnya yang tersisa hanya rasa benci, rasa marah, rasa kesal pada keadaan yang menjepit seperti ini. Ingin melawan dan memaki semua orang, tetapi tidak ingin dia lakukan—membuang-buang tenaga saja. Toh, tidak ada yang mendengarkannya. Menikah dalam waktu dekat, bukan menjadi planning dalam hidupnya. Apalagi menikah dengan Seina, yang tidak pernah dicintainya. Arthur muak dengan perempuan itu, dia tidak pernah suka dengannya. Tetapi, malah dipaksa untuk menikah dan tinggal bersama. Arthur tidak bisa membayangkan hal itu jika sampai benar-benar terjadi. Arthur berharap jika dirinya bisa menghindari pernikahan itu. Mirna meletakkan secangkir teh di atas meja dekat kolam renang. Ada perasaan sedih melihat sang Tuan muda yang berwajah muram. Meski mereka hanyalah sebatas pembantu dan tuannya—namun Mirna sudah mengenal Arthur lebih baik daripada Ratna. Sejak kecil, Mirna yang telah mengasuh Arthur, bahkan mungkin hanya Mirna yang paham bagaimana perasaan Arthur setiap harinya walaupun tanpa bercerita sekalipun. Terlihat Arthur sedang duduk sambil menjulurkan kakinya ke dalam kolam renang. Tadinya, Arthur sempat membaca, namun lama-kelamaan bosan sehingga tidak fokus. "Tuan Muda, Bibi buatkan teh hijau. Diminum sekarang saja, mumpung masih hangat." Ucap Mirna kepada Arthur yang tidak menoleh sama sekali. "Apa Bibi mau menemani aku di sini?Duduk sambil menatap langit lalu menikmati dinginnya air kolam." Ucap Arthur sedikit melunak. Tidak seperti tadi, penuh emosi diiringi dengan bentakan keras. Jika sudah emosi, Arthur tidak segan untuk menggunakan kata kasar dan membentak-bentak siapapun orang yang berusaha untuk memberitahu sesuatu padanya. Mungkin, Raja pun terkena imbasnya ketika memberikan komentar tentang buku sastranya. Mirna berjalan mendekat ke arah Arthur, menyodorkan teh hijau itu dan diambil langsung oleh Arthur tanpa ekspresi sama sekali. "Aku benci keluarga ini, Bi. Salahkah perasaan ini, Bi? Aku belum ingin menikah—apalagi karena sebuah kesalahan yang dilakukan orang lain meskipun dia keluargaku sendiri." Tandas Arthur lalu menyeruput teh hangatnya yang mulai menjadi dingin. Mirna mengikuti kemauan Arthur untuk duduk di pinggir kolam. Tapi kakinya tidak sampai menyentuh air kolam. Mungkin, menemani Arthur dan mendengarkan ceritanya, akan membuat perasaan laki-laki itu sedikit membaik. Mirna juga kasihan setiap kali melihat kedua majikannya yang selalu menuntut Arthur sesuka hati mereka. Menjadikan Arthur anak yang mereka inginkan. "Tuan Muda, semua kejadian pasti ada hikmahnya. Jangan berhenti dan menyerah kepada kehidupan ini. Tuan muda masih memiliki banyak impian dan mimpi yang besar. Tuan muda bisa mewujudkannya dengan cara Tuan muda sendiri. Bibi tidak bisa membantu banyak, tetapi Bibi bisa mendukung semua keputusan Tuan muda. Menikah memang tidak mudah, apalagi menikahi orang yang tidak kita cintai. Tapi, Tuan muda juga harus memikirkan anak dalam kandungan Nona Seina. Setidaknya jangan membenci anak itu, jadikan kebencian Tuan muda kepada keluarga ini sebagai sebuah kebahagiaan untuk membangun keluarga Tuan muda sendiri. Jangan mengikuti sejarah keluarga," ucap Mirna yang sedikit membuat hati Arthur tersentuh. Arthur menggenggam tangan Mirna dengan erat, "cuma Bibi yang paham dengan perasaanku. Cuma Bibi yang mau mendengarkan keluhanku dan mau menjadi orang tua kedua yang mencintaiku sejak kecil." Arthur memeluk Mirna, sedangkan perempuan itu tidak kuasa untuk menolak atau menerima pelukan itu. Mirna tahu, Arthur hanya butuh sosok seorang ibu yang bisa terus mendengarkannya dan memberikan kata-kata menenangkan ketika dia jatuh. "Andaikan aku bukan anak mereka, Bi. Andaikan aku anak Bibi saja. Aku akan lebih bersyukur!" Ucap Arthur sungguh-sungguh. "Astaga Tuan muda, tidak baik bicara seperti itu. Tuan muda sudah diberi banyak kebaikan dengan memiliki orang tua seperti Tuan besar dan Nyonya besar. Tuan muda akan lebih bahagia hidup di keluarga yang bisa memberikan segalanya. Tuan muda bisa sekolah di tempat terbaik, tinggal di rumah yang besar, memiliki segala fasilitas yang mahal dan berkualitas. Jadi, lebih baik Tuan muda hidup seperti ini." Jawab Mirna mengelus tangan Arthur—menenangkan anak yang sudah diasuhnya sejak dulu. Arthur menggeleng, "tapi aku tidak bahagia hidup seperti ini. Bahagia itu tidak bisa dinominalkan, Bi. Seberapa banyak harta yang aku punya, jika itu tidak membuat bahagia—lalu apakah artinya? Orang tua selalu sibuk dan tidak pernah mempedulikan aku. Mereka terlalu fokus dengan dunia mereka sendiri, terlalu menyayangi Reon, dan mana mungkin berpaling sebentar saja kepadaku. Lebih baik menjadi anak seorang pelayan, 'kan. Daripada menjadi anak majikan yang kaya raya tapi miskin kasih sayang." Tidak sengaja Ratna mendengarkan semua keluhan Arthur kepada Mirna. Perempuan itu melipat tangannya di d**a. Sudah biasa mendengarkan hal itu keluar dari mulut Arthur. Anak keduanya itu selalu mengatakan hal semacam itu berulang kali. Apalagi ketika mereka bertengkar atau dalam hal lainnya. Sayangnya, Arthur sudah tidak lagi bicara padanya walaupun sekedar untuk berdebat. Arthur lebih sering mengabaikannya lalu meninggalkan Ratna pergi begitu saja. Mirna beranjak dari duduknya dan terkejut melihat Ratna yang berdiri sendirian di depan pintu kaca yang membatasi area dalam dengan luar. "Nyonya besar," lirih Mirna yang disambut dengan senyuman tipis Ratna. Arthur menoleh, menatap Ratna yang hendak mendekat padanya. Namun, belum sempat Ratna sampai untuk menjangkaunya—Arthur lebih dulu beranjak dan melewati Ratna tanpa melihatnya sama sekali. Mirna pun sudah tidak kaget dengan perlakuan Arthur pada Ratna, karena itu sudah menjadi hal yang biasa sejak beberapa tahun ini. "Arthur," panggil Ratna dengan nada tinggi. "Bisa-bisanya kamu berbuat seperti itu pada Mommy! Kamu tidak bisa mengabaikan Mommy setiap kali kita bertemu. Kamu harus ingat jika Mommy yang sudah mengandung kamu—bersusah payah selama sembilan bulan dan melahirkan kamu." Sambungnya. Arthur menghentikan langkahnya, berbalik menatap Ratna yang telah menatap tajam ke arahnya. "Kamu lebih memilih menjadi anak Bibi Mirna daripada anak Mommy dan Daddy? Apa kamu tidak tahu berterima kasih? Apa kamu lebih suka menjadi anak seorang pelayan rendahan ketimbang konglomerat kaya seperti orang tuamu?" Tandas Ratna yang memancing emosi Arthur. Arthur berjalan mendekat ke arah Ratna dengan kesal, "apa Mommy bilang tadi? Hanya seorang pelayan rendahan? Tapi nyatanya, pelayan rendahan ini yang membesarkan Arthur seperti anaknya sendiri. Bi Mirna yang selalu ada untuk Arthur dan selalu mendukung apapun yang Arthur mau. Mommy memang sudah mengandung dan melahirkan aku. Tapi Mommy lupa—lupa kalau anak Mommy sudah remaja. Anak yang tidak pernah Mommy urus ini sudah tahu, mana yang merawatnya, mana yang menyakitinya." "Mommy cuma orang tua yang saat ini dicantumkan dalam KK. Bukan orang tua yang sesungguhnya." Ucap Arthur lalu berjalan meninggalkan Ratna yang terdiam membisu. Ratna bisa melihat, bagaimana mata itu melihatnya dengan kebencian. Jadi, kalau sudah begini, siapa yang bisa disalahkan? ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD