Karka

1261 Words
Sesampainnya di parkiran kantor milik Karka, Arfan segera melompat turun dan berjalan menuju lift khusus yang langsung terhubung ke ruangan pribadi Karka. Hanya beberapa orang yang memiliki akses lift ini. Dan salah satu dari mereka adalah Arfan dan Juna. Juna yang menyusul dari belakang segera menempelkan black cardnya untuk membuka pintu lift, membuat Arfan segera masuk dan terdiam bisu menunggu sampainya lift ke lantai 30, lantai tempat ruang kerja Karka. Bibirnya menekuk manis saat ia tidak melihat Karka dimanapun. Pantas saja Karka tidak menjawab panggilannya tadi, smartphone kembar milik pasangannya tergolek indah di meja kerja Karka, ada beberapa notifikasi panggilan di sana. Tidak biasanya Karka ceroboh, pikir Arfan. Matanya teralih ke arah lift khusus yang menampakan angka naik ke lantai ini. Karka sepertinya telah kembali dari kerjanya. "Maaf Honey, aku terlambat. Handphoneku tertinggal di meja karena buru-buru jadi-eh? apa yang terjadi padamu Arfan?! Juna, jelaskan apa yang terjadi di sini!" Suara hangat yang Arfan dengar berubah begitu cepat menjadi suasana mencekam dam penuh intimidasi. Mata Karka menatap tajam Juna yang berdiri bersebelahan dengan Felfid, asisten Karka selama ini. "Maafkan aku Tuan Karka. Salah satu dari 'mereka' kembali menyerang saat itu. Dan sayangnya, saat itu aku sedang mengantar Tuan Arfan ke sini, sehingga tanpa kuhendaki dia terlibat dengan kejadiannya. Aku berjanji kejadian ini tidak akan terulang lagi," jawab Juna, ada sedikit nada penyesalan di sela-sela ucapannya. Plak "Dan kau pikir itu bisa menjelaskan mengapa Arfanku bisa berlumuran darah seperti ini? di mana keahlianmu sekarang Juna? Kupikir bukan hal sulit bagimu menghabiskan para kecoa itu," geram Karka. Sekali lagi Juna hanya membungkuk, pipinya tampak memerah setelah ditampar Karka. "Maafkan aku, Tuan Karka. Namun, saat itu mereka membawa senjata bersama mereka. Aku tidak mau Tuan Arfan yang berada dalam mobil terkena tembakan asal mereka saat aku sedang menghabisi mereka sehingga aku melakukannya dengan begitu hati-hati. Namun ya, tampaknya kefokusan itu membuatku lalai sehingga seorang tikus berhasil menyelinap masuk ke mobil dan terpaksa aku harus menembaknya saat itu juga. Sekali lagi maafkan kelalaianku." "Dan bagaimana bisa kamu yakin pistol itu tidak akan mengenai sayangku?" desis Karka penuh intimidasi. "Aku sudah memperhitungkan sudutnya Tuan. Tembakanku takkan meleset dan saat itu keadaan sedang darurat." Karka terdiam. Memang tidak mungkin dia meragukan akurasi menembak orang kepercayaannya itu. Tidak mungkin Karka menunjuk Juna sebagai butler Arfan jika dia tidak sempurna di segala bidang. "Biarkan aku yang mengurusnya Karka. Jangan terus kamu marahi Juna. Luka yang dia derita juga harus segera diobati," bela Felfid. Bola mata Juna membesar. Bagaimana bisa orang ini sadar bahwa dirinya tengah terluka sekarang? "Kamu terluka Juna?" Suara Karka kini mulai tenang. Bagaimana pun, Juna tetaplah orang kepercayaannya kedua setelah Felfid yang merupakan temannya sejak kecil. Ah tidak, mungkin sejak dia lahir. "Saya hanya tergores peluru saat sedang fokus menembak tikus yang mencoba menyentuh Tuan Arfan. Bukan masalah besar sebenarnya," elak Juna. Dia tidak mau ada orang yang melihat bagian perutnya yang robek dan terus dia tahan selama ini. Karka mengangguk paham. "Temani Juna menemui Pablo, Felfid. Aku harus mengurus Arfan setelah ini." Merasa namanya dipanggil, Arfan mendongkak. Matanya memandang Karka yang tengah berjalan menghampirinya. "Kalau begitu kami permisi." Pintu lift tertutup. Hanya ada Arfan dan Karka sekarang. "Apa kamu baik-baik saja, Sayang? Ow... Lihatlah darah kotor yang berani mengotori tubuhmu ini. Aku benar-benar menyesal tidak ada bersamamu saat itu," sesal Karka. Tangannya dia gunakan untuk mengelap darah yang menempel di wajah malaikatnya dengan sapu tangan. "Aku baik-baik saja Karka. Sekarang biarkan aku mandi dan segera makan. Aku benar-benar lapar sekarang. Aku belum makan apa pun semenjak bangun kamu tahu?" rajuk Arfan, membuat Karka sedikit terkekeh. Hanya pada Karkalah Arfan akan menampakan emosi seperti itu dan itu merupakan kebanggaan tersemdiri untuk Karka. "As you wish Darl. But, biarkan aku memandikanmu terlebih dahulu, Sayang," pinta Karka manja. Ruangan ini memang terlampau luas untuk disebut ruang kerja. Karena, di dalamnya terdapat dapur, kamar mandi plus shower dan bathtub beserta ranjang king size yang terletak di kamar yang dibatasi pintu jati dengan ukiran indah. Ruangan ini dibuat memang demgan pertimbangan bahwa Karka lebih banyak menghabiskan waktu di rung kerjanya daripada di rumahnya sendiri walaupun nyatanya, kasur itu hanya dipakai saat Arfan datang berkunjung untuk melakukan.... You know what I mean. Arfan hanya mengalungkan tanganya pada leher Karka begitu pria itu membawanya masuk ke kamar mandi. Memandikannya dengan hati-hati seakan Arfan adalah kaca rapuh yang mudah pecah. ***** Suasana makan itu berjalan dalam keheningan. Arfan masih fokus dengan makanannya sementara Karka sibuk memperhatikannya. Dan itu cukup membuat Arfan risih. "Makanlah juga. Melihatku terus tidak akan membuatmu kenyang," sindir Arfan. Karka tersenyum sambil menyibak helaian rambut coklat Arfan yang menutupi matanya. "Aku kenyang hanya dengan melihatmu, Sayang.... Namun, aku tidak keberatan makan jika kamu menyuapiku." Arfan kembali diam. Namun, setelah dia merasa kenyang, Arfan segera mengambil makanan Karka dan mulai menyuapinya. Beruntung Karka memesan private room sehingga dia tidak perlu malu melakukan ini di luar rumah. Dalam keheningan itu, Arfan mulai membuka rutinitasnya. "Besok aku akan kembali sekolah, rasanya bosan jika aku hanya berdiam diri. Ah ya, mungkin pulangnya aku akan mampir ke mall untuk jalan-jalan. Aku ingin membeli sesuatu di sana," lapor Arfan. "Tidak bisakah kamu mengatakannya padaku? Aku akan membelikanmu apa pun Sayang, selama kamu mengatakannya padaku," bujuk Karka. Dia sungguh tidak rela pujaan hatinya dilihat banyak orang. Mengijinkannya sekolah saya sudah berat, apalagi mengijinkannya pergi ke mall lautan manusia? No way man, dia tidak ingin tubuh mungil Arfan terhimpit di antara mereka. "Aku hanya ingin membeli pakaian baru yang mungkin kusuka. Dan Juna akan menemaniku. Anggap saja itu penghilang stress setelah apa yang sudah terjadi," jawab Arfan lagi. "Tuh kan benar perkiraanku.... Haruskah kita pergi menemui Dokter Ryfa besok? Aku mengkhawatirkanmu." Tangan besar itu memeluk erat tubuh Arfan, membuatnya sulit bernafas untuk beberapa waktu. Dokter Ryfa adalah ahli psikologis sekaligus psikiater Arfan selama ini. Sudah lama Karka percaya padanya, karena Ryfa memang memiliki prioritas khusus untuk keluarga ini, sehingga dia sudah mengenalnya sedari kecil. "Aku baik-baik saja Karka. Ijinkan aku pergi ke mall milikmu. Di sana aku akan mendapat pengawalan khusus kan?" Karka menyeringai senang sekarang. Jika yang akan dikunjungi adalah mall miliknya, mungkin Karka tidak perlu terlalu khawatir, ia bisa memanggil sebanyak apapun bodyguard untuk melindungi Arfan maupun mengosongkan mall itu untuk sehari agar Arfan nyaman berbelanja tanpa ada gangguan. Demi malaikatnya, Karka rela melakukan apa pun. Setelah berpikir dia akhirnya mengganguk, dia pikir tidak ada salahnya Arfan jalan-jalan sesekali. Dia bahkan lupa akan kekhawatirannya tadi pada Arfan. "Haruskah aku meliburkan mall hanya untukmu, Sayang?" tanya Karka lagi. Arfan segera menggeleng. "Ryfa bilang sesekali melihat keramaian tidak akan membuatku mati. Lagipula, Juna tidak akan membiarkanku tersentuh oleh siapa pun." Kening Karka berkerut saat Arfan mengucapkan nama Juna dari bibir manisnya. Sejak kapan Juna dam Arfan menjadi sedekat ini? "Memang tidak akan membuatmu mati, Honey. Tapi hatikulah yang akan mati saat tahu ada orang lain yang akan melihat rupa manismu. Lagipula, aku marah saat dari tadi kamu menyebut nama Juna. Haruskah aku menghukummu sekarang Darl?" suara Karka berubah menjadi dingin. Oh tidak, ini berarti sinyal bahaya untuk Arfan. "Aku hanya melakukan apa yang kamu inginkan Karka. Daripada itu, bisakah kita sudahi acara makan ini? Aku lelah." Akhirnya Arfan mengeluarkan kalimat andalannya. Kalimat yang selalu mampu meredam kecemburuan Karka dalam-dalam. Wajah Karka yang dingin kembali menghangat. Inilah yang ia sukai dari Arfan. Kepatuhannya, kenikmatannya, oh, Karka tidak sabar membawa Arfan ke tempat tidur mereka. "Right, Darl. Aku tidak mau bibir merahmu ini menyebut nama selain namaku. Aku adalah milikmu, dan kamu adalah milikku seorang. Hanya aku yang boleh menyentuh tubuh indahmu ini," tegas Karka. "Come on Baby, kita akan bersenang-senang malam ini," bisik pria itu kemudian. To be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD