Arfan

1847 Words
Teng teng teng~ Bunyi bel itu seakan neraka dunia untuk para murid yang tengah asik bersenda gurau atau asik sendiri dengan kegiatannya. Banyak dari mereka yang mengerang, atau mengumpat apa pun yang bisa mereka umpat sambil berjalan menuju tempat duduknya masing-masing. Namun itu tidak berlaku untuk seorang pemuda, yang tengah tertidur lelap dengan kepala yang mengarah ke jendela yang terletak disebelah badan pemuda berpostur mungil tersebut. Bel yang sedari tadi berbunyi hanya dia anggap angin lalu, karena kupingnya sibuk mendengar lagu yang berputar keras lewat headsetnya. Tidak ada yang berani membangunkan pemuda itu. Tidak, menyentuhnya saja mereka tidak berani. Siapa pula yang berani menganggu pemuda yang merupakan tunangan seorang pemegang saham terbesar di sekolah ini? belum lagi sikapnya yang dingin. Menyentuhnya sama saja mati bagi mereka. "Arfan," Guru lelaki terkiller di sekolah itu bergerak memanggil anak yang sedari ia masuk sama sekali tidak mengubah posisinya. Matanya tetap tertutup dengan tenang, berbanding terbalik dengan wajah teman sekelasnya yang pucat dan berdoa demi keselamatannya masing-masing. "ARFAN!" Kini guru pria itu meninggikan suaranya. Dia memang dikenal tidak pilih kasih dalam mengajar, sehingga tanpa rasa takut sedikit pun dia berani membentak pemuda itu sambil mengoyang pundaknya kasar. Anak-anak di kelas tambah horror melihatnya. Sial, sekarang mereka bukan hanya harus berhadapan dengam guru killer itu, tapi juga iblis yang baru saja dibangunkan oleh guru itu. Dan benar saja, mata itu segera terbuka kasar seiring ditepisnya kasar tangan guru yang tampak terkejut dengan perbuatan Arfan. Nafas Arfan menderu, wajahnya yang putih berubah merah seperti kepiting rebus. Air mata menggenang di bola matanya yang coklat terang. "JANGAN SENTUH AKU DASAR KOTOR!" bentak lelaki manis itu kasar. Tidak menunggu penjelasan dari si guru killer, Arfan segera menarik tubuhnya keluar dari kelas sebelum berhenti sebentar dan mengucapkan kata-kata andalannya. "Berani sekali kamu menyentuhku. Aku akan melaporkan ini pada Kepala Sekolah, berdoalah agar dia tidak mengeluarkanmu." **** Arfan berhenti berlari ketika dia sampai di atap sekolah yang sepi karena semua siswa sedang mengikuti mata pelajaran yang sedang berlangsung. Air mata mengalir tanpa Arfan sadari. Tangannya mengambil sapu tangan yang segera disemprot anti kuman dan dia gunakan untuk mengelap bagian yang tadi disentuh oleh gurunya. Tangannya bergetar hebat, kakinya seakan lemas mengingat saat di mana tangan kotor itu menyentuh tubuhnya. Ingatannya mengalir tentang apa yang dia dan Karka lakukan tadi malam, membuat pinggangnya sakit dan terjaga semalaman memang menyebalkan. Ingarkan Arfan untuk memarahi Karka nanti. Jika saja tunangan mesumnya itu tidak melakukan ini, Arfan mungkin masih belajar dengan tenang di kelasnya saat ini. Tangan mungilnya meraih sesuatu dari kantung celananya. Itu smartphone keluaran terbaru, khusus Karka berikan untuk Arfan seorang. "Bilang kepada Kepala Sekolah untuk memecat guru yang berani membuatku kesal hari ini. Dan panggil Juna untuk menjemputku sekarang, aku akan pulang." Sebelum orang di ujung telepon menyapa, Arfan langsung menutup panggilannya. Air mata yang mengalir dia usap kasar menggunakan kemejanya. Ah..... Ternyata sampai sekarang dia masih tidak bisa menerima jika seseorang berani menyentuhnya. Itu salah manusia itu sendiri begitu kotor, dan Arfan benci itu. Juna, pelayan pribadinya bahkan harus membersihkan meja sekolahnya setiap saat jika Arfan akan duduk. Arfan dan Juna sangat jarang bicara, karena dilarang Karka. Lewat Karkalah Arfan akan menyampaikan perintah, karena lelaki itu memang harus tahu apa saja yang Arfan lakukan dari pagi sampai malam. Tak lama kemudian seorang pria berjas rapi dengan potongan undercut masuk dan membungkukan badannya sebentar. "Mobil telah siap." Pernyataan itu adalah obrolan terpanjang yang akan mereka lakukan. Karena jika memang tidak penting Juna tidak akan bicara begitupun dengan Karka, dia mengangguk lalu mengikuti Juna dari belakang. Tas yang tadi dia tinggalkan di kelas kini dibawa dengan hati-hati oleh Juna. Arfan hanya diam saat Juna membersihkan sepatunya dengan sarung tangan yang menempel di tangannya. Tidak lupa Juna menyemprotkan anti bakteri sebelum diserahkan pada Arfan. Mereka hanya diam tidak bersuara di mobil. Juna hanya membungkuk sekali lagi saat Arfan keluar dari mobil sesampainya mereka di rumah, yang lebih cocok disebut istana karena ukurannya yang luar biasa besar. Saat masuk, Arfan segera disambut oleh jajaran maid dan butler yang membungkuk hormat menyambut kepulangannya. Beberapa dari mereka segera mengenakan sarung tangan untuk mengambil tas Arfan yang dibawa oleh Juna. Karena mereka tahu, Tuannya akan marah besar saat tahu ada dari mereka yang berani menyentuh barangnya tanpa kesterilan yang ekstra. "Arfan!" Panggilan itu sontak membuat Arfan membalikan badannya. Di pintu masuk, seorang lelaki tampan dan gagah masuk dan memandang Arfan khawatir. Tangannya yang kekar dia gunakan untuk mengusap pipi Arfan lembut. Kadang kala semua pelayan di sana berpikir, mengapa Tuan Mudanya hanya mau disentuh oleh Tuan Besar? Dan jangan lupa, Karka tidak mengenakan sarung tangan atau apa pun. Kulit mereka bersentuhan dan Arfan tidak marah sedikit pun. "Hanya guru yang membangunkan tidurku. Kamu tidak perlu kembali hanya karena masalah ini," jelas Arfan sambil mengecup pelan bibir Karka, satu-satunya cara ampuh agar lelaki itu tidak terlalu banyak bertanya. Para pelayan yang melihat hanya pura-pura tidak melihat. Mereka sudah tahu hubungan khusus Tuan mereka dengan Arfan, dan mereka tidak masalah sama sekali. Well, mereka masih ingin hidup tentunya. "Haruskah kubunuh dia, Sayang?" Walaupun Karka menanyakannya dengan wajah lembut, hawa dingin jelas terpancar dari setiap kata yang dia ucapkan. Menyatakan bahwa ucapannya tidak pernah salah. Arfan menggeleng. "Itu akan membosankan. Biarkan saja dia mati kelaparan karena pencabutan kerjanya. Aku tahu dia hanyalah lansia yang hidup seorang diri." Karka tersenyum lembut sambil menciumi wajah Arfan yang imut. Bau dari lelaki manis itu menjadi candu tersendiri untuk Karka. Apalagi semenjak Arfan menjadi penurut, Karka semakin mencintai Arfan. Dia selalu bertindak seakan Arfan adalah miliknya, mengikatnya dengan tali yang menggerakan seluruh anggota tubuhnya. "Kembalilah bekerja Karka. Aku akan di rumah seharian ini. Aku lelah," jelas Arfan datar. "Are you really alright, Honey?" tanya Karka khawatir. Pekerjaan di kantornya memang menumpuk. Namun, melihat wajah lesu Arfan malah membangkitkan nafsunya untuk memakan Arfan. Ah.... Karka jadi malas bekerja sekarang. Arfan mengangguk pelan. "Pergilah. Aku akan meneleponmu saat sudah bangun nanti. Aku langsung tidur sekarang." Lagi-lagi Arfan melapor. Matanya benar-benar berat setelah dipaksa mengingat traumanya akan sentuhan lagi. Well, Karka pengecualian. Entah metode apa yang telah dia gunakan untuk menghilangkan trauma itu hanya pada dirinya. "Setidaknya biarkan aku menemanimu sampai kamu tertidur, Sayang. Setelah aku benar-benar yakin kamu tertidur, baru aku akan kembali lagi bekerja," paksa Karka. Arfan hanya mengangguk menyetujui. Percuma berdebat dengan maniak macam Karka. Lebih baik dia menuruti perkataannya daripada mengalami 'hukuman' nanti malam. Oh tidak, Arfan tidak mau itu. Karka tersenyum senang sambil menarik Arfan kedalam gendongannya, sementara Arfan yang lelah hanya menyenderkan kepalanya pada d**a bidang Karka. Hanya sebentar saja, cukup sebentar dia berharap agar tidur menghilangkan semua mimpi buruk itu, sebelum akhirnya matanya mulai menutup dalam dekapan Karka. ***** "AHHH!!" jeritan Arfan menghancurkan suasana kamar yang mulanya sepi. Keringat dingin telah membasahi seluruh tubuhnya, nafasnya juga memburu. Hari ini memang hari sial untuk Arfan. Kenapa dia harus mengingat kejadian itu lagi? Dia benci mengingatnya, dia benci melihatnya. Dia benci tentang bagaimana sang ayah memperlakukannya seperti seorang wanita. Dia benci dianggap sebagai ibunya. Arfan sangat benci, dipukulin, diteriaki, dan diperlakukan seenaknya oleh pria itu. Tidak, Arfan yakin bahwa sebenarnya dia takut. Takut akan masa lalu yang selalu membayangi dirinya. Arfan melihat sekeliling. Dia yakin seseorang pasti tengah menelepon Karka sekarang, apalagi teriakan Arfan cukup kencang tadi. Tidak perlu waktu lama sebelum- Tring - smartphonenya berdering menampilkan kontak orang yang paling dikenalnya. Itu Karka yang menelfon. "Ya?" jawab Arfan berusaha setenang mungkin. "Kudengar dari para maid kamu menjerit tadi. Apa ada sesuatu yang salah? Apa aku perlu meminta Juna untuk mengecek keadaanmu?" Pertanyaan beruntun segera dikeluarkan Karka. Ada sedikit nada khawatir di sana. "Mimpi buruk. Hei, apa kamu masih di kantor?" tanya Arfan lagi. Suara di ujung telepon itu mendengus. "Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini. Tapi jika kamu mau, aku bisa pulang sekarang juga," tawar Karka. "Tidak. Kerjakan saja semua tugasmu," tolak Arfan halus, tidak ingin Karka menghawatirkannya secara berlebihan. "Namun, biarkan aku ke sana. Aku akan menemanimu," tambah Arfan. Dia tidak ingin sendirian dalam keadaan terpuruk begini. Hell no, dia bisa gila jika terus terdiam. "Baiklah. Jika kamu sudah siap turunlah ke bawah, Juna akan menjemputmu. Apa kamu sudah makan?" "Belum," jawab Arfan jujur. "Kalau begitu kita akan makan malam diluar. Aku akan menunggumu honey. I love you so much, Darl." Arfan hanya bergumam sebelum menutup teleponnya. Dengan segera dia membuka seluruh pakaiannya dan mulai mencari pakaian yang cocok untuk mereka makan malam. Setelah selesai, Arfan segera turun ke lantai bawah dan menemukan Juna yang terdiam didepan pintu menunggunya. "Silahkan masuk, Tuan Arfan," sapa Juna singkat. Arfan mengangguk, mendudukan pantatnya di bangku belakang tanpa mengatakan apa pun. Jangan tanya mengapa dia memilih bangku belakang, Karka akan marah jika tahu Arfan duduk di bangku depan dengan orang selain dirinya. Perjalanan mereka hening seperti biasa. Namun, keheningan itu tiba-tiba hancur saat beberapa mobil menjebak jalur laju mereka. Arfan dan Juna terjebak sekarang. "Jangan turun dari mobil apapun yang terjadi. Tutuplah telinga dan matamu jika memang diperlukan," perintah Juna. Sesungguhnya Arfan ingin menolak, namun melihat para pria kekar yang turun dari mobil dengan muka garang memperhatikannya membuat Arfan mengurungkan niatnya dan memilih patuh. Haruskah dia menghubungi Karka sekarang? Matanya hanya mengikuti gerak-gerik Juna yang bertarung dengan tangan kosong di saat para pria kekar itu membawa senjata. Oh Tuhan, Arfan mulai gelisah melihatnya. Bisakah Juna menang jika begini? Tangannya segera bergerak untuk menghubungi favorite number dalam smartphonenya. Tidak ada jawaban, ke mana perginya Karka saat Arfan membutuhkannya? Duak Pintu mobilnya yang dibuka tiba-tiba membuat Arfan menjerit takut. Pria yang membuka pintu itu menyeringai jahat, dan mulai berjalan mendekati Arfan. "JANGAN MENDEKAT!" teriak Arfan takut. Air mata kembali membasahi pipinya yang pucat. Jangan lagi...... Traumanya sudah dua kali kumat di hari yang sama. Dor Lelaki kekar itu ambruk dengan badan setengah telah masuk ke dalam mobil. Cipratan darahnya mengenai tubuh Arfan, membuat pemuda manis itu kembali menjerit kencang. Dari arah luar mobil, Juna menyingkirkan pria kekar tersebut dengan tubuh yang berlumuran darah. Para pria kekar yang menghalanginya telah tergeletak tak bernyawa. Setelah selesai, dia beranjak ke belakang untuk mengganti pakaian kotornya. Mengambil lap dan membersihkan jok mobil dalam diam. "Haruskah saya-" "Tidak perlu. Sesampainya di kantor aku akan membersihkannya," potong Arfan dengan suaranya yang masih terdengar bergetar. Tangan mungilnya memeluk kedua lutut, mencegah siapa pun untuk menyentuhnya. Juna mengangguk pasrah, dia kembali mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang dan hati-hati. Dia tahu, Arfan bisa saja jatuh jika terus berada dalam posisinya sekarang. "Maafkan Saya. Tampaknya Saya gagal melindungi Anda dengan baik," ucap Juna membuka obrolan. Dia tidak ingin melihat Arfan terus mengigil ketakutan di belakang. "Saya berjanji kejadian ini tidak akan terulang lagi." Getaran dalam tubuh Arfan berangsur tenang. Matanya yang coklat menatap lurus wajah Juna lewat kaca spion di dalam mobil. "Terima kasih telah menghawatirkanku. Dan, maaf telah merepotkanmu." Mata Juna membesar. Baru kali ini Arfan mau bicara sepanjang itu dengannya. Biasanya, semua perintah akan dia bicarakan lewat Karka. Arfan hanya bertindak sesuai perintah yang Karka berikan. Namun tidak sekarang. Baru saja Arfan berbicara sesuai keinginannya sendiri. Merasa Arfan memandanginya aneh, Juna segera mengganguk. "Ini adalah tugas Saya, Tuan Arfan," balas Juna lembut. Dia benar-benar senang saat boneka indah yang selama ini hanya diam akhirnya mengakui keberadaannya. To be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD