Prolog

361 Words
Badanku lelah sekali. Para polisi itu terus mengitrogasiku sampai mereka bosan, tidak apa selama kasus ini akhirnya ditutup. Lagipula, ada hukum yang melindungiku saat pengintrogasian tadi. Sehingga, tidak butuh waktu lama sampai akhirnya mereka membebaskanku. Langkahku terseok gontai. Bagaimana aku akan hidup mulai sekarang? Satu-satunya keluarga yang kupunya sekarang telah tiada. Saudara lain? Jangan harap, mereka tidak akan mau mengakui keberadaanku. Apalagi setelah Ayahku meninggal begini. Mereka pasti sedang tertawa senang meratapi penderitaanku. Ah.... Mungkin hidupku akan berakhir disini. Kemana lagi aku akan pergi setelah Ayah meninggal? Dia bahkan pergi dengan meninggalkan hutang yang setumpuk padaku. Aku berani bertaruh, para penagih itu pasti kini tengah berdiri di depan rumahku, seperti yang mereka lakukan beberapa hari ini. Oh ayolah, apa mereka tidak iba melihatku yang baru mengalami musibah? Ah, aku lupa. Orang macam mereka mana punya hati nurani? Mataku menatap kosong jalanan ramai dibawahku. Bibirku tertawa kosong. Aku tidak peduli dengan tatapan aneh yang dilontarkan orang-orang. Aku lelah. Lelah dengan hidupku, masalahku, dan cibiran yang selalu dikeluarkan orang di sekitarku. Apakah lebih baik aku mati hari ini? Sepertinya jatuh dari tempat ini tidak buruk juga. Setidaknya itu lebih baik daripada memotong urat nadi atau gangtung diri. Oh ayolah, aku bahkan malas membayangkan betapa sakit dan tersiksanya mati dengan cara itu. Aku rasakan angin yang berhembus menepis kulitku. Apa ini memang yang terbaik? Mati saat tidak ada yang peduli padamu lagi? Tubuhku mulai limbung ke depan. Sedikit lagi, hanya tinggal sedikit lagi sampai nafasku akan melayang. Namun, tubuhku berhenti limbung saat kulihat seseorang tengah memegangi pinggangku. Wajahnya nampak marah. Ah..... Di mana aku pernah melihat wajah ini? "Mengapa kamu mencoba untuk mengakhiri hidupmu sendiri?! Bukankah tadi aku sudah bilang untuk menunggu sampai aku menjemputmu?!" Lelaki itu berteriak kepadaku. Aku bergetar takut. Tidak, Ayah sudah tidak ada. Dia bukan Ayah! "Hei, maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu menangis." Tiba-tiba dia memelukku erat. Aku menangis di dalam pelukannya. Ini adalah kali pertama setelah beberapa tahun ada yang memelukku sehangat ini. Aku tidak ingin kehangatan ini hilang begitu saja. "Jangan khawatir sayang. Mulai saat ini akulah yang akan menjagamu, merawatmu dari semua manusia hina yang mencoba menyentuhmu. Kamu bisa pegang janjiku," ujarnya tiba-tiba. To be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD