One

1319 Words
Mentari bersinar terang, menyambut perantara pagi yang akan datang. Meninggalkan malam yang sudah membawa kenangan. David, lelaki yang kini tengah mengelap keringat karena lelah itu menatap gadis incarannya selama ini. Mata birunya terus memandang penuh harap. Handuk kecil yang berada di saku celana trainingnya ia ambil. Mengelap kembali keringatnya sebelum akhirnya beranjak untuk menemui gadisnya. Seorang perempuan dengan blouse pink dan rambut pirang yang diikat satu mendapatkan tatapan sayang dari lelaki satu itu. Apalagi ketika keduanya saling duduk berdampingan, tatapan memuja David semakin kentara. Matanya terlihat begitu enggan berpaling. Apalagi ketika melihat wajah wanita di sampingnya. "Makasih udah mau nunggu. Butuh air? Tanya David pada gadis itu. Tangannya menyodorkan sebotol air yang sudah ia beli tadi. Gelengan pelan tanpa melihat membuat David paham. Ia tak perlu menawari perempuan itu lagi. "Harus banget?" Tanyanya ambigu. David mengernyit, "Apanya?" Kata David tidak mengerti. "Nikah. Kamu tau, ini bukan mainan anak kecil." Suara helaan napas terdengar panjang di telinga si perempuan. Mata abu itu akhirnya melihat David. Menatap tajam seraya menggeram tak suka. Apa tidak ada reaksi yang lebih baik selain menghela napas? "Itu sudah kita bicarakan, Megan. Apa harus kembali dipermasalahkan?" Ujar David pada perempuan itu, lagi. Megan Dribin. Perempuan yang terpaut 4 tahun lebih muda darinya itu mengepalkan tangan. Memberi tahu bahwa ia tak suka dengan respon David. "Apa kamu tau, ini gak bisa Megan lakuin! Megan pengen nikah sama yang Megan sayang! Bukan terpaksa!" Geram Megan, membentak. David tak menunjukkan respon yang berarti, ia hanya tersenyum perlahan. Tangannya terangkat, mengelus kepala Megan. Membiarkan Calon istrinya menatapnya semakin kesal. Ia tahu apa yang ia lakukan jelas akan menjadi bahan kekesalan perempuan itu lagi. "Rasa sayang bakal tumbuh seiring waktu, Ga," ucap David, santai. "Gak! Megan gak mau! Dikira nikah maenan?! Pokoknya besok kamu gak boleh datang!" "Lho? Aku, kan pengantinnya. Kenapa malah gak boleh. Aneh," cibir David. "Kalau sampe kamu datang, berarti Megan yang gak bakal datang," tukas Megan. Tangannya menangkis lengan David yang kembali mengelus kepalanya. "Yakin?" "Karena Megan gak pernah suka sama orang yang cuman kasian sama Megan!" *** Malam gelap, membawa pelita yang bersinar lewat terangnya bintang. Tapi justru membuat penerangan semakin menggelap bagi David. Malam ini,  dimana ia harus meminang putri dari salah satu pasien Kakeknya. Malam ini, dimana ia harus merelakan dirinya turun jabatan dan mengurusi hidup orang lain. "Bagaimana? Megan, kamu bersedia menjadi istri saya?" Tegas. Kata yang keluar dari bibir tebal kehitaman itu berujar tak selayaknya orang sedang melamar. Tangannya gemetar menahan marah. Kalau bukan karena keinginan sang Kakek, ia tak akan ada di sini. Dan kalau bukan karena nyawa perempuan itu, maka David pastikan dia akan pergi untuk meminang wanita pujaannya. "I-iya. Megan bersedia," jawab perempuan lugu yang baru satu jam yang lalu pulang dari rumah sakit. "Baik. Om, saya butuh waktu untuk mempersiapkan pernikahannya. Maka dari itu, saya minta tolong untuk tidak ada yang mengubah keputusan kami meminang putri anda." Billy, pria dewasa yang menggeram marah itu hanya bisa terdiam. Permainannya berujung menyakitkan. Anaknya, gadis satu-satunya harus ia kepas demi keselamatan nyawa sang putri tercinta. Ia akan mengorbankan apapun, tapi kenapa malah anaknya yang menjadi korban sekarang? "Kalau begitu, saya pamit. Terima kasih atas jamuannya." David berdiri. Mengambil snelli yang sempat ia letakkan di atas sofa. Tangannya hendak meraih sebuah surat kontrak di meja,  sebelum akhirnya surat itu berubah menjadi potongan kecil yang mengerikan. "Kamu pikir anak saya ini mainan?! Saya bahkan tidak mengatakan, ya, untuk pertanyaan kamu!" Sentak Billy pada David. Lelaki itu hanya diam. Tak mendengarkan ucapan calon ayah mertuanya yang kini terlihat sangat marah besar. Ia hanya berlalu pergi, meninggalkan amukan Billy yang semakin membesar. Kakinya berhenti melangkah melihat sosok di depan gerbang tengah diam seraya bersedekap d**a. Ck! Kenapa Kakaknya harus ada di sini sekarang?! "Saya tidak akan menyetujuinya!" Teriak Billy keras. "Dan saya tidak meminta anda untuk menyetujui hal tersebut. Selamat malam," jawab David dingin. Baik, ia akan siap saat Kakaknya menanyakan dan berkata pedas nanti. Setelah malam itu, keadaan David tidak baik-baik saja. Wajah lugu dan imut yang telah mengatakan, i-iya, Megan bersedia.  Terus terngiang di kepala David. Raut muka yang sangat jauh dari kata dewasa telah memikat hatinya. Dan David akui hal itu. Bagaimana bisa ia melupakan wajah itu jika setiap harinya ia akan bertemu di rumah sakit. Bertegur sapa layaknya seorang pasien dengan dokternya. Menatap satu sama lain karena saling membutuhkan. Dan saling bercakap dengan nada yang santai. Lalu cara apa yang bisa David lakukan untuk tidak terjerat pada pesona perempuan berumur sembilan belas tahun itu? "Kamu gak makan?" Sapaan itu datang dari Neneknya. Wanita yang sudah menginjak hampir seperdelapan abad itu merengkuhnya hangat. Mendekap tubuh besarnya yang kini termenung di atas kasur. "Gak mau sebelum Kakek pergi dari sana," jawabnya penuh syarat. Wanita itu menghela napas tidak mengerti. Kepala David di rengkuhnya. Di usap dan diberikan kenyamanan yang bahkan ia inginkan dari seorang ibu. "Kamu masih marah sama Kakek? Kenapa? Nenek aja udah baikan," imbuhnya dengan nada ajak pada anak kecil. Ayolah, dia sendiri dudah dua puluh tiga tahun. "Apa menurut Nenek ini adil buat David? Kenapa gak Kak Adrima? Dia bahkan belum nikah saat itu. Dia juga yang ngurus semua perihal perempuan itu. Kenapa harus Dave, yang jadi tumbalnya?"  "Hush! Gak baik ngomong gitu. Tuhan udah kasih takdir yang jelas." David mendengkus. "Tapi ini gak adil buat Dave, Nek!" Gemas David. Kelemahan lelaki jika tidak pada pasangan, pasti pada ibunya. Jika ibunya tidak ada, maka Neneknya. Jika ketiga wanita itu tidak menjadi kelemahan lelaki, maka bisa diragukan kesetiaan dan jiwa kelelakiannya. "Nenek gak pernah ajarin Dave buat bantah dan dendam sama orang lain. Ayok, makan! Nanti keburu habis sama Kakek," bujuk Nenek lagi. "Iya." Kalah. Ia akhirnya kembali mengalah. Untuk saat ini, ia akan menyerahkan semuanya. Tapi tidak waktu yang akan datang. *** Gaun putih beserta sebuah kemeja putih berada di kamar pengantin. Berdampingan dengan serasi layaknya sudah di isi dengan raga manusiawi. Mahkota indah yang berisi ribuan berlian tampak berkilau hangat dengan cerah yang hampir menandingi terangnya pagi. Lantunan musik indah mengalun panjang di seluruh ruangan. Memberi hal indah di hari bahagia. Memberikan kesan mewah pada acara yang akan segera terlaksana. Masih ada satu jam sebelum semuanya berhasil di kerjakan. Tapi anehnya, kedua manusia yang seharusnya memakai kedua busana itu tak ada sampai saat ini. Keduanya menghilang entah kemana. Dan tak ada yang tahu, karena kepanikan melanda sehingga membuat mereka tak bisa berfikir jernih untuk mencari hal yang paling mudah ditebak. Rumah. Keduanya masih berada di rumah. Yang satunya masih berada di atas kasur dengan mimpi indah, dan satunya lagi sedang menangis karena tak ingin hadir. Bel penanda bahwa beberapa tamu sudah memasuki ruangan, membuat si pemilik acara semakin kalang kabut dibuatnya. Mata mereka saling menelisik ruangan, mencari sepasang manusia yang tak terlihat batang hidungnya sampai sekarang. "Ini gimana? Dave mana? Megan mana? Ya Allah!" Pekik wanita paruh baya dengan kebaya putihnya. Matanya yang ditutupi kacamata bening itu terus mencari keberadaan cucunya. Tapi bukaannya menemukan, ia malah semakin panik karena bel tanda tamu datang terus berdengung panjang. "Nenek diem dulu. Duduk dulu sama Adrima," ujar lelaki dengan jas hitam yang melekat hangat pada tubuhnya.  "Kamu kenapa diem aja! Bantuin Nenek cariin adik kamu!" Bentak sang Nenek semakin panik. "Tenang aja sih! Dia lagi di jalan baru beres mandi," ujar lelaki itu santai. *** "Sekarang cium kening istrinya," titah seorang pria dengan tegas. David diam, enggan melakukan apa yang baru saja pria itu katakan. "Dave.." menghela napas panjang, David akhirnya membingkai wajah ayu yang ia puja sebelum mengecup kening itu sebentar. Menyalurkan sebuah rasa yang tak ingin ia pendam sendirian mulai saat ini. Walaupun ini adalah keterpaksaan, walaupun ini adalah sebuah kebencian yang berasal dari kehancuran, David akui ini berguna untuknya. Karena wanita yang baru saja ia ucapkan namanya dalam ijab kobul tadi mampu mengikat hatinya sedemikian rupa. "Terima kasih." Hanya kata itu yang bisa David kat akan hingga acara itu selesai. Tak ada pembicaraan kecuali keduanya ditanya. Tak ada yang berani berucap kecuali keduanya tak enak hati karena pandangan Nenek atau tamu yang datang. "Bisa, kan gak tidur satu kamar? Di sini itu banyak kamar tamu, tolong hargai!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD