Two

1001 Words
Pernikahan. Satu kata sakral yang memiliki banyak arti. Dimulai dari rumah tangga, lalu beranjak menjadi keluarga. Dan berakhir menjadi sebuah persaudaraan nyata. Tapi nyatanya semuanya tidak semudah kata-kata. Pernikahan bukan hanya ungkapan janji bahwa mereka akan selalu bersama dalam suka maupun duka. Pernikahan bukan hanya menjabat tangan dan mengatakan serentetan kalimat yang setelahnya dinyatakan sah setelah jawabnnya lancar tanpa hambatan. Pernikahan adalah sebuah ikatan yang awal mulanya adalah kepercayaan. Pembianaan sebuah tiang yang akan menjadi tangga menuju sebuah hal yang lebih tinggi dan memiliki arti. Lalu meningkat menjadi pembelajaran. Karena di setiap harinya jelas akan ada hal yang menjadi suka dan duka untuk ke depannya. Untuk di kenang atau diceritakan pada semua sanak saudara untuk menjadi pembelajaran mereka. Tergantung masing-masing orang yang suka kehidupannya. Apakah dia termasuk orang penerima takdir dan menghadapinya dengan jalan prinsip seperti David, atau orang yang membantah takdir namun setia melakukan hal yang sudah ditentukan, seperti Megan. Keduanya memiliki sisi berbeda yang Tuhan katakan bahwa itu adalah pelengkap satu sama lain pasangan. Entah lelaki yang memiliki kekurangan dalam otak tapi lebih dalam bekerja, ataupun sebaliknya. Entah perempuan yang pintar dalam otak namun lemah dalam bekerja, ataupun sebaliknya. Itu sudah ketentuan dari Yang Maha Kuasa, bahwa setiap manusia memiliki jalannya masing-masing yang menjadi ciri khas. "Megan.." "Ya? Mau ngambil pakaian?" David berdiri dengan bathrobe yang masih melekat pada tubuhnya. Walau lelaki itu sudah memakai boxer dan kaus dalam, ia masih tetap malu jika sampai mertuanya melihatnya seperti ini. Tak lama untuk mendapatkan jawaban berupa pintu yang terbuka, Megan akhirnya terlihat dengan wajah sembab dan sulit diartikan. Bibirnya mengering, bahkan sangat tipis dari biasanya. David jadi meringis kecil, memikirkan bagaimana dramatisirnya sang istri semalaman karena pernikahan konyol yang malah membuatnya senang tak terhingga. "Lebih baik ganti di kamar. Mama sama Papa gak baik kalau liat kita masih kaya gini," ujar Megan, bijak. David hanya diam dan melangkah masuk menuju kamar. Mengambil satu setel baju yang ternyata sudah Megan siapkan di atas kasur. Entah ini hanya perasaan David saja atau memang seperti itu adanya, Megan semakin tak bisa ia kenali. Ia memang tak menyangkal jika Megan sangat berbeda jauh dari wanita yang pernah ia kenal sebelumnya. Ia juga tak menyangkal kalau ternyata Megan tak akan pernah menyukainya. Karena ia tak mengharapkan itu semua. Cukup membuat wanita itu bahagia di setiap detiknya, maka tugas David selesai. Megan memang mirip dengan perempuan pada umumnya. Manja dan cengeng. Terkadang sangat keras kepala jika sudah menyangkut hal yang ia suka. Padahal belum tentu hal itu baik untuknya. Namanya remaja, sikap kekanak-kanakkan akan selalu melekat, kecuali ada bimbingan atau dia ingin belajar otodidak mengenai dewasa. "Kamu kerja hari ini?" David yang selesai menyisir mengangguk. Kemeja birunya melekat, membungkus tubuh kekarnya agar tak sembarang orang bisa melihatnya. Celana bahan hitampun ia pakai. Tak lupa snelli yang sudah Megan siapkanpun ia pegang. "Apa gak bisa diam di rumah?" David spontan menoleh. "Maksudnya, apa Mama sama Papa gak akan semakin curiga? Nenek juga nanti siang mau ke sini," tambah Megan ketika melihat David yang mulai menangkap dengan salah ucapannya yang pertama. "Hanya membantu Kak Adrima operasi. Kamu tau sendiri, saya sudah tidak ada jabatan pasti di sana." Jika kalian mengharapkan Megan merasakan rasa bersalah, maka kalianlah yang salah. Karena itu malah akan menjadi sebuah boomerang untuknya. Megan pasti akan membalikkan, sesuai dengan apa yang ia katakan sekarang. "Aku gak pernah minta kamu untuk nikah sampai turun jabatan. Bahkan kemaren aku bilang untuk gak datang, kan?" Menghela napas pelan, David diam. "Yang aku bilang bener, kan?" "Ya. Kamu tidak salah. Di sini saya yang salah. Saya minta maaf. Jadi, saya usahakan jam sembilan sudah sampai di rumah," ujar David pada Megan yang akhirnya mengalah. Tak apa, ini adalah tugasnya. Menikah dengan perempuan belum cukup umur jelas akan menguras emosi dan energi. Tapi dari semua itu, David masih terus merasa senang dan hangat. Hatinya begitu memukau saat tak sengaja melihat wajah Megan yang tersenyum tipis. Menatapnya dengan kedua mata sipitnya yang memiliki warna abu semu. "Megi, Dave, ayo, makan!" Suara ajakan yang berasal dari luar kamar membuat keduanya menghentikan tatapan mata mereka. Kecewa. Adalah hal yang bisa David ungkapkan sekarang. Mata Megan tak berbohong jika wanita itu begitu membencinya. Sangat. Karena hanya dari mata kita akan tau bagaimana perasaan seseorang serta ketulusannya pada kita semua. *** "Jangan sampai masalah pribadi kamu bawa ke ruang operasi," sindir Adrima ketika melihat wajah lesu David yang datang lengkap dengan jas dokternya. Rambut panjang dengan warna semi pirang itu bergoyang perlahan, menandakan bahwa sang pemilik kepala tengah menggeleng. "Gak akan. Profesional itu harus diutamakan." "Terutama pernikahan. Kamu juga harus profesional dalam hal itu," imbuh Adrima yang semakin membuat bahu David merosot karenanya. Kejam! Jerit batin David. Bukannya tak suka dengan ucapan Adrima yang ada benarnya, ia hanya benci pada mimik wajah dan juga cara bicara kakaknya. Bukan tegas, namun terkesan menyindir secara kasar. Lelaki dengan catatan pembunuhan yang hampir saja membuat keluarganya gila itu malah tersenyum sinis menatapnya yang semakin lesu. "Bunda bilang untuk datang ke rumah. Dan meminta maaf karena tidak bisa hadir kemarin," ujar Adrima di lorong rumah sakit. David diam. Ia tak menjawab, mengangguk ataupun berdehem. Ia enggan jika membahas wanita super sibuk satu itu. Andai.. Tidak! Ia tidak akan berandai. Tuhan sudah menetapkan semuanya. "Tolong hargai waktu dan usahakan semuanya berjalan lancar. Kami sangat menaruh harapan besar pada kalian berdua, Dok." Kakak beradik itu tersenyum hangat bersamaan dan mengangguk seraya memasuki ruang operasi. Ini bukan pertama kalinya David memasuki ruang penuh misteri. Karena di dalamnya terdapat teka-teki dari Tuhan Yang Maha Tinggi. "Jangan berharap pada kami, Pak. Berharaplah pada Tuhan. Karena semestinya, manusia bisa saja memberikan kekecewaan karena kecemburuan Tuhan. Maka dari itu, percaya dan berharap pada-Nya. Jangan pada kami yang hanya perantara," ujar David pada pria yang tadi menaruh banyak harapan padanya. Ia menepuk bahu pria itu sekali dan memasuki ruang operasi bersama Kakaknya. Dalam hatinya, rapalan doa agar semuanya sesuai alur dan rencana. Ia akan sangat bahagia walau posisinya bukan lagi spesialis bagian dalam, tapi hanya sebatas pembantu Kakaknya. Tak apa, yang terpenting menyelamatkan nyawa karena Tuhan adalah usahanya yang membanggakan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD