Three

1239 Words
Mobil hitam dengan plat yang sangat mudah diingat itu memasuki perantara rumah besar Megan. Perempuan yang kini baru saja meminum obatnya itu terperanjat ketika melihat wanita paruh baya yang keluar dari mobil tersebut. Untung saja air yang ia gunakan untuk menelan obatnya tak menyembur keluar. Setelah tertelan dengan sedikit rasa pahit pada mulutnya, Megan langsung mengambilnya ponsel dan menelpon seseorang yang pastinya sangat ia butuhkan seka.. Kenapa David bersama wanita itu?! Ia menjatuhkan ponselnya pada kasur dan bergegas turun. Menuju pintu utama yang beberapa kali belnya ditekan agar menimbulkan suara. Setelah membuka kunci, ia menarik knop panjang pada kayu besar itu sebelum akhirnya tersenyum menyambut kedatangan Nenek dan suaminya. "Kamu sendirian di rumah?" Tanya wanita paruh baya yang David tuntun jalannya. Padahal di belakang wanita itu ada seorang asisten khusus yang mendorong kursi roda tak berpemilik. "Nenek udah bilang! Jangan tinggalin Megan sendirian! Kamu ini! Kenapa ngeyel banget sih!" Sentak Nenek yang geram akan kelakuan cucunya satu itu. Kenapa semua cucunya tidak ada yang bisa ia andalkan sih?! "Tadi ada operasi, Nek. Dave gak bisa ninggalin gitu aj-" "Tapi tega ninggalin istri sendirian di rumah?!" David memejamkan matanya. Ayolah, ini sudah kesekian kalinya wanita itu mengucapkan hal yang sama. Dan lagi-lagi memotong ucapannya. Ya ampun! "Gak papa, Nek. Megan maklumin kok. Lagian kan Dave itu kerjanya memang harus on time. Gak bisa kalau telat dikit," ujar Megan, terkekeh. Wanita itu mengangguk dan mengelus surai hitam Megan sebelum akhirnya masuk dengan bantuan cucunya. "Billy?" "Ada urusan di luar, Nek. Kalau Mama lagi belanja di depan komplek. Nenek mau minum apa?" David menggeleng kecil. Jangan bertanya pada wanita itu masalah makanan. Karena nanti.. "Gak perlu nawarin. Nenek bisa sendiri. Lagian, kenapa harus nawarin sih! Nenek, kan ke sini juga gak minta makanan!" Ini dia. Jurus andalan Neneknya yang selalu David sayang-sayang. Sangat sulit mengartikan sebuah ucapan.  Mungkin karena faktor umur yang tak ingin mengalah atas apa yang ada di otaknya. Walau bekerja lamban, ketahuilah Nenek atau Kakek akan sering menilai sekali. Maka dari itu, tolong lihat dulu dengan jelas apa yang harus kamu keluarkan sebagai kata-kata. *** Matahari yang baru saja muncul kalah cepat dengan David yang sudah berkutat bersama laptopnya. Malam tadi, ia mendapat pesan bahwa jabatannya sebagai dokter spesialis bagian dalam akan segera dicabut. Sialan! Kenapa bisa?! Dan akhirnya lagi-lagi ia harus bangun sangat pagi untuk mengurus berkas yang tak ada urusannya dengan David sama sekali. Tapi, jika urusan itu tidak selesai, maka jabatannya akan segera musnah. Sebesar itukah kuasa sang Kakek saat ini? Matanya sudah sangat ingin terlelap. Bahkan secangkir kopi buatan istrinya tak juga membuatnya bertahan menatap layar beradiasi itu. Punggung terasa sangat kaku. Bahkan sangat sakit jika saja ia tidak melentukkannya dengan cara bersandar sebentar. Tapi ia bersyukur. Karena dengan hal ini, ia bisa berada di kamar yang sama dengan Megan. Walau ia tak tidur, namun memandang bidadari yang sangat manis tengah terlelap membuat energinya semakin mencuat. Ia tak bisa berfikir terlalu lama jika terus-menerus menatap wajah tenang dan ayu milik Megan. Wanita itu seperti punya seribu cara untuk memikatnya sedemikian rupa. Kring! Mata David terbuka lebar. Ia tak sengaja tertidur tadi. Dan suara alarm yang sangat tidak elegan itu membangunkannya dengan cepat. Membuat rasa pusing menyergap kepalanya. "Masih dikerjain? Belum selesai, ya?" Suara serak khas orang bangun tidur membuat David menoleh. Melihat wajah bantal istrinya untuk pertama kali. Ugh! Ia tak menyangkan Megan tetap secantik itu walau semuanya serba semrawut. "Belum. Kamu hari ini ada kerjaan?" Tanya David pada Megan yang dibalas gelengan pelan. "Gak ada. Paling beresin rumah," jawabnya yang masih setengah sadar. Mungkin sama kagetnya dengan David karena alarm sialan itu. "Kalau begitu, tidur lagi aja." "Nyuruh aku bangun siang?" Celetuk Megan dengan nada tak bersahabat. "Bukan. Tapi kayanya kamu masih ngantuk. Kalau kamu gak mau tidur lagi, silahkan." "Papa bilang, kamu mau beli rumah. Buat apa?" Fokus David terpecah. Ia tidak bisa melanjutkan ketikannya sekarang. Ia memutar kursinya dan menatap wajah Megan yang sudah lebih baik dari sebelumnya. "Buat kita tinggal. Emang kamu mau terus di sini? Saya sih, nggak," ujar David, bercanda. "Oh.. jadi gak mau tinggal barengan gini? Kenapa? Gak enak? Gak leluasa? Atau emang terbebani karena harus bayar listriknya?" "Bukan. Saya gak pernah mikir gitu. Lagian gak masalah untuk bayaran. Toh, dari semua tempat kita yang paling banyak pakai listrik. Televisi dua. Ac-nya juga dua. Bahkan kamu sendiri gak pernah matiin lampu dan penutup jendela otomatis." "Tersearh deh, pusing!" David diam. Tak menjawab ucapan ketus istrinya. Megan memang tampak sangat kejam dan sangar. Namun nyatanya tidak. Perempuan itu sangat lembut. Bagaimana bisa ia tahu? Neneknya yang bilang. Ia juga tak tahu bahwa Neneknya bisa mengenal Megan sejauh itu. "Apa kamu bisa mengetik? Saya butuh tidur. Tolong ketik beberapa bagian dari map yang mer-" "Gak bisa! Megan gak mau ngetik. Apalagi kalau bukan tugas Megan. Jangan terlalu berharap banyak! Kamu sendiri yang bilang buat berharap sama Tuhan, bukan makhluknya!" Memejamkan mata menghalau rasa pusing karena mengantuk dan lelah semalaman. Ia akhirnya memutar kembali tempat duduknya. Menghadap laptop dan tidak memperdulikan Megan yang ternyata akan mandi. Makin lama rasa lelah David makin tak bisa ia tahan. Semua kerjaannya sangat banyak. Belum lagi ada operasi nanti sore. Walau tugasnya hanya melihat dan mengambil peralatan yang dibutuhkan Adrima, namun itu harus dengan orang-orang yang bertanggung jawab. Salah satu barang saja bisa berakibat fatal nantinya. "Tidur sana! Biar aku aja yang ngetik. Cuman sampe jam tujuh." Senyum David mengembang sempurna. Ia sendiri sampai tak meyadari kalau Megan sudah selesai membersihkan diri. "Terima kasih." Matanya sempat melirik jam. Pukul setengah enam. Tidak apa hanya satu setengah jam, yang terpenting ia bisa mengulur lelahnya sebentar. Dan seperti yang kalian ketahui, sekarang Meganlah yang menggatinkan sang suami mengetik. Ia mengernyit ketika melihat seberapa banyak map lagi yang harus ia kerjakan. Ia memang bukan ahli teknologi atau sekolah dengan kejuruan komputer. Tapi untuk mengetik sebanyak ini, ia bisa. Namun.. yang mana dulu yang harus ia ketik? "Map merah, setelah itu lanjut ke bagian resign beberapa anak di map biru. Sisanya biar saya yang lanjutkan," ujar David dengan mata yang sudah terpejam. Megan mengangguk dari belakang. Mengambil map merah sesuai dengan yang dikatakan David. Ia lalu mulai mengetik dengan cepat. Memastikan tidak ada kata-kata yang salah atau beberapa spasi yang berlebihan. Ia sempat melihat kalau ini adalah data penting untuk kantor. Kantor siapa dan di mana, Megan tidak ingin mengurusinya. Tugasnya hanya mengetik saja. Hati Megan menghangat, ia tak bisa memungkiri jika saat selesai dan baru akan menutup laptop itu, Megan melihat wallpaper yang besar terpampang jelas di sana. Sebuah gambar di mana ia sedang duduk di atas kursi dengan buku-buku pelajaran ketika sekolah menengah akhir. Bibirnya tak sengaja tertarik ke atas. Membentuk sebuah senyuman manis yang tak bisa ia pungkiri kehadirannya. Tak ingin berlarut dan malah membuatnya beralih pada hal yang tak bisa ia kuasai, Megan memilih mengecek jam agar tak membuat lelaki yang tidur di kasurnya telat nanti. "Sudah selesai?" Baru akan menyalakan ponselnya, Megan terperanjat. Ia mengelus dadanya saat merasakan degupan jantung itu menggila. "Gak bisa apa, gak ngagetin kaya tadi?!" Sentaknya, kesal. David menggaruk tengkuknya. Ia lalu mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Untung saja alarm di ponsel David berbunyi tepat pada waktunya. Jadi ia tidak membebankan sang istri untuk mengetik lebih lama lagi. "Aku ke bawah. Gak usah diterusin. Mandi habis itu makan," ujar Megan tanpa sengaja memandang David dengan penuh perhatian. "Ya, terima kasih." Semburat merah menjalar pada pipi David perlahan. Bahkan merambat menuju telinga dan tengkuknya. Emm.. dia sudah dewasa. Kenapa terasa seperti anak baru menemukan cinta pertama? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD