Four

992 Words
Esoknya, berjalan seperti biasa. David yang diam di rumah dan akan berangkat ketika Adrima menelponnya. Memberitahu bahwa ada tugas yang harus ia kerjakan. Begitupun Megan. Hanya diam di rumah. Dengan sesekali membantu sang Mama membersihkan rumah atau sekedar memasak sarapan. Siangnya, mereka berencana keluar untuk melihat rumah yang David beli. Lelaki itu harus memperlihatkan pada Megan terlebih dahulu. Takut-takut ada bagian yang perempuan itu tak suka dan akhirnya gagal membuat kejutan. Berganti pakaian dengan kaos dan celana jeans selutut, David keluar kamar setelah mengambil kunci mobil. Ia menuruni tangga perlahan, untuk memastikan bahwa Megan sudah memungutnya di bawah. "Kamu beneran mau berangkat sekarang?" Suara mertuanya menyambut indra pendengaran David di tangga terakhir. "Iya, Ma. Pindahnya gak hari ini kok." Dan itu suara Megan, istrinya. "Kalau jadi pindah, jangan kecapekan! Kalau bisa sewa ART aja. Mama gak mau nanti dapet panggilan kamu drop lagi!" Megan tertawa kecil, ia mengangguk kecil sebelum menyadari David sudah ada di ruangan yang sama dengannya. "Kalau gitu, kami pergi dulu, Ma." "Hati-hati, ya." Megan dan David serentak mengangguk. Mereka keluar dari rumah beriringan. David yang di depan dan Megan di belakangnya. Tentu saja karena perempuan itu tak ingin berada di sisi lelaki yang sudah merenggut semuanya. Baru akan membantah apa yang David lakukan, gadis itu sudah masuk ke dalam mobil dengan sedikit paksaan dari David. "Gak usah pake dorong, juga!" Kesal Megan. David hanya tersenyum manis dan memutari mobilnya untuk masuk ke dalam sesegera mungkin. Selama perjalan, tidak ada yang membuka suara. Hanya mesin mobil yang bekerja dan membuat mobil itu terdengar berjalan. Tak ada yang bisa David harapkan untuk saat ini. Karena memang semuanya terdengar tak seharusnya. Ia memiliki kekasih. Atau lebih mudah disebut dengan pacar. Wanita yang mendampinginya dan harus mengetahui hal kejam saat ia memutuskan hubungan. Cukup mustahil baginya untuk cepat beralih hati pada wanita lain. Aplagi bocah remaja seperti Megan. Ia tak pernah menyangkal jika memang pesona Megan lebih kuat. Wanita keturunan China itu selalu bisa memperlihatkan sisi berbeda pada David, membuat hati membeku itu pecah dengan hati yang baru. Bocah remaja itu juga yang membuat David melakukan hal gila dengan melamar malam-malam. Tak memabawa cincin atau bunga, untuk menjadikan bahan pertimbangan dan pernyataan bahwa ia sungguh-sungguh, bukan untuk permainan semata. Megan berhasil membuat sisi lain dalam dirinya bangkit. Ia adalah pribadi yang hangat, sering menebar senyum pada orang yang ia kenal. Bahasa yang ia gunakan juga sebenarnya tidak baku. Tapi entah kenapa, ia merasa nyaman dengan bahasa saya-anda pada perempuan di sampingnya. Rasa gemas menyerangnya seakan memberitahu bahwa apa yang ia lakukan adalah rasa keingintahuan saja. Karena memang benar adanya. Ia melakukan itu karena ingin tahu, apakah Megan bisa menggantikan kata lo-gue saat pertama kali mereka bertemu menjadi aku-kamu. Dan itu berhasil. Megan yang memang remaja keluaran tahun lalu, pastinya akan mudah terbawa arus lingkungan luar. Bahasa wanita itu juga terkesan tidak baik saat pertama kali David melihatnya. Di sebuah cafe dekat rumahnya, David melihat Megan yang sedang berkumpul bersama teman-teman wanita itu. Bahasa lo-gue, nama binatang, tak lepas dari pendengaran David saat itu. Walau Megan tak mengucapkan nama binatang atau kata-kata lain yang mengundang banyak orang mendelik, tapi pertemanan gadis itu tidak bisa dikatakan baik. Apalagi mengingat baju Megan yang tidak bisa di bilang cocok. Wanita itu memakai kemeja putih sekolah yang sangat kecil. Rok di atas lutut dengan tas kecil berbentuk wajah beruang. Kesan pertama yang David lontarkan saat itu adalah nakal. *** "Pesan minuman hangat satu. Apaoun itu.  Kalau bisa dengan kadar manis yang rendah." Seorang waiters yang memegang buku menu itu mengangguk. Ia lalu berjalan meninggalkan perempuan manis di kursi restoran. Jendela di pinggir kursi gadis itu membuatnya bisa leluasa melihat jalanan yang cukup padat. Ia sesekali memainkan jarinya ketika merasakan hawa bosan mulai menyergap. Otak pintarnya terus berputar untuk mencari hal yang bisa ia lakukan untuk mengakhiri semuanya. Bukan tanpa alasan ia ingin semuanya berakhir, ia bukanlah beban bagi siapapun. Dan ia bisa mengerjakan semuanya tanpa harus ada yang membantunya. Ya, itu yang akan dia butktikan pada mereka yang menganggapnya rendah. Megan, perempuan yang kini duduk termenung memikirkan bagaimana cara ia bisa berpisah dari suaminya. Tak ada jalan lain kecuali berpisah dalam artian bercerai. Cinta. Satu kata yang selalu orang lain sanjung dan menjunjungnya tinggi. Berharap pada lima huruf itu yang mungkin saja bisa membawa kebahagiaan. Tapi baginya seorang, cinta hanya menaruh luka. Apalagi bagi mereka yang belum memiliki ikatan kuat seperti pernikahan. Ia tak bodoh jika ada orang lain mengatakan itu adalah hal yang menyenangkan. Karena ia pernah merasakannya. Berkutik dalam hal menyetujui rasa dan berakhir penorehan luka. Ia ingin bangkit. Menuju salah satu hal yang selalu bisa membuatnya bahagia. Menuju kebangkitan pada hakikat yang bisa membuatnya sempurna. Namun lagi-lagi itu hanya omong kosong belaka. Tuhan menciptakan mahluknya tidak lebih untuk menyembah padanya. Meminta dan menaruh harapan pada Yang Maha Kuasa, bukan sesama mahluknya seperti manusia. Megan menyetujui hal itu. Karena pernah beberapa kali ia berharap pada manusia, memberikan kesungguhan pada teman, keluarga bahkan orang yang ia sayang untuk tetap bertahan bersamanya. Takdir berkehendak lain ketika ia merasakan kebebasan. Kecewa yang ia dapatkan karena kecemburuan Tuhan akibat harapan. Harapan yang ia taruh bukan pada semesti-Nya. Megan selalu ingin yang terbaik di atas yang terbaik. Dan kini, ia menemukannya. Pada sosok David sebagai suaminya. Lelaki yang berani bertanggungjawab untuk semua keresahannya. Lelaki yang akan menjadikan kesedihan sebagai kebahagiaannya. Dan lelaki yang berani mengorbankan seluruhnya hanya demi perempuan sepertinya. Rasanya tidak adil. Semuanya tak bisa ia pungkiri jika ia sangat menyayangi dan mulai menyukai sosok tersebut. Tak ada celah lagi baginya untuk membenci. Bahkan untuk sekedar kesalahan yang ia cari, sepertinya sangat mustahil terjadi. Lelaki itu tidak marah, bahkan tidak pernah merasa semuanya bukan miliknya. Jelas ia bersalah, telah memberikan luka dan bukan bahagia. Membeberkan kebenciannya padahal hati berkata tak seperti itu kenyataanya. Ia tidak memiliki kesempurnaan, bukan pernikahan mereka sebenarnya adalah perjodohan. Sebuah ungkapan gila yang disandingkan dengan harta. Mamanya yang memiliki jiwa tangguh itu dengan mudah membiarkannya terjerat hubungan sakral tanpa tahu apa yang sebenarnya bisa ia harapkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD