Five

1117 Words
"Terima kasih sudah menunggu. Sudah memesan sesuatu?" Megan mengalihkan atensinya pada sosok yang beberapa detik lalu ia kagumi di hati. "Udah. Kenapa lama? Apa gak bisa minta maaf?" David tersenyum. "Malah bilang makasih," tambah Megan kesal. "Karena jika saya meminta maaf, saya merendah. Tapi ketika saya berterimakasih, maka saya telah memberi penghargaan lebih pada mereka yang setia menunggu saya." Bola mata Megan memutar malas. Otaknya tak mau diajak berfikir keras. Maka dari itu ia hanya membiarkan saja apa yang di katakan lelaki itu padanya. "Ada bagian yang tidak kamu suka dari rumahnya?" Megan mendongkak. "Ini pesanannya, Mbak. Coklat hangat dengan kadar gula rendah." Megan berterimakasih. Ia lalu menatap David sebentar dan menggeleng. "Gak ada. Semuanya sempurna. Megan suka, makasih," ujar Megan tulus. "Saya senang jika kamu menyukainya," sahut David yang kemudian ikut memesan makanan. "Apa gak bisa ngomongnya gak baku kaya gitu? Megan malah ngerasa kita bukan.. ehmm.. pasangan. Tapi malah kaya rekan kerja," jujur Megan yang selama ini memendam kekesalannya. Bukan tanpa sebab, tapi melihat banyaknya orang yang menatap mereka layaknya seorang pembisnis, membuat Megan risih. Padahal sebelumnya ia baik-baik saja, kan? "Baiklah. Eh, maksud saya ya-" "Dan satu lagi. Megan gak suka kalau kamu bilang aku itu saya. Apaan bilang aku itu saya. Dikira lagi belajar bahasa indonesia apa?" Sinis Megan memotong ucapan kaku David. David tersenyum. Tangannya mengepal karena terus berusaha menggenggam tangan putih di meja yang sama dengannya. Ayolah, tahan untuk beberapa saat, Dave! "Oke. Aku rasa ini akan sedikit canggung. Karena.." "Ck! Gak cocok banget sih! Jangan formal gitu, ih!" Kesal Megan akhirnya. Kenapa ia serasa mengajarkan anak TK untuk belajar bicara sih? "Aku akan usahakan. Tapi pasti butuh waktu," ujar David ngaco. Bahasanya sudah campur aduk sekarang. Dan Megan makin geram mendengarnya. Kalau bukan di tempat umum, ia akan memarahi lelaki itu sekarang. Umurnya aja yang tua, tapi kalau diajarin sama aja susahnya, seperti itulah batin Megan sekarang. "Mama bilang kalau kamu bakal pindah kerja. Jadi apa?" Kali ini David yang mendongkak, menatap wajah Megan yang tengah menyeruput coklat hangat milik wanita itu. "Gak tau. Aku belum menentukan harus kerja apa." Megan menghembuskan napas nya jengah. Lagi-lagi bahasanya semrawut. "Kamu harus belajar yang bener. Bahasanya jangan kaya alien!" David terkekeh mendengarnya. "Aku bakal berusaha," ujar David yang langsung diacungi ibu jari oleh Megan. *** Bahagia itu sederhana. Tertawa bersama di saat orang lain menderita terkadang bisa menjadi kebahagiaan tak terhingga. Bahkan beberapa kali atau mungkin setiap harinya, manusia lebih banyak tertawa di atas penderitaan orang lain. Seperti Megan contohnya. Perempuan itu tak hentinya tertawa ketika melihat David yang tersungkur akibat ulahnya. Lelaki itu mengusap keningnya yang mencium lantai dengan keras. Sedikit memar sepertinya. Karena benturan itu sangat jeras hingga kepalanya terasa sedikit pusing. "Makanya! Kan udah Megan bilang. Gak usah masak! Megan gak suka!" Bentak perempuan itu keras setelah menghentikan tawanya. Malam tadi, setelah akhirnya pindah ke rumah baru mereka, David memasak. Padahal Megan sudah mengatakan untuk tidak memasak karena ia tidak mau memakannya. Tapi bukan David namanya jika meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Lelaki itu tetap memasak semua makanan yang pastinya kesukaan wanita itu. Dan dengan teganya Megan menolak, membuat David harus lebih bersabar. Dan kenapa ia bisa terjatuh? Itu karena ia tak sengaja menginjak kaki Megan dan membuat perempuan yang menjadi istrinya itu berteriak dan mendorongnya hingga berakhir semengenaskan ini. Megan tidak sekejam ibu tiri yang mengusirnya dan membuang makanannya kok. Dia masih sangat baik. "Kamu bahkan belum makan. Kita makan, oke?" Bujuk David, sabar. Bahasanya sekarang sudah tidak semrawut beberapa hari lalu. Itu karena ia belajar oada teman-temannya. Jelas permintaan Megan. Kalau bukan, mana mungkin ia mau menggantinya. Karena rencanannya juga sudah berhasil, jadi lebih baik ia bicara seperti biasanya. "Gak bisa, Dave. Aku mau makan malem sama temen," ujarnya jujur, menolak halus ajakan David. Bukan hal yang aneh lagi mendengar Megan yang selalu keluar rumah. Ia juga tidak pernah mencegahnya. Sebab dalam kontrak pernikahan mereka, tidak ada yang boleh saling mencegah kecuali hal itu bisa merugikan dua keluarga besar mereka. Dan juga, David tidak mungkin mengatakan pada wanita itu untuk tidak berpergian sedangkan di rumah Megan hanya diam saja. Yang benar saja. "Kemana?" Tanya David dengan nada yang sedikit berubah. Ia tak suka jika sampai Megan mengatakan hal yang tak ia inginkan. Seperti, "Ke restoran temen aku. Sama Alex," kata Megan yang berhasil membuat David mematung. Alex adalah teman dari teman Megan. Lelaki yang dua tahun lebih muda darinya itu sudah menyandang status mahasiswa dibandingkan Megan yang tidaj berniat kuliah. Lelaki muda itu juga yang selalu mengantarkan istrinya untuk bertemu dengan 'para teman' Megan. Bukan bermaksud untuk berprasangka buruk pada lelaki muda itu, hanya saja.. apa itu baik untuknya? Secara Megan dan dirinya sudah memiliki hubungan yang sah dan terikat. Tidak seperti lelaki yang bernama Alex-Laex itu. "Abis makan malam, Megan mau ngomong. Kalau gitu, Megan berangkat dulu." David menghembuskan napas peralahan. Ia membuka pintu utama dan membiarkan Megan keluar bersama lelaki yang bahkan tak memiliki hubungan apapun dengan istrinya. Di sana, Alex tersenyum padanya. Seakan meminta izin untuk membawa istri kecilnya. Yang ia balas dengan senyuman juga. Tak masalah jika memang keduanya tak memiliki hubungan lebih. Kalaupun punya, apa masalahnya? Ia bahkan hanya suami dari perjodohan konyol itu, kan? *** "Bagaimana, Dave? Kamu bersedia?" Itu Kakeknya. Pria yang kini duduk di atas kursi kebanggaan dan tengah menatap David dengan tajam. Sebuah permintaan konyol yang jelas mempertaruhkan semuanya. Ia tak bisa menolak, karena ini menyangkut nyawa seseorang. Dan ia tak bisa menerima karena ada wanita lain yang kini memikat hatinya. Satu hal yang membuat David kembali membenci Kakeknya setelah bertahun-tahun mencoba menerima. Pria paruh baya itu hanya diam saat ia bingung dengan keputusannya. Bahkan tidak berusaha menenangkannya sedikitpun. Barang kali mengatakan, "Kamu tidak perlu khawatir, Megan wanita yang baik." Atau, "Jangan terlalu dipikirkan. Semua keputusan ada padamu." Tapi itu semua hanya bayang-bayang saja. Pria kejam itu memnag terkesan memerintah. Tapi banyak budi yang sudah David rasakan. Dan ia tidak mungkin jika membalasnya dengan cara menolak. Sedari kecil, ia bukan anak yang diasuh dan dibesarkan oleh kedua orang tuanya. Ia hanya anak lelaki yang seharusnya hidup bersama kembarannya namun gagal karena pemisahan sialan yang dilakukan orang tuanya. Dan lagi, ia juga bukan anak pintar yang sewaktu-waktu bisa dibanggakan pada khalayak ramai. Ia hanya anak bungsu yang tak terima dengan keadaan nyata. Dan dengan beruntung, pria paruh baya ini mengambilnya dengan paksa dari kedua orang tuanya karena melihat ia yang selaku terlantar. Hingga akhirnya ia bisa sebesar dan memiliki umur sedewasa ini karena didikan  dari sang Kakek. Percaya ataupun tidak, ia lebih bahagia karena bisa menjadi sedewasa ini di umur yang mungkin jarang manusia bisa memilikinya. Ya.. walau memang seharusnya sudah dewasa, sih. "Apa harus dengan perempuan berpenyakitan? Kakek, Dave mau nikah sama dia. Bukan cewek itu!" Geram David karena terus-terusan didesak oleh Kakeknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD